Setyo Adi, H. Sosiawan, Muhrizal Sarwani, Gatot Irianto, M. I. Wahab, Pusat Riset, Limnologi dan, Sumber Daya, Badan Air, Riset, Bogor Indonesia Inovasi Nasional, Balai Besar, Pengujian Standardisasi, Instrumen Sumber Daya, Lahan Pertanian, Bogor Indonesia Kementerian Pertanian, Direktorat Serealia, Direktorat Jenderal, Tanaman Pangan, Politeknik Pembangunan, Pertanian Manokwari
{"title":"Disrupsi Sistem Produksi Padi Nasional: Mampukah Indonesia Memenuhi Kebutuhan Beras di Tahun 2045?","authors":"Setyo Adi, H. Sosiawan, Muhrizal Sarwani, Gatot Irianto, M. I. Wahab, Pusat Riset, Limnologi dan, Sumber Daya, Badan Air, Riset, Bogor Indonesia Inovasi Nasional, Balai Besar, Pengujian Standardisasi, Instrumen Sumber Daya, Lahan Pertanian, Bogor Indonesia Kementerian Pertanian, Direktorat Serealia, Direktorat Jenderal, Tanaman Pangan, Politeknik Pembangunan, Pertanian Manokwari","doi":"10.47687/jt.v14i2.588","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Produksi padi di Indonesia tahun 2022 tercatat mengalami peningkatan sebesar 1,25 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau 2,31 % dibandingkan produksi padi pada tahun 2021 yang mencapai 54,42 juta ton GKG. Peningkatan produksi ini disebabkan oleh peningkatan luas panen padi sebesar 10,61 juta hektar dengan jumlah produksi sekitar 55,67 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Terjadinya kenaikan produksi padi ternyata belum mampu memenuhi permintaan kebutuhan beras nasional dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata nasional 1,2% per tahun, laju alih fungsi lahan rata-rata 96 ribu hektar per tahun, peningkatan harga beras domestic 4% per tahun pada periode 2018-2022, dan tingginya volume impor beras sebesar 2,5 juta ton dan komoditas pangan lainnya, terutama terigu sebesar 9,5 juta ton pada 2022, dan ubi kayu sebesar 52% per tahun sejak 2000. Kondisi ini diperkirakan semakin tinggi pada tahun 2045 jika tidak ada implementasi disrupsi teknologi produksi pertanian pangan yang mampu menyelesaikan masalah peningkatan produksi pangan nasional, termasuk padi, secara cepat dan masif dari hulu ke hilir. Disrupsi pertanian (disruptive agriculture) secara operasional dimaknai sebagai tindakan berbiaya murah (low-cost) yang mampu melakukan semua pekerjaan, baik di hulu, onfarm dan hilir, secara lebih cepat dan masif, sehingga meningkatkan efisiensi teknis, alokasi, dan ekonomi produksi pertanian secara berkelanjutan. Indikator keberhasilan penerapan disruptive agriculture antara lain peningkatan produksi dan mutu hasil, penurunan biaya produksi, dan keuntungan usaha tani yang signifikan.","PeriodicalId":116938,"journal":{"name":"JURNAL TRITON","volume":"61 13","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-12-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"JURNAL TRITON","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.47687/jt.v14i2.588","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Produksi padi di Indonesia tahun 2022 tercatat mengalami peningkatan sebesar 1,25 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau 2,31 % dibandingkan produksi padi pada tahun 2021 yang mencapai 54,42 juta ton GKG. Peningkatan produksi ini disebabkan oleh peningkatan luas panen padi sebesar 10,61 juta hektar dengan jumlah produksi sekitar 55,67 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Terjadinya kenaikan produksi padi ternyata belum mampu memenuhi permintaan kebutuhan beras nasional dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata nasional 1,2% per tahun, laju alih fungsi lahan rata-rata 96 ribu hektar per tahun, peningkatan harga beras domestic 4% per tahun pada periode 2018-2022, dan tingginya volume impor beras sebesar 2,5 juta ton dan komoditas pangan lainnya, terutama terigu sebesar 9,5 juta ton pada 2022, dan ubi kayu sebesar 52% per tahun sejak 2000. Kondisi ini diperkirakan semakin tinggi pada tahun 2045 jika tidak ada implementasi disrupsi teknologi produksi pertanian pangan yang mampu menyelesaikan masalah peningkatan produksi pangan nasional, termasuk padi, secara cepat dan masif dari hulu ke hilir. Disrupsi pertanian (disruptive agriculture) secara operasional dimaknai sebagai tindakan berbiaya murah (low-cost) yang mampu melakukan semua pekerjaan, baik di hulu, onfarm dan hilir, secara lebih cepat dan masif, sehingga meningkatkan efisiensi teknis, alokasi, dan ekonomi produksi pertanian secara berkelanjutan. Indikator keberhasilan penerapan disruptive agriculture antara lain peningkatan produksi dan mutu hasil, penurunan biaya produksi, dan keuntungan usaha tani yang signifikan.