{"title":"Estetika Posmodern Puisi “Aku Ingin” Karya Saut Situmorang","authors":"K. Prihantono","doi":"10.31813/GRAMATIKA/6.1.2018.132.21--35","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Penelitian ini mengkaji estetika puisi “Aku Ingin” karya Saut Situmorang dengan melibatkan pengamatan unsur tekstual dan ekstratekstual, unsur-unsur di dalam dan di luar teks puisi. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat lima gejala estetika puisi “Aku Ingin” karya Saut Situmorang mencakupi (1) pastiche, (2) parodi, (3) kitsch, (4) camp, dan (5) skizofrenia. Transformasi puisi yang lebih dahulu ada, yakni “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono ke dalam bentuk puisi baru versi Saut menunjukkan gejala pastiche. Gejala pastiche juga terlihat dalam hubungan intertekstualitas dengan teks sebelumnya, yakni drama tragedi Romeo and Juliet. Pemikiran dan ungkapan penyair Sapardi diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya tampak absurd. Ungkapan “mencintai dengan membabi buta” ali-alih “mencintai dengan sederhana” menjadi sebuah penanda imitasi karya yang dibuat mendekati aslinya tetapi disimpangkan arahnya menunjukkan gejala parodi. Gejala kitsch terlihat pada masuknya drama tragedi Romeo and Juliet dalam puisi yang menunjukkan hilangnya batas hasil dan nilai-nilai budaya tinggi dengan budaya massa kontemporer. Gejala camp terlihat pada jawaban Saut terhadap “kebosanan” dan sekaligus merupakan satu reaksi terhadap keangkuhan kebudayaan tinggi yang telah memisahkan seni dari makna-makna sosial dan fungsi komunikasi sosial yang dapat dilihat pada ungkapan “tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi” serta “yang membuatnya jadi abadi”. Gejala skizofrenia terlihat pada kekacauan pertandaan klitika “-Ku” dan “-Mu” pada ungkapan “mencintaiMu” dan “mencintaiKu” sebagai objek penyerta. Skizofrenia juga tampak pada kompleksitas susunan puisi yang terpecah-pecah, bahkan kenirhubungan antara baris pertama dan kedua di tiap bait puisi juga menunjukkan adanya idiom serupa. Kesemua temuan tersebut mentabalkan ciri estetika postmodernisme dalam puisi Saut, yakni ciri yang memanfaatkan citra dan tanda yang tanpa batas dengan cara menghancurkan makna, mengangkat hal-hal yang telah sekian lama dianggap tabu untuk menuju implikatur perenungan mendalam, berfikir intensif, dan perhatian penuh pembaca yang menjadi ciri keindahan postmodern. ","PeriodicalId":344484,"journal":{"name":"Gramatika: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan","volume":"15 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Gramatika: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.31813/GRAMATIKA/6.1.2018.132.21--35","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
Penelitian ini mengkaji estetika puisi “Aku Ingin” karya Saut Situmorang dengan melibatkan pengamatan unsur tekstual dan ekstratekstual, unsur-unsur di dalam dan di luar teks puisi. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat lima gejala estetika puisi “Aku Ingin” karya Saut Situmorang mencakupi (1) pastiche, (2) parodi, (3) kitsch, (4) camp, dan (5) skizofrenia. Transformasi puisi yang lebih dahulu ada, yakni “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono ke dalam bentuk puisi baru versi Saut menunjukkan gejala pastiche. Gejala pastiche juga terlihat dalam hubungan intertekstualitas dengan teks sebelumnya, yakni drama tragedi Romeo and Juliet. Pemikiran dan ungkapan penyair Sapardi diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya tampak absurd. Ungkapan “mencintai dengan membabi buta” ali-alih “mencintai dengan sederhana” menjadi sebuah penanda imitasi karya yang dibuat mendekati aslinya tetapi disimpangkan arahnya menunjukkan gejala parodi. Gejala kitsch terlihat pada masuknya drama tragedi Romeo and Juliet dalam puisi yang menunjukkan hilangnya batas hasil dan nilai-nilai budaya tinggi dengan budaya massa kontemporer. Gejala camp terlihat pada jawaban Saut terhadap “kebosanan” dan sekaligus merupakan satu reaksi terhadap keangkuhan kebudayaan tinggi yang telah memisahkan seni dari makna-makna sosial dan fungsi komunikasi sosial yang dapat dilihat pada ungkapan “tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi” serta “yang membuatnya jadi abadi”. Gejala skizofrenia terlihat pada kekacauan pertandaan klitika “-Ku” dan “-Mu” pada ungkapan “mencintaiMu” dan “mencintaiKu” sebagai objek penyerta. Skizofrenia juga tampak pada kompleksitas susunan puisi yang terpecah-pecah, bahkan kenirhubungan antara baris pertama dan kedua di tiap bait puisi juga menunjukkan adanya idiom serupa. Kesemua temuan tersebut mentabalkan ciri estetika postmodernisme dalam puisi Saut, yakni ciri yang memanfaatkan citra dan tanda yang tanpa batas dengan cara menghancurkan makna, mengangkat hal-hal yang telah sekian lama dianggap tabu untuk menuju implikatur perenungan mendalam, berfikir intensif, dan perhatian penuh pembaca yang menjadi ciri keindahan postmodern.