{"title":"世界女性与媒体","authors":"Mudji Rahardjo","doi":"10.18860/EL.V3I1.4681","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Language and media are accused of being an effective tool for perpetuating the dominance of men over women through word and image. This paper reviews how language uses words that deliberately 'marginalize' women. While the media continues to contain images and events that also discredit and degrade women's dignity. Because of the many perspectives on violence, this article will only understand violence according to the Galtung perspective. Because, as known Johan Galtung is a sociologist who devoted his attention to violence as a social phenomenon two decades past. Injustice and inequality due to social gender either through language with the harsh and degrading selection of words and degrading women's dignity or through the media that shows women as sex objects and commodities shows that violence will continue. Because, in addition to the media have the authority as the holder of the news an event, women themselves attitudes justify, underline and accept the myth of male domination of women. If people think women are not as smart as men, they tend to accept because they accept the authority of society. Bahasa dan media dituding sebagai alat yang efektif untuk mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan melalui kata maupun gambar. Tulisan ini mengulas bagaimana bahasa menggunakan kata yang dengan sengaja ‘meminggirkan’ kaum perempuan. Sedangkan media terus menerus memuat gambar dan peristiwa yang juga memojokkan dan merendahkan martabat kaum perempuan. Karena banyaknya perspektif tentang kekerasan, tulisan ini hanya akan memahami kekerasan menurut perspektif Galtung. Sebab, sebagaimana diketahui Johan Galtung merupakan sosiolog yang mencurahkan perhatiannya pada kekerasan sebagai fenomena sosial dua dasa warsa terakhir. Ketidakadilan dan ketidak setaraan akibat jenis kelamin sosial baik melalui bahasa dengan pemilihan kata-kata yang kasar dan merendahkan martabat perempuan maupun melalui media yang menayangkan perempuan sebagai obyek dan komoditas seks menunjukkan bahwa kekerasan masih akan terus berlangsung. Sebab, selain media memiliki otoritas sebagai pemegang pemberitaan sebuah peristiwa, perempuan sendiri sikapnya ikut membenarkan, menggarisbawahi dan menerima saja mitos dominasi laki-laki atas perempuan. Kalau masyarakat menilai perempuan tidak sepintar laki-laki, mereka cenderung menerima karena mereka menerima otoritas masyarakat.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"3 1","pages":"1-8"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-01-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":"{\"title\":\"KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM BAHASA DAN MEDIA\",\"authors\":\"Mudji Rahardjo\",\"doi\":\"10.18860/EL.V3I1.4681\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Language and media are accused of being an effective tool for perpetuating the dominance of men over women through word and image. This paper reviews how language uses words that deliberately 'marginalize' women. While the media continues to contain images and events that also discredit and degrade women's dignity. Because of the many perspectives on violence, this article will only understand violence according to the Galtung perspective. Because, as known Johan Galtung is a sociologist who devoted his attention to violence as a social phenomenon two decades past. Injustice and inequality due to social gender either through language with the harsh and degrading selection of words and degrading women's dignity or through the media that shows women as sex objects and commodities shows that violence will continue. Because, in addition to the media have the authority as the holder of the news an event, women themselves attitudes justify, underline and accept the myth of male domination of women. If people think women are not as smart as men, they tend to accept because they accept the authority of society. Bahasa dan media dituding sebagai alat yang efektif untuk mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan melalui kata maupun gambar. Tulisan ini mengulas bagaimana bahasa menggunakan kata yang dengan sengaja ‘meminggirkan’ kaum perempuan. Sedangkan media terus menerus memuat gambar dan peristiwa yang juga memojokkan dan merendahkan martabat kaum perempuan. Karena banyaknya perspektif tentang kekerasan, tulisan ini hanya akan memahami kekerasan menurut perspektif Galtung. Sebab, sebagaimana diketahui Johan Galtung merupakan sosiolog yang mencurahkan perhatiannya pada kekerasan sebagai fenomena sosial dua dasa warsa terakhir. Ketidakadilan dan ketidak setaraan akibat jenis kelamin sosial baik melalui bahasa dengan pemilihan kata-kata yang kasar dan merendahkan martabat perempuan maupun melalui media yang menayangkan perempuan sebagai obyek dan komoditas seks menunjukkan bahwa kekerasan masih akan terus berlangsung. Sebab, selain media memiliki otoritas sebagai pemegang pemberitaan sebuah peristiwa, perempuan sendiri sikapnya ikut membenarkan, menggarisbawahi dan menerima saja mitos dominasi laki-laki atas perempuan. Kalau masyarakat menilai perempuan tidak sepintar laki-laki, mereka cenderung menerima karena mereka menerima otoritas masyarakat.\",\"PeriodicalId\":31198,\"journal\":{\"name\":\"El Harakah\",\"volume\":\"3 1\",\"pages\":\"1-8\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2018-01-15\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"1\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"El Harakah\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.18860/EL.V3I1.4681\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"El Harakah","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.18860/EL.V3I1.4681","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM BAHASA DAN MEDIA
Language and media are accused of being an effective tool for perpetuating the dominance of men over women through word and image. This paper reviews how language uses words that deliberately 'marginalize' women. While the media continues to contain images and events that also discredit and degrade women's dignity. Because of the many perspectives on violence, this article will only understand violence according to the Galtung perspective. Because, as known Johan Galtung is a sociologist who devoted his attention to violence as a social phenomenon two decades past. Injustice and inequality due to social gender either through language with the harsh and degrading selection of words and degrading women's dignity or through the media that shows women as sex objects and commodities shows that violence will continue. Because, in addition to the media have the authority as the holder of the news an event, women themselves attitudes justify, underline and accept the myth of male domination of women. If people think women are not as smart as men, they tend to accept because they accept the authority of society. Bahasa dan media dituding sebagai alat yang efektif untuk mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan melalui kata maupun gambar. Tulisan ini mengulas bagaimana bahasa menggunakan kata yang dengan sengaja ‘meminggirkan’ kaum perempuan. Sedangkan media terus menerus memuat gambar dan peristiwa yang juga memojokkan dan merendahkan martabat kaum perempuan. Karena banyaknya perspektif tentang kekerasan, tulisan ini hanya akan memahami kekerasan menurut perspektif Galtung. Sebab, sebagaimana diketahui Johan Galtung merupakan sosiolog yang mencurahkan perhatiannya pada kekerasan sebagai fenomena sosial dua dasa warsa terakhir. Ketidakadilan dan ketidak setaraan akibat jenis kelamin sosial baik melalui bahasa dengan pemilihan kata-kata yang kasar dan merendahkan martabat perempuan maupun melalui media yang menayangkan perempuan sebagai obyek dan komoditas seks menunjukkan bahwa kekerasan masih akan terus berlangsung. Sebab, selain media memiliki otoritas sebagai pemegang pemberitaan sebuah peristiwa, perempuan sendiri sikapnya ikut membenarkan, menggarisbawahi dan menerima saja mitos dominasi laki-laki atas perempuan. Kalau masyarakat menilai perempuan tidak sepintar laki-laki, mereka cenderung menerima karena mereka menerima otoritas masyarakat.