{"title":"Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung","authors":"R. Kristian","doi":"10.32734/LWSA.V1I1.149","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Bencana erupsi gunung Sinabung pertama kali terjadi tahun 2010, kemudian pada tahun 2013 sampai 2015 tidak berhenti erupsi. Ada kesan bahwa pemerintah tidak serius menangani penanggulangan bencana ini, mulai dari terlambatnya pembentukan BPBD Kabupaten Karo hingga tidak adanya rencana kontigensi bencana erupsi gunung Sinabung. Hal ini mendorong penulis untuk menganalisa faktor-faktor yang menghambat implementasi kebijakan penanggulangan bencana pada erupsi gunung Sinabung. Kebijakan penanggulangan bencana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Penanggulangan Bencana harusnya dilakukan di semua daerah, terutama rawan bencana seperti Kabupaten Karo.Penelitian dilakukan di Kabupaten Karo dengan informan pemerintah Kabupaten, lembaga non pemerintah yag ikut terlibat penanganan bencana, BNPB dan akademisi yang merupakan ahli dan juga terjun langsung dalam penanganan bencana erupsi gunung Sinabung. Penelitian ini menggunakan model analisis implementasi George Edward III, yang terdiri dari factor komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data primer menggunakan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor disposisi pemerintah menjadi faktor paling dominan yang mempengaruhi faktor-faktor lainnya \n \nThe first eruption of Mount Sinabung disaster occurred in 2010; then in 2013, and it did not stop erupting until 2015. There is an impression that the government is not serious about dealing with disaster management, starting from the delayed establishment of the Karo Regency BPBD to the absence of contingency plans for the Mount Sinabung eruption. This encourages the writer to analyze the factors that hinder the implementation of disaster management policies on the eruption of Mount Sinabung. Disaster management policies contained in Act No. 24 of 2007 concerning Disaster Management Systems should be carried out in all regions, especially disaster-prone areas such as the Karo Regency. Research was carried out in Karo District with district government informants, non-government institutions involved in disaster management, BNPB, and academics who were experts and also directly involved in handling the Mount Sinabung eruption disaster. This study used the George Edward III implementation analysis model, which consisted of communication, resources, disposition and bureaucratic structures. This research used a desciptive qualitative approach. The primary data collection technique was conducted by interviews. The results showed that the government disposition factor was the most dominant factor affecting the other factors","PeriodicalId":339972,"journal":{"name":"Talenta Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts (LWSA)","volume":"42 6","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-10-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Talenta Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts (LWSA)","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.32734/LWSA.V1I1.149","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
Bencana erupsi gunung Sinabung pertama kali terjadi tahun 2010, kemudian pada tahun 2013 sampai 2015 tidak berhenti erupsi. Ada kesan bahwa pemerintah tidak serius menangani penanggulangan bencana ini, mulai dari terlambatnya pembentukan BPBD Kabupaten Karo hingga tidak adanya rencana kontigensi bencana erupsi gunung Sinabung. Hal ini mendorong penulis untuk menganalisa faktor-faktor yang menghambat implementasi kebijakan penanggulangan bencana pada erupsi gunung Sinabung. Kebijakan penanggulangan bencana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Penanggulangan Bencana harusnya dilakukan di semua daerah, terutama rawan bencana seperti Kabupaten Karo.Penelitian dilakukan di Kabupaten Karo dengan informan pemerintah Kabupaten, lembaga non pemerintah yag ikut terlibat penanganan bencana, BNPB dan akademisi yang merupakan ahli dan juga terjun langsung dalam penanganan bencana erupsi gunung Sinabung. Penelitian ini menggunakan model analisis implementasi George Edward III, yang terdiri dari factor komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data primer menggunakan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor disposisi pemerintah menjadi faktor paling dominan yang mempengaruhi faktor-faktor lainnya
The first eruption of Mount Sinabung disaster occurred in 2010; then in 2013, and it did not stop erupting until 2015. There is an impression that the government is not serious about dealing with disaster management, starting from the delayed establishment of the Karo Regency BPBD to the absence of contingency plans for the Mount Sinabung eruption. This encourages the writer to analyze the factors that hinder the implementation of disaster management policies on the eruption of Mount Sinabung. Disaster management policies contained in Act No. 24 of 2007 concerning Disaster Management Systems should be carried out in all regions, especially disaster-prone areas such as the Karo Regency. Research was carried out in Karo District with district government informants, non-government institutions involved in disaster management, BNPB, and academics who were experts and also directly involved in handling the Mount Sinabung eruption disaster. This study used the George Edward III implementation analysis model, which consisted of communication, resources, disposition and bureaucratic structures. This research used a desciptive qualitative approach. The primary data collection technique was conducted by interviews. The results showed that the government disposition factor was the most dominant factor affecting the other factors
第一次爆发的西纳邦火山灾难发生在2010年,然后在2013年到2015年,并没有停止。有一种印象是,政府没有认真对待这一灾难,从卡罗县BPBD的建立到锡纳邦火山喷发的应急计划。这促使作者分析阻碍在萨纳邦火山爆发时实施救灾政策的因素。2007年第24号关于救灾系统的灾难性政策应该在所有地区制定,特别是卡罗区(Karo area)等多灾率。这项研究是在卡罗区进行的,该地区的政府资料来源、参与救灾工作的非政府组织、BNPB和学者也参与了专门的工作,并直接参与了锡纳邦火山爆发。这项研究采用了乔治·爱德华三世的成就分析模型,它由沟通、资源、性格和官僚结构组成。这项研究采用了定性的方法。主要的数据收集技术采用访谈法。研究结果表明,政府不稳定是影响2010年锡那邦灾难山第一次根除的主要因素;2013年,它直到2015年才停止运行。政府对处理灾难管理并不认真,从卡罗不断建立的建设开始,从锡纳邦火山根除的不正当机构开始。这篇文章的目的是分析锡纳邦山灾难管理政策的实施。《2007年灾害管理系统》(the Disaster management policies)第24号提案应列入《所有地区的灾难管理系统》(all regions of Disaster management Systems)。这项研究被列入卡罗地区与政府信息交换处、不治理机构、BNPB和学术界目前正在研究并直接参与锡纳邦根除山的挑战。这项研究利用了乔治·爱德华三世的应用分析模型,该模型包括通信、资源、配股和市场结构。这项研究用了令人沮丧的品质。初级数据收集技术是由访谈委托的。政府的争议因素是最受控制的因素影响的其他因素