Pub Date : 2022-05-05DOI: 10.24246/alethea.vol4.no2.p165-184
Anselma Palma Putri Kencana Adi
Penulisan ini menulis mengenai pentingnya mengurus akta kematian bagi ahli waris. Lebih khususnya membahas mengenai apa itu akta kematian, teori yang digunakan, ahli waris, harta warisan dan faktor-faktor penghambat pembuatan akta kematian. Penulisan ini didasari dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 44 ayat (1). Pengurusan akta kematian ini memberikan manfaat bagi seseorang yang ditinggalkan. Manfaat tersebut adalah guna untuk mengurus harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Pengurusan akta kematian dan akibat hukum setelahnya yaitu waris tertuang pada Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Benda. Penulisan ini juga menjelaskan bagaimana upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menyemarakkan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya akta kematian.
{"title":"AKIBAT HUKUM AKTA KEMATIAN BAGI AHLI WARIS","authors":"Anselma Palma Putri Kencana Adi","doi":"10.24246/alethea.vol4.no2.p165-184","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no2.p165-184","url":null,"abstract":"Penulisan ini menulis mengenai pentingnya mengurus akta kematian bagi ahli waris. Lebih khususnya membahas mengenai apa itu akta kematian, teori yang digunakan, ahli waris, harta warisan dan faktor-faktor penghambat pembuatan akta kematian. Penulisan ini didasari dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 44 ayat (1). Pengurusan akta kematian ini memberikan manfaat bagi seseorang yang ditinggalkan. Manfaat tersebut adalah guna untuk mengurus harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Pengurusan akta kematian dan akibat hukum setelahnya yaitu waris tertuang pada Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Benda. Penulisan ini juga menjelaskan bagaimana upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menyemarakkan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya akta kematian. \u0000 ","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-05-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121476840","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-05-05DOI: 10.24246/alethea.vol4.no2.p95-114
Sirat Handayani
Penelitian ini mengkaji mengenai Kepastian hukum pembagian waris orang yang dianggap hilang berdsarkan penetapan ketidakhadiran di Pengadilan, akibat hukum dan pengurusan hak dan kewajiban pembagian waris, dan fakotr-faktor orang dapat dikatakan menghilang. Penetapan Pengadilan Negeri terkait orang yang dianggap hilang dilihat dari segi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 463 sampai dengan Pasal 495, dan pembagian waris terhadap ahli warisnya, serta keadaan apabila orang yang dianggap hilang kembali atau terdapat kabar bahwa ia masih hidup, dan akibat hukum dari perkawinan dari suami atau istri si tidak hadir ketika istri atau suami dari si tidak hadir akan melangsungkan perkawinan baru dengan pihak lain.
{"title":"KEPASTIAN HUKUM PEMBAGIAN WARIS TERHADAP ORANG YANG DIANGGAP HILANG BERDASARKAN PENETAPAN KETIDAKHADIRAN DI PENGADILAN","authors":"Sirat Handayani","doi":"10.24246/alethea.vol4.no2.p95-114","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no2.p95-114","url":null,"abstract":"Penelitian ini mengkaji mengenai Kepastian hukum pembagian waris orang yang dianggap hilang berdsarkan penetapan ketidakhadiran di Pengadilan, akibat hukum dan pengurusan hak dan kewajiban pembagian waris, dan fakotr-faktor orang dapat dikatakan menghilang. Penetapan Pengadilan Negeri terkait orang yang dianggap hilang dilihat dari segi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 463 sampai dengan Pasal 495, dan pembagian waris terhadap ahli warisnya, serta keadaan apabila orang yang dianggap hilang kembali atau terdapat kabar bahwa ia masih hidup, dan akibat hukum dari perkawinan dari suami atau istri si tidak hadir ketika istri atau suami dari si tidak hadir akan melangsungkan perkawinan baru dengan pihak lain.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"42 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-05-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127216619","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-05-05DOI: 10.24246/alethea.vol4.no2.p115-130
Zahra Apritania Jati
Dalam prakteknya banyak kasus dimana seseorang dan biasanya masih memiliki ikatan darah dengan sorang anak dimana anak tersebut memiliki hak atas tanah dan anak tersebut masih di bawah umur yang mana tanpa melakukan permohonan perwalian kepada Pengadilan Negeri melakukan peristiwa hukum peralihan hak atas tanah melalui cara jual beli mengatas namakan anak walinya. Syarat materiil maupun syarat formil untuk peralihan hak atas tanah oleh anak di bawah umur harus dipenuhi syaratnya sesuai dengan syarat jual beli tanah. Syarat jual beli materiil merupakan syarat yang bersangkutan mengenai fakta yang berkaitan dengan subyek dan obyek dari jual beli. Anak yang masih di bawah umur dianggap tidak cakap secara hukum untuk melakukan suatu perjanjian sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal ini adalah perbuatan hukum peralihan hak atas tanah semata-mata wali tersebut bertindak sebagai si anak. Dengan tidak terpenuhinya syarat jual beli tersebut akan menimbulkan suatu akibat hukum dalam proses peralihan hak atas tanah.
{"title":"PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DIMILIKI ANAK OLEH ORANG YANG BERTINDAK SEBAGAI WALI","authors":"Zahra Apritania Jati","doi":"10.24246/alethea.vol4.no2.p115-130","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no2.p115-130","url":null,"abstract":"Dalam prakteknya banyak kasus dimana seseorang dan biasanya masih memiliki ikatan darah dengan sorang anak dimana anak tersebut memiliki hak atas tanah dan anak tersebut masih di bawah umur yang mana tanpa melakukan permohonan perwalian kepada Pengadilan Negeri melakukan peristiwa hukum peralihan hak atas tanah melalui cara jual beli mengatas namakan anak walinya. Syarat materiil maupun syarat formil untuk peralihan hak atas tanah oleh anak di bawah umur harus dipenuhi syaratnya sesuai dengan syarat jual beli tanah. Syarat jual beli materiil merupakan syarat yang bersangkutan mengenai fakta yang berkaitan dengan subyek dan obyek dari jual beli. Anak yang masih di bawah umur dianggap tidak cakap secara hukum untuk melakukan suatu perjanjian sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal ini adalah perbuatan hukum peralihan hak atas tanah semata-mata wali tersebut bertindak sebagai si anak. Dengan tidak terpenuhinya syarat jual beli tersebut akan menimbulkan suatu akibat hukum dalam proses peralihan hak atas tanah.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"2025 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-05-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127462134","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-05-05DOI: 10.24246/alethea.vol4.no2.p131-146
Irselin Tasik Lino
Pada dasarnya kewenangan peradilan untuk memberikan perwalian terhadap seseorang untuk mewakili anak belum dewasa dalam melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dan kebaikan anak, yang meliputi hak asuh terhadap anak dan juga harta kekayaannya serta pengelolaan barang anak tersebut. Pada intinya adalah mengenai perwalian anak sudah diatur di dalam KUHPerdata, Undang-undang dan juga KHI. Tanggung jawab hukum seorang wali ditunjuk oleh Pengadilan untuk mengawasi harta benda keagamaan anak yang berada dibawah perwaliannya untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik dan tanggung jawab harta benda anak yang berada di bawah perwalian serta kerugian yang timbul karena kesalahan maupun kelalaiannya. Jika orang tua dari anak yang belum dewasa tersebut meninggal dunia maka anak akan mendapatkan harta yang diwarisi dari orang tuanya, maka anak itu harus diwakili oleh walinya, maka akibatnya harta peninggalan itu diperoleh seorang anak atas peristiwa warisannya adalah orang tuanya dapat memenuhi rasa keadilan dan hukum kepastian. Mengenai hak asuh, termasuk didalamnya wali yang ditunjuk atau ditunjuk oleh hakim melalui penetapan pengadilan.
{"title":"PERMOHONAN PERWALIAN ANAK DIBAWAH UMUR OLEH IBU KANDUNG DALAM PENGELOLAAN HARTA WARISAN","authors":"Irselin Tasik Lino","doi":"10.24246/alethea.vol4.no2.p131-146","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no2.p131-146","url":null,"abstract":"Pada dasarnya kewenangan peradilan untuk memberikan perwalian terhadap seseorang untuk mewakili anak belum dewasa dalam melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dan kebaikan anak, yang meliputi hak asuh terhadap anak dan juga harta kekayaannya serta pengelolaan barang anak tersebut. Pada intinya adalah mengenai perwalian anak sudah diatur di dalam KUHPerdata, Undang-undang dan juga KHI. Tanggung jawab hukum seorang wali ditunjuk oleh Pengadilan untuk mengawasi harta benda keagamaan anak yang berada dibawah perwaliannya untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik dan tanggung jawab harta benda anak yang berada di bawah perwalian serta kerugian yang timbul karena kesalahan maupun kelalaiannya. Jika orang tua dari anak yang belum dewasa tersebut meninggal dunia maka anak akan mendapatkan harta yang diwarisi dari orang tuanya, maka anak itu harus diwakili oleh walinya, maka akibatnya harta peninggalan itu diperoleh seorang anak atas peristiwa warisannya adalah orang tuanya dapat memenuhi rasa keadilan dan hukum kepastian. Mengenai hak asuh, termasuk didalamnya wali yang ditunjuk atau ditunjuk oleh hakim melalui penetapan pengadilan.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"348 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-05-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124296566","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-03-20DOI: 10.24246/alethea.vol3.no2.p135-154
Digna Amelia Tilman
Isu hukum artikel ini berkenaan dengan konstitusionalitas ketentuan sanksi pidana mati bagi terpidana tindak pidana korupsi yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menentukan bahwa pidana mati dapat dikenakan bagi terpidana tindak pidana korupsi apabila dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Sesuai isu tersebut, Artikel ini berargumen bahwa pidana mati bagi terpidana tindak pidana korupsi bertentangan dengan hak untuk hidup. Hak untuk hidup merupakan HAM primer dari sekian banyak HAM yang diberikan oleh Allah. Apabila hak untuk hidup dibatasi, maka HAM yang lain ikut terbatasi. Oleh karena itu, hak untuk hidup mutlak tidak dapat dibatasi, a contrario, negara tidak memiliki hak untuk membatasinya.
{"title":"KONSTITUSIONALITAS SANKSI PIDANA MATI BAGI TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI","authors":"Digna Amelia Tilman","doi":"10.24246/alethea.vol3.no2.p135-154","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol3.no2.p135-154","url":null,"abstract":"Isu hukum artikel ini berkenaan dengan konstitusionalitas ketentuan sanksi pidana mati bagi terpidana tindak pidana korupsi yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menentukan bahwa pidana mati dapat dikenakan bagi terpidana tindak pidana korupsi apabila dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Sesuai isu tersebut, Artikel ini berargumen bahwa pidana mati bagi terpidana tindak pidana korupsi bertentangan dengan hak untuk hidup. Hak untuk hidup merupakan HAM primer dari sekian banyak HAM yang diberikan oleh Allah. Apabila hak untuk hidup dibatasi, maka HAM yang lain ikut terbatasi. Oleh karena itu, hak untuk hidup mutlak tidak dapat dibatasi, a contrario, negara tidak memiliki hak untuk membatasinya.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"63 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134123139","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-12-16DOI: 10.24246/alethea.vol4.no1.p1-20
Meila Fatma Herryiani, Marihot Janpieter Hutajulu
Tulisan ini membahas tentang klausula dalam perjanjian baku pembuatan kartu kredit yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Mengandung makna dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah diperbolehkan mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam perjanjian kartu kredit. Penulis berpendapat bahwa Pasal tersebut tidak boleh diperkecualikan. Pengecualian akan berakibat pada berkurangnya perlindungan bagi pengguna kartu kredit. Asas keadilan perlu dijunjung tinggi dalam kaitannya dengan perjanjian sehingga diharapkan terjadi keseimbangan posisi antara pihak debitur dan kreditur sebagai penerbit kartu kredit.
{"title":"PENGESAMPINGAN PASAL 1266 DAN PASAL 1267 KUHPERDATA DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT","authors":"Meila Fatma Herryiani, Marihot Janpieter Hutajulu","doi":"10.24246/alethea.vol4.no1.p1-20","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no1.p1-20","url":null,"abstract":"Tulisan ini membahas tentang klausula dalam perjanjian baku pembuatan kartu kredit yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Mengandung makna dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah diperbolehkan mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam perjanjian kartu kredit. Penulis berpendapat bahwa Pasal tersebut tidak boleh diperkecualikan. Pengecualian akan berakibat pada berkurangnya perlindungan bagi pengguna kartu kredit. Asas keadilan perlu dijunjung tinggi dalam kaitannya dengan perjanjian sehingga diharapkan terjadi keseimbangan posisi antara pihak debitur dan kreditur sebagai penerbit kartu kredit.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129393042","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-12-16DOI: 10.24246/alethea.vol4.no1.p57-74
Michael Hasudungan
Artikel ini merupakan sari tulisan dari suatu hasil penelitian yang diadakan dengan tujuan menemukan, menggambarkan dan menganalisis pengaturan penyiaran agama di Indonesia dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat. Bermula dari kegelisahan penulis ketika menyimak peraturan perundang-undangan yang berisi larangan penyiaran agama terhadap orang yang telah beragama. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 4 huruf (b) dan (c) Keputusan Bersama Menteri Agama j.o Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 Kemenag No 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama serta SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Materi muatan dari Perundang-undangan tersebut menimbulkan kesan bahwa negara menghalangi hak atas kebebasan rakyat Indonesia untuk beragama. Sehingga terlihat pula ada konflik antara perundang-undangan di atas dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar (Konstitusi Tertulis), manifestasi dari jiwa bangsa (volkgeist). Akibatnya hak asasi manusia untuk bebas beragama menjadi kabur dan kehilangan arah. Kekaburan dan disorientasi tersebut berdampak pada gangguan dalam usaha hukum mencapai tujuan hukum yang di dalam teori Keadilan Bermartabat adalah memanusiakan manusia di dalam masyarakat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia (nguwongke uwong).
{"title":"PENGATURAN PENYIARAN AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT","authors":"Michael Hasudungan","doi":"10.24246/alethea.vol4.no1.p57-74","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no1.p57-74","url":null,"abstract":"Artikel ini merupakan sari tulisan dari suatu hasil penelitian yang diadakan dengan tujuan menemukan, menggambarkan dan menganalisis pengaturan penyiaran agama di Indonesia dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat. Bermula dari kegelisahan penulis ketika menyimak peraturan perundang-undangan yang berisi larangan penyiaran agama terhadap orang yang telah beragama. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 4 huruf (b) dan (c) Keputusan Bersama Menteri Agama j.o Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 Kemenag No 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama serta SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Materi muatan dari Perundang-undangan tersebut menimbulkan kesan bahwa negara menghalangi hak atas kebebasan rakyat Indonesia untuk beragama. Sehingga terlihat pula ada konflik antara perundang-undangan di atas dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar (Konstitusi Tertulis), manifestasi dari jiwa bangsa (volkgeist). Akibatnya hak asasi manusia untuk bebas beragama menjadi kabur dan kehilangan arah. Kekaburan dan disorientasi tersebut berdampak pada gangguan dalam usaha hukum mencapai tujuan hukum yang di dalam teori Keadilan Bermartabat adalah memanusiakan manusia di dalam masyarakat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia (nguwongke uwong).","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114648573","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-12-16DOI: 10.24246/alethea.vol4.no1.p41-56
Hendrik Nathanael Saya
Tulisan ini adalah miniatur dari skripsi penulis yang berisi tentang perlindungan terhadap hak membentuk ikatan perkawinan pekerja, dimana hak membentuk ikatan perkawinan bisa dibatasi oleh perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama hal tersebut diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan terhadap hak membentuk ikatan perkawinan pekerja dimaksud dengan pertimbangan, hak asasi manusia dimana ikatan perkawinan adalah hak yang melekat pada setiap manusia sehingga tidak dapat dibatasi oleh undang-undang. Pasal 153 ayat (1) huruf f sangat jelas bertentangan dengan HAM, dalam Pasal 153 huruf f memberi ruang kepada pengusaha untuk dapat membatasi ikatan perkawinan pekerja.
{"title":"PERLINDUNGAN HAK MEMBENTUK IKATAN PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN","authors":"Hendrik Nathanael Saya","doi":"10.24246/alethea.vol4.no1.p41-56","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no1.p41-56","url":null,"abstract":"Tulisan ini adalah miniatur dari skripsi penulis yang berisi tentang perlindungan terhadap hak membentuk ikatan perkawinan pekerja, dimana hak membentuk ikatan perkawinan bisa dibatasi oleh perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama hal tersebut diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan terhadap hak membentuk ikatan perkawinan pekerja dimaksud dengan pertimbangan, hak asasi manusia dimana ikatan perkawinan adalah hak yang melekat pada setiap manusia sehingga tidak dapat dibatasi oleh undang-undang. Pasal 153 ayat (1) huruf f sangat jelas bertentangan dengan HAM, dalam Pasal 153 huruf f memberi ruang kepada pengusaha untuk dapat membatasi ikatan perkawinan pekerja.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122751598","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-12-16DOI: 10.24246/alethea.vol4.no1.p75-94
Achmad Labib Chidqi
DPD dan DPR merupakan bagian dari lembaga legislatif yang mencerminkan sistem bikameral. Namun kewenangan konstitusional DPD sangatlah terbatas. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dibentuknya DPD. Dengan adanya pembatasan kewenangan konstitusional DPD, akan berpengaruh pada fungsi legislasi DPD untuk menjamin terwujudnya checks and balances dalam lembaga legislatif. Sehingga harus ada perluasan kewenangan konstitusional untuk menjamin checks and balances. Salah satunya dengan adanya penambahan kewenangan legislasi DPD. Hal ini bisa dilakukan dengan cara atribusi kewenangan legislasi DPR kepada DPD atau menambahkan kewenangan DPD tanpa mengurangi kewenangan DPR, atau dengan menambahkan kewenangan DPD dan mengurangi kewenangan DPR dalam bidang legislasi. Dalam tulisan ini penulis akan mengintegrasikan likely bicameralism dengan strong bicameralism. Indonesia mencerminkan likely bicameralism namun masih soft bicameral. Dalam bikameral yang efektif, semua UU dibahas oleh DPR dan DPD secara terpisah dan bertahap dan RUU dapat diajukan baik oleh DPR maupun oleh DPD. Nantinya, DPR dan DPD membahas sendiri-sendiri, dengan kemungkinan perundingan melalui panitia bersama dan kemudian Presiden diberi hak untuk menyatakan penolakan politiknya dalam proses pengesahan oleh Presiden.
{"title":"PERLUASAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DITINJAU DARI BIKAMERAL YANG IDEAL","authors":"Achmad Labib Chidqi","doi":"10.24246/alethea.vol4.no1.p75-94","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no1.p75-94","url":null,"abstract":"DPD dan DPR merupakan bagian dari lembaga legislatif yang mencerminkan sistem bikameral. Namun kewenangan konstitusional DPD sangatlah terbatas. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dibentuknya DPD. Dengan adanya pembatasan kewenangan konstitusional DPD, akan berpengaruh pada fungsi legislasi DPD untuk menjamin terwujudnya checks and balances dalam lembaga legislatif. Sehingga harus ada perluasan kewenangan konstitusional untuk menjamin checks and balances. Salah satunya dengan adanya penambahan kewenangan legislasi DPD. Hal ini bisa dilakukan dengan cara atribusi kewenangan legislasi DPR kepada DPD atau menambahkan kewenangan DPD tanpa mengurangi kewenangan DPR, atau dengan menambahkan kewenangan DPD dan mengurangi kewenangan DPR dalam bidang legislasi. Dalam tulisan ini penulis akan mengintegrasikan likely bicameralism dengan strong bicameralism. Indonesia mencerminkan likely bicameralism namun masih soft bicameral. Dalam bikameral yang efektif, semua UU dibahas oleh DPR dan DPD secara terpisah dan bertahap dan RUU dapat diajukan baik oleh DPR maupun oleh DPD. Nantinya, DPR dan DPD membahas sendiri-sendiri, dengan kemungkinan perundingan melalui panitia bersama dan kemudian Presiden diberi hak untuk menyatakan penolakan politiknya dalam proses pengesahan oleh Presiden.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"92 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124896714","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-12-16DOI: 10.24246/alethea.vol4.no1.p21-40
T. Wiyono
Artikel ini hendak meyoroti kebijakan legislatif dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen atas produk-produk yang membahayakan kesehatan terhadap perbuatan pelaku usaha dalam memproduksi barang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan tujuan untuk melihat bagaimana negara mengatur mengenai kebijakan legislatif dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen. Sanksi pidana untuk penegakan hukum terhadap pelaku usaha dalam memproduksi barang yang membahayakan kesehatan, yaitu dengan pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan (pembayaran ganti rugi) baik terhadap pelaku usaha perseorangan maupun korporasi. Dengan adanya sanksi pidana kurungan, pidana denda, konsumen yang dirugikan tidak mendapatkan apa-apa. Melihat dari pihak konsumen diharapkan adanya bentuk perlindungan secara langsung yakni hanya pada bentuk sanksi pembayaran ganti rugi.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PRODUK PANGAN YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA","authors":"T. Wiyono","doi":"10.24246/alethea.vol4.no1.p21-40","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no1.p21-40","url":null,"abstract":"Artikel ini hendak meyoroti kebijakan legislatif dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen atas produk-produk yang membahayakan kesehatan terhadap perbuatan pelaku usaha dalam memproduksi barang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan tujuan untuk melihat bagaimana negara mengatur mengenai kebijakan legislatif dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen. Sanksi pidana untuk penegakan hukum terhadap pelaku usaha dalam memproduksi barang yang membahayakan kesehatan, yaitu dengan pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan (pembayaran ganti rugi) baik terhadap pelaku usaha perseorangan maupun korporasi. Dengan adanya sanksi pidana kurungan, pidana denda, konsumen yang dirugikan tidak mendapatkan apa-apa. Melihat dari pihak konsumen diharapkan adanya bentuk perlindungan secara langsung yakni hanya pada bentuk sanksi pembayaran ganti rugi.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"13 9","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"120901100","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}