{"title":"Representasi Perempuan di Parlemen dan Legislasi Isu Lingkungan Hidup: Studi Kasus Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja","authors":"Yessi Olivia, Nuraeni Nuraeni","doi":"10.26593/jihi.v1i1.7835.141-156","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Sejumlah studi menunjukkan bahwa perempuan cenderung untuk menunjukkan kepedulian tentang isu lingkungan hidup dibandingkan laki-laki. Kelompok perempuan juga disebutkan cenderung lebih banyak menunjukkan berperilaku pro-lingkungan, di rumah misalnya melakukan daur ulang, daripada laki-laki. Disparitas gender dalam melihat isu lingkungan ini dipercayai disebabkan oleh perbedaan tuntutan atas perempuan dan laki-laki dimana perempuan diharapkan akan menjadi pengasuh keluarga sementara laki-laki menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Tulisan ini menganalisis masalah gender dan lingkungan dari level pengambil kebijakan di parlemen. Dengan menanyakan bagaimana kontribusi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia dalam isu lingkungan, tulisan ini akan mengangkat pembahasan tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sebagai studi kasus. Analisis akan dimulai dengan pembahasan mengenai representasi perempuan di parlemen dan dilanjutkan dengan diskusi mengenai perilaku legislatif mengenai isu lingkungan. Pembahasan dan perumusan UU Cipta Kerja menunjukkan beberapa hal yang menarik. Pertama, suara anggota parlemen perempuan untuk UU Cipta Kerja terlihat hanya mengikuti ideologi dan kepentingan partai politik mereka walaupun keberadaan undang-undang ini dikritik mengancam lingkungan hidup dan berdampak negatif terhadap perempuan pekerja. Terkait dengan poin pertama, keberadaan perempuan di parlemen tidak serta merta berdampak terhadap perumusan legislasi yang pro lingkungan. Rendahnya kualitas perwakilan subtantif ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti budaya partai politik yang bias terhadap perempuan dan rendahnya pemahaman tentang pengarusutamaan gender.","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"43 12","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2024-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.26593/jihi.v1i1.7835.141-156","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Sejumlah studi menunjukkan bahwa perempuan cenderung untuk menunjukkan kepedulian tentang isu lingkungan hidup dibandingkan laki-laki. Kelompok perempuan juga disebutkan cenderung lebih banyak menunjukkan berperilaku pro-lingkungan, di rumah misalnya melakukan daur ulang, daripada laki-laki. Disparitas gender dalam melihat isu lingkungan ini dipercayai disebabkan oleh perbedaan tuntutan atas perempuan dan laki-laki dimana perempuan diharapkan akan menjadi pengasuh keluarga sementara laki-laki menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Tulisan ini menganalisis masalah gender dan lingkungan dari level pengambil kebijakan di parlemen. Dengan menanyakan bagaimana kontribusi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia dalam isu lingkungan, tulisan ini akan mengangkat pembahasan tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sebagai studi kasus. Analisis akan dimulai dengan pembahasan mengenai representasi perempuan di parlemen dan dilanjutkan dengan diskusi mengenai perilaku legislatif mengenai isu lingkungan. Pembahasan dan perumusan UU Cipta Kerja menunjukkan beberapa hal yang menarik. Pertama, suara anggota parlemen perempuan untuk UU Cipta Kerja terlihat hanya mengikuti ideologi dan kepentingan partai politik mereka walaupun keberadaan undang-undang ini dikritik mengancam lingkungan hidup dan berdampak negatif terhadap perempuan pekerja. Terkait dengan poin pertama, keberadaan perempuan di parlemen tidak serta merta berdampak terhadap perumusan legislasi yang pro lingkungan. Rendahnya kualitas perwakilan subtantif ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti budaya partai politik yang bias terhadap perempuan dan rendahnya pemahaman tentang pengarusutamaan gender.