{"title":"KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA DI ERA KONTEMPORER","authors":"Made Saihu","doi":"10.36671/andragogi.v3i2.227","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Kajian ini membahas tentang kontekstualisasi pemikiran Ibnu Sina di era kontemporer dilihat dari sudut pandang subjektif mengacu pada aspek penyucian jiwa. Ibnu Sina membagi jiwa manusia itu atas tiga bagian, yaitu: jiwa nabâtiyyah, hayawâniyyah, dan insâniyyah. Ketika manusia berada pada jiwa nabâtiyyah, pelajaran yang harus diberikan adalah pelajaran akhlak, kebersihan, dan kesenian yang harus diimplementasikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini, sementara hayawayyah, yang berarti menanggapi dan menggerakkan melalui pengindraan, anak dalam kondisi jiwa ini harus dirangsang melalui pemahaman terhadap Al-Qur’an tidak saja terkait dengan cara membaca atau mentilawahkannya, tetapi yang lebih penting adalah anak dirangsang untuk mengkaji, menganalisis dan kritis terhadap makna-makna dari setiap firman Allah Swt. Pada jiwa insâniyyah, mengharuskan adanya integrasi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, yang darinya akan terbangun sebuah paradigma pendidikan yang non-dikotomi (integralistik) yang mempertemukan dimensi jasa (al-‘Amilah) dan rohani (al-‘Alimah). Studi literatur ini menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, seharusnya pendidikan di Indonesia tidak didikotomi, karena dengan adanya dikotomi pendidikan, semakin membuka nilai-nilai sekuler dalam dunia pendidikan di Indonesia. Meski aspek integrasi tiga kecerdasan yang bermuara pada paradigma pendidikan non-dikotomik, tidak lantas menghilangkan tujuan akhir dari pemikiran pendidikannya yaitu pada aspek penyucian jiwa. Karena dengan jiwa yang suci anak didik akan mudah menerima segala pengetahuan dan dengan sendiri akan terbentuk pribadi-pribadi yang unggul. Sebuah perspektif pendidikan yang mendudukkan penyucian jiwa sebagai sebuah tawaran pendidikan di era kontemporer","PeriodicalId":7839,"journal":{"name":"Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam dan Manajemen Pendidikan Islam","volume":"31 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-01-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam dan Manajemen Pendidikan Islam","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.36671/andragogi.v3i2.227","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3
Abstract
Kajian ini membahas tentang kontekstualisasi pemikiran Ibnu Sina di era kontemporer dilihat dari sudut pandang subjektif mengacu pada aspek penyucian jiwa. Ibnu Sina membagi jiwa manusia itu atas tiga bagian, yaitu: jiwa nabâtiyyah, hayawâniyyah, dan insâniyyah. Ketika manusia berada pada jiwa nabâtiyyah, pelajaran yang harus diberikan adalah pelajaran akhlak, kebersihan, dan kesenian yang harus diimplementasikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini, sementara hayawayyah, yang berarti menanggapi dan menggerakkan melalui pengindraan, anak dalam kondisi jiwa ini harus dirangsang melalui pemahaman terhadap Al-Qur’an tidak saja terkait dengan cara membaca atau mentilawahkannya, tetapi yang lebih penting adalah anak dirangsang untuk mengkaji, menganalisis dan kritis terhadap makna-makna dari setiap firman Allah Swt. Pada jiwa insâniyyah, mengharuskan adanya integrasi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, yang darinya akan terbangun sebuah paradigma pendidikan yang non-dikotomi (integralistik) yang mempertemukan dimensi jasa (al-‘Amilah) dan rohani (al-‘Alimah). Studi literatur ini menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, seharusnya pendidikan di Indonesia tidak didikotomi, karena dengan adanya dikotomi pendidikan, semakin membuka nilai-nilai sekuler dalam dunia pendidikan di Indonesia. Meski aspek integrasi tiga kecerdasan yang bermuara pada paradigma pendidikan non-dikotomik, tidak lantas menghilangkan tujuan akhir dari pemikiran pendidikannya yaitu pada aspek penyucian jiwa. Karena dengan jiwa yang suci anak didik akan mudah menerima segala pengetahuan dan dengan sendiri akan terbentuk pribadi-pribadi yang unggul. Sebuah perspektif pendidikan yang mendudukkan penyucian jiwa sebagai sebuah tawaran pendidikan di era kontemporer