{"title":"Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 97/2017 dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Identitas Perempuan Penghayat","authors":"R. Farihah","doi":"10.15408/siclj.v4i1.15268","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Sejak diberlakukannya PenPres No 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, aliran – aliran kepercayaan di Indonesia dianggap bukan bagian dari agama- agama yang diakui di Indonesia. Meski sebelumnya keberadaan mereka telah menjadi polemik dan perdebatan namun dikarenakan kebijakan tersebut telah membuat penganut aliran kepercayaan mengalami banyak diskriminasi dan stigmatisasi di masyarakat serta membawa pengaruh pada kehidupan ekonomi sosial politik serta nasib anak-anak mereka. Nasib bisa saja berubah dikarenakan kebijakan baru diakhir tahun 2017 melalui keputusan Mahkamah Konstitusi No 97 tahun 2017 tentang diperbolehkannya mengubah ‘agama’ menjadi ‘kepercayaan’ pada kolom agama yang tertera di KTP dan KK. Adakah niat mengubah identitas dan mencantumkan ‘Kepercayaan’ pada kolom agama pada kartu identitas mereka? Ataukah ini sekedar awal dari sebuah perjuangan yang masih panjang? Tulisan ini membahas bagaimana respon kelompok penghayat perempuan terkait adanya keputusan MK 97/17. Kajian literasi dilakukan disertai wawancara beberapa perempuan penghayat sebagai bahan konfirmasi data dari dokumen- dokumen yang tersedia. Pengalaman yang dimiliki perempuan tentunya berbeda dengan pengalaman laki-laki, dan tentunya mempengaruhi perempuan dalam menyikapi keputusan MK 97/17. Akhirnya agama atau kepercayaan sebagai identitas menjadi pilihan, bagaimana perempuan penghayat yang ditemui ternyata lebih memilih tidak merubah identitas mereka di kolom KTP dan KK. Mereka lebih mengutamakan membangun komunitas mereka sebagai sesama perempuan penghayat dan saling menguatkan ditengah-tengah situasi sosial politik yang kurang berpihak dan kebijakan negara masih setengah-setengah mengakui keberadaan mereka. Steve Bruce mengistilahkannya sebagai proses ‘culture transition’ yang dihadapi individu yang teralienasi didunia baru, kadangkala agama dibutuhkan demi menghindari resiko-resiko sosial dan politik sehingga mereka rela mengkosongkan atau bahkan menyembunyikan identitas diri sebagai penganut kepercayaan agar bisa diterima masyarakat luas.","PeriodicalId":299133,"journal":{"name":"STAATSRECHT: Indonesian Constitutional Law Journal","volume":"200 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-06-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"STAATSRECHT: Indonesian Constitutional Law Journal","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.15408/siclj.v4i1.15268","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Sejak diberlakukannya PenPres No 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, aliran – aliran kepercayaan di Indonesia dianggap bukan bagian dari agama- agama yang diakui di Indonesia. Meski sebelumnya keberadaan mereka telah menjadi polemik dan perdebatan namun dikarenakan kebijakan tersebut telah membuat penganut aliran kepercayaan mengalami banyak diskriminasi dan stigmatisasi di masyarakat serta membawa pengaruh pada kehidupan ekonomi sosial politik serta nasib anak-anak mereka. Nasib bisa saja berubah dikarenakan kebijakan baru diakhir tahun 2017 melalui keputusan Mahkamah Konstitusi No 97 tahun 2017 tentang diperbolehkannya mengubah ‘agama’ menjadi ‘kepercayaan’ pada kolom agama yang tertera di KTP dan KK. Adakah niat mengubah identitas dan mencantumkan ‘Kepercayaan’ pada kolom agama pada kartu identitas mereka? Ataukah ini sekedar awal dari sebuah perjuangan yang masih panjang? Tulisan ini membahas bagaimana respon kelompok penghayat perempuan terkait adanya keputusan MK 97/17. Kajian literasi dilakukan disertai wawancara beberapa perempuan penghayat sebagai bahan konfirmasi data dari dokumen- dokumen yang tersedia. Pengalaman yang dimiliki perempuan tentunya berbeda dengan pengalaman laki-laki, dan tentunya mempengaruhi perempuan dalam menyikapi keputusan MK 97/17. Akhirnya agama atau kepercayaan sebagai identitas menjadi pilihan, bagaimana perempuan penghayat yang ditemui ternyata lebih memilih tidak merubah identitas mereka di kolom KTP dan KK. Mereka lebih mengutamakan membangun komunitas mereka sebagai sesama perempuan penghayat dan saling menguatkan ditengah-tengah situasi sosial politik yang kurang berpihak dan kebijakan negara masih setengah-setengah mengakui keberadaan mereka. Steve Bruce mengistilahkannya sebagai proses ‘culture transition’ yang dihadapi individu yang teralienasi didunia baru, kadangkala agama dibutuhkan demi menghindari resiko-resiko sosial dan politik sehingga mereka rela mengkosongkan atau bahkan menyembunyikan identitas diri sebagai penganut kepercayaan agar bisa diterima masyarakat luas.