Pub Date : 2020-05-31DOI: 10.32816/PARAMARTA.V19I1.83
Rachmat Suharno
Bisnis waralaba sebagai suatu sistem bisnis mempunyai karakteristik tersendiri di dalam kehidupan ekonomi dan juga menimbulkan permasalahan di bidang hukum dikarenakan bisnis waralaba ini didasarkan pada suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak, sehingga diperlukan adanya perlindungan hukum yang saling menguntungkan bagi masing-masing pihak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian normatif-yuridis. Penelitian yang dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan. Perlindungan waralaba memberikan dampak yang sangat significant terhadap penerima waralaba. Perlindungan atas kepentingan pihak penerima waralaba sangat diperlukan, karena pada kenyataanya pihak penerima waralaba selalu berada dalam pihak yang dirugikan., bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada penerima waralaba adalah berupa perjanjian waralaba yang dibuat oleh pemberi waralaba yang meliputi hak dan kewajiban penerima waralaba. Dalam perjanjian waralaba tersebut terdapat lebih banyaknya kewajiban yang harus ditanggung dibandingkan hak yang diperoleh penerima waralaba.Prosedur pendaftaran waralaba tidak menentukan sahnya suatu kontrak waralaba karena produsen tersebut hanya diatur melalui PP No. 42/2007 bukan melalui Undang-Undang. Sekalipun tidak menentukan syarat sahnya suatu perjanjian waralaba, prosedur mengenai pendaftaran waralaba tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dalam hal perjanjian waralaba dan prospektus penawaran waralaba tidak didaftarkan, maka terdapat sanksi yang dapat dijatuhkan sebagaimana dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan sanksi administratif berupa denda.
{"title":"ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEWARALABA DIKAITKAN DENGAN PENEGAKAN HUKUM KONTRAK","authors":"Rachmat Suharno","doi":"10.32816/PARAMARTA.V19I1.83","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/PARAMARTA.V19I1.83","url":null,"abstract":"Bisnis waralaba sebagai suatu sistem bisnis mempunyai karakteristik tersendiri di dalam kehidupan ekonomi dan juga menimbulkan permasalahan di bidang hukum dikarenakan bisnis waralaba ini didasarkan pada suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak, sehingga diperlukan adanya perlindungan hukum yang saling menguntungkan bagi masing-masing pihak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian normatif-yuridis. Penelitian yang dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan. Perlindungan waralaba memberikan dampak yang sangat significant terhadap penerima waralaba. Perlindungan atas kepentingan pihak penerima waralaba sangat diperlukan, karena pada kenyataanya pihak penerima waralaba selalu berada dalam pihak yang dirugikan., bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada penerima waralaba adalah berupa perjanjian waralaba yang dibuat oleh pemberi waralaba yang meliputi hak dan kewajiban penerima waralaba. Dalam perjanjian waralaba tersebut terdapat lebih banyaknya kewajiban yang harus ditanggung dibandingkan hak yang diperoleh penerima waralaba.Prosedur pendaftaran waralaba tidak menentukan sahnya suatu kontrak waralaba karena produsen tersebut hanya diatur melalui PP No. 42/2007 bukan melalui Undang-Undang. Sekalipun tidak menentukan syarat sahnya suatu perjanjian waralaba, prosedur mengenai pendaftaran waralaba tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dalam hal perjanjian waralaba dan prospektus penawaran waralaba tidak didaftarkan, maka terdapat sanksi yang dapat dijatuhkan sebagaimana dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan sanksi administratif berupa denda.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"16 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116661325","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-05-31DOI: 10.32816/PARAMARTA.V19I1.84
Ryan Fani
Kejahatan berat Hak Asasi Manusia (HAM) dalam skala Internasional meliputi Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi. Kejahatan berat HAM ini biasanya dijadikan sebagai alat pencapaian dari kebijakan – kebijakan pemerintah, sehingga kejahatan ini mempunyai kaitan erat dengan peran pimpinan militer maupun pimpinan sipil yang mempunyai motivasi tertentu seperti pemberian perintah untuk melakukan kejahatan berat HAM terhadap anak buahnya. Oleh karenanya hal itu akan sangat berhubungan dengan doktrin Pertanggungjawaban Komando, doktrin pertanggungjawaban komando dalam tatanan hukum internasional mempunyai penafsiran yang kurang tegas dan luas yang rentan menimbulkan rasa ketidakadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian yang didapatkan ialah ketidak tegasan dari prinsip atau doktrin pertanggungjawaban komando terdapat pada redaksi atau frasa “Ketidak-berhasilan Komandan”. frasa tersebut dapat ditafsirkan bahwa walaupun komandan/atasan telah melakukan upaya pengendalian semaksimal mungkin terhadap anak buahnya yang akan, sedang, atau telah melakukan kejahatan berat HAM, namun upaya tersebut tetap tidak berhasil dan pada faktanya anak buahnya telah melakukan kejahatan, maka atasan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan, namun disisi lain frasa “ketidak-berhasilan” ini juga dapat ditafsirkan atas tindakan komandan/atasan yang melakukan pembiaran (ommision), artinya komandan atau atasan sama sekali tidak melakukan upaya pengendalian (Pencegahan atau tindakan) terhadap bawahan atau anak buahnya, atas dasar hal itu maka sikap atasan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan. Ketidak tegasan prinsip atau doktrin inilah yang kemudian akan menimbulkan ketidak adilan bagi para pihak yang bersangkutan, sehingga perlu adanya pembaharuan penafsiran secara tegas atas doktrin pertanggungjawaban komando ini.
大规模的国际人权罪行包括种族灭绝罪、反人类罪、战争罪和侵犯罪。这些严重的人权罪行通常被认为是政策的工具——政府的政策,因此这些罪行与军事和民事领导人的角色有密切的联系,他们的动机是下令对其人民犯下严重的人权罪行。因此,它将与《责任论》(command charity)非常相关,《国际法律体系》(international law history of command)的《责任论》(command charge)缺乏广泛和广泛的解释,很容易在执法过程中产生不公正的感觉。本文采用的方法是采用次要数据的规范核力法。这项研究的结果是,负责责任的原则或教义的不一致在于编辑,或称“局长的无能”。这句话可以解释,虽然上级指挥官-曾对部下进行尽可能充分控制的努力会、中等或犯了罪重的熏火腿,但这些努力没有成功,事实上犯了罪的人,那么可以入账,但另一方面指的老板这些ketidak-berhasilan”这句话也可以解释的上级指挥官-行为不当行为(ommision),这意味着指挥官或上级对下属或其人员不采取任何控制(预防或行动)的行动,因此,这一理由可以解释这种优越的领导态度。这一原则或教义的不平等将使有关各方受到不公正的待遇,因此有必要对该特责制的解释进行严格的改革。
{"title":"DOKTRIN PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO ATAS KEJAHATAN BERAT HAM MENURUT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL","authors":"Ryan Fani","doi":"10.32816/PARAMARTA.V19I1.84","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/PARAMARTA.V19I1.84","url":null,"abstract":"Kejahatan berat Hak Asasi Manusia (HAM) dalam skala Internasional meliputi Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi. Kejahatan berat HAM ini biasanya dijadikan sebagai alat pencapaian dari kebijakan – kebijakan pemerintah, sehingga kejahatan ini mempunyai kaitan erat dengan peran pimpinan militer maupun pimpinan sipil yang mempunyai motivasi tertentu seperti pemberian perintah untuk melakukan kejahatan berat HAM terhadap anak buahnya. Oleh karenanya hal itu akan sangat berhubungan dengan doktrin Pertanggungjawaban Komando, doktrin pertanggungjawaban komando dalam tatanan hukum internasional mempunyai penafsiran yang kurang tegas dan luas yang rentan menimbulkan rasa ketidakadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian yang didapatkan ialah ketidak tegasan dari prinsip atau doktrin pertanggungjawaban komando terdapat pada redaksi atau frasa “Ketidak-berhasilan Komandan”. frasa tersebut dapat ditafsirkan bahwa walaupun komandan/atasan telah melakukan upaya pengendalian semaksimal mungkin terhadap anak buahnya yang akan, sedang, atau telah melakukan kejahatan berat HAM, namun upaya tersebut tetap tidak berhasil dan pada faktanya anak buahnya telah melakukan kejahatan, maka atasan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan, namun disisi lain frasa “ketidak-berhasilan” ini juga dapat ditafsirkan atas tindakan komandan/atasan yang melakukan pembiaran (ommision), artinya komandan atau atasan sama sekali tidak melakukan upaya pengendalian (Pencegahan atau tindakan) terhadap bawahan atau anak buahnya, atas dasar hal itu maka sikap atasan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan. Ketidak tegasan prinsip atau doktrin inilah yang kemudian akan menimbulkan ketidak adilan bagi para pihak yang bersangkutan, sehingga perlu adanya pembaharuan penafsiran secara tegas atas doktrin pertanggungjawaban komando ini.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"68 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126343239","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i2.73
Hernawati Ras
Kasus korupsi banyak melibatkan para pejabat pemerintah maupun anggota dewan, gratifikasi atau suap untuk meloloskan perijinan Meikarta, untuk memperoleh kontrak kerja sama proyek Independen Power Producer. Mencermati kasus-kasus korupsi, pelakunya adalah orang yang terpandang memiliki kedudukan atau jabatan dan berpendidikan, sehingga perlu diketemukan akar permasalahan yang paling mendasar. Dalam hal penelitian ini, akan ditelaah dari aspek kurikulum perguruan tinggi khususnya. Kurikulum di Fakultas Hukum UNLA, untuk tahun akademik 2018/2019 berlaku kurikulum baru yang berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indoensia (KKNI) dan Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT). Dalam kurikulum tersebut pada semester VI terdapat mata kuliah Tindak Pidana Korupsi, bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang unggul professional, inovatif dan berkarakter sesuai Visi UNLA. Relevansi mata kuliah tindak pidana korupsi dalam kurikulum Fakultas Hukum dengan visi dan misi UNLA yatitu adanya keterkaitan untuk menghasilkan lulusan yang unggul, profseional, inovatif Dan berkarakter untuk tidak melakukan perilaku yang koruptif sehingga menjadi pemimpin birokrat dan aparat penegak hokum yang bersih dan berwibawa. Upaya Fakultas Hukum menghasilakn lulusan sesuai visi UNLA terkait dengan mata kuliah tindak pidana korupsi yaitu Fakultas Hukum dalam kurikulumnya selalu mengupayakan agar materi tindak pidana korupsi diberikan baik dalam mata kuliah sebagai sisipan atau mata kuliah tersendiri dalam kurikulum baru untuk angkatan 2018/2019 sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dengan lulusan selain unggul, potensial, inovatif juga berkarakter sesuai jati diri bangsa Indonesia yang jujur dan dapat dipercaya.
{"title":"Relevansi Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi dalam Kurikulum Fakultas Hukum Unla Tahun Akademik 2018/2019 dengan Visi Universitas Langlangbuana","authors":"Hernawati Ras","doi":"10.32816/paramarta.v18i2.73","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i2.73","url":null,"abstract":"Kasus korupsi banyak melibatkan para pejabat pemerintah maupun anggota dewan, gratifikasi atau suap untuk meloloskan perijinan Meikarta, untuk memperoleh kontrak kerja sama proyek Independen Power Producer. Mencermati kasus-kasus korupsi, pelakunya adalah orang yang terpandang memiliki kedudukan atau jabatan dan berpendidikan, sehingga perlu diketemukan akar permasalahan yang paling mendasar. Dalam hal penelitian ini, akan ditelaah dari aspek kurikulum perguruan tinggi khususnya. Kurikulum di Fakultas Hukum UNLA, untuk tahun akademik 2018/2019 berlaku kurikulum baru yang berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indoensia (KKNI) dan Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT). Dalam kurikulum tersebut pada semester VI terdapat mata kuliah Tindak Pidana Korupsi, bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang unggul professional, inovatif dan berkarakter sesuai Visi UNLA. Relevansi mata kuliah tindak pidana korupsi dalam kurikulum Fakultas Hukum dengan visi dan misi UNLA yatitu adanya keterkaitan untuk menghasilkan lulusan yang unggul, profseional, inovatif Dan berkarakter untuk tidak melakukan perilaku yang koruptif sehingga menjadi pemimpin birokrat dan aparat penegak hokum yang bersih dan berwibawa. Upaya Fakultas Hukum menghasilakn lulusan sesuai visi UNLA terkait dengan mata kuliah tindak pidana korupsi yaitu Fakultas Hukum dalam kurikulumnya selalu mengupayakan agar materi tindak pidana korupsi diberikan baik dalam mata kuliah sebagai sisipan atau mata kuliah tersendiri dalam kurikulum baru untuk angkatan 2018/2019 sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dengan lulusan selain unggul, potensial, inovatif juga berkarakter sesuai jati diri bangsa Indonesia yang jujur dan dapat dipercaya.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128543906","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-02DOI: 10.32816/paramarta.v18i2.78
Eni Dasuki Suhardini
Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batas minimal usia perkawinan yaitu laki laki (19 tahun) , perempuan (16 tahun). Terhadap ketentan tsb Mahkamah Konstitusi menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungn Anak. Sekalipun telah ada pengaturan batas usia perkawinan , namun dalam pelaksanaannya masih terjadi perkawinan bawah umur . Bahkan Indonesia menduduki ranking 7 (dunia) dan ranking 2 (Asean). Perkawinan bawah umur disebabkan faktor ekonomi, Pendidikan, budaya dan agama. Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani perkawinan bawah umur dengan melaksanakan penyuluhan program Genre Ceria , yang bertujuan agar generasi muda Indonesia terhindar dari kegiatan – kegiatan negatif, seperti penyalahgunaan narkoba, dan mendorong pelaksanaan wajib belajar 12 tahun.
{"title":"Pelaksanaan Perkawinan Di Bawah Umur Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2018 di Kecamatan Lengkong","authors":"Eni Dasuki Suhardini","doi":"10.32816/paramarta.v18i2.78","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i2.78","url":null,"abstract":"Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batas minimal usia perkawinan yaitu laki laki (19 tahun) , perempuan (16 tahun). Terhadap ketentan tsb Mahkamah Konstitusi menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungn Anak. Sekalipun telah ada pengaturan batas usia perkawinan , namun dalam pelaksanaannya masih terjadi perkawinan bawah umur . Bahkan Indonesia menduduki ranking 7 (dunia) dan ranking 2 (Asean). Perkawinan bawah umur disebabkan faktor ekonomi, Pendidikan, budaya dan agama. Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani perkawinan bawah umur dengan melaksanakan penyuluhan program Genre Ceria , yang bertujuan agar generasi muda Indonesia terhindar dari kegiatan – kegiatan negatif, seperti penyalahgunaan narkoba, dan mendorong pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. ","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"395 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127170166","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i2.68
Amung Koswara, Riyanto S. Akhmadi
Korupsi sangat erat hubungannya dengan faktor penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang dari ketentuan hukum sehingga tindakan tersebut merugikan perekonomian dan keuangan negara. Salah satu peristiwa penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang yaitu kasus korupsi yang menimpa Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim selaku Aparatur Sipil Negara yang ditugaskan pada Pengadilan Negeri Bandung dengan jabatan Wakil Sekretaris. Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim merupakan perantara/makelar/calo dalam hal ganti rugi lahan yang menyalahi aturan, berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 126/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim dinyatakan tidak bersalah, namun setelah diajukan upaya kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Bandung maka Hakim Mahkamah Agung memberi putusan bersalah terhadap Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1258K/PID.SUS/2016. Berdasarkan hal tersebut yang menarik untuk diteliti yaitu bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1258K/PID.SUS/2016 serta apakah Aparatur Sipil Negara dapat menjadi perantara (makelar) untuk mendapatkan keuntungan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan yuridis pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1258K/PID.SUS/2016 masih kurang utamanya dari pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat terdakwa Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim. Mahkamah Agung seharusnya juga menggunakan Pasal 5 ayat (2) point j Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, karena terdakwa Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim telah menyalahgunakan jabatan untuk mendapat atau mencari keuntungan sendiri. Hakim Mahkamah Agung seharusnya juga mempertimbangkan Pasal 4 point 2 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri. Larangan bagi Aparatur Sipil Negara yang menjadi perantara (makelar) untuk mendapatkan keuntungan tersirat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Aparatur Sipil Negara yang tidak menaati ketentuan menyangkut kewajiban dan larangan dalam peraturan pemerintah tersebut dijatuhi hukuman disiplin, meliputi hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat.
腐败与滥用权力或影响的因素密切相关,这些因素偏离了法律规定,损害了国家的经济和金融。Drs中涉及腐败的案件是滥用权力或影响一个人作为腐败官员的关键事件。H. Alex Tahsin Ibrahim是被移交给万隆初审法院的公务员,担任副国务卿。博士。H. Alex Tahsin Ibrahim是非法土地赔偿的中间人/经纪人/中间人/calo,根据万隆地方法院第126号/Pid.Sus-TPK/2015/PN的裁决。皮肤博士。H. Alex Tahsin Ibrahim被判无罪,但在万隆检察官办公室提出上诉后,最高法院法官裁定Drs有罪。H. Alex Tahsin Ibrahim根据最高法院1258K/PID.SUS/2016裁定。基于这一点,有一件有趣的事情是,法官在最高法院1258K/PID的判决中如何考虑法律依据。2016年SUS/ es以及公务员是否能够获得利润。调查结果显示,最高法院考虑的是司法管辖区法官对1258K/PID的裁决。2016年SUS/2016仍然缺少用来诱捕被告Drs的章节。亚历克斯·解放·易卜拉欣。此外,最高法院应根据被告Drs的先例,2014年第5条关于民事人事的第5条(2)j点。H. Alex Tahsin Ibrahim滥用职权获得或谋求私利。最高法院法官还应考虑2010年第53条有关公务员纪律的政府条例第4条第2条和第8条。禁止世界各国公民人事也是受益的中间人(经纪人)自2010年政府法规中隐含53号关于公务员人事纪律的平民而言,不遵守规定的国家义务和禁止政府法规中被判处纪律,包括惩罚轻,严厉纪律正在惩罚,惩罚。
{"title":"Putusan Mahkamah Agung Nomor 1258k/Pid.Sus/2016 Tentang Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999","authors":"Amung Koswara, Riyanto S. Akhmadi","doi":"10.32816/paramarta.v18i2.68","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i2.68","url":null,"abstract":"Korupsi sangat erat hubungannya dengan faktor penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang dari ketentuan hukum sehingga tindakan tersebut merugikan perekonomian dan keuangan negara. Salah satu peristiwa penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang yaitu kasus korupsi yang menimpa Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim selaku Aparatur Sipil Negara yang ditugaskan pada Pengadilan Negeri Bandung dengan jabatan Wakil Sekretaris. Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim merupakan perantara/makelar/calo dalam hal ganti rugi lahan yang menyalahi aturan, berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 126/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim dinyatakan tidak bersalah, namun setelah diajukan upaya kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Bandung maka Hakim Mahkamah Agung memberi putusan bersalah terhadap Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1258K/PID.SUS/2016. Berdasarkan hal tersebut yang menarik untuk diteliti yaitu bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1258K/PID.SUS/2016 serta apakah Aparatur Sipil Negara dapat menjadi perantara (makelar) untuk mendapatkan keuntungan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan yuridis pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1258K/PID.SUS/2016 masih kurang utamanya dari pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat terdakwa Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim. Mahkamah Agung seharusnya juga menggunakan Pasal 5 ayat (2) point j Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, karena terdakwa Drs. H. Alex Tahsin Ibrahim telah menyalahgunakan jabatan untuk mendapat atau mencari keuntungan sendiri. Hakim Mahkamah Agung seharusnya juga mempertimbangkan Pasal 4 point 2 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri. Larangan bagi Aparatur Sipil Negara yang menjadi perantara (makelar) untuk mendapatkan keuntungan tersirat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Aparatur Sipil Negara yang tidak menaati ketentuan menyangkut kewajiban dan larangan dalam peraturan pemerintah tersebut dijatuhi hukuman disiplin, meliputi hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"70 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122932796","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i1.66
Fitri Aryani, Antonia Intarti
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya memberikan jaminan pemberian pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat. Pemberian pelayanan kesehatan yang baik juga harus sesuai prosedur yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tetapi, dalam suatu Hubungan antara Tenaga Kesehatan dan Pasien seringkali menimbulkan konflik karena pasien merasa dirugikan akibat kelalaian yang dilakukan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan profesinya yang kemudian disebut sebagai Malpraktik Medis. Dalam penelitian ini penulis bertujuan meneliti dua permasalahan, yang pertama mengenai pertanggungjawaban hukum atas malpraktik oleh tenaga medis berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta mengenai implikasi Hukum dalam penyelesaian kasus Malpraktik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan yang diatur dalam pasal 58 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran, dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien dapat menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. Kemudian di dalam prosedur penyelesaian hukum, bentuk pengajuan gugatan menurut aturan hukum yang berlaku pula haruslah disertakan dengan pendapat hukum dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang di atur di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sebagaimana dalam bentuk pelaksanaannya harus mengikuti dasar dalam bentuk syarat hukum administrasi atau penyelesaian terhadap bentuk ketentuan secara kode etik profesi dalam praktik kedokteran yang sebagaimana pula diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Bahwa perlindungan hukum atas profesi dokter sangatlah dijaga dan dilindungi serta bentuk dari keistimewaan profesi dokter sebagai jasa pelayanan medis.
{"title":"Pertanggungjawaban Hukum Atas Malpraktik Oleh Tenaga Medis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran","authors":"Fitri Aryani, Antonia Intarti","doi":"10.32816/paramarta.v18i1.66","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i1.66","url":null,"abstract":"Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya memberikan jaminan pemberian pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat. Pemberian pelayanan kesehatan yang baik juga harus sesuai prosedur yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tetapi, dalam suatu Hubungan antara Tenaga Kesehatan dan Pasien seringkali menimbulkan konflik karena pasien merasa dirugikan akibat kelalaian yang dilakukan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan profesinya yang kemudian disebut sebagai Malpraktik Medis. Dalam penelitian ini penulis bertujuan meneliti dua permasalahan, yang pertama mengenai pertanggungjawaban hukum atas malpraktik oleh tenaga medis berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta mengenai implikasi Hukum dalam penyelesaian kasus Malpraktik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan yang diatur dalam pasal 58 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran, dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien dapat menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. Kemudian di dalam prosedur penyelesaian hukum, bentuk pengajuan gugatan menurut aturan hukum yang berlaku pula haruslah disertakan dengan pendapat hukum dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang di atur di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sebagaimana dalam bentuk pelaksanaannya harus mengikuti dasar dalam bentuk syarat hukum administrasi atau penyelesaian terhadap bentuk ketentuan secara kode etik profesi dalam praktik kedokteran yang sebagaimana pula diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Bahwa perlindungan hukum atas profesi dokter sangatlah dijaga dan dilindungi serta bentuk dari keistimewaan profesi dokter sebagai jasa pelayanan medis.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"44 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129296436","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i2.72
J. Suroso
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan mengenai ujaran kebencian dalam kerangka ketentuan pidana di Indonesia sehingga masyarakat dapat memahami dengan baik. Selain itu, tulisan ini juga berusaha untuk memberikan masukan mengenai pengaturan ketentuan mengenai ujaran kebencian secara jelas dalam peraturan perundangan di Indonesia sehingga mampu memberikan rasa kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif yaitu mempelajari bahan hukum sekunder dan tersier dan kemudian menganalisis dan menyimpulkannya. Ketentuan pidana mengenai ujaran kebencian memang telah diatur didalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya, namun ketentuan tersebut masih belum mampu menciptakan rasa kepastian hukum didalam masyarakat, terutama belum terdapat definisi ujaran kebencian, yang dibuktikan dengan pro kontra wacana yang masih berkembang didalam masyarakat.
{"title":"Ketentuan Pidana Tentang Ujaran Kebencian di Indonesia","authors":"J. Suroso","doi":"10.32816/paramarta.v18i2.72","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i2.72","url":null,"abstract":"Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan mengenai ujaran kebencian dalam kerangka ketentuan pidana di Indonesia sehingga masyarakat dapat memahami dengan baik. Selain itu, tulisan ini juga berusaha untuk memberikan masukan mengenai pengaturan ketentuan mengenai ujaran kebencian secara jelas dalam peraturan perundangan di Indonesia sehingga mampu memberikan rasa kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif yaitu mempelajari bahan hukum sekunder dan tersier dan kemudian menganalisis dan menyimpulkannya. Ketentuan pidana mengenai ujaran kebencian memang telah diatur didalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya, namun ketentuan tersebut masih belum mampu menciptakan rasa kepastian hukum didalam masyarakat, terutama belum terdapat definisi ujaran kebencian, yang dibuktikan dengan pro kontra wacana yang masih berkembang didalam masyarakat.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130914406","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i1.67
Hernawati Ras
Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Pancasila mengarahkan kehidupan dalam sistem kekeluargaan yang harmonis, tetapi saat ini marak terjadi kekerasan yang tidak sesuai dengan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana implementasi penguatan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dalam upaya mencegah kejahatan dengan kekerasan ? Dan bagaimana kendala dalam implementasi tersebut ? Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat, sifat suatu individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan kejahatan kekerasan semakin marak, penguatan Pancasila perlu diimplementasikan secara terus menerus sejak usia dini. Kendala dalam penguatan Pancasila sebagai pmersatu bangsa dalam upaya mencegah kejahatan yaitu adanya faktor internal dan ektsternal.
{"title":"Penguatan Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa Dalam Upaya Mencegah Kejahatan Dengan Kekerasan","authors":"Hernawati Ras","doi":"10.32816/paramarta.v18i1.67","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i1.67","url":null,"abstract":"Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Pancasila mengarahkan kehidupan dalam sistem kekeluargaan yang harmonis, tetapi saat ini marak terjadi kekerasan yang tidak sesuai dengan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana implementasi penguatan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dalam upaya mencegah kejahatan dengan kekerasan ? Dan bagaimana kendala dalam implementasi tersebut ? Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat, sifat suatu individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan kejahatan kekerasan semakin marak, penguatan Pancasila perlu diimplementasikan secara terus menerus sejak usia dini. Kendala dalam penguatan Pancasila sebagai pmersatu bangsa dalam upaya mencegah kejahatan yaitu adanya faktor internal dan ektsternal.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129962449","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i2.69
R. Nurachman, Dudu Duswara Machmudin
Penulis tertarik mengkaji judul ini karena antara praktik dan aturan terdapat kesenjangan yang sangat tajam terutama dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua pasal tersebut mengarahkan pada faktor pengemudi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, padahal banyak sekali perkara kecelakaan lalu lintas yang penyebab kecelakaan di akibatkan oleh pengguna jalan lain yaitu pejalan kaki yang menyebrang jalan tanpa memperhatikan keselamatan dan mengganggu fungsi jalan sehingga terjadilah kecelakaan, sedangkan aparat penegak hukum karena sulit menetapkan saksi dan bukti dan aturan Pasal 310 dan 311 Undang Undang Republik Indonesia Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan menekankan pengemudi kendaraan bermotor merupakan objek yang akan dikriminalisasikan, Dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan identifikasi masalahnya adalah Apakah pidana bagi pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? dan Bagaimanakah penerapan Unsur Efektivitas Penegakan Hukum terhadap Pejalan Kaki dalam Perkara Kecelakaan Lalu lintas menurut Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? Penyidik kepolisian dalam melakukan investigasi alat bukti perkara kecelakaan lalu lintas dengan objek terperiksa pedestrian lalai dalam kondisi menyeberang jalan, menurut norma tentang penetapan dan pembatalan, tindakan pedestrian yang kelalaian dalam menyeberang jalan yang bebas dari sistem moralitas dan norma sejenis lainnya. Hal ini membedakan antara hukum pidana dengan norma etika berlalu lintas dianggap sebagai pelanggaran, baik itu melanggar norma berprilaku (etika) atau norma kebiasaan berlalu lintas di suatu daerah. Ketika pedestrian lalai maka, kelalaian tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana (straafbaarfeit), melainkan berada dalam ranah etika kebiasaan yang tidak mengindahkan atau mengutamakan keselamatan berlalu lintas. Penerapan unsur efektivitas penegakan hukum terhadap pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan kepolisian, namun terkendala dalam proses investigasi dalam mencari alat bukti, terutama barang bukti, saksi dapat diperoleh
{"title":"Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Pejalan Kaki (Pedestrian) Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas","authors":"R. Nurachman, Dudu Duswara Machmudin","doi":"10.32816/paramarta.v18i2.69","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i2.69","url":null,"abstract":"Penulis tertarik mengkaji judul ini karena antara praktik dan aturan terdapat kesenjangan yang sangat tajam terutama dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua pasal tersebut mengarahkan pada faktor pengemudi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, padahal banyak sekali perkara kecelakaan lalu lintas yang penyebab kecelakaan di akibatkan oleh pengguna jalan lain yaitu pejalan kaki yang menyebrang jalan tanpa memperhatikan keselamatan dan mengganggu fungsi jalan sehingga terjadilah kecelakaan, sedangkan aparat penegak hukum karena sulit menetapkan saksi dan bukti dan aturan Pasal 310 dan 311 Undang Undang Republik Indonesia Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan menekankan pengemudi kendaraan bermotor merupakan objek yang akan dikriminalisasikan, Dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan identifikasi masalahnya adalah Apakah pidana bagi pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? dan Bagaimanakah penerapan Unsur Efektivitas Penegakan Hukum terhadap Pejalan Kaki dalam Perkara Kecelakaan Lalu lintas menurut Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ? Penyidik kepolisian dalam melakukan investigasi alat bukti perkara kecelakaan lalu lintas dengan objek terperiksa pedestrian lalai dalam kondisi menyeberang jalan, menurut norma tentang penetapan dan pembatalan, tindakan pedestrian yang kelalaian dalam menyeberang jalan yang bebas dari sistem moralitas dan norma sejenis lainnya. Hal ini membedakan antara hukum pidana dengan norma etika berlalu lintas dianggap sebagai pelanggaran, baik itu melanggar norma berprilaku (etika) atau norma kebiasaan berlalu lintas di suatu daerah. Ketika pedestrian lalai maka, kelalaian tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana (straafbaarfeit), melainkan berada dalam ranah etika kebiasaan yang tidak mengindahkan atau mengutamakan keselamatan berlalu lintas. Penerapan unsur efektivitas penegakan hukum terhadap pejalan kaki dalam perkara kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan kepolisian, namun terkendala dalam proses investigasi dalam mencari alat bukti, terutama barang bukti, saksi dapat diperoleh","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"103 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128585106","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-25DOI: 10.32816/paramarta.v18i2.70
Rizal Nugraha, Hana Krisnamurti
Pendaftaran atas merek merupakan salah satu bentuk perlindungan dari Undang-Undang Merek, karena sistem yang digunakan di Indonesia adalah first to file principle, siapa yang mendaftar pertama maka yang bersangkutan berhak atas merek tersebut dan akan mendapatkan hak esklusifnya dengan konsekuensi tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan merek tersebut untuk kepentingan komersial dari hak ekslusif tersebut tanpa seizin pemilik atau pemegang hak merek. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah analisis terhadap sengketa merek terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan bagaimana Upaya penanggulangan sengketa merek berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Pada sengketa merek “Mawar Super Laundry” dan “Logo Superman” di mana pihak pendaftar pertama berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan sesuai dengan Sistem pendaftar first to file principle dan upaya penanggulangan terhadap sengketa merek dapat dilakukan dengan 2 upaya yaitu represif dan preventif. Represif dapat dilakukan dengan cara pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sedangkan preventif dapat dilakukan melalui cara gugatan keperdataan, tuntutan pidana, dan melalui administratif.
{"title":"Sengketa Merek Terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis","authors":"Rizal Nugraha, Hana Krisnamurti","doi":"10.32816/paramarta.v18i2.70","DOIUrl":"https://doi.org/10.32816/paramarta.v18i2.70","url":null,"abstract":"Pendaftaran atas merek merupakan salah satu bentuk perlindungan dari Undang-Undang Merek, karena sistem yang digunakan di Indonesia adalah first to file principle, siapa yang mendaftar pertama maka yang bersangkutan berhak atas merek tersebut dan akan mendapatkan hak esklusifnya dengan konsekuensi tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan merek tersebut untuk kepentingan komersial dari hak ekslusif tersebut tanpa seizin pemilik atau pemegang hak merek. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah analisis terhadap sengketa merek terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan bagaimana Upaya penanggulangan sengketa merek berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Pada sengketa merek “Mawar Super Laundry” dan “Logo Superman” di mana pihak pendaftar pertama berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan sesuai dengan Sistem pendaftar first to file principle dan upaya penanggulangan terhadap sengketa merek dapat dilakukan dengan 2 upaya yaitu represif dan preventif. Represif dapat dilakukan dengan cara pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sedangkan preventif dapat dilakukan melalui cara gugatan keperdataan, tuntutan pidana, dan melalui administratif.","PeriodicalId":402934,"journal":{"name":"Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum","volume":"213 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124193431","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}