{"title":"Hijrah dan Pembentukan Civil Society","authors":"Dedi Iskandar Batubara, Muhammad Rahmat","doi":"10.58939/afosj-las.v3i3.620","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Jika melihat data dan fakta sosio-geografis, tidak ada yang bisa membantah Indonesia sebagai salah satu negara paling majemuk dan heterogen. Dengan luas mencapai 8.3 juta kilometer persegi, Indonesia punya 17.499 pulau, dihuni oleh 273.8 juta jiwa, 300 kelompok etnik, 1.340 suku bangsa, 742 bahasa daerah, dan 6 agama resmi yang diakui negara. Data ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-2 negara dengan bahasa daerah terbanyak di dunia. Hanya kalah dari Papua Nugini yang punya 840 bahasa daerah. Indonesia juga berada di posisi ke-2 sebagai negara dengan keragaman suku di dunia. Hanya kalah dari India yang punya 2.000 kelompok etnis. Dengan tingkat heterogenitas yang begitu tinggi di semua aspek kehidupan, wajar jika diskursus tentang multikulturalisme tetap aktual untuk didiskusikan. Apalagi realitas muttakhir menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kegamangan peradaban. Ketika negara-negara yang secara tegas mengklaim sebagai kapitalis, komunis, dan Islamis berkompetisi meretas kemajuan, Indonesia justru terkesan masih sibuk mencari formula yang paling tepat yang bisa membuncahkan semua potensi bangsa. Pancasila memang telah ditetapkan sebagai dasar negara, dan sudah terbukti bisa dijadikan sebagai titik temu sekaligus pemersatu semua identitas dan kepentingan. Tapi ibarat rumah, persatuan hakikatnya adalah pondasi yang menempati posisi terbawah pada suatu bangunan. Menyelesaikan pembuatan pondasi, bukan berarti sudah menyelesaikan pendirian bangunan. Tapi baru menuntaskan tahapan pertama saja. Masih banyak tahapan lain yang harus dilakukan. Dalam konteks ini kita bisa meneladani sejarah hijrah Rasulullah Saw. dari Mekah ke Yatsrib atau Madinah. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah mempersatukan Anshar dan Muhajirin.Kata Kunci: Hijrah; Pembentukan; Civil Society","PeriodicalId":476352,"journal":{"name":"All Fields of Science Journal Liaison Academia and Sosiety","volume":"38 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-09-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"All Fields of Science Journal Liaison Academia and Sosiety","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.58939/afosj-las.v3i3.620","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Jika melihat data dan fakta sosio-geografis, tidak ada yang bisa membantah Indonesia sebagai salah satu negara paling majemuk dan heterogen. Dengan luas mencapai 8.3 juta kilometer persegi, Indonesia punya 17.499 pulau, dihuni oleh 273.8 juta jiwa, 300 kelompok etnik, 1.340 suku bangsa, 742 bahasa daerah, dan 6 agama resmi yang diakui negara. Data ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-2 negara dengan bahasa daerah terbanyak di dunia. Hanya kalah dari Papua Nugini yang punya 840 bahasa daerah. Indonesia juga berada di posisi ke-2 sebagai negara dengan keragaman suku di dunia. Hanya kalah dari India yang punya 2.000 kelompok etnis. Dengan tingkat heterogenitas yang begitu tinggi di semua aspek kehidupan, wajar jika diskursus tentang multikulturalisme tetap aktual untuk didiskusikan. Apalagi realitas muttakhir menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kegamangan peradaban. Ketika negara-negara yang secara tegas mengklaim sebagai kapitalis, komunis, dan Islamis berkompetisi meretas kemajuan, Indonesia justru terkesan masih sibuk mencari formula yang paling tepat yang bisa membuncahkan semua potensi bangsa. Pancasila memang telah ditetapkan sebagai dasar negara, dan sudah terbukti bisa dijadikan sebagai titik temu sekaligus pemersatu semua identitas dan kepentingan. Tapi ibarat rumah, persatuan hakikatnya adalah pondasi yang menempati posisi terbawah pada suatu bangunan. Menyelesaikan pembuatan pondasi, bukan berarti sudah menyelesaikan pendirian bangunan. Tapi baru menuntaskan tahapan pertama saja. Masih banyak tahapan lain yang harus dilakukan. Dalam konteks ini kita bisa meneladani sejarah hijrah Rasulullah Saw. dari Mekah ke Yatsrib atau Madinah. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah mempersatukan Anshar dan Muhajirin.Kata Kunci: Hijrah; Pembentukan; Civil Society