{"title":"印尼温和伊斯兰政治:国际压力与国内竞争之间","authors":"Rizky Alif Alvian, I. Ardhani","doi":"10.14421/ajis.2023.611.19-57","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This article focuses on understanding how Muslim-majority countries adapt to the discourse of moderate Islam to their political circumstances. Using Indonesia’s experience as a case study, the article argues that countries’ political configurations influence decisions to apply the discourse in domestic politics. In the Indonesian context, political leaders’ unwillingness and inability to confront the Islamists are crucial factors that limited the influence of moderation discourse in former Presidents Megawati’s and Yudhoyono’s reigns. During that period, the presidents used the discourse mainly to signal to the international community that Indonesia did not align itself with the transnational network of terrorism. In contrast with his predecessors, President Widodo is willing to use the discourse to undermine the influence of the Islamists, thereby neutralising their challenges and cementing his political power. Moreover, this article demonstrates that the content of the discourse of moderation is indeterminate. Although the concept is usually associated with positive democratic attitudes, Widodo’s emphasis on support for national unity in his definition of moderation shows that political actors can appropriate the concept and adjust it to their particular political needs. [Tulisan ini berusaha memahami bagaimana negara mayoritas Muslim beradaptasi dengan wacana Islam moderat dalam kehidupan politiknya. Menggunakan pengalaman Indonesia sebagai studi kasus, tulisan ini berpendapat bahwa keputusan untuk menerapkan wacana tersebut dalam politik domestik dipengaruhi oleh konfigurasi politik dalam negeri. Dalam konteks Indonesia, ketidakinginan dan ketidakmampuan para pemimpin politik untuk menghadapi kelompok Islamis adalah faktor krusial yang membatasi pengaruh wacana moderasi di masa kepemimpinan Presiden Megawati dan Yudhoyono. Dalam periode tersebut, kedua presiden menggunakan wacana moderasi utamanya untuk mengirim sinyal kepada komunitas internasional bahwa Indonesia tidak berpihak pada jaringan teroris transnasional. Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Widodo memanfaatkan wacana tersebut untuk melemahkan pengaruh kelompok Islamis, dalam rangka menetralisir tantangan dan mengukuhkan kekuatan politiknya. Lebih dari itu, tulisan ini menunjukkan bahwa isi dari wacana moderasi tidaklah pasti. Walaupun konsep tersebut umumnya diasosiasikan dengan sikap demokratik yang positif, penekanan Widodo pada dukungan bagi persatuan bangsa dalam definisi moderasinya menunjukkan bahwa para aktor politik dapat menyesuaikannya dengan kepentingan politik mereka yang spesifik.]","PeriodicalId":42231,"journal":{"name":"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.3000,"publicationDate":"2023-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"2","resultStr":"{\"title\":\"The Politics of Moderate Islam in Indonesia: Between International Pressure and Domestic Contestations\",\"authors\":\"Rizky Alif Alvian, I. Ardhani\",\"doi\":\"10.14421/ajis.2023.611.19-57\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"This article focuses on understanding how Muslim-majority countries adapt to the discourse of moderate Islam to their political circumstances. Using Indonesia’s experience as a case study, the article argues that countries’ political configurations influence decisions to apply the discourse in domestic politics. In the Indonesian context, political leaders’ unwillingness and inability to confront the Islamists are crucial factors that limited the influence of moderation discourse in former Presidents Megawati’s and Yudhoyono’s reigns. During that period, the presidents used the discourse mainly to signal to the international community that Indonesia did not align itself with the transnational network of terrorism. In contrast with his predecessors, President Widodo is willing to use the discourse to undermine the influence of the Islamists, thereby neutralising their challenges and cementing his political power. Moreover, this article demonstrates that the content of the discourse of moderation is indeterminate. Although the concept is usually associated with positive democratic attitudes, Widodo’s emphasis on support for national unity in his definition of moderation shows that political actors can appropriate the concept and adjust it to their particular political needs. [Tulisan ini berusaha memahami bagaimana negara mayoritas Muslim beradaptasi dengan wacana Islam moderat dalam kehidupan politiknya. Menggunakan pengalaman Indonesia sebagai studi kasus, tulisan ini berpendapat bahwa keputusan untuk menerapkan wacana tersebut dalam politik domestik dipengaruhi oleh konfigurasi politik dalam negeri. Dalam konteks Indonesia, ketidakinginan dan ketidakmampuan para pemimpin politik untuk menghadapi kelompok Islamis adalah faktor krusial yang membatasi pengaruh wacana moderasi di masa kepemimpinan Presiden Megawati dan Yudhoyono. Dalam periode tersebut, kedua presiden menggunakan wacana moderasi utamanya untuk mengirim sinyal kepada komunitas internasional bahwa Indonesia tidak berpihak pada jaringan teroris transnasional. Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Widodo memanfaatkan wacana tersebut untuk melemahkan pengaruh kelompok Islamis, dalam rangka menetralisir tantangan dan mengukuhkan kekuatan politiknya. Lebih dari itu, tulisan ini menunjukkan bahwa isi dari wacana moderasi tidaklah pasti. Walaupun konsep tersebut umumnya diasosiasikan dengan sikap demokratik yang positif, penekanan Widodo pada dukungan bagi persatuan bangsa dalam definisi moderasinya menunjukkan bahwa para aktor politik dapat menyesuaikannya dengan kepentingan politik mereka yang spesifik.]\",\"PeriodicalId\":42231,\"journal\":{\"name\":\"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies\",\"volume\":\" \",\"pages\":\"\"},\"PeriodicalIF\":0.3000,\"publicationDate\":\"2023-06-30\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"2\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.14421/ajis.2023.611.19-57\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"0\",\"JCRName\":\"RELIGION\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Al-Jamiah-Journal of Islamic Studies","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.14421/ajis.2023.611.19-57","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"0","JCRName":"RELIGION","Score":null,"Total":0}
引用次数: 2
摘要
本文的重点是了解穆斯林占多数的国家如何适应温和伊斯兰教的话语以适应其政治环境。本文以印尼的经验为例,论证了国家的政治结构影响了在国内政治中运用话语的决策。在印尼的背景下,政治领导人不愿意也没有能力对抗伊斯兰主义者,这是限制前总统梅加瓦蒂和尤多约诺执政期间温和言论影响力的关键因素。在此期间,两国总统主要利用这一讲话向国际社会发出信号,表明印尼不与跨国恐怖主义网络结盟。与他的前任相比,维多多总统愿意利用言论削弱伊斯兰主义者的影响,从而抵消他们的挑战,巩固他的政治权力。此外,本文还论证了中庸话语的内容是不确定的。虽然这个概念通常与积极的民主态度联系在一起,但维多多在他对中庸的定义中强调支持民族团结,这表明政治行动者可以利用这个概念,并根据他们的特定政治需要进行调整。[图里桑尼·贝鲁沙·穆罕默德·穆罕默德·巴格曼·尼加拉·马约里塔斯·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德·穆罕默德孟古纳坎彭加拉曼印度尼西亚的研究kasus, tuisan ini berpendapat bahwa keputusan untuk menerapkan wacana teresbut dalam政治学国内dipengaruhi oleh konfigurasi政治学dalam negeri。印尼总统梅加瓦蒂·尤多约诺(memegawati dan Yudhoyono)是印尼最大的政治领袖,也是印尼最大的政治领袖。达拉姆时期不久,印尼总统蒙古纳坎·瓦卡纳(monguakan wacana)担任现代印尼总统,他说,蒙古纳坎(mongu纳坎)是印尼国际集团的成员,他说,这是一个恐怖主义跨国公司。印尼总统佐科威(Widodo)表示:“我想要成为一名优秀的政治家,我想要成为一名优秀的政治家。”我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是我的意思。
The Politics of Moderate Islam in Indonesia: Between International Pressure and Domestic Contestations
This article focuses on understanding how Muslim-majority countries adapt to the discourse of moderate Islam to their political circumstances. Using Indonesia’s experience as a case study, the article argues that countries’ political configurations influence decisions to apply the discourse in domestic politics. In the Indonesian context, political leaders’ unwillingness and inability to confront the Islamists are crucial factors that limited the influence of moderation discourse in former Presidents Megawati’s and Yudhoyono’s reigns. During that period, the presidents used the discourse mainly to signal to the international community that Indonesia did not align itself with the transnational network of terrorism. In contrast with his predecessors, President Widodo is willing to use the discourse to undermine the influence of the Islamists, thereby neutralising their challenges and cementing his political power. Moreover, this article demonstrates that the content of the discourse of moderation is indeterminate. Although the concept is usually associated with positive democratic attitudes, Widodo’s emphasis on support for national unity in his definition of moderation shows that political actors can appropriate the concept and adjust it to their particular political needs. [Tulisan ini berusaha memahami bagaimana negara mayoritas Muslim beradaptasi dengan wacana Islam moderat dalam kehidupan politiknya. Menggunakan pengalaman Indonesia sebagai studi kasus, tulisan ini berpendapat bahwa keputusan untuk menerapkan wacana tersebut dalam politik domestik dipengaruhi oleh konfigurasi politik dalam negeri. Dalam konteks Indonesia, ketidakinginan dan ketidakmampuan para pemimpin politik untuk menghadapi kelompok Islamis adalah faktor krusial yang membatasi pengaruh wacana moderasi di masa kepemimpinan Presiden Megawati dan Yudhoyono. Dalam periode tersebut, kedua presiden menggunakan wacana moderasi utamanya untuk mengirim sinyal kepada komunitas internasional bahwa Indonesia tidak berpihak pada jaringan teroris transnasional. Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Widodo memanfaatkan wacana tersebut untuk melemahkan pengaruh kelompok Islamis, dalam rangka menetralisir tantangan dan mengukuhkan kekuatan politiknya. Lebih dari itu, tulisan ini menunjukkan bahwa isi dari wacana moderasi tidaklah pasti. Walaupun konsep tersebut umumnya diasosiasikan dengan sikap demokratik yang positif, penekanan Widodo pada dukungan bagi persatuan bangsa dalam definisi moderasinya menunjukkan bahwa para aktor politik dapat menyesuaikannya dengan kepentingan politik mereka yang spesifik.]