{"title":"Factors causing the ineffectiveness of Good Corporate Governance in preventing Corruption in State-Owned Enterprises","authors":"Prianto Budi Saptono, Dwi Purwanto","doi":"10.32697/integritas.v8i1.870","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji apa yang menyebabkan tidak efektifnya good corporate governance (GCG) dalam pencegahan korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil riset menunjukan bahwa GCG belum efektif mencegah korupsi di BUMN karena dipengaruhi oleh Faktor Komunikasi, Faktor Sumber Daya, Faktor Disposisi (sikap), dan Faktor Birokrasi. BUMN menerapkan program pengendalian gratifikasi untuk mencegah korupsi dengan membentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) yang berfungsi sebagai unit layanan dan informasi (help desk) pengendalian gratifikasi. Selain itu, perusahaan juga menyediakan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system). Sistem ini disediakan bagi pegawai/pejabat BUMN dan masyarakat yang ingin melaporkan suatu tindakan yang berindikasi pelanggaran di lingkungan BUMN. Namun, program tersebut belum efektif dalam mengurangi dan menghilangkan perilaku koruptif pegawai/pejabat BUMN karena kurangnya nilai kepemimpinan, integritas dan nilai-nilai anti korupsi dari pegawai/pejabat BUMN dalam pencegahan korupsi. UPG juga tidak fokus dalam pencegahan korupsi. Selain itu, pelaksana kebijakan seringkali gagal dalam menjalankan tugasnya karena rasa sungkan dan ketakutan untuk menerapkan kebijakan pengendalian korupsi. \nPenelitian ini bertujuan untuk mengkaji apa yang menyebabkan tidak efektifnya good corporate governance (GCG) dalam pencegahan korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil riset menunjukan bahwa GCG belum efektif mencegah korupsi di BUMN karena dipengaruhi oleh Faktor Komunikasi, Faktor Sumber Daya, Faktor Disposisi (sikap), dan Faktor Birokrasi. BUMN menerapkan program pengendalian gratifikasi untuk mencegah korupsi dengan membentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) yang berfungsi sebagai unit layanan dan informasi (help desk) pengendalian gratifikasi. Selain itu, perusahaan juga menyediakan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system). Sistem ini disediakan bagi pegawai/pejabat BUMN dan masyarakat yang ingin melaporkan suatu tindakan yang berindikasi pelanggaran di lingkungan BUMN. Namun, program tersebut belum efektif dalam mengurangi dan menghilangkan perilaku koruptif pegawai/pejabat BUMN karena kurangnya nilai kepemimpinan, integritas dan nilai-nilai anti korupsi dari pegawai/pejabat BUMN dalam pencegahan korupsi. UPG juga tidak fokus dalam pencegahan korupsi. Selain itu, pelaksana kebijakan seringkali gagal dalam menjalankan tugasnya karena rasa sungkan dan ketakutan untuk menerapkan kebijakan pengendalian korupsi. \n ","PeriodicalId":336909,"journal":{"name":"Integritas : Jurnal Antikorupsi","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-06-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Integritas : Jurnal Antikorupsi","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.32697/integritas.v8i1.870","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji apa yang menyebabkan tidak efektifnya good corporate governance (GCG) dalam pencegahan korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil riset menunjukan bahwa GCG belum efektif mencegah korupsi di BUMN karena dipengaruhi oleh Faktor Komunikasi, Faktor Sumber Daya, Faktor Disposisi (sikap), dan Faktor Birokrasi. BUMN menerapkan program pengendalian gratifikasi untuk mencegah korupsi dengan membentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) yang berfungsi sebagai unit layanan dan informasi (help desk) pengendalian gratifikasi. Selain itu, perusahaan juga menyediakan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system). Sistem ini disediakan bagi pegawai/pejabat BUMN dan masyarakat yang ingin melaporkan suatu tindakan yang berindikasi pelanggaran di lingkungan BUMN. Namun, program tersebut belum efektif dalam mengurangi dan menghilangkan perilaku koruptif pegawai/pejabat BUMN karena kurangnya nilai kepemimpinan, integritas dan nilai-nilai anti korupsi dari pegawai/pejabat BUMN dalam pencegahan korupsi. UPG juga tidak fokus dalam pencegahan korupsi. Selain itu, pelaksana kebijakan seringkali gagal dalam menjalankan tugasnya karena rasa sungkan dan ketakutan untuk menerapkan kebijakan pengendalian korupsi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji apa yang menyebabkan tidak efektifnya good corporate governance (GCG) dalam pencegahan korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil riset menunjukan bahwa GCG belum efektif mencegah korupsi di BUMN karena dipengaruhi oleh Faktor Komunikasi, Faktor Sumber Daya, Faktor Disposisi (sikap), dan Faktor Birokrasi. BUMN menerapkan program pengendalian gratifikasi untuk mencegah korupsi dengan membentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) yang berfungsi sebagai unit layanan dan informasi (help desk) pengendalian gratifikasi. Selain itu, perusahaan juga menyediakan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system). Sistem ini disediakan bagi pegawai/pejabat BUMN dan masyarakat yang ingin melaporkan suatu tindakan yang berindikasi pelanggaran di lingkungan BUMN. Namun, program tersebut belum efektif dalam mengurangi dan menghilangkan perilaku koruptif pegawai/pejabat BUMN karena kurangnya nilai kepemimpinan, integritas dan nilai-nilai anti korupsi dari pegawai/pejabat BUMN dalam pencegahan korupsi. UPG juga tidak fokus dalam pencegahan korupsi. Selain itu, pelaksana kebijakan seringkali gagal dalam menjalankan tugasnya karena rasa sungkan dan ketakutan untuk menerapkan kebijakan pengendalian korupsi.