{"title":"Eksplanasi Teoritik untuk Kebijakan Pro-Kesejahteraan di Indonesia","authors":"Asep Mulyana","doi":"10.58823/jham.v7i7.64","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Artikel ini berangkat dari fenomena baru yang ditandai dengan munculnya kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan kesejahteraan warga miskin (welfare policy). Kelompok warga miskin yang selama ini mengalami eksklusi, baik secara ekonomi, sosial maupun politik, telah menjadi subjek penting dalam kebijakan sosial di Indonesia. Pemerintah pusat diikuti beberapa pemerintah daerah di Indonesia membangun kebijakan-kebijakan sosial yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan warga miskin. Namun demikian, hingga kini belum ada eksplanasi teoritik yang dapat menjelaskan secara memadai fenomena tersebut. Oleh karena itu, artikel ini bertendensi untuk menemukan kerangka teoritik yang mampu memberi eksplanasi yang memuaskan atas fenomena tersebut.Artikel ini menggambarkan kerangka kerja yang disusun oleh Jayasuriya (2006) untuk menjelaskan fenomena di atas. Menurut Jayasuriya, kebijakan prokesejahteraan di negara berkembang lahir atas kebutuhan rezim neoliberalisme global untuk mengintegrasikan kewargaan (citizenship) ke dalam pasar. Kebijakan pro-kesejahteraan difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat miskin agar selaras dengan kebutuhan pasar. Karena dibangun di atas fondasi kewargaan pasar (market citizenship) semacam itu, dan bukan melalui pembentukan pakta sosial yang berlangsung dalam negosiasi yang alot antara negara, warga, dan pasar, maka kebijakan prokesejahteraan di Indonesia menunjukkan watak yang antipolitik dan menonjolkan peran agen yang aktif (elit populis). Jauh sebelum wacana ini berkembang, muncul dilema-dilema di mana demokrasi dan kesejahteraan dinilai tidak selalu berdampingan. Kesejahteraan yang pernah dicapai oleh rejim-rejim developmentalisme di Asia Timur menunjukkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui tangan besi. Artikel ini diharapkan memberikan kontribusi teoritik baru tentang dilema yang sama pasca-rezim developmentalisme.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"12 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Hak Asasi Manusia","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.64","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Artikel ini berangkat dari fenomena baru yang ditandai dengan munculnya kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan kesejahteraan warga miskin (welfare policy). Kelompok warga miskin yang selama ini mengalami eksklusi, baik secara ekonomi, sosial maupun politik, telah menjadi subjek penting dalam kebijakan sosial di Indonesia. Pemerintah pusat diikuti beberapa pemerintah daerah di Indonesia membangun kebijakan-kebijakan sosial yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan warga miskin. Namun demikian, hingga kini belum ada eksplanasi teoritik yang dapat menjelaskan secara memadai fenomena tersebut. Oleh karena itu, artikel ini bertendensi untuk menemukan kerangka teoritik yang mampu memberi eksplanasi yang memuaskan atas fenomena tersebut.Artikel ini menggambarkan kerangka kerja yang disusun oleh Jayasuriya (2006) untuk menjelaskan fenomena di atas. Menurut Jayasuriya, kebijakan prokesejahteraan di negara berkembang lahir atas kebutuhan rezim neoliberalisme global untuk mengintegrasikan kewargaan (citizenship) ke dalam pasar. Kebijakan pro-kesejahteraan difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat miskin agar selaras dengan kebutuhan pasar. Karena dibangun di atas fondasi kewargaan pasar (market citizenship) semacam itu, dan bukan melalui pembentukan pakta sosial yang berlangsung dalam negosiasi yang alot antara negara, warga, dan pasar, maka kebijakan prokesejahteraan di Indonesia menunjukkan watak yang antipolitik dan menonjolkan peran agen yang aktif (elit populis). Jauh sebelum wacana ini berkembang, muncul dilema-dilema di mana demokrasi dan kesejahteraan dinilai tidak selalu berdampingan. Kesejahteraan yang pernah dicapai oleh rejim-rejim developmentalisme di Asia Timur menunjukkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui tangan besi. Artikel ini diharapkan memberikan kontribusi teoritik baru tentang dilema yang sama pasca-rezim developmentalisme.