{"title":"Registering Muslim Marriages: Penghulu, Modin, and the Struggles for Influence","authors":"Muhammad Latif Fauzi","doi":"10.14421/ajis.2019.572.397-424","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This article deals with the position of penghulu and modin and examines how they struggle for influence in the context of marriage registration. Materials of this article result from my ethnography in a village in East Java in 2017. I did interviews, participant observation and document analysis and applied the “state-in-society” approach to analyse the finding. In this article, I suggest that to maintain their influence, penghulu tend not to present themselves as ulama although their identity as a religious authority is highly important. Instead, penghulu identify themselves as the state agency by materialising their authority to provide state recognition of Muslim marriages into the resource of power. On the other hand, modin play important roles in bridging the relationship between the state and society. Modin find themselves subject to compromise between competing legal orders so that they sometimes need to produce an alternative legal norm to make their intermediary role possible. [Artikel ini mendiskusikan posisi penghulu dan modin serta melihat bagaimana mereka berjuang untuk berebut pengaruh di masyarakat dalam hal pencatatan perkawinan. Bahan-bahan artikel ini diperoleh dari etnografi yang saya lakukan di sebuah desa di Jawa Timur pada tahun 2017. Saya melakukan wawancara, observasi partisipatif, dan analisis dokumen serta menggunakan pendekatan “state-in-society” untuk menganalisa temuan lapangan. Saya menyimpulkan bahwa untuk mempertahankan pengaruhnya, penghulu cenderung tidak menampilkan dirinya sebagai ulama meskipun identitas mereka sebagai otoritas agama tetap penting. Sebaliknya, mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai agen negara dengan mentransformasi otoritas untuk memberikan pengakuan negara atas perkawinan sebagai sumber kekuasaan. Selain itu, modin memiliki peran penting dalam menjembatani hubungan negara dan masyarakat. Modin berada dalam situasi kompetisi antar norma hukum sehingga terkadang perlu untuk membuat norma hukum alternatif untuk mempertahankan posisi mereka.","PeriodicalId":42231,"journal":{"name":"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies","volume":"58 1","pages":"397-424"},"PeriodicalIF":0.3000,"publicationDate":"2019-12-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.14421/ajis.2019.572.397-424","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"0","JCRName":"RELIGION","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3
Abstract
This article deals with the position of penghulu and modin and examines how they struggle for influence in the context of marriage registration. Materials of this article result from my ethnography in a village in East Java in 2017. I did interviews, participant observation and document analysis and applied the “state-in-society” approach to analyse the finding. In this article, I suggest that to maintain their influence, penghulu tend not to present themselves as ulama although their identity as a religious authority is highly important. Instead, penghulu identify themselves as the state agency by materialising their authority to provide state recognition of Muslim marriages into the resource of power. On the other hand, modin play important roles in bridging the relationship between the state and society. Modin find themselves subject to compromise between competing legal orders so that they sometimes need to produce an alternative legal norm to make their intermediary role possible. [Artikel ini mendiskusikan posisi penghulu dan modin serta melihat bagaimana mereka berjuang untuk berebut pengaruh di masyarakat dalam hal pencatatan perkawinan. Bahan-bahan artikel ini diperoleh dari etnografi yang saya lakukan di sebuah desa di Jawa Timur pada tahun 2017. Saya melakukan wawancara, observasi partisipatif, dan analisis dokumen serta menggunakan pendekatan “state-in-society” untuk menganalisa temuan lapangan. Saya menyimpulkan bahwa untuk mempertahankan pengaruhnya, penghulu cenderung tidak menampilkan dirinya sebagai ulama meskipun identitas mereka sebagai otoritas agama tetap penting. Sebaliknya, mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai agen negara dengan mentransformasi otoritas untuk memberikan pengakuan negara atas perkawinan sebagai sumber kekuasaan. Selain itu, modin memiliki peran penting dalam menjembatani hubungan negara dan masyarakat. Modin berada dalam situasi kompetisi antar norma hukum sehingga terkadang perlu untuk membuat norma hukum alternatif untuk mempertahankan posisi mereka.
本文论述了“彭hulu”和“摩登”的地位,并考察了他们在婚姻登记背景下如何争夺影响力。本文的材料来源于我2017年在东爪哇一个村庄的民族志研究。我进行了访谈、参与者观察和文献分析,并采用“国家-社会”的方法来分析这一发现。在这篇文章中,我建议,为了保持他们的影响力,penghulu倾向于不以乌拉玛的身份出现,尽管他们作为宗教权威的身份非常重要。相反,penghulu将自己定位为国家机构,将其提供国家承认穆斯林婚姻的权力转化为权力资源。另一方面,现代在弥合国家与社会之间的关系方面发挥着重要作用。Modin发现自己受制于相互竞争的法律秩序之间的妥协,因此他们有时需要产生另一种法律规范,以使他们的中介角色成为可能。[Artikel ini mendiskusikan posisi penghulu dan modin serta melihat bagaimana mereka berjuang untuk berebut pengaruh di masyarakat dalam hal penatatan perkawinan]。Bahan-bahan artikel ini diperoleh dari人种学,yang saya lakukan di sebuah desa di java Timur pada tahun 2017。Saya melakukan wawancara,观察参与,和分析dokumen serta menggunakan pendekatan " state-in-society " untuk menganalisa temuan lapangan。Saya menypulkkan bahwa untuk mempertahankan pengaruhnya, penghulu cenderung tidak menampilkan dirinya sebagai ulama meskipun identitas mereka sebagai otoritas agama tetap penting。我的意思是,我的女儿是我的女儿,我的女儿是我的女儿,我的女儿是我的女儿,我的女儿是我的女儿。Selain itu,他是现代的记忆学家,他的名字是“dalam menjembatani hubungan negara dan masyarakat”。现代社会的社会环境是竞争的结果,是竞争的结果,是竞争的结果,是竞争的结果,是竞争的结果,是竞争的结果。