{"title":"POLA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA PERANTAUAN SUKU BANJAR DALAM MENGHADAPI GEGAR BUDAYA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA","authors":"M. N. Huda, A. Mahendra P.","doi":"10.31602/jm.v5i2.7911","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Sebagai pendatang di daerah baru, kemampuan komunikasi menjadi faktor utama keberhasilan untuk beradaptasi kepada lingkungan sekitar. Bagi mahasiswa suku Banjar yang memiliki budaya yang melekat dan cara berkomunikasi yang telah tertanam, kemudian merantau ke D.I. Yogyakarta untuk berkuliah, mereka diharuskan memasuki lingkungan baru dengan perbedaan budaya membuat mereka menjadi orang asing di lingkungan tersebut. Perbedaan budaya mahasiswa suku Banjar dengan budaya di lingkungan baru, pada kondisi tersebut mereka akan mengalami gegar budaya yang dapat menyebabkan kesulitan beradaptasi di lingkungan tersebut. Dalam gegar budaya tersebut, bagaimana ketika mereka keluar dari budaya asli berpindah ke lingkungan dengan budaya yang berbeda, serta apa yang mereka hadapi dan bagaimana mereka mengatasi fenomena tersebut agar memahami komunikasi antarbudaya dan mampu beradaptasi di lingkungan baru. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara langsung kepada lima mahasiswa suku Banjar yang menjadi alumni SMAN 1 Kotabaru kelas MIPA 1. Teori yang digunakan yaitu komunikasi antarbudaya oleh Tubbs dan Sylvia Moss, teori gegar budaya oleh Kalvero Oberg, teori pengurangan ketidakpastian oleh Charles Berger dan Richard Calabrese, teori akomodasi komunikasi oleh Giles, dan teori akulturasi oleh John W. Berry. Dari penggabungan teori-teori tersebut terbentuk fase dan faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena gegar budaya. Hasil penelitian menunjukan kelima narasumber mengalami gegar budaya yang diawali oleh perasaan senang dan optimis hingga merasakan kekhawatiran dan ketakutan. Perbedaan budaya, bahasa, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat membuat mereka rentan mengalami gegar budaya.Kata kunci: Komunikasi antarbudaya; gegar budaya; suku Banjar.","PeriodicalId":237867,"journal":{"name":"Jurnal Mutakallimin : Jurnal Ilmu Komunikasi","volume":"106 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-11-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Mutakallimin : Jurnal Ilmu Komunikasi","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.31602/jm.v5i2.7911","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Sebagai pendatang di daerah baru, kemampuan komunikasi menjadi faktor utama keberhasilan untuk beradaptasi kepada lingkungan sekitar. Bagi mahasiswa suku Banjar yang memiliki budaya yang melekat dan cara berkomunikasi yang telah tertanam, kemudian merantau ke D.I. Yogyakarta untuk berkuliah, mereka diharuskan memasuki lingkungan baru dengan perbedaan budaya membuat mereka menjadi orang asing di lingkungan tersebut. Perbedaan budaya mahasiswa suku Banjar dengan budaya di lingkungan baru, pada kondisi tersebut mereka akan mengalami gegar budaya yang dapat menyebabkan kesulitan beradaptasi di lingkungan tersebut. Dalam gegar budaya tersebut, bagaimana ketika mereka keluar dari budaya asli berpindah ke lingkungan dengan budaya yang berbeda, serta apa yang mereka hadapi dan bagaimana mereka mengatasi fenomena tersebut agar memahami komunikasi antarbudaya dan mampu beradaptasi di lingkungan baru. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara langsung kepada lima mahasiswa suku Banjar yang menjadi alumni SMAN 1 Kotabaru kelas MIPA 1. Teori yang digunakan yaitu komunikasi antarbudaya oleh Tubbs dan Sylvia Moss, teori gegar budaya oleh Kalvero Oberg, teori pengurangan ketidakpastian oleh Charles Berger dan Richard Calabrese, teori akomodasi komunikasi oleh Giles, dan teori akulturasi oleh John W. Berry. Dari penggabungan teori-teori tersebut terbentuk fase dan faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena gegar budaya. Hasil penelitian menunjukan kelima narasumber mengalami gegar budaya yang diawali oleh perasaan senang dan optimis hingga merasakan kekhawatiran dan ketakutan. Perbedaan budaya, bahasa, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat membuat mereka rentan mengalami gegar budaya.Kata kunci: Komunikasi antarbudaya; gegar budaya; suku Banjar.