{"title":"布拉克的爪哇当代肖像a€œ€:文化在爪哇岛中部PASCA-REFORMASI酒精饮料的描述","authors":"I. Nugraha","doi":"10.24832/JK.V12I1.163","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"AbstakKebudayaan Jawa secara popular senantiasa terdeskripsikan dalam nuansa romantis. Deskripsi popular dapat terlihat pada pengimajinasian budaya Jawa selalu termanifestasikan dalam rupanya yang ideal. Pengamatan mengenai minuman beralkohol di Jawa Tengah menunjukkan pertentangan dalam pandangan wacana Kebudayaan Jawa secara popular, terutama ketika memperbandingkan keberadaan minuman beralkohol dengan manifestasi budaya Jawa yang dianggap ideal. Temuan etnografis menunjukkan ciu dan lapen sebagai minuman beralkohol lokal tidak terujuk sebagai representasi ideal, akan tetapi peminumnya memandangnya sebagai salah satu manifestasi budaya Jawa. Permasalahan mengemuka ketika acara tradisional seperti jagongan (seremoni sosial yang hadir saat ritus kehidupan) yang berfungsi untuk mewadahi terjadinya praktik konsumsi minuman beralkohol melenyap. Peminum minuman beralkhol lokal yang umumnya dirujuk sebagai kelompok abangan kini tidak dapat mengonsumsinya secara terbuka akibat berkembangnya gerakan Islam. Temuan dalam tulisan ini tidak sekadar mempertegas pembedaan konsepsi manifestasi budaya yang ideal dalam wacana kebudayaan Jawa secara popular, namun juga mengamati timbulnya ketegangan antara gerakan revitalisasi adat serta gerakan Islam di Jawa Tengah sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Kajian mengenai budaya dan konsumsi minuman beralkohol sekiranya dapat menggambarkan dinamika yang terjadi pada masyarakat Jawa kontemporer.AbstracThe Javanese culture has been described in the popular discourse as having a romantic sense. Javanese cultural manifestation is imagined to always have an ideal form. My observation presents a paradox when I examine the disctinction between Javanese alcoholic drinks and another cultural manifestation that are perceived as an ideal. In my short ethnographic finding, I found out ciu and lapen as local alcoholic beverages are not considered as an ideal representation of Javanese cultural manifestation. The problem emerges when the traditional ceremony like jagongan (a form of social ceremony in rites of passage) that functions as a drinking haven in the past was faded. The drinker who is generally associated with abangan cannot publicly consume the local alcoholic beverages because the presence of Islam movement. I argue that my finding is not only to show the disctinction of cultural manifestation in the Java popular cultural discourse, but also to capture the tension between the revitalization of adat (customary law) and Islamic movement in Java which are part of the process of democratization in Indonesia. The study on alcohol drinking culture and practice could picture the dynamic of contemporary Java society. ","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"2 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-11-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"POTRET KONTEMPORER “JAWA YANG LAINâ€: DESKRIPSI KEBUDAYAAN MINUMAN BERALKOHOL DI JAWA TENGAH PASCA-REFORMASI\",\"authors\":\"I. Nugraha\",\"doi\":\"10.24832/JK.V12I1.163\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"AbstakKebudayaan Jawa secara popular senantiasa terdeskripsikan dalam nuansa romantis. Deskripsi popular dapat terlihat pada pengimajinasian budaya Jawa selalu termanifestasikan dalam rupanya yang ideal. Pengamatan mengenai minuman beralkohol di Jawa Tengah menunjukkan pertentangan dalam pandangan wacana Kebudayaan Jawa secara popular, terutama ketika memperbandingkan keberadaan minuman beralkohol dengan manifestasi budaya Jawa yang dianggap ideal. Temuan etnografis menunjukkan ciu dan lapen sebagai minuman beralkohol lokal tidak terujuk sebagai representasi ideal, akan tetapi peminumnya memandangnya sebagai salah satu manifestasi budaya Jawa. Permasalahan mengemuka ketika acara tradisional seperti jagongan (seremoni sosial yang hadir saat ritus kehidupan) yang berfungsi untuk mewadahi terjadinya praktik konsumsi minuman beralkohol melenyap. Peminum minuman beralkhol lokal yang umumnya dirujuk sebagai kelompok abangan kini tidak dapat mengonsumsinya secara terbuka akibat berkembangnya gerakan Islam. Temuan dalam tulisan ini tidak sekadar mempertegas pembedaan konsepsi manifestasi budaya yang ideal dalam wacana kebudayaan Jawa secara popular, namun juga mengamati timbulnya ketegangan antara gerakan revitalisasi adat serta gerakan Islam di Jawa Tengah sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Kajian mengenai budaya dan konsumsi minuman beralkohol sekiranya dapat menggambarkan dinamika yang terjadi pada masyarakat Jawa kontemporer.AbstracThe Javanese culture has been described in the popular discourse as having a romantic sense. Javanese cultural manifestation is imagined to always have an ideal form. My observation presents a paradox when I examine the disctinction between Javanese alcoholic drinks and another cultural manifestation that are perceived as an ideal. In my short ethnographic finding, I found out ciu and lapen as local alcoholic beverages are not considered as an ideal representation of Javanese cultural manifestation. The problem emerges when the traditional ceremony like jagongan (a form of social ceremony in rites of passage) that functions as a drinking haven in the past was faded. The drinker who is generally associated with abangan cannot publicly consume the local alcoholic beverages because the presence of Islam movement. I argue that my finding is not only to show the disctinction of cultural manifestation in the Java popular cultural discourse, but also to capture the tension between the revitalization of adat (customary law) and Islamic movement in Java which are part of the process of democratization in Indonesia. The study on alcohol drinking culture and practice could picture the dynamic of contemporary Java society. \",\"PeriodicalId\":31479,\"journal\":{\"name\":\"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam\",\"volume\":\"2 1\",\"pages\":\"\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2018-11-16\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.24832/JK.V12I1.163\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24832/JK.V12I1.163","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
POTRET KONTEMPORER “JAWA YANG LAINâ€: DESKRIPSI KEBUDAYAAN MINUMAN BERALKOHOL DI JAWA TENGAH PASCA-REFORMASI
AbstakKebudayaan Jawa secara popular senantiasa terdeskripsikan dalam nuansa romantis. Deskripsi popular dapat terlihat pada pengimajinasian budaya Jawa selalu termanifestasikan dalam rupanya yang ideal. Pengamatan mengenai minuman beralkohol di Jawa Tengah menunjukkan pertentangan dalam pandangan wacana Kebudayaan Jawa secara popular, terutama ketika memperbandingkan keberadaan minuman beralkohol dengan manifestasi budaya Jawa yang dianggap ideal. Temuan etnografis menunjukkan ciu dan lapen sebagai minuman beralkohol lokal tidak terujuk sebagai representasi ideal, akan tetapi peminumnya memandangnya sebagai salah satu manifestasi budaya Jawa. Permasalahan mengemuka ketika acara tradisional seperti jagongan (seremoni sosial yang hadir saat ritus kehidupan) yang berfungsi untuk mewadahi terjadinya praktik konsumsi minuman beralkohol melenyap. Peminum minuman beralkhol lokal yang umumnya dirujuk sebagai kelompok abangan kini tidak dapat mengonsumsinya secara terbuka akibat berkembangnya gerakan Islam. Temuan dalam tulisan ini tidak sekadar mempertegas pembedaan konsepsi manifestasi budaya yang ideal dalam wacana kebudayaan Jawa secara popular, namun juga mengamati timbulnya ketegangan antara gerakan revitalisasi adat serta gerakan Islam di Jawa Tengah sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Kajian mengenai budaya dan konsumsi minuman beralkohol sekiranya dapat menggambarkan dinamika yang terjadi pada masyarakat Jawa kontemporer.AbstracThe Javanese culture has been described in the popular discourse as having a romantic sense. Javanese cultural manifestation is imagined to always have an ideal form. My observation presents a paradox when I examine the disctinction between Javanese alcoholic drinks and another cultural manifestation that are perceived as an ideal. In my short ethnographic finding, I found out ciu and lapen as local alcoholic beverages are not considered as an ideal representation of Javanese cultural manifestation. The problem emerges when the traditional ceremony like jagongan (a form of social ceremony in rites of passage) that functions as a drinking haven in the past was faded. The drinker who is generally associated with abangan cannot publicly consume the local alcoholic beverages because the presence of Islam movement. I argue that my finding is not only to show the disctinction of cultural manifestation in the Java popular cultural discourse, but also to capture the tension between the revitalization of adat (customary law) and Islamic movement in Java which are part of the process of democratization in Indonesia. The study on alcohol drinking culture and practice could picture the dynamic of contemporary Java society.Â