{"title":"Politisasi Program Keluarga Harapan Pada Pilkada Gubernur Jatim 2018: Studi Kasus Kota dan Kabupaten Malang.","authors":"Wimmy Haliim","doi":"10.24905/JIP.V3I1.883","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Program Keluarga Harapan dijalankan sebagai pelaksanaan dari berbagai bentuk peraturan perundangan yang tujuannya memberikan bantuan uang tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Namun, PKH yang memiliki sifat Conditional Cash Transfer (CCT) memiliki celah dibalik keberhasilannya menekan kemiskinan di Kota dan Kabupaten Malang. Fakta yang didapatkan penulis menyatakan bahwa elit politik yang berkepentingan dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun 2018 memanfaatkan PKH sebagai alat politiknya. Diantaranya adalah Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial dan Rendra Kresna sebagai Bupati Kabupaten Malang. Dengan metode penulisan studi kasus, penulis menjelaskan beberapa hasil dan pembahasan didalam penulisan artikel ini. Pertama, bahwa potensi PKH sebagai alat politik memang sudah terjadi sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY benar-benar memanfaatkan PKH untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas nya, terutama pada pemilu 2009. Secara implisit, strategi SBY telah diadobsi sedemikian rupa oleh elit-oligarki yang berkepentingan pada pilkada gubernur jatim 2018. Kedua, penulis juga menjelaskan dampak politisasi dari PKH. Dampaknya, penerima bantuan PKH merasa berhutang budi terhadap PKH dan Khofifah sebagai penanggung jawab PKH. Mereka menilai PKH yang dilaksanakan oleh menteri sosial benar-benar membantu kehidupan ekonomi mereka. Ketiga, adalah tuntutan penulis untuk merubah orientasi PKH dari bantuan tunai langsung menjadi pemberdayaan. Penulis meyakini bahwa bantuan langsung tunai tidak akan pernah menyelesaikan masalah kemiskinan sampai dengan akarnya. Selain itu, orientasi instan tersebut lah yang menjadi celah bagi PKH untuk selalu dimanfaatkan oleh elit politik tertentu untuk kepentingan politiknya. Selain itu, orientasi pemberdayaan memiliki capaian jangka panjang dan membentuk masyarakat miskin menuju masyarakat yang mandiri dan berdaya.","PeriodicalId":40252,"journal":{"name":"Otoritas-Jurnal Ilmu Pemerintahan","volume":"18 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.3000,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Otoritas-Jurnal Ilmu Pemerintahan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24905/JIP.V3I1.883","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"Q4","JCRName":"POLITICAL SCIENCE","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Program Keluarga Harapan dijalankan sebagai pelaksanaan dari berbagai bentuk peraturan perundangan yang tujuannya memberikan bantuan uang tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Namun, PKH yang memiliki sifat Conditional Cash Transfer (CCT) memiliki celah dibalik keberhasilannya menekan kemiskinan di Kota dan Kabupaten Malang. Fakta yang didapatkan penulis menyatakan bahwa elit politik yang berkepentingan dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun 2018 memanfaatkan PKH sebagai alat politiknya. Diantaranya adalah Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial dan Rendra Kresna sebagai Bupati Kabupaten Malang. Dengan metode penulisan studi kasus, penulis menjelaskan beberapa hasil dan pembahasan didalam penulisan artikel ini. Pertama, bahwa potensi PKH sebagai alat politik memang sudah terjadi sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY benar-benar memanfaatkan PKH untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas nya, terutama pada pemilu 2009. Secara implisit, strategi SBY telah diadobsi sedemikian rupa oleh elit-oligarki yang berkepentingan pada pilkada gubernur jatim 2018. Kedua, penulis juga menjelaskan dampak politisasi dari PKH. Dampaknya, penerima bantuan PKH merasa berhutang budi terhadap PKH dan Khofifah sebagai penanggung jawab PKH. Mereka menilai PKH yang dilaksanakan oleh menteri sosial benar-benar membantu kehidupan ekonomi mereka. Ketiga, adalah tuntutan penulis untuk merubah orientasi PKH dari bantuan tunai langsung menjadi pemberdayaan. Penulis meyakini bahwa bantuan langsung tunai tidak akan pernah menyelesaikan masalah kemiskinan sampai dengan akarnya. Selain itu, orientasi instan tersebut lah yang menjadi celah bagi PKH untuk selalu dimanfaatkan oleh elit politik tertentu untuk kepentingan politiknya. Selain itu, orientasi pemberdayaan memiliki capaian jangka panjang dan membentuk masyarakat miskin menuju masyarakat yang mandiri dan berdaya.