{"title":"Homo Faber dan Animal Laborans dalam Dunia Pendidikan Teologi di Indonesia: Refleksi dari Pemikiran Hannah Arendt","authors":"W. Wibowo","doi":"10.21460/gema.2023.81.1030","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"AbstractTheological education (or divinity studies according to the nomenclature of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology) is in a tension between the interest of the Church as a subject, that of the government with its various rules, and the call to answer and provide solutions for society. A practice of theological education often produces either graduates or theological thinking that is only intended for an exclusive community, namely a particular faith community. Using Hannah Arendt's thoughts on homo faber and animal laborans, it is seen that theological education that does not produce a change in society is still in the animal labor stage. For this reason, several conditions are needed for the theological education process to produce homo faber, including criticality, creativity, and freedom.\nAbstrakPendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, pemerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat. Tidak jarang pendidikan teologi hanya menghasilkan 'produk' entah lulusan atau teologi yang hanya diperuntukkan bagi komunitas eksklusif, yaitu komunitas anggota gereja. Dengan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan. Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas dan kebebasan.","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-04-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21460/gema.2023.81.1030","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
AbstractTheological education (or divinity studies according to the nomenclature of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology) is in a tension between the interest of the Church as a subject, that of the government with its various rules, and the call to answer and provide solutions for society. A practice of theological education often produces either graduates or theological thinking that is only intended for an exclusive community, namely a particular faith community. Using Hannah Arendt's thoughts on homo faber and animal laborans, it is seen that theological education that does not produce a change in society is still in the animal labor stage. For this reason, several conditions are needed for the theological education process to produce homo faber, including criticality, creativity, and freedom.
AbstrakPendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, pemerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat. Tidak jarang pendidikan teologi hanya menghasilkan 'produk' entah lulusan atau teologi yang hanya diperuntukkan bagi komunitas eksklusif, yaitu komunitas anggota gereja. Dengan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan. Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas dan kebebasan.
摘要神学教育(或根据教育、文化、研究和技术部的命名的神学研究)处于教会作为主体的利益,政府的各种规则的利益,以及回答和提供社会解决方案的呼吁之间的紧张关系。神学教育的实践通常产生的要么是毕业生,要么是神学思想,这些思想只针对一个独特的群体,即一个特定的信仰群体。运用汉娜·阿伦特关于人与动物劳动者的思想可以看出,没有在社会中产生变化的神学教育仍处于动物劳动者阶段。因此,神学教育过程中需要几个条件,包括批判性、创造性和自由。摘要/ abstract摘要:pendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, peremerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat。天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津。dunkan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan。Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas and kebebasan。