{"title":"Al-Saum: A Semantic Study of the Qur'an","authors":"Ridwan Mansur","doi":"10.21070/ijis.v5i0.38","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Istilah Al-ṣaum merupakan konsep dalam Alquran dengan berbagai derivasinya seperti al-ṣiyam, taṣumu, yaṣum, ṣiyaman, ṣiyām, ṣauman, ṣaimin. Pemaknaan ṣauman umumnya diartikan menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya yaitu makan, minum dan hubungan sex dari mulai fajar (shubuh) sampai terbenam matahari (maghrib). Pernyataan seperti itu tentu saja masih menyisakan semacam ketidak-jelasan. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk menemukan ciri khas dari konsep al-ṣaum dalam Alquran, dengan metode yang digunakan ialah library research, pendekatan semantik Al-Qur’an karya Toshiku Izutsu dengan langkah-langkah pertama mencari makna dasar, kedua mencari makna relasional dan yang ketiga ialah mencari world view. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa makna kata s}aum ialah ialah menahan, meninggalkan, diam, berhenti, membuang dan mengekang. Pada masa pra Islam istilah s{iyam sudah dikenal, karena memiliki tradisi berpuasa beberapa hari yang dimulai pada pertengahan bulan Sya’ban untuk menyambut musim panas dan sarana mendekatkan diri kepada tuhan mereka. Adapun makna siyām pada masa pra Islam ialah diam dan menahan, tidak bergerak, ketika Islam datang terjadi perubahan makna ṣiyam yakni ketika masa jahiliah orang-orang berpuasa sebagai suatu cara untuk menghormati perbuatan untuk menghormati dan memuliakan sesuatu yang dianggap tinggi, ketika Islam datang terdapat penyempitan pemaknaan ṣiyām yakni sebagai saran untuk menjadi orang-orang bertakwa dan meningkatkan harkat martabat.World view dari ṣiyām ini ialah meningkatkan kualitas manusia dari segi fisik dan rohani, karena dengan fisik dan rohani yang kuat mampu memakmurkan bumi.","PeriodicalId":32315,"journal":{"name":"Hayula Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies","volume":"22 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-08-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Hayula Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21070/ijis.v5i0.38","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Istilah Al-ṣaum merupakan konsep dalam Alquran dengan berbagai derivasinya seperti al-ṣiyam, taṣumu, yaṣum, ṣiyaman, ṣiyām, ṣauman, ṣaimin. Pemaknaan ṣauman umumnya diartikan menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya yaitu makan, minum dan hubungan sex dari mulai fajar (shubuh) sampai terbenam matahari (maghrib). Pernyataan seperti itu tentu saja masih menyisakan semacam ketidak-jelasan. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk menemukan ciri khas dari konsep al-ṣaum dalam Alquran, dengan metode yang digunakan ialah library research, pendekatan semantik Al-Qur’an karya Toshiku Izutsu dengan langkah-langkah pertama mencari makna dasar, kedua mencari makna relasional dan yang ketiga ialah mencari world view. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa makna kata s}aum ialah ialah menahan, meninggalkan, diam, berhenti, membuang dan mengekang. Pada masa pra Islam istilah s{iyam sudah dikenal, karena memiliki tradisi berpuasa beberapa hari yang dimulai pada pertengahan bulan Sya’ban untuk menyambut musim panas dan sarana mendekatkan diri kepada tuhan mereka. Adapun makna siyām pada masa pra Islam ialah diam dan menahan, tidak bergerak, ketika Islam datang terjadi perubahan makna ṣiyam yakni ketika masa jahiliah orang-orang berpuasa sebagai suatu cara untuk menghormati perbuatan untuk menghormati dan memuliakan sesuatu yang dianggap tinggi, ketika Islam datang terdapat penyempitan pemaknaan ṣiyām yakni sebagai saran untuk menjadi orang-orang bertakwa dan meningkatkan harkat martabat.World view dari ṣiyām ini ialah meningkatkan kualitas manusia dari segi fisik dan rohani, karena dengan fisik dan rohani yang kuat mampu memakmurkan bumi.