{"title":"PAHAM KENABIAN MIRZA GHULAM AHMAD MENURUT PERSPEKTIF JAMAAH AHMADIYAH LAHORE (GAI) DI INDONESIA","authors":"Sahid Al-Marwan, Hajam Hajam, Naila Farah","doi":"10.24235/jy.v7i2.9373","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"The tension that has occurred in dealing with Ahmadiyah so far has actually been triggered by a misunderstanding of the use of the term \"prophet\" which is used by Ahmadiyah in the context of Sufism, as the saints and Sufis also use it when the original charismatic leader (Ghulam) is used as a focal point of great respect and love, from the point of view of Sufism, the pattern is similar to that of the tarekat, because it emphasizes the bai'at in its membership. This study aims to (1) explain the Ahmadiyah teachings about Prophethood. Mirza Ghulam Ahmad (2) Understanding Ahmadiyah teachings that do not deviate from Islam brought by Muhammad SAW (3) Knowing the truth of Mirza Ghulam Ahmad's understanding who claims to have received revelation. This research is a qualitative research using a library research approach. Sources of data come from primary and secondary data, primary data, namely primary written sources and written sources using mechanical devices to witness the events being told (authentic sources and direct sources). Secondary data in the form of sources related to this research. Data collection techniques used are literature study and documentation study. The data analysis technique uses content analysis, data reduction and data YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 206 presentation techniques. The results show that the views of the Lahore Ahmadiyah congregation (GAI) in Indonesia generally focus on Mirza Ghulam's experience. Keyword: Propethic Meaning, Ahmadiyah, Mirza Ghulam, Lahore, GAI. A. PENDAHULUAN Masalah kenabian dalam Islam maupun agama lainnya, tidak hanya bersifat fundamental bagi para penganutnya, tetapi juga menimbulkan penafsiran yang rawan menimbulkan konflik horizontal di dalam kelompok-kelompok keagamaan agama-agama besar yang ada. Hingga sekarang, khususnya di dalam dunia Islam, masalah tersebut tetap dianggap belum tuntas dan kerap menjadi perselisihan internal. Sebab kenabian merupakan pokok inti keimanan, manakala terjadi distorsi atau penyimpangan pemahaman mengenainya oleh individu maupun kelompok, konsekuensi yang dapat diterimanyapun cukup serius. Salah satu contoh perbedaan pemahaman dalam Islam ialah tentang Nabi Muhammad saw sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Nabi dan Rasul merupakan hal sentral dalam sistem kepercayaan Islam dan terkait erat dengan semangat ajaran Islam. Telah umum diketahui, jika Nabi sering didefinisikan dengan laki-laki balig, berakal, berbudi pekerti baik dan diturunkan kepadanya wahyu. Jika wahyunya mengandung hukum-hukum baru yang belum terdapat dalam syariat sebelumnya, maka dia dinamakan sebagai Nabi yang membawa syariat baru. Sementara Ahmadiyah jika mereka tidak membawa syariat baru, maka dia dinamakan Nabi pembantu. Keanekaragaman pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam inilah yang kadang-kadang disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan al-Qur’an yang dapat melahirkan berbagai paham dan aliran keagamaan sebagaimana yang dialami Ahmadiyah. Bukan saja antar Jamaah Ahmadiyah sendiri, tetapi dengan kelompok keagamaan mainstream, yang dalam beberapa hal yang membedakannya adalah penafsiran mengenai pemahaman tentang kenabian, konsep tentang wahyu, dan kedatangan Nabi Isa yang 1 Eni Zulaiha, “Fenomena Nabi dan Kenabian dalam Perspektif AlQuran,” Al Bayan: Jurnal Studi AlQur’an dan Tafsir 1, no. 2 (2016): 149–64. 2 Nurcholis Majid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. oleh Budy Munawar Rahman, 2 ed. (Jakarta: Paramadina, 1995). 3 M Ahmad Nuruddin, “Falsafah Kenabian, Jemaat Ahmadiyah Indonesia” (Bogor, 1999). 4 Ahmad Fidyani Syaifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam (Jakarta: Rajawali, 1986). YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 207 kedua karena hal tersebut terdokumentasikan dalam alQur’an, untuk kebanyakan umat Islam di Indonesia, bertentangan dengan doktrin Muhammad saw sebagai Khotamil Anbiya yang merupakan hal yang final. Sementara, Mirza Ghulam Ahmad menegaskan diri sosok messiah yang mendapatkan wahyu, tampaknya dianggap keliru meskipun sebuah doktrin yang sebetulnya terdapat pula di dalam agama lain. Sebenarnya, kenabian yang menimbulkan kontroversi tersebut, telah dijernihkan dengan pernyataan “Tidak ada Nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw, baik Nabi lama maupun Nabi baru”, sambil merujuk sabda Nabi saw “Lâ nabiyya ba’dî”. Oleh karena itu, jika orang mau memperhatikan fakta ini, maka kontroversi klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seharusnya telah berakhir. Pada dasarnya, tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Nabi tidaklah sesuai dengan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sendiri, tetapi hanya merupakan kesalah pahaman saja yang lahir ketika internal umat Islam pada masanya, baik di India maupun luar India, berada pada kondisi yang memprihatinkan dan mengalami kemunduran, termasuk dalam bidang keagamaan. Dalam konteks ini, Ahmadiyah lahir sebagai protes atas kemorosotan Islam pada saat itu yang sebagian besar di bawah cengkraman kolonialisme negara-negara Barat. Sangat mungkin keberadaan Jamaah Ahmadiyah di Indonesia pada fase awal perkembangannya berangsur-angsur dapat diterima di Indonesia, hingga diakui secara sah mendapatkan badan Hukum berdasarkan Surat Keputusan Menkeh RI No.JA5/23/13 tanggal 13 Maret 1952 (Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 No.26), serta terdaftar di Depag RI tanggal 2 Maret 1970 dengan No.046/J/1970 dan di Depsos dengan No. D-V/70 tanggal 15 Mei 1970. Tetapi, tidak demikian dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah Indonesia mengeluarkan fatwa MUI Tahun 2005 dan Tahun 2007, yang masing-masing membahas dan menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah ajaran sesat. Keputusan bersama kementerian mengeluarkan komunitas Muslim Ahmadiyah untuk berdakwah dengan hukuman lima 5 Syarif Ahmad Lubis, Jemaat Ahmadiyah: Sebuah Pengantar (Parung: JAI, 1994). 6 Barsihannor, Haruskah Membenci Ahmadiyah (Yogyakarta: Kota Kembang, 2009). 7 Mulyono, “Ahmadiyah Pasca Fatwa,” ahmadiyah.org, 2012, https://ahmadiyah.org/ahmadiyah-pascafatwa/. 8 Ajid Thohir dan Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan, Melacak Perkembangan Sosial, Politik Islam di India, Pakistan dan Bangladesh (Bandung: Humaniora, 2006). 9 Barsihannor, Haruskah Membenci Ahmadiyah. YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 208 tahun penjara atas penodaan agama. Meski fatwa-fatwa MUI memang tidak memiliki otoritas hukum yang mengikat, namun fatwa mereka sanggup memobilisasi opini publik, sedangkan pemerintah sendiri kerap menganggapnya sebagai pertimbangan penting dalam mengambil keputusan. Mubaligh Besar Ahmadiyah Lahore pernah mengklarifikasi fatwa tersebut kepada MUI agar tidak menimbulkan salah tafsir. Di sana diketahui jika pernyataan ajaran sesat yang dikeluarkan MUI ditujukan kepada JAI. “Hanya saja sampai sekarang fatwa tersebut tak juga direvisi”, namun pengakuan semacam inipun ditolak oleh kebanyakan umat Islam. Bagaimanapun, baik Ahmadiyah Indonesia cabang Lahore (GAI), maupun cabang Qodian (JAI), telah menjadi kecenderungan untuk dilihat sebagai gerakan sempalan baik pandangan Ahmadiyah Lahore, Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid (pembaharu) dan bukan Nabi sebagaimana yang diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah Qadian Mirza adalah Al Imam Mahdi yang turun setelah Muhammad saw tetapi tidak membawa syariah baru, juga tidak satu ayat pun di al-Qur’an yang dikurangi atau tambahkan tetap mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai khatam al-nabiyyin, yakni sebagai Nabi yang paling sempurna dan Nabi terakhir pembawa syariat. Ketegangan yang terjadi dalam menyikapi Ahmadiyah selama ini sesungguhnya dipicu oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan istilah “Nabi” yang terjadi pada MUI, terhadap penggunaan kata “Nabi” yang digunakan Ahmadiyah dalam konteks tasawuf, sebagaimana para wali dan para sufi juga menggunakannya ketika pemimpin kharismatik aslinya (Ghulam) dijadikan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa, dari kacamata tasawuf, pola ini mirip dengan tarekat, karena menekankan bai’at dalam keanggotaannya. 10 Amin Mudzakkir, “Minoritasi Ahmadiyah di Indonesia,” Masyarakat Indonesia: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia 37, no. 2 (2011): 1–24. 11 Maman Sutirman, Kunto Sofianto, dan Agus Nero Sofyan, “Respons Jemaat Ahmadiyah Indonesia terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia serta Kajian dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam,” Sosio Humanika 12, no. 2 (2019): 105–20. 12 Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik (Yogyakarta: Gading, 2013). Terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu; sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik oleh pemerintah. 13 M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’an (Jakarta: LIPI, 2003). 14 Ida Novianti, “Kenabian Mirza Ghulam Ahmad” (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2006). 15 Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. 16 Agus Riyadi, “Tarekat sebagai Organisasi Tasawuf (Melacak Peran Tarekat dalam Perkembangan Dakwah Islamiyah),” Jurnal at-Taqaddum 6, no. 2 (2014): 359–85. YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 209 Sebagaimana yang dicatat John L. Esposito inti pemikiran Ahmadiyah adalah profetologi, yang inspirasinya berasal dari sufi besar Abad Pertengahan, Muhyîdin ibn alArabi (1165-1240) mengemukakan dalil tentang suksesi berkesinambungan “Nabi-Nabi tak bersyari’at” sepeninggal Nabi Muhammad saw. Dengan menyebut pendirinya berstatus jurus selamat dan Nabi, gerakan Ahmadiyah membangkitkan pertentangan sengit dari kaum muslim Sunni. Ia dituduh telah mengingkari dogma bahwa Muhammad saw merupakan Nabi terakhir. Sayangnya, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia mulai dihargai hanya baru oleh sebagaian kalangan moderat, dan klaim ajaran sesat yang telah lama melekat karena menempatkan status Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi, dan pengukuhan maksud pengagungan pada Mirza Gulam Ahmad tetap belum dipahami oleh sebagian besar umat I","PeriodicalId":34854,"journal":{"name":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-12-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Yaqzhan Analisis Filsafat Agama dan Kemanusiaan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24235/jy.v7i2.9373","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
The tension that has occurred in dealing with Ahmadiyah so far has actually been triggered by a misunderstanding of the use of the term "prophet" which is used by Ahmadiyah in the context of Sufism, as the saints and Sufis also use it when the original charismatic leader (Ghulam) is used as a focal point of great respect and love, from the point of view of Sufism, the pattern is similar to that of the tarekat, because it emphasizes the bai'at in its membership. This study aims to (1) explain the Ahmadiyah teachings about Prophethood. Mirza Ghulam Ahmad (2) Understanding Ahmadiyah teachings that do not deviate from Islam brought by Muhammad SAW (3) Knowing the truth of Mirza Ghulam Ahmad's understanding who claims to have received revelation. This research is a qualitative research using a library research approach. Sources of data come from primary and secondary data, primary data, namely primary written sources and written sources using mechanical devices to witness the events being told (authentic sources and direct sources). Secondary data in the form of sources related to this research. Data collection techniques used are literature study and documentation study. The data analysis technique uses content analysis, data reduction and data YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 206 presentation techniques. The results show that the views of the Lahore Ahmadiyah congregation (GAI) in Indonesia generally focus on Mirza Ghulam's experience. Keyword: Propethic Meaning, Ahmadiyah, Mirza Ghulam, Lahore, GAI. A. PENDAHULUAN Masalah kenabian dalam Islam maupun agama lainnya, tidak hanya bersifat fundamental bagi para penganutnya, tetapi juga menimbulkan penafsiran yang rawan menimbulkan konflik horizontal di dalam kelompok-kelompok keagamaan agama-agama besar yang ada. Hingga sekarang, khususnya di dalam dunia Islam, masalah tersebut tetap dianggap belum tuntas dan kerap menjadi perselisihan internal. Sebab kenabian merupakan pokok inti keimanan, manakala terjadi distorsi atau penyimpangan pemahaman mengenainya oleh individu maupun kelompok, konsekuensi yang dapat diterimanyapun cukup serius. Salah satu contoh perbedaan pemahaman dalam Islam ialah tentang Nabi Muhammad saw sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Nabi dan Rasul merupakan hal sentral dalam sistem kepercayaan Islam dan terkait erat dengan semangat ajaran Islam. Telah umum diketahui, jika Nabi sering didefinisikan dengan laki-laki balig, berakal, berbudi pekerti baik dan diturunkan kepadanya wahyu. Jika wahyunya mengandung hukum-hukum baru yang belum terdapat dalam syariat sebelumnya, maka dia dinamakan sebagai Nabi yang membawa syariat baru. Sementara Ahmadiyah jika mereka tidak membawa syariat baru, maka dia dinamakan Nabi pembantu. Keanekaragaman pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam inilah yang kadang-kadang disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan al-Qur’an yang dapat melahirkan berbagai paham dan aliran keagamaan sebagaimana yang dialami Ahmadiyah. Bukan saja antar Jamaah Ahmadiyah sendiri, tetapi dengan kelompok keagamaan mainstream, yang dalam beberapa hal yang membedakannya adalah penafsiran mengenai pemahaman tentang kenabian, konsep tentang wahyu, dan kedatangan Nabi Isa yang 1 Eni Zulaiha, “Fenomena Nabi dan Kenabian dalam Perspektif AlQuran,” Al Bayan: Jurnal Studi AlQur’an dan Tafsir 1, no. 2 (2016): 149–64. 2 Nurcholis Majid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. oleh Budy Munawar Rahman, 2 ed. (Jakarta: Paramadina, 1995). 3 M Ahmad Nuruddin, “Falsafah Kenabian, Jemaat Ahmadiyah Indonesia” (Bogor, 1999). 4 Ahmad Fidyani Syaifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam (Jakarta: Rajawali, 1986). YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 207 kedua karena hal tersebut terdokumentasikan dalam alQur’an, untuk kebanyakan umat Islam di Indonesia, bertentangan dengan doktrin Muhammad saw sebagai Khotamil Anbiya yang merupakan hal yang final. Sementara, Mirza Ghulam Ahmad menegaskan diri sosok messiah yang mendapatkan wahyu, tampaknya dianggap keliru meskipun sebuah doktrin yang sebetulnya terdapat pula di dalam agama lain. Sebenarnya, kenabian yang menimbulkan kontroversi tersebut, telah dijernihkan dengan pernyataan “Tidak ada Nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw, baik Nabi lama maupun Nabi baru”, sambil merujuk sabda Nabi saw “Lâ nabiyya ba’dî”. Oleh karena itu, jika orang mau memperhatikan fakta ini, maka kontroversi klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seharusnya telah berakhir. Pada dasarnya, tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Nabi tidaklah sesuai dengan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sendiri, tetapi hanya merupakan kesalah pahaman saja yang lahir ketika internal umat Islam pada masanya, baik di India maupun luar India, berada pada kondisi yang memprihatinkan dan mengalami kemunduran, termasuk dalam bidang keagamaan. Dalam konteks ini, Ahmadiyah lahir sebagai protes atas kemorosotan Islam pada saat itu yang sebagian besar di bawah cengkraman kolonialisme negara-negara Barat. Sangat mungkin keberadaan Jamaah Ahmadiyah di Indonesia pada fase awal perkembangannya berangsur-angsur dapat diterima di Indonesia, hingga diakui secara sah mendapatkan badan Hukum berdasarkan Surat Keputusan Menkeh RI No.JA5/23/13 tanggal 13 Maret 1952 (Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 No.26), serta terdaftar di Depag RI tanggal 2 Maret 1970 dengan No.046/J/1970 dan di Depsos dengan No. D-V/70 tanggal 15 Mei 1970. Tetapi, tidak demikian dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah Indonesia mengeluarkan fatwa MUI Tahun 2005 dan Tahun 2007, yang masing-masing membahas dan menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah ajaran sesat. Keputusan bersama kementerian mengeluarkan komunitas Muslim Ahmadiyah untuk berdakwah dengan hukuman lima 5 Syarif Ahmad Lubis, Jemaat Ahmadiyah: Sebuah Pengantar (Parung: JAI, 1994). 6 Barsihannor, Haruskah Membenci Ahmadiyah (Yogyakarta: Kota Kembang, 2009). 7 Mulyono, “Ahmadiyah Pasca Fatwa,” ahmadiyah.org, 2012, https://ahmadiyah.org/ahmadiyah-pascafatwa/. 8 Ajid Thohir dan Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan, Melacak Perkembangan Sosial, Politik Islam di India, Pakistan dan Bangladesh (Bandung: Humaniora, 2006). 9 Barsihannor, Haruskah Membenci Ahmadiyah. YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 208 tahun penjara atas penodaan agama. Meski fatwa-fatwa MUI memang tidak memiliki otoritas hukum yang mengikat, namun fatwa mereka sanggup memobilisasi opini publik, sedangkan pemerintah sendiri kerap menganggapnya sebagai pertimbangan penting dalam mengambil keputusan. Mubaligh Besar Ahmadiyah Lahore pernah mengklarifikasi fatwa tersebut kepada MUI agar tidak menimbulkan salah tafsir. Di sana diketahui jika pernyataan ajaran sesat yang dikeluarkan MUI ditujukan kepada JAI. “Hanya saja sampai sekarang fatwa tersebut tak juga direvisi”, namun pengakuan semacam inipun ditolak oleh kebanyakan umat Islam. Bagaimanapun, baik Ahmadiyah Indonesia cabang Lahore (GAI), maupun cabang Qodian (JAI), telah menjadi kecenderungan untuk dilihat sebagai gerakan sempalan baik pandangan Ahmadiyah Lahore, Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid (pembaharu) dan bukan Nabi sebagaimana yang diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah Qadian Mirza adalah Al Imam Mahdi yang turun setelah Muhammad saw tetapi tidak membawa syariah baru, juga tidak satu ayat pun di al-Qur’an yang dikurangi atau tambahkan tetap mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai khatam al-nabiyyin, yakni sebagai Nabi yang paling sempurna dan Nabi terakhir pembawa syariat. Ketegangan yang terjadi dalam menyikapi Ahmadiyah selama ini sesungguhnya dipicu oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan istilah “Nabi” yang terjadi pada MUI, terhadap penggunaan kata “Nabi” yang digunakan Ahmadiyah dalam konteks tasawuf, sebagaimana para wali dan para sufi juga menggunakannya ketika pemimpin kharismatik aslinya (Ghulam) dijadikan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa, dari kacamata tasawuf, pola ini mirip dengan tarekat, karena menekankan bai’at dalam keanggotaannya. 10 Amin Mudzakkir, “Minoritasi Ahmadiyah di Indonesia,” Masyarakat Indonesia: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia 37, no. 2 (2011): 1–24. 11 Maman Sutirman, Kunto Sofianto, dan Agus Nero Sofyan, “Respons Jemaat Ahmadiyah Indonesia terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia serta Kajian dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam,” Sosio Humanika 12, no. 2 (2019): 105–20. 12 Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik (Yogyakarta: Gading, 2013). Terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu; sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik oleh pemerintah. 13 M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’an (Jakarta: LIPI, 2003). 14 Ida Novianti, “Kenabian Mirza Ghulam Ahmad” (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2006). 15 Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. 16 Agus Riyadi, “Tarekat sebagai Organisasi Tasawuf (Melacak Peran Tarekat dalam Perkembangan Dakwah Islamiyah),” Jurnal at-Taqaddum 6, no. 2 (2014): 359–85. YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, Desember 2021 Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 209 Sebagaimana yang dicatat John L. Esposito inti pemikiran Ahmadiyah adalah profetologi, yang inspirasinya berasal dari sufi besar Abad Pertengahan, Muhyîdin ibn alArabi (1165-1240) mengemukakan dalil tentang suksesi berkesinambungan “Nabi-Nabi tak bersyari’at” sepeninggal Nabi Muhammad saw. Dengan menyebut pendirinya berstatus jurus selamat dan Nabi, gerakan Ahmadiyah membangkitkan pertentangan sengit dari kaum muslim Sunni. Ia dituduh telah mengingkari dogma bahwa Muhammad saw merupakan Nabi terakhir. Sayangnya, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia mulai dihargai hanya baru oleh sebagaian kalangan moderat, dan klaim ajaran sesat yang telah lama melekat karena menempatkan status Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi, dan pengukuhan maksud pengagungan pada Mirza Gulam Ahmad tetap belum dipahami oleh sebagian besar umat I
张力发生在处理Ahmadiyah迄今为止已经引发的误解的使用阿莫所使用的术语“先知”,这是在苏菲的上下文中,圣人和苏菲派还用它当原始魅力的领袖(Ghulam)作为焦点的尊重和爱,从的角度来看苏菲,tarekat模式是相似的,因为它强调了白特在其成员。本研究旨在(1)解释艾哈迈迪亚教关于先知的教义。米尔扎·古拉姆·艾哈迈德(Mirza Ghulam Ahmad)(2)了解穆罕默德带来的不偏离伊斯兰教的艾哈迈迪派教义(3)了解米尔扎·古拉姆·艾哈迈德(Mirza Ghulam Ahmad)的理解的真相,他声称自己已经得到了启示。本研究采用图书馆研究方法进行定性研究。资料来源来自一手资料和第二手资料,一手资料,即一手书面资料和使用机械装置见证所讲述事件的书面资料(真实资料和直接资料)。与本研究相关的来源形式的二手数据。使用的数据收集技术有文献研究法和文献研究法。数据分析技术使用内容分析,数据简化和数据YAQZHAN | Volume 07, Nomor 02, 2021年12月Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 206演示技术。研究结果表明,印度尼西亚拉合尔艾哈迈迪亚教会(Lahore Ahmadiyah congregation, GAI)的观点主要集中在Mirza Ghulam的经历上。关键词:预言意义,艾哈迈迪耶,米尔扎·古拉姆,拉合尔,GAI。A. PENDAHULUAN Masalah kenabian dalam Islam maupun agama lainnya, tidak hanya bersiat fundamental bagi para penganutnya, tetapi juga menimbulkan penafsiran yang rawan menimbulkan konflik horizontal di dalam kelompok keagamaan agama-agama besar yang ada。hinga sekarang, khususnya di dalam dunia Islam, masalah tersebut tetap dianggap belum tuntas dan kerap menjadi perselisihan internal。Sebab kenabian merupakan pokok inti keimanan, manakala terjadi。Salah satu contoh perbedaan pemahaman dalam Islam ialah tentang Nabi穆罕默德看到了sebagai penutup para Nabi dan Rasul。Nabi dan Rasul merupakan hal中央dalam系统kepercayaan Islam. terkait erat dengan semangat ajaran Islam。我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。中文意思:我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。Sementara Ahmadiyah jika mereka tidak membawa syariariu, maka dia dinamakan Nabi pembantu。Keanekaragaman pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam inilah yang kadang-kadang disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan al-古兰经yang dapat melahirkan berbagai paham dan aliran keagamaan sebagaimana yang dialami Ahmadiyah。Bukan saja antar Jamaah Ahmadiyah sendiri, tetapi dengan kelompok keagamaan主流,yang dalam beberapa hal yang, konsep tentang wahyu, dan kedatangan Nabi Isa yang 1, Eni Zulaiha,“Nabi dan kenabian dalam Perspektif Al -古兰经”,Al - Bayan: Al -古兰经研究杂志1,第1期。2(2016): 149-64。2 Nurcholis Majid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah . oleh Budy Munawar Rahman, 2版(雅加达:Paramadina, 1995)。3 M Ahmad Nuruddin,“Falsafah Kenabian, Jemaat Ahmadiyah Indonesia”(茂物,1999年)。4 Ahmad Fidyani Syaifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam(雅加达:Rajawali, 1986)。YAQZHAN |第07卷,第02期,2021年12月Sahid Al-Marwan1, Hajam2 | 207 kedua karena hal tersebut terdokumentasikan dalam alQur 'an, untuk kebanyakan umat Islam di Indonesia, bertentangan dengan doktrin Muhammad saw sebagai Khotamil Anbiya yang merupakan hal yang final。Sementara, Mirza Ghulam Ahmad menegaskan diri sosok messiah yang mendapatkan wahyu, tampaknya dianggap keliru meskipun sebuah doktrin yang sebetulnya terdapat pula di dalam agama lain。sebenarya, kenabian yang menimbulkan kontroversi tersebut, telah dijernihkan dengan pernyataan " Tidak ada Nabi sesudah Nabi sui Muhammad saw, baik Nabi lama maupun Nabi baru ", sambil merujuk sabda Nabi saw " l<s:2> nabiyya ba 'dî "。Oleh karena, jika orang mao成员,hatikan fakta ini, maka kontroversi klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seharusnya telah berakhir。Mirza Ghulam Ahmad sendiri, tetapi hanya merupakan kesalah pahaman saja yang lahir ketika internal umat Islam Pada masanya, baik di India maupun luar India, berada Pada kondisi yang memprihatinkan dan mengalami kemunduran, termasuk dalam bidang keagamaan。 在这种背景下,Ahmadiyah出生是为了抗议当时伊斯兰教在西方殖民主义统治下的衰落。在其发展的早期阶段,牙买加Ahmadiyah在印尼的存在仍有可能在印尼逐渐被接受,直到根据孟德尔法院的裁决获得法律实体的承认为止。1952年3月13日。1970年5月15日。但随后的事态发展却有所不同,印尼政府在2005年和2007年发布了《宗教法》,分别讨论并宣称伊斯兰教是异端邪说。联合政府决定驱逐穆斯林社区艾哈迈德·卢比斯(Ahmadiyah),判处5人判刑,刑罚是:介绍(Parung: JAI, 1994年)。巴西汉诺,应该恨阿马迪亚(日惹:布隆市,2009年)。7 Mulyono,“Ahmadiyah post Fatwa”,ah马迪亚org, 2012年,https://ah马迪ya.org/ah马迪-战后fatwawa/。8南亚伊斯兰教的Ajid Thohir和Ading Kusdiana追踪印度、巴基斯坦和孟加拉国的伊斯兰社会、政治发展(万隆:Humaniora, 2006)。9 Barsihannor,应该憎恨Ahmadiyah。YAQZHAN |音量07号02、2021年12月烈士Al-Marwan1 Hajam2亵渎宗教的旗号| 208年监禁。虽然梅的教令没有约束力的法律权威,但他们能够动员公众舆论,而政府自己通常认为这是一个重要的决定因素。伟大的Mubaligh ah马迪亚拉合尔曾经向梅澄清法令,以免造成误解。据了解,梅的错误教义声明是针对洁的。“只是到目前为止,这项法令还没有得到修订,”但大多数穆斯林拒绝了这一承认。然而,无论是Ahmadiyah印度尼西亚分会名称拉合尔(GAI),分会名称Qodian(洁),已经成为被视为分裂运动好Ahmadiyah拉合尔的观点倾向,米尔扎Ghulam Ahmad是mujaddid(改革派)而不是Ahmadiyah众先知所认为的米尔扎Qadian穆罕默德看到后是艾尔马赫迪的下降却没有带来了新的伊斯兰教法,在《古兰经》中,也没有一段经文被删去或增加,继续相信先知穆罕默德(愿和平与祝福降临到他身上,他是最完美的先知,也是最后一位预言者。发生了紧张应对Ahmadiyah里,而这事实上是由误会发生在梅的“先知”一词的使用,对使用“先知”一词的使用Ahmadiyah tasawuf的语境中,正如有魅力的监护人和苏菲派们也用它当领导人原件(Ghulam)成为焦点的敬意和伟大的爱,和会众和tasawuf眼镜,这个模式相似,因为他强调他的会员资格。10 . Amin Mudzakkir,“印度尼西亚对Ahmadiyah的调查”,印度尼西亚社会杂志:2(2011): 1——24。11 . Maman Sutirman, Kunto Sofianto和Agus Nero Sofyan,“印尼会众对印尼神职人员委员会的教令,以及伊斯兰研究院的审查”,第12章,第12节。2(2019): 105——20。12 Martin van Bruinessen,人民、伊斯兰教和政治(日惹:象牙,2013)。主要是对安全稳定和立即禁止它的威胁。因为它;很难区分党派运动和政府禁止的运动或政治反对派运动。公元13年,阿门·Djamaluddin, Ahmadiyah和盗版古兰经(雅加达:LIPI, 2003)。14 Ida Novianti,“prophet Mirza Ghulam Ahmad”(Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2006)。15 . Bruinessen,人民,伊斯兰教和政治。16 . Agus Riyadi,“Tarekat作为一个组织Tasawuf(跟踪Tarekat在Dakwah Islamiyah的发展中所起的作用),”at-Taqaddum 6号2(2014): 359—85。YAQZHAN |音量07号02、2021年12月烈士Al-Marwan1 Hajam2 | 209所记载的John L .埃斯波西托Ahmadiyah思维本质是profetologi,苏菲的灵感来自中世纪,Muhyidin ibn alArabi大先知书(1165-1240)可持续发展提出了关于继承权的定理,“不bersyari 'at“先知穆罕默德去世后看到。伊斯兰运动称其创始人为“幸存者”和“先知”,引发了逊尼派穆斯林的强烈反对。他被指控否认穆罕默德(愿和平与祝福降临到他身上)是最后一位先知的教义。 不幸的是,阿马迪耶在印尼的存在只被温和的人所认识,也被长期以来一直宣称的异端邪说所固有,因为它将米尔扎·古拉姆·艾哈迈德(Mirza Gulam Ahmad)的地位置于先知地位,以及坚信对米尔扎·古拉姆·艾哈迈德(Ahmad Gulam Ahmad)的崇敬之心