{"title":"Riba dalam Al-Qur’an (Studi Pemikiran Fazlurrahman dan Abdullah Saeed)","authors":"Riza Taufiqi Majid","doi":"10.21154/muslimheritage.v5i1.1989","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Krisis moneter yang terjadi saat ini membuat perdebatan penafsiran beberapa pemikir Islam tentang keharaman dan kehalalan bunga bank. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa bunga bank yang umumnya berlaku dalam sistem dunia perbankan dewasa ini adalah termasuk riba. Setidaknya terdapat dua pendapat mendasar yang membahas tentang riba yaitu penafsiran secara tekstualis dan penafsiran secara kontekstualis. Paham tekstualis dipelopori oleh gerakan neo-revivalisme Islam, sedangkan paham kontekstualis dipelopori oleh kaum neo-modernisme Islam. Dalam tulisan ini, akan membahas bagaimana hermeneutika double movement Fazlurrahman dan hermeneutika kontekstual Abdullah Saeed digunakan sebagai model interpretasi ayat riba dalam Al-Qur’an pada masa pewahyuan dan konteks ketika ayat riba akan ditafsirkan. Berdasarkan analisis data penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, Fazlurrahman menyimpulkan bahwa larangan riba dalam Al-Qur’an menekankan aspek moral daripada menekankan aspek legal-formal pelarangan riba. Riba yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah riba jahiliyyah yang mempraktikkan riba yang berlipat ganda (ad}’a>fan muda}>’afatan) QS. Ali Imran: 130. Ideal moral dari ayat tersebut adalah larangan melakukan eksploitasi terhadap kaum ekonomi lemah. Dengan demikian, selagi bank tidak menerapkan tambahan yang berlipat ganda (eksploitatif), maka hal itu dapat dibenarkan. Kedua, dalam menafsirkan ayat riba dalam Al-Qur’an, Abdullah Saeed lebih menekankan aspek moral (h}ikmah) daripada aspek literalnya. Statemen lakum ru’usu amwa>likum (bagimu pokok hartamu) telah diberi penekanan moral melalui penjelasan la> taz}limu>n wa la> tuz}lamu>n (kamu tidak melakukan penganiayaan dan tidak pula kamu dianiaya). Statemen pertama “penambahan dalam pinjam meminjam di atas pokok pinjaman” dianggap sebagai ‘illah, sementara statemen yang kedua “kamu tidak melakukan penganiayaan dan tidak pula kamu dianiaya” merupakan h}ikmah.","PeriodicalId":160585,"journal":{"name":"Muslim Heritage","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-06-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"4","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Muslim Heritage","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21154/muslimheritage.v5i1.1989","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 4
摘要
今天的货币危机使得一些伊斯兰思想家对银行存款的余裕和复利的解释备受争议。其中一些人认为,在当今银行体系中普遍适用的银行利息包括高利贷。对于riba,至少有两种基本观点,即文本解释和上下文解释。文本主义是伊斯兰新复兴主义运动的先锋,而上下文学者是伊斯兰新现代主义的先锋。在这篇文章中,将讨论双语解释学法兹鲁拉赫曼和语境解释学阿卜杜拉·赛义德是如何在启示时期和解释经文的上下文的模型。基于对该研究数据的分析,得出了两个结论。首先,Fazlurrahman的结论是,古兰经中的riba禁令强调的是道德问题,而不是官方的riba禁令。《古兰经》中禁止的Riba jahiliyyah是QS的double Riba (ad)。阿里·伊姆兰:130。这首诗的道德理想是禁止对弱势经济的剥削。因此,虽然银行没有实施可剥削的附加条件,但这是有道理的。其次,阿卜杜拉·赛义德在解释古兰经中的riba诗句时,强调的是道德方面,而不是文学方面。stastaum ru 'usu amwa>likum(对你来说,你的财富)的解释强调了道德。第一篇“在贷款基础上增加贷款”的声明被认为是‘illah’,而第二篇“你没有受到虐待,也没有受到虐待”的声明被认为是“ikmah”。
Riba dalam Al-Qur’an (Studi Pemikiran Fazlurrahman dan Abdullah Saeed)
Krisis moneter yang terjadi saat ini membuat perdebatan penafsiran beberapa pemikir Islam tentang keharaman dan kehalalan bunga bank. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa bunga bank yang umumnya berlaku dalam sistem dunia perbankan dewasa ini adalah termasuk riba. Setidaknya terdapat dua pendapat mendasar yang membahas tentang riba yaitu penafsiran secara tekstualis dan penafsiran secara kontekstualis. Paham tekstualis dipelopori oleh gerakan neo-revivalisme Islam, sedangkan paham kontekstualis dipelopori oleh kaum neo-modernisme Islam. Dalam tulisan ini, akan membahas bagaimana hermeneutika double movement Fazlurrahman dan hermeneutika kontekstual Abdullah Saeed digunakan sebagai model interpretasi ayat riba dalam Al-Qur’an pada masa pewahyuan dan konteks ketika ayat riba akan ditafsirkan. Berdasarkan analisis data penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, Fazlurrahman menyimpulkan bahwa larangan riba dalam Al-Qur’an menekankan aspek moral daripada menekankan aspek legal-formal pelarangan riba. Riba yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah riba jahiliyyah yang mempraktikkan riba yang berlipat ganda (ad}’a>fan muda}>’afatan) QS. Ali Imran: 130. Ideal moral dari ayat tersebut adalah larangan melakukan eksploitasi terhadap kaum ekonomi lemah. Dengan demikian, selagi bank tidak menerapkan tambahan yang berlipat ganda (eksploitatif), maka hal itu dapat dibenarkan. Kedua, dalam menafsirkan ayat riba dalam Al-Qur’an, Abdullah Saeed lebih menekankan aspek moral (h}ikmah) daripada aspek literalnya. Statemen lakum ru’usu amwa>likum (bagimu pokok hartamu) telah diberi penekanan moral melalui penjelasan la> taz}limu>n wa la> tuz}lamu>n (kamu tidak melakukan penganiayaan dan tidak pula kamu dianiaya). Statemen pertama “penambahan dalam pinjam meminjam di atas pokok pinjaman” dianggap sebagai ‘illah, sementara statemen yang kedua “kamu tidak melakukan penganiayaan dan tidak pula kamu dianiaya” merupakan h}ikmah.