{"title":"Tanah, Otoritas Politik, dan Stabilitas Ekonomi Kerajaan Mataram Islam (1613-1645 M)","authors":"Zaid Munawar","doi":"10.24036/diakronika/vol21-iss1/163","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This article examines issues of land, political authority, and economic stability of the Islamic Mataram Kingdom during the reign of Sultan Agung (1613-1645 AD). This study uses the historical method by carrying out steps such as topic selection, heuristics, verification, interpretation and historiography. This research shows that Sultan Agung as a king has full authority over land management in the entire territory of the Islamic Mataram Kingdom. So that the land can be managed properly, the Sultan Agung divides the land based on concentric circles of the territory, both in the territory of the Negara Agung, Mancanegara, and Pasisiran in order to build a community under the auspices of his government. There are three types of land that are known in this division, namely narawita land (land in the core area of the kingdom which is used as agricultural land and plantations to produce rice, flowers, grass, oil, etc. for palace purposes), lungguh/apanage land (land in the territory of the Negara Agung, Mancanegara, and Pasisiran distributed to the nobles and royal officials as land salaries for their role in the continuity of the administration, and perdikan land (village land in which there are royal sacred buildings, such as places of worship, tombs, and the like, which are exempt from taxation as given to religious leaders (ulama and penghulu). These lands are mainly managed for agriculture as the most important economic source for the kingdom. The maximization of land management is able to have a positive impact on economic stability and governance in the Islamic Mataram Kingdom. \nKeywords: Land, Political Authority, Economic Stability, Islamic Mataram Kingdom \nArtikel ini bertujuan mengkaji tentang persoalan tanah, otoritas politik, dan stabilitas ekonomi Kerajaan Mataram Islam pada masa kekuasaaan Sultan Agung (1613-1645 M). Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan melakukan langkah-langkah seperti pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sultan Agung sebagai seorang raja memiliki otoritas penuh terhadap pengelolaan tanah di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Agar tanah tersebut dapat dikelola dengan baik, maka Sultan Agung membagi tanah berdasarkan lingkaran konsentris wilayah kekuasaan, baik di wilayah Negara Agung, Mancanegara maupun Pasisiran demi membangun masyarakat yang berada dalam naungan pemerintahannya. Ada tiga jenis tanah yang dikenal dalam pembagian tersebut, yaitu tanah narawita (tanah di wilayah inti kerajaan yang digunakan sebagai tanah pertanian dan perkebunan agar menghasilkan padi, bunga, rumput, minyak, dan lain-lain untuk keperluan istana), tanah lungguh/apanage (tanah di wilayah Negara Agung, Mancanegara dan Pasisiran yang didistribusikan kepada para bangsawan dan pejabat tinggi kerajaan sebagai tanah gaji atas perannya terhadap kelangsungan jalannya pemerintahan), dan tanah perdikan (tanah desa yang di dalamnya terdapat bangunan suci kerajaan, seperti tempat ibadah, makam, dan semacamnya, yang dibebaskan dari pungutan pajak sebagaimana diberikan kepada para tokoh agama (ulama dan penghulu). Tanah-tanah tersebut dikelola terutama untuk pertanian sebagai sumber ekonomi terpenting bagi kerajaan. Maksimalisasi pengelolaan tanah tersebut mampu memberikan dampak positif bagi stabilitas ekonomi dan pemerintahan di Kerajaan Mataram Islam. \nKata Kunci: Tanah, Otoritas Politik, Stabilitas Ekonomi, Kerajaan Mataram Islam","PeriodicalId":52790,"journal":{"name":"Diakronika","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"2","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Diakronika","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24036/diakronika/vol21-iss1/163","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 2
Abstract
This article examines issues of land, political authority, and economic stability of the Islamic Mataram Kingdom during the reign of Sultan Agung (1613-1645 AD). This study uses the historical method by carrying out steps such as topic selection, heuristics, verification, interpretation and historiography. This research shows that Sultan Agung as a king has full authority over land management in the entire territory of the Islamic Mataram Kingdom. So that the land can be managed properly, the Sultan Agung divides the land based on concentric circles of the territory, both in the territory of the Negara Agung, Mancanegara, and Pasisiran in order to build a community under the auspices of his government. There are three types of land that are known in this division, namely narawita land (land in the core area of the kingdom which is used as agricultural land and plantations to produce rice, flowers, grass, oil, etc. for palace purposes), lungguh/apanage land (land in the territory of the Negara Agung, Mancanegara, and Pasisiran distributed to the nobles and royal officials as land salaries for their role in the continuity of the administration, and perdikan land (village land in which there are royal sacred buildings, such as places of worship, tombs, and the like, which are exempt from taxation as given to religious leaders (ulama and penghulu). These lands are mainly managed for agriculture as the most important economic source for the kingdom. The maximization of land management is able to have a positive impact on economic stability and governance in the Islamic Mataram Kingdom.
Keywords: Land, Political Authority, Economic Stability, Islamic Mataram Kingdom
Artikel ini bertujuan mengkaji tentang persoalan tanah, otoritas politik, dan stabilitas ekonomi Kerajaan Mataram Islam pada masa kekuasaaan Sultan Agung (1613-1645 M). Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan melakukan langkah-langkah seperti pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sultan Agung sebagai seorang raja memiliki otoritas penuh terhadap pengelolaan tanah di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Agar tanah tersebut dapat dikelola dengan baik, maka Sultan Agung membagi tanah berdasarkan lingkaran konsentris wilayah kekuasaan, baik di wilayah Negara Agung, Mancanegara maupun Pasisiran demi membangun masyarakat yang berada dalam naungan pemerintahannya. Ada tiga jenis tanah yang dikenal dalam pembagian tersebut, yaitu tanah narawita (tanah di wilayah inti kerajaan yang digunakan sebagai tanah pertanian dan perkebunan agar menghasilkan padi, bunga, rumput, minyak, dan lain-lain untuk keperluan istana), tanah lungguh/apanage (tanah di wilayah Negara Agung, Mancanegara dan Pasisiran yang didistribusikan kepada para bangsawan dan pejabat tinggi kerajaan sebagai tanah gaji atas perannya terhadap kelangsungan jalannya pemerintahan), dan tanah perdikan (tanah desa yang di dalamnya terdapat bangunan suci kerajaan, seperti tempat ibadah, makam, dan semacamnya, yang dibebaskan dari pungutan pajak sebagaimana diberikan kepada para tokoh agama (ulama dan penghulu). Tanah-tanah tersebut dikelola terutama untuk pertanian sebagai sumber ekonomi terpenting bagi kerajaan. Maksimalisasi pengelolaan tanah tersebut mampu memberikan dampak positif bagi stabilitas ekonomi dan pemerintahan di Kerajaan Mataram Islam.
Kata Kunci: Tanah, Otoritas Politik, Stabilitas Ekonomi, Kerajaan Mataram Islam
本文考察了苏丹阿贡统治时期(公元1613-1645年)伊斯兰马塔兰王国的土地、政治权威和经济稳定问题。本研究采用史学方法,通过选题、启发式、验证、解释、史学等步骤进行研究。这项研究表明,苏丹阿贡作为国王在伊斯兰马塔兰王国的整个领土上拥有完全的土地管理权。为了妥善管理土地,苏丹阿贡根据领土的同心圆划分土地,包括Negara Agung, Mancanegara和Pasisiran的领土,以便在他的政府主持下建立一个社区。在这一划分中,已知有三种类型的土地,即narawita土地(王国核心地区的土地,用作农业用地和种植园,种植水稻、花卉、草、油等,供宫殿使用),lungguh/属地土地(Negara Agung、Mancanegara和Pasisiran领土上的土地,分配给贵族和王室官员,作为他们在行政管理中发挥作用的土地工资),还有perdikan土地(有皇室神圣建筑的村庄土地,如礼拜场所、坟墓等,这些土地不像宗教领袖(ulama和penghulu)那样征税)。这些土地主要用于农业,作为王国最重要的经济来源。土地管理的最大化能够对伊斯兰马塔兰王国的经济稳定和治理产生积极影响。关键词:土地,政治权威,经济稳定,伊斯兰马塔兰王国Artikel ini bertujuan mengkaji tentang persoalan tanah, otoritas politik, dan stabilitas ekonomi Kerajaan Mataram Islam pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645 M), Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan melakukan langka -langkah seperti pemilihan topik,启发式,验证,解释和史学。哈西尔peneltian menunjukkan bahwa Sultan Agung sebagaii seorang raja memiliki totoris penhaddap penelolaan tanah di selururh wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam。Agar tanah tersebut dapat dikelola dengan baik, maka Sultan Agung membagi tanah berdasarkan lingkaran konsentris wilayah kekuasaan, baik di wilayah Negara Agung, Mancanegara maupun Pasisiran demi membangun masyarakat yang berada dalam naungan peremerintahannya。Ada tiga jenis tanah yang dikenal dalam pembagian tersebut, yitu tanah narawita (tanah di wilayah inti kerajaan yang digunakan sebagai tanah perkebunan agar menghasilkan padi, bunga, rumput, minyak, danlain -lain untuk keperluan istana), tanah lunguh /apanage (tanah di wilayah Negara Agung, Mancanegara dan Pasisiran yang didistribuiskan kepaada para bangsawan dan pejabat tinggi kerajaan sebagai tanah gaji atas perannya terhadap kelangsungan jalannya permerintahan),Dan tanah perdikan (tanah desa Yang di dalamnya terdapat bangunan sui kerajaan), perperti tempat ibadah, makam, Dan semacamnya, Yang dibebaskan dari pungutan pajak sebagaimana diberikan kepada para tokoh agama (ulama Dan penghulu)。Tanah-tanah tersebut dikelola terutama untuk pertanian sebagai数字经济terpenting bagi kerajaan。Maksimalisasi pengelolaan tanah tersebut mampu成员kan dampak积极稳定经济,并担任Kerajaan Mataram Islam的总理。Kata Kunci: Tanah, Otoritas Politik, Stabilitas Ekonomi, Kerajaan Mataram Islam