{"title":"KAJIAN FILOSOFIS PENCATATAN PERKAWINAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN BERDASARKAN NILAI-NILAI PANCASILA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA","authors":"Laksana Arum Nugraheni","doi":"10.25170/PARADIGMA.V6I1.2345","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstract \nEvery citizen has the right to protection against discriminatory treatment. The state guarantees the freedom of each of its inhabitants to embrace their respective religions and to worship according to their religion and belief. The rights of adherents of belief or what is known as the Belief in God Almighty by law in Indonesia have not been fully accommodated and discrimination is still found in social life. The author examines marriage registration from a philosophical point of view based on the values of Pancasila and statutory regulations for Believers. This type of research is a juridical normative that uses a conceptual approach, laws, history and cases. The author analyzes with qualitative methods and deductive thinking methods. The results show that the Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XVI / 2016 is a manifestation of the values in the principles of Pancasila so that it is in line with the goals and ideals of the nation which make Pancasila the guide for the nation's life. The decision of the Constitutional Court Number 97 / PUU-XIV / 2016 is a turning point that provides space for citizens, especially Believers to obtain administrative constitutional rights for inhabitants. Apart from being determined by the teachings of their belief, the validity of marriages must also be carried out in the presence of a Leader of Beliefs in accordance with statutory regulations. Marriages that are not recorded do not fulfill the administrative aspects or formal requirements for the validity of the marriage so that the implication is that the marriage is not legally binding. \nKeywords : Marriage, Believers in God Almighty, Pancasila \n \nAbstrak \nSetiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak bagi pemeluk aliran kepercayaan atau yang disebut dengan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara hukum di Indonesia belum terakomodasi sepenuhnya dan masih ditemukan diskriminasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Penulis mengkaji pencatatan perkawinan dari sudut pandang filosofis berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan peraturan perundang-undangan bagi Penghayat Kepercayaan. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan pendekatan konseptual, undang-undang, sejarah dan kasus. Penulis menganalisa dengan metode kualitatif dan metode berpikir deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016 merupakan perwujudan dari nilai dalam sila-sila Pancasila sehingga sejalan dengan tujuan dan cita-cita bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 merupakan titik balik yang memberikan ruang bagi warga negara khususnya Penghayat Kepercayaan untuk memperoleh hak konstitusional administratif kependudukan. Keabsahan perkawinan Penghayat Kepercayaan selain ditentukan oleh ajaran kepercayaannya, juga harus dilaksanakan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak memenuhi aspek administratif atau syarat formil sahnya perkawinan sehingga berimplikasi pada perkawinan tersebut tidak berkekuatan hukum. \nKata Kunci : Perkawinan, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila","PeriodicalId":445925,"journal":{"name":"Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-07-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"2","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.25170/PARADIGMA.V6I1.2345","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 2
Abstract
Abstract
Every citizen has the right to protection against discriminatory treatment. The state guarantees the freedom of each of its inhabitants to embrace their respective religions and to worship according to their religion and belief. The rights of adherents of belief or what is known as the Belief in God Almighty by law in Indonesia have not been fully accommodated and discrimination is still found in social life. The author examines marriage registration from a philosophical point of view based on the values of Pancasila and statutory regulations for Believers. This type of research is a juridical normative that uses a conceptual approach, laws, history and cases. The author analyzes with qualitative methods and deductive thinking methods. The results show that the Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XVI / 2016 is a manifestation of the values in the principles of Pancasila so that it is in line with the goals and ideals of the nation which make Pancasila the guide for the nation's life. The decision of the Constitutional Court Number 97 / PUU-XIV / 2016 is a turning point that provides space for citizens, especially Believers to obtain administrative constitutional rights for inhabitants. Apart from being determined by the teachings of their belief, the validity of marriages must also be carried out in the presence of a Leader of Beliefs in accordance with statutory regulations. Marriages that are not recorded do not fulfill the administrative aspects or formal requirements for the validity of the marriage so that the implication is that the marriage is not legally binding.
Keywords : Marriage, Believers in God Almighty, Pancasila
Abstrak
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak bagi pemeluk aliran kepercayaan atau yang disebut dengan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara hukum di Indonesia belum terakomodasi sepenuhnya dan masih ditemukan diskriminasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Penulis mengkaji pencatatan perkawinan dari sudut pandang filosofis berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan peraturan perundang-undangan bagi Penghayat Kepercayaan. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan pendekatan konseptual, undang-undang, sejarah dan kasus. Penulis menganalisa dengan metode kualitatif dan metode berpikir deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016 merupakan perwujudan dari nilai dalam sila-sila Pancasila sehingga sejalan dengan tujuan dan cita-cita bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 merupakan titik balik yang memberikan ruang bagi warga negara khususnya Penghayat Kepercayaan untuk memperoleh hak konstitusional administratif kependudukan. Keabsahan perkawinan Penghayat Kepercayaan selain ditentukan oleh ajaran kepercayaannya, juga harus dilaksanakan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak memenuhi aspek administratif atau syarat formil sahnya perkawinan sehingga berimplikasi pada perkawinan tersebut tidak berkekuatan hukum.
Kata Kunci : Perkawinan, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila
每个公民都有不受歧视待遇的权利。国家保障每个居民有信奉自己宗教的自由和按照自己的宗教信仰进行礼拜的自由。在印度尼西亚,法律规定信仰或所谓信仰全能的上帝的信徒的权利没有得到充分照顾,在社会生活中仍然存在歧视。作者以潘卡西拉的价值观和信徒的法定规定为基础,从哲学的角度审视婚姻登记。这种类型的研究是一种司法规范,使用概念方法,法律,历史和案例。作者采用定性方法和演绎思维方法进行分析。结果表明,宪法法院第97 / PUU-XVI / 2016号判决是潘卡西拉原则中价值观的体现,符合潘卡西拉成为国家生活指南的国家目标和理想。第97 / PUU-XIV / 2016号宪法法院的决定是一个转折点,为公民,特别是信徒提供了获得居民行政宪法权利的空间。除了由其信仰的教义决定外,婚姻的有效性也必须按照法定条例在宗教领袖在场的情况下进行。未记录的婚姻不符合婚姻有效性的行政方面或正式要求,因此暗示婚姻不具有法律约束力。关键词:婚姻,全能神的信徒,潘卡西拉,摘要,塞蒂瓦加,尼加拉,潘卡西拉,潘卡西拉,潘卡西拉,潘卡西拉,潘卡西拉,潘卡西拉,潘卡西拉,潘卡西拉Negara menjamin kemerdekan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya。Hak bagi pemeluk aliran kepercayaan atau yang disebut dengan Penghayat kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa secara hukum di Indonesia belum terakomodasi sepenuhnya dan masih ditemukan diskriminasi dalam keasyarakatan社会kemasyarakatan。Penulis mengkaji pencatatan perkawinan dari sudut pandang filosofis berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan peraturan perundang-undangan bagi Penghayat keperkaaan。Jenis penelitian ini adalah yuridis normatiatim yang menggunakan pendekatan konsepsepal, undang-undang, sejarah dan kasus。孟氏小蠊,登根法,定性法和贝匹克法。Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016 merupakan perwujudan dari nilai dalam sila-sila Pancasila sehinga sejalan dengan tujuan dan cita-cita bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsaPutusan Mahkamah konstitui Nomor 97/PUU-XIV/2016 merupakan titik balik yang成员ruang bagi warga negara khususnya Penghayat keperayaan untuk member peroleh hak constitutionaladministrative kependudukan。Keabsahan perkawinan Penghayat Kepercayaan selain ditentukan oleh ajaran kepercayaannya, juga harus dilaksanakan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan sesuai dengan perundang-undangan。Perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidatan memuhi说行政长官syaril . sanhnya Perkawinan seingga . beimplikasi pada Perkawinan teresak berkekuatan hukum。Kata Kunci: Perkawinan, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila