W. F. W. Wan Ismail, A. S. Baharuddin, Lukman Abdul Mutalib, Muneer Ali Abdul Rab al-Qubaty
{"title":"Document Falsification/Forgery from the View of Islamic Jurisprudence and Malaysian Law","authors":"W. F. W. Wan Ismail, A. S. Baharuddin, Lukman Abdul Mutalib, Muneer Ali Abdul Rab al-Qubaty","doi":"10.14421/ajis.2019.572.459-498","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Although the scholars of Islamic jurisprudence discussed the importance of document and its strength as a mean of proof, they did not discuss the issue of forgery unless slightly compared with the scholars of law. This is due to its limited extension and uses in the period of times. And with the frequent use of them in our time, the debates have extended towards several circumstances either to attempt for or to deny a forgery. Therefore, this research is conducted to study the document falsification from the perspectives of Islamic Jurisprudence and Malaysian Law. It is also to explain the definition, procedure and methods to identify the crime and its punishment. The study used inductive and content analysis methods on previous scholars’ opinions, discussions and explanation from two different legal institutions. This study found the following important results: The are many forms of forgery occur in this era and can be classified either as material or incorporeal fraud. Several implications have been issued against the forgery crime in the Malaysian Penal Code, such as imprisonment, lashes and fines. The Islamic jurisprudence and the Malaysian Evidence Act 1950 has established several methods to verify the validity of documents such as confession, testimony, expert opinion, and oath, but the opinion of the expert is the most important means in verifying the authenticity and originality of documents. This study also found that the Malaysian Evidence Law did not discuss the oath as a mean to verify documents. As analysed, the method to verify documents discussed in the books of jurisprudence is very different from that of the Malaysian Evidence Act 1950, which specifies the conditions of documents and the number of witnesses, but the law does not specify the number of witnesses and impose conditions only. [Meskipun para ahli tata hukum Islam membahas pentingnya sebuah dokumen sebagai alat bukti, namun mereka kurang membahas persoalan pemalsuan dokumen sedalam para ahli hukum konvensional. Hal ini terkait dengan terbatasnya waktu dan kuantitas penggunaan, sehingga frekuensi penggunaannya memunculkan debat yang panjang, baik yang menerima atau yang menolak soal pemalsuan. Oleh karena itu, artikel ini membahas pemalsuan dokumen dari perspektif tata hukum Islam dan hukum nasional di Malaysia. Artikel ini juga menjelaskan definisi, prosedur, dan metode identifikasi kejahatan ini serta hukumannya. Penulis menggunakan metode induktif dan analisis isi pada opini, perdebatan, dan penjelasan dari dua institusi hukum yang berbeda. Kajian ini menyimpulkan adanya beragam bentuk pemalsuan dewasa ini, baik material atau non material. Beberapa aturan hukum telah dikeluarkan di Malaysia dan sangsi nya seperti penjara, cambuk dan denda. Peradilan Islam dan Undang Undang Saksi Tahun 1950 telah menetapkan beberapa metode untuk validasi dokumen seperti: pengakuan, testimoni, pendapat ahli, dan sumpah, namun pendapat dari ahli masih merupakan cara utama untuk verifikasi keautentikan dan keaslian dokumen. Artikel ini juga menemukan bahwa peraturan hukum di Malaysia belum membahas sumpah sebagai alat verifikasi dokumen. Juga metodenya berbeda antara yang ada di dalam buku teks dengan Undang Undang 1950 yang lebih fokus pada kondisi dokumen dan jumlah saksi, padahal di dalam hukumnya tidak memperhitungkan jumlah saksi, hanya kondisinya saja.]","PeriodicalId":42231,"journal":{"name":"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies","volume":"14 1","pages":"459-498"},"PeriodicalIF":0.3000,"publicationDate":"2019-12-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.14421/ajis.2019.572.459-498","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"0","JCRName":"RELIGION","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
Although the scholars of Islamic jurisprudence discussed the importance of document and its strength as a mean of proof, they did not discuss the issue of forgery unless slightly compared with the scholars of law. This is due to its limited extension and uses in the period of times. And with the frequent use of them in our time, the debates have extended towards several circumstances either to attempt for or to deny a forgery. Therefore, this research is conducted to study the document falsification from the perspectives of Islamic Jurisprudence and Malaysian Law. It is also to explain the definition, procedure and methods to identify the crime and its punishment. The study used inductive and content analysis methods on previous scholars’ opinions, discussions and explanation from two different legal institutions. This study found the following important results: The are many forms of forgery occur in this era and can be classified either as material or incorporeal fraud. Several implications have been issued against the forgery crime in the Malaysian Penal Code, such as imprisonment, lashes and fines. The Islamic jurisprudence and the Malaysian Evidence Act 1950 has established several methods to verify the validity of documents such as confession, testimony, expert opinion, and oath, but the opinion of the expert is the most important means in verifying the authenticity and originality of documents. This study also found that the Malaysian Evidence Law did not discuss the oath as a mean to verify documents. As analysed, the method to verify documents discussed in the books of jurisprudence is very different from that of the Malaysian Evidence Act 1950, which specifies the conditions of documents and the number of witnesses, but the law does not specify the number of witnesses and impose conditions only. [Meskipun para ahli tata hukum Islam membahas pentingnya sebuah dokumen sebagai alat bukti, namun mereka kurang membahas persoalan pemalsuan dokumen sedalam para ahli hukum konvensional. Hal ini terkait dengan terbatasnya waktu dan kuantitas penggunaan, sehingga frekuensi penggunaannya memunculkan debat yang panjang, baik yang menerima atau yang menolak soal pemalsuan. Oleh karena itu, artikel ini membahas pemalsuan dokumen dari perspektif tata hukum Islam dan hukum nasional di Malaysia. Artikel ini juga menjelaskan definisi, prosedur, dan metode identifikasi kejahatan ini serta hukumannya. Penulis menggunakan metode induktif dan analisis isi pada opini, perdebatan, dan penjelasan dari dua institusi hukum yang berbeda. Kajian ini menyimpulkan adanya beragam bentuk pemalsuan dewasa ini, baik material atau non material. Beberapa aturan hukum telah dikeluarkan di Malaysia dan sangsi nya seperti penjara, cambuk dan denda. Peradilan Islam dan Undang Undang Saksi Tahun 1950 telah menetapkan beberapa metode untuk validasi dokumen seperti: pengakuan, testimoni, pendapat ahli, dan sumpah, namun pendapat dari ahli masih merupakan cara utama untuk verifikasi keautentikan dan keaslian dokumen. Artikel ini juga menemukan bahwa peraturan hukum di Malaysia belum membahas sumpah sebagai alat verifikasi dokumen. Juga metodenya berbeda antara yang ada di dalam buku teks dengan Undang Undang 1950 yang lebih fokus pada kondisi dokumen dan jumlah saksi, padahal di dalam hukumnya tidak memperhitungkan jumlah saksi, hanya kondisinya saja.]
虽然伊斯兰法学学者讨论了文件的重要性及其作为证明手段的力量,但他们没有讨论伪造问题,除非与法学学者稍微比较一下。这是由于它在一定时期内的推广和使用是有限的。随着它们在我们这个时代的频繁使用,争论已经扩展到几种情况,要么是试图伪造,要么是否认伪造。因此,本研究从伊斯兰法学和马来西亚法的角度来研究文件伪造问题。并阐述了犯罪的定义、程序和认定方法及其刑罚。本研究采用归纳分析和内容分析的方法,对两种不同法律制度的前人观点、论述和解释进行梳理。这项研究发现了以下重要结果:在这个时代出现了许多形式的伪造,可以分为物质欺诈和无形欺诈。马来西亚刑法对伪造罪提出了若干影响,如监禁、鞭打和罚款。伊斯兰法理学和1950年马来西亚证据法确立了供词、证言、专家意见、宣誓等几种验证文件有效性的方法,但专家意见是验证文件真实性和原创性的最重要手段。本研究亦发现,马来西亚证据法并未讨论宣誓作为核实文件的手段。经分析,法学著作中讨论的核实文件的方法与1950年马来西亚证据法的方法大不相同,后者规定了文件的条件和证人的人数,但法律没有规定证人的人数,而只是规定了条件。[Meskipun para ahli tata hukum伊斯兰教成员有pentingnya sebuah dokumen sebagai alat bukti, namun mereka kurang成员有个人的pemalsuan dokumen sedalam para ahli hukum konvenional]。Hal ini terkait dengan terbatasnya waktu dan kuantitas penggunaan, sehinga frekuensi penggunaannya memunculkan辩论yang panjang, baik yang menerima atau yang menolak soal penalsuan。Oleh karena是马来西亚伊斯兰共和国和马来西亚国民共和国的代表。Artikel ini juga menjelaskan定义,检出者,但方法识别kasi kejahatan ini serta hukumanya。[2] [1] [1] [2] [1] [2] [1] [1] [3] [1] [3] [1] [3] [1] [3] [1] [4]Kajian ini menypulkkan adanya beragam bentuk pemalsuan dewasa ini,白色材料和非材料。在马来西亚,这是一件非常重要的事情,这是一件非常重要的事情。马来西亚伊斯兰教(unang), unang, unang, Saksi, Tahun, 1950, telah menetapkan bebera, meetapkan bebera, meetapkan bebera, metapai, dansumpah, namun penapat dari ahi, masih merupakan, kalama untuk verifikan keautentikan dankaslian dokumen。Artikel ini juga menemukan bahwa peraturan hukum di Malaysia(马来西亚),马来西亚(马来西亚),马来西亚(马来西亚)。[Juga metodenya berbeda antara yang ada di dalam buku teks dengan Undang unang 1950 yang lebih fokus padada kondisi dokumen danjumlah saksi, padahal di dalam hukumnya tiak memperhitungkan jumlah saksi, hanya kondisinya saja。]