{"title":"在J.P . SARTRE和S.H . NASHR的观点下,对人类存在的比较研究","authors":"Mukhammad Lutfi","doi":"10.23887/jfi.v6i2.56528","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Penelitian ini mengkaji eksistensi manusia dalam pandangan J.P Sartre dan S.H Nashr. Penelitian inimenggunakan pendekatan hermeneutika dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan bagaimana eksistensi manusia pandangan Barat dan Islam yang dalam hal ini difokuskan pada pemikiran Sartre dan Nashr. Jenis penelitian ini adalah library research. Hasilnya ditemukan ada titik temu sekaligus titik pisah dalam pemikiran keduanya. Titik pisah yang sangat mencolok terutama terilihat bagaimana keduanya melihat faktor lain di luar diri manusia, bisa jadi itu makhluk lain, manusia lain atau bahkan Tuhan. Dilihat dari sisi manusia sebagai objek Sartre berpendapat bahwa manusia yang tidak memiliki kesadaran akan nasibnya maka manusia itu tergolong ’etre-en-soi, sementara Nashr melihatnya sebagai fitrah bagi manusia, karena Tuhan telah menentukan nasib manusia sebelumnya. Dari sisi subjek, Nashr berpendapat manusia memang memiliki kekuasaan atas dirinya (khalīfah) sebagai subjek namun realitas itu merupakan amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia, sementara Sartre mengartikan kekuasaan atau kebebasan itu sebagai sesuatu yang mutlak (’etre-pour-soi). Meski faktisitas menjerat, dan menghantui manusia Sartre menganggapnya sebagai materi kosong belaka. Nashr mengatakan manusia aktif sebagai khalīfah dan pasif menjadi hamba. Berkenaan dengan fungsi khalīfah, manusia harus mengaktifkan potensinya sebagai manusia universal dan manusia yang utuh.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"37 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"STUDI KOMPARATIF EKSISTENSI MANUSIA DALAM PANDANGAN J.P SARTRE DAN S.H NASHR\",\"authors\":\"Mukhammad Lutfi\",\"doi\":\"10.23887/jfi.v6i2.56528\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Penelitian ini mengkaji eksistensi manusia dalam pandangan J.P Sartre dan S.H Nashr. Penelitian inimenggunakan pendekatan hermeneutika dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan bagaimana eksistensi manusia pandangan Barat dan Islam yang dalam hal ini difokuskan pada pemikiran Sartre dan Nashr. Jenis penelitian ini adalah library research. Hasilnya ditemukan ada titik temu sekaligus titik pisah dalam pemikiran keduanya. Titik pisah yang sangat mencolok terutama terilihat bagaimana keduanya melihat faktor lain di luar diri manusia, bisa jadi itu makhluk lain, manusia lain atau bahkan Tuhan. Dilihat dari sisi manusia sebagai objek Sartre berpendapat bahwa manusia yang tidak memiliki kesadaran akan nasibnya maka manusia itu tergolong ’etre-en-soi, sementara Nashr melihatnya sebagai fitrah bagi manusia, karena Tuhan telah menentukan nasib manusia sebelumnya. Dari sisi subjek, Nashr berpendapat manusia memang memiliki kekuasaan atas dirinya (khalīfah) sebagai subjek namun realitas itu merupakan amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia, sementara Sartre mengartikan kekuasaan atau kebebasan itu sebagai sesuatu yang mutlak (’etre-pour-soi). Meski faktisitas menjerat, dan menghantui manusia Sartre menganggapnya sebagai materi kosong belaka. Nashr mengatakan manusia aktif sebagai khalīfah dan pasif menjadi hamba. Berkenaan dengan fungsi khalīfah, manusia harus mengaktifkan potensinya sebagai manusia universal dan manusia yang utuh.\",\"PeriodicalId\":344212,\"journal\":{\"name\":\"Jurnal Filsafat Indonesia\",\"volume\":\"37 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2023-06-30\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Jurnal Filsafat Indonesia\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.23887/jfi.v6i2.56528\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Filsafat Indonesia","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.23887/jfi.v6i2.56528","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
STUDI KOMPARATIF EKSISTENSI MANUSIA DALAM PANDANGAN J.P SARTRE DAN S.H NASHR
Penelitian ini mengkaji eksistensi manusia dalam pandangan J.P Sartre dan S.H Nashr. Penelitian inimenggunakan pendekatan hermeneutika dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan bagaimana eksistensi manusia pandangan Barat dan Islam yang dalam hal ini difokuskan pada pemikiran Sartre dan Nashr. Jenis penelitian ini adalah library research. Hasilnya ditemukan ada titik temu sekaligus titik pisah dalam pemikiran keduanya. Titik pisah yang sangat mencolok terutama terilihat bagaimana keduanya melihat faktor lain di luar diri manusia, bisa jadi itu makhluk lain, manusia lain atau bahkan Tuhan. Dilihat dari sisi manusia sebagai objek Sartre berpendapat bahwa manusia yang tidak memiliki kesadaran akan nasibnya maka manusia itu tergolong ’etre-en-soi, sementara Nashr melihatnya sebagai fitrah bagi manusia, karena Tuhan telah menentukan nasib manusia sebelumnya. Dari sisi subjek, Nashr berpendapat manusia memang memiliki kekuasaan atas dirinya (khalīfah) sebagai subjek namun realitas itu merupakan amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia, sementara Sartre mengartikan kekuasaan atau kebebasan itu sebagai sesuatu yang mutlak (’etre-pour-soi). Meski faktisitas menjerat, dan menghantui manusia Sartre menganggapnya sebagai materi kosong belaka. Nashr mengatakan manusia aktif sebagai khalīfah dan pasif menjadi hamba. Berkenaan dengan fungsi khalīfah, manusia harus mengaktifkan potensinya sebagai manusia universal dan manusia yang utuh.