{"title":"Teologi Proses ala Barbour vs Kepercayaan Timur","authors":"Justiani Liem","doi":"10.22146/jf.72873","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Dalam dunia pemikiran modern, disintegrasi antara filsafat, sains-teknologi, dan teologi dianggap perlu untuk diintegrasikan kembali sehingga koheren setelah sekian abad berjalan sendiri-sendiri dan tidak jarang saling bertabrakan satu sama lain. Apalagi dengan perkembangan pesat teknologi yang telah menciptakan ketergantungan bagi manusia bahkan memunculkan berhala-berhala baru, ilah-ilah baru, tuhan-tuhan baru yang mengontrol hidup manusia, sadar atau tidak sadar. Sampai pada perkawinan neurosains dengan intelegensia buatan yang bisa menjelaskan banyak fenomena yang sebelumnya dianggap “magic” atau menurut agama adalah “mukjizat”, ternyata ilmiah, bukan mukjizat lagi. Barbour melanjutkan teologi proses Whitehead, mencoba meredefinisi pemahaman teologi tentang Kedirian Manusia (istilah ketimbang Kodrat Manusia) dari “The Selfness of Being” menjadi “The Selfness of Becoming”. Teologi Proses menawarkan sebuah jalan tengah antara kemahakuasaan (omnipotence) Allah dan ketidakberdayaan (impotence) Allah lalu merumuskan kembali kekuatan Ilahi lebih sebagai pemberdayaan daripada sebagai penguasaan yang menaklukkan. Dalam rangka melanjutkan upaya Barbour untuk mencari koherensi antara filsafat, sains-teknologi, dan teologi, maka tulisan ini memberi masukan dan koreksi atas pemikiran Barbour dan menyarankan agar menengok agama-agama Kuno yang masih bertahan dan termasuk salah satu yang penganutnya besar di belahan bumi Timur dan beberapa dekade belakangan eksistensinya merambah ke Barat, yang bisa menjelaskan secara koheren temuan-temuan teknologi terkini, dari sudut pandang lain tentunya, yakni pertemuan Barat dan Timur di sini. ","PeriodicalId":32273,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-11-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Filsafat","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.22146/jf.72873","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Dalam dunia pemikiran modern, disintegrasi antara filsafat, sains-teknologi, dan teologi dianggap perlu untuk diintegrasikan kembali sehingga koheren setelah sekian abad berjalan sendiri-sendiri dan tidak jarang saling bertabrakan satu sama lain. Apalagi dengan perkembangan pesat teknologi yang telah menciptakan ketergantungan bagi manusia bahkan memunculkan berhala-berhala baru, ilah-ilah baru, tuhan-tuhan baru yang mengontrol hidup manusia, sadar atau tidak sadar. Sampai pada perkawinan neurosains dengan intelegensia buatan yang bisa menjelaskan banyak fenomena yang sebelumnya dianggap “magic” atau menurut agama adalah “mukjizat”, ternyata ilmiah, bukan mukjizat lagi. Barbour melanjutkan teologi proses Whitehead, mencoba meredefinisi pemahaman teologi tentang Kedirian Manusia (istilah ketimbang Kodrat Manusia) dari “The Selfness of Being” menjadi “The Selfness of Becoming”. Teologi Proses menawarkan sebuah jalan tengah antara kemahakuasaan (omnipotence) Allah dan ketidakberdayaan (impotence) Allah lalu merumuskan kembali kekuatan Ilahi lebih sebagai pemberdayaan daripada sebagai penguasaan yang menaklukkan. Dalam rangka melanjutkan upaya Barbour untuk mencari koherensi antara filsafat, sains-teknologi, dan teologi, maka tulisan ini memberi masukan dan koreksi atas pemikiran Barbour dan menyarankan agar menengok agama-agama Kuno yang masih bertahan dan termasuk salah satu yang penganutnya besar di belahan bumi Timur dan beberapa dekade belakangan eksistensinya merambah ke Barat, yang bisa menjelaskan secara koheren temuan-temuan teknologi terkini, dari sudut pandang lain tentunya, yakni pertemuan Barat dan Timur di sini.