{"title":"印尼的宗教广播以公正的尊严视角进行","authors":"Michael Hasudungan","doi":"10.24246/alethea.vol4.no1.p57-74","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Artikel ini merupakan sari tulisan dari suatu hasil penelitian yang diadakan dengan tujuan menemukan, menggambarkan dan menganalisis pengaturan penyiaran agama di Indonesia dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat. Bermula dari kegelisahan penulis ketika menyimak peraturan perundang-undangan yang berisi larangan penyiaran agama terhadap orang yang telah beragama. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 4 huruf (b) dan (c) Keputusan Bersama Menteri Agama j.o Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 Kemenag No 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama serta SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Materi muatan dari Perundang-undangan tersebut menimbulkan kesan bahwa negara menghalangi hak atas kebebasan rakyat Indonesia untuk beragama. Sehingga terlihat pula ada konflik antara perundang-undangan di atas dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar (Konstitusi Tertulis), manifestasi dari jiwa bangsa (volkgeist). Akibatnya hak asasi manusia untuk bebas beragama menjadi kabur dan kehilangan arah. Kekaburan dan disorientasi tersebut berdampak pada gangguan dalam usaha hukum mencapai tujuan hukum yang di dalam teori Keadilan Bermartabat adalah memanusiakan manusia di dalam masyarakat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia (nguwongke uwong).","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"PENGATURAN PENYIARAN AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT\",\"authors\":\"Michael Hasudungan\",\"doi\":\"10.24246/alethea.vol4.no1.p57-74\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Artikel ini merupakan sari tulisan dari suatu hasil penelitian yang diadakan dengan tujuan menemukan, menggambarkan dan menganalisis pengaturan penyiaran agama di Indonesia dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat. Bermula dari kegelisahan penulis ketika menyimak peraturan perundang-undangan yang berisi larangan penyiaran agama terhadap orang yang telah beragama. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 4 huruf (b) dan (c) Keputusan Bersama Menteri Agama j.o Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 Kemenag No 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama serta SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Materi muatan dari Perundang-undangan tersebut menimbulkan kesan bahwa negara menghalangi hak atas kebebasan rakyat Indonesia untuk beragama. Sehingga terlihat pula ada konflik antara perundang-undangan di atas dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar (Konstitusi Tertulis), manifestasi dari jiwa bangsa (volkgeist). Akibatnya hak asasi manusia untuk bebas beragama menjadi kabur dan kehilangan arah. Kekaburan dan disorientasi tersebut berdampak pada gangguan dalam usaha hukum mencapai tujuan hukum yang di dalam teori Keadilan Bermartabat adalah memanusiakan manusia di dalam masyarakat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia (nguwongke uwong).\",\"PeriodicalId\":332641,\"journal\":{\"name\":\"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA\",\"volume\":\"24 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2020-12-16\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no1.p57-74\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no1.p57-74","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
PENGATURAN PENYIARAN AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT
Artikel ini merupakan sari tulisan dari suatu hasil penelitian yang diadakan dengan tujuan menemukan, menggambarkan dan menganalisis pengaturan penyiaran agama di Indonesia dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat. Bermula dari kegelisahan penulis ketika menyimak peraturan perundang-undangan yang berisi larangan penyiaran agama terhadap orang yang telah beragama. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 4 huruf (b) dan (c) Keputusan Bersama Menteri Agama j.o Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 Kemenag No 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama serta SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Materi muatan dari Perundang-undangan tersebut menimbulkan kesan bahwa negara menghalangi hak atas kebebasan rakyat Indonesia untuk beragama. Sehingga terlihat pula ada konflik antara perundang-undangan di atas dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar (Konstitusi Tertulis), manifestasi dari jiwa bangsa (volkgeist). Akibatnya hak asasi manusia untuk bebas beragama menjadi kabur dan kehilangan arah. Kekaburan dan disorientasi tersebut berdampak pada gangguan dalam usaha hukum mencapai tujuan hukum yang di dalam teori Keadilan Bermartabat adalah memanusiakan manusia di dalam masyarakat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia (nguwongke uwong).