{"title":"Turkic Sultanates and Female Sovereign in Islamdom","authors":"Hanafi Wibowo","doi":"10.21274/epis.2016.11.2.261-288","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"The status of women in the Islamdom is a source of frequent criticism. Some Western critics charge that Islam has misogynist tendencies that are often teaches and promoted the inferiority of women in Muslim societies. As a result the debate over female leadership in Islam is a become splinter of the debate on Islam’s views of women in general. The role of Women in Islam, as a political leader is considered a taboo, even sometimes get fierce opposition from a group of people, who interpret the word of God in a veil of monopolistic desires. However, there were numerous women in Islamic history that is capable of being head of state. In the various Arab speaking notes, women have been known as the head of state. In the Sultanate of Delhi, there was Razia Sultan, in Egypt there was Shajarat ad Durr, during Ottoman period, there was Mihrimah Sultan and coincidently, all of them were Turkic origin. The study examines the reason why those women can become leaders within Islamdom. The conclusion, secularism of Islamdom which orchestrated by Turkic Mercenaries, when the institution of Abbasid Caliphate and Sultanate was separated, makes the women are eligible to become sultanah, which consistent with women’s independent nature in Turkic society. Status perempuan di dunia Islam merupakan masalah yang kerapkali diperdebatkan. Beberapa kritikus Barat menuduh bahwa Islam memiliki kecenderungan misoginis yang sering mengajarkan rendahnya posisi perempuan dalam masyarakat Muslim. Akibatnya perdebatan kepemimpinan perempuan dalam Islam selalu mengarah menjadi perdebatan pada pandangan Islam tentang perempuan pada umumnya. Peran perempuan dalam Islam, sebagai pemimpin politik dianggap tabu, bahkan kadang-kadang mendapatkan perlawanan sengit dari sekelompok orang, yang menafsirkan firman Allah sesuai keinginannya sendiri. Namun, ada banyak perempuan dalam sejarah Islam yang mampu menjadi kepala negara. Dalam berbagai catatan berbahasa Arab, perempuan telah dikenal sebagai pemimpin negara. Di Kesultanan Delhi ada Razia Sultan, di Mesir ada Syajarat al Durr, di Turki Usmaniada Mihrimah Sultan dan kebetulan semua dari orang Turki. Artikel ini mengkaji alasan mengapa para perempuan dapat menjadi pemimpin di dunia Islam. Kesimpulannya, sekularisme di dunia Islam yang dilakukan oleh para tentara bayaran Turki mengakibatkan terjadinya separasi antara institusi Kekhalifahan Abbasiyah dan kesultanan yang memungkinkan perempuan untuk menjadi seorang sultanah serta konsisten dengan sifat perempuan yang mandiri dalam masyarakat Turki.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"114 1","pages":"261-288"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2016-12-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.2.261-288","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
The status of women in the Islamdom is a source of frequent criticism. Some Western critics charge that Islam has misogynist tendencies that are often teaches and promoted the inferiority of women in Muslim societies. As a result the debate over female leadership in Islam is a become splinter of the debate on Islam’s views of women in general. The role of Women in Islam, as a political leader is considered a taboo, even sometimes get fierce opposition from a group of people, who interpret the word of God in a veil of monopolistic desires. However, there were numerous women in Islamic history that is capable of being head of state. In the various Arab speaking notes, women have been known as the head of state. In the Sultanate of Delhi, there was Razia Sultan, in Egypt there was Shajarat ad Durr, during Ottoman period, there was Mihrimah Sultan and coincidently, all of them were Turkic origin. The study examines the reason why those women can become leaders within Islamdom. The conclusion, secularism of Islamdom which orchestrated by Turkic Mercenaries, when the institution of Abbasid Caliphate and Sultanate was separated, makes the women are eligible to become sultanah, which consistent with women’s independent nature in Turkic society. Status perempuan di dunia Islam merupakan masalah yang kerapkali diperdebatkan. Beberapa kritikus Barat menuduh bahwa Islam memiliki kecenderungan misoginis yang sering mengajarkan rendahnya posisi perempuan dalam masyarakat Muslim. Akibatnya perdebatan kepemimpinan perempuan dalam Islam selalu mengarah menjadi perdebatan pada pandangan Islam tentang perempuan pada umumnya. Peran perempuan dalam Islam, sebagai pemimpin politik dianggap tabu, bahkan kadang-kadang mendapatkan perlawanan sengit dari sekelompok orang, yang menafsirkan firman Allah sesuai keinginannya sendiri. Namun, ada banyak perempuan dalam sejarah Islam yang mampu menjadi kepala negara. Dalam berbagai catatan berbahasa Arab, perempuan telah dikenal sebagai pemimpin negara. Di Kesultanan Delhi ada Razia Sultan, di Mesir ada Syajarat al Durr, di Turki Usmaniada Mihrimah Sultan dan kebetulan semua dari orang Turki. Artikel ini mengkaji alasan mengapa para perempuan dapat menjadi pemimpin di dunia Islam. Kesimpulannya, sekularisme di dunia Islam yang dilakukan oleh para tentara bayaran Turki mengakibatkan terjadinya separasi antara institusi Kekhalifahan Abbasiyah dan kesultanan yang memungkinkan perempuan untuk menjadi seorang sultanah serta konsisten dengan sifat perempuan yang mandiri dalam masyarakat Turki.
妇女在伊斯兰世界的地位经常受到批评。一些西方批评家指责伊斯兰教有厌恶女性的倾向,这种倾向经常在穆斯林社会中教导和宣扬女性的低人一等。因此,关于伊斯兰教中女性领导地位的争论成为了关于伊斯兰教对女性总体看法的辩论的一个分裂。在伊斯兰教中,女性作为政治领袖的角色被认为是禁忌,有时甚至会受到一群人的强烈反对,他们用垄断欲望的面纱来解释真主的话语。然而,伊斯兰历史上有很多女性有能力成为国家元首。在各种阿拉伯演讲笔记中,女性被称为国家元首。在德里的苏丹国,有Razia Sultan,在埃及有Shajarat and Durr,在奥斯曼帝国时期,有Mihrimah Sultan,巧合的是,他们都是突厥裔。该研究调查了这些女性能够成为伊斯兰教领袖的原因。随着阿拔斯哈里发和苏丹国制度的分离,突厥雇佣军策划的伊斯兰世俗主义的结论使妇女有资格成为苏丹国,这与突厥社会中妇女的独立性是一致的。地位perempuan di dunia Islam merupakan masalah yang kerapkali diperdebatkan。Beberapa kritikus Barat menuduh bawa Islam memiliki kecenderungan misoginis yang seris mengajarkan rendahnya posisi perempuan dalam masyarakat Muslim。Akibatnya perdebatan kepemimpinan perempuan dalam Islam selalu mengarah menjadi perdebatan pada pandangan Islam tentang perempuan pada umumnya。Peran perempuan dalam Islam, sebagai pemimpin politik dianggap tabu, bakan kadang-kadang mendapatkan perlawanan senit dari sekelompok orang, yang menafsirkan firman Allah sesuai keinginannya sendiri。Namun, ada banyak perempuan dalam sejarah Islam yang mampu menjadi kepala negara。阿拉伯文,阿拉伯文,阿拉伯文,阿拉伯文,阿拉伯文。Di Kesultanan Delhi ada ada Razia Sultan, Di Mesir ada Syajarat al Durr, Di Turki Usmaniada Mihrimah Sultan dan kebetulan semua dari orang Turki。Artikel ini mengkaji alasan mengapa para perempuan dapat menjadi pemimpin di dunia Islam。土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语,土耳其语