{"title":"Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Pejalan Kaki (Pedestrian) Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas","authors":"R. Nurachman, Dudu Duswara Machmudin","doi":"10.32816/paramarta.v18i2.69","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Penulis tertarik mengkaji judul ini karena antara praktik dan aturan terdapat kesenjangan yang sangat tajam terutama dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua pasal tersebut mengarahkan pada faktor pengemudi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, padahal banyak sekali perkara kecelakaan lalu lintas yang penyebab kecelakaan di akibatkan oleh pengguna jalan lain yaitu pejalan kaki yang menyebrang jalan tanpa memperhatikan keselamatan dan mengganggu fungsi jalan sehingga terjadilah kecelakaan, sedangkan aparat penegak hukum karena sulit menetapkan saksi dan bukti dan aturan Pasal 310 dan 311 Undang Undang Republik Indonesia Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan menekankan pengemudi kendaraan bermotor merupakan objek yang akan dikriminalisasikan, Dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan identifikasi masalahnya adalah Apakah pidana bagi pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? dan Bagaimanakah penerapan Unsur Efektivitas Penegakan Hukum terhadap Pejalan Kaki dalam Perkara Kecelakaan Lalu lintas menurut Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? Penyidik kepolisian dalam melakukan investigasi alat bukti perkara kecelakaan lalu lintas dengan objek terperiksa pedestrian lalai dalam kondisi menyeberang jalan, menurut norma tentang penetapan dan pembatalan, tindakan pedestrian yang kelalaian dalam menyeberang jalan yang bebas dari sistem moralitas dan norma sejenis lainnya. Hal ini membedakan antara hukum pidana dengan norma etika berlalu lintas dianggap sebagai pelanggaran, baik itu melanggar norma berprilaku (etika) atau norma kebiasaan berlalu lintas di suatu daerah. Ketika pedestrian lalai maka, kelalaian tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana (straafbaarfeit), melainkan berada dalam ranah etika kebiasaan yang tidak mengindahkan atau mengutamakan keselamatan berlalu lintas. Penerapan unsur efektivitas penegakan hukum terhadap pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan kepolisian, namun terkendala dalam proses investigasi dalam mencari alat bukti, terutama barang bukti, saksi dapat diperoleh","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"103 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i2.69","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Penulis tertarik mengkaji judul ini karena antara praktik dan aturan terdapat kesenjangan yang sangat tajam terutama dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua pasal tersebut mengarahkan pada faktor pengemudi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, padahal banyak sekali perkara kecelakaan lalu lintas yang penyebab kecelakaan di akibatkan oleh pengguna jalan lain yaitu pejalan kaki yang menyebrang jalan tanpa memperhatikan keselamatan dan mengganggu fungsi jalan sehingga terjadilah kecelakaan, sedangkan aparat penegak hukum karena sulit menetapkan saksi dan bukti dan aturan Pasal 310 dan 311 Undang Undang Republik Indonesia Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan menekankan pengemudi kendaraan bermotor merupakan objek yang akan dikriminalisasikan, Dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan identifikasi masalahnya adalah Apakah pidana bagi pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? dan Bagaimanakah penerapan Unsur Efektivitas Penegakan Hukum terhadap Pejalan Kaki dalam Perkara Kecelakaan Lalu lintas menurut Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? Penyidik kepolisian dalam melakukan investigasi alat bukti perkara kecelakaan lalu lintas dengan objek terperiksa pedestrian lalai dalam kondisi menyeberang jalan, menurut norma tentang penetapan dan pembatalan, tindakan pedestrian yang kelalaian dalam menyeberang jalan yang bebas dari sistem moralitas dan norma sejenis lainnya. Hal ini membedakan antara hukum pidana dengan norma etika berlalu lintas dianggap sebagai pelanggaran, baik itu melanggar norma berprilaku (etika) atau norma kebiasaan berlalu lintas di suatu daerah. Ketika pedestrian lalai maka, kelalaian tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana (straafbaarfeit), melainkan berada dalam ranah etika kebiasaan yang tidak mengindahkan atau mengutamakan keselamatan berlalu lintas. Penerapan unsur efektivitas penegakan hukum terhadap pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan kepolisian, namun terkendala dalam proses investigasi dalam mencari alat bukti, terutama barang bukti, saksi dapat diperoleh