Afifah Tasya Miladya, Djanuardi Djanuardi, Hazar Kusmayanti
{"title":"Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkawinan Siri Sesama Jenis Yang Terjadi Karena Pemalsuan Identitas Salah Satu Pihak","authors":"Afifah Tasya Miladya, Djanuardi Djanuardi, Hazar Kusmayanti","doi":"10.59141/comserva.v3i06.991","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan hukum tersebut secara jelas telah mengatur bahwa unsur perkawinan adalah seorang pria dan seorang wanita sebagai pihak yang dapat melaksanakan perkawinan. Pada praktiknya, masih terdapat penyimpangan terhadap aturan hukum tersebut, yakni terjadinya suatu perkawinan sesama jenis karena pemalsuan identitas, terlebih perkawinan tersebut terjadi secara siri. Perkawinan siri merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Tidak dilaksanakannya perkawinan tersebut sebagaimana ketentuan UU Perkawinan sehingga pihak yang dirugikan tidak dapat mengajukan tuntutan terhadap hak-hak keperdataannya terhadap terjadinya perkawinan tersebut. Penelitian ini mengkaji bagaimana perlindungan hukum bagi korban perkawinan siri sesama jenis yang terjadi karena pemalsuan identitas salah satu pihak menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan pengumpulan data informasi diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (wawancara). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) perlindungan hukum yang dapat dilakukan, yakni perlindungan hukum preventif dan represif.
","PeriodicalId":500902,"journal":{"name":"COMSERVA","volume":"12 6","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-10-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"COMSERVA","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.59141/comserva.v3i06.991","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan hukum tersebut secara jelas telah mengatur bahwa unsur perkawinan adalah seorang pria dan seorang wanita sebagai pihak yang dapat melaksanakan perkawinan. Pada praktiknya, masih terdapat penyimpangan terhadap aturan hukum tersebut, yakni terjadinya suatu perkawinan sesama jenis karena pemalsuan identitas, terlebih perkawinan tersebut terjadi secara siri. Perkawinan siri merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Tidak dilaksanakannya perkawinan tersebut sebagaimana ketentuan UU Perkawinan sehingga pihak yang dirugikan tidak dapat mengajukan tuntutan terhadap hak-hak keperdataannya terhadap terjadinya perkawinan tersebut. Penelitian ini mengkaji bagaimana perlindungan hukum bagi korban perkawinan siri sesama jenis yang terjadi karena pemalsuan identitas salah satu pihak menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan pengumpulan data informasi diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (wawancara). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) perlindungan hukum yang dapat dilakukan, yakni perlindungan hukum preventif dan represif.