{"title":"UNIVERSALISME MINIMUM NILAI-NILAI HAM MENUJU UNIVERSALISME PLURALIS DALAM ISLAM","authors":"A. O. Akbar","doi":"10.37035/alqisthas.v12i1.4932","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Studi tentang HAM akan terus dikaji dan dikembangkan utamanya saat dirasa masih ada ruang makna yang kosong, dan menuntut segera dipenuhinya. Konteks dialektika penalaran antroposentris ini selama terus dikaji dan didalami mesti di dalamnya ada nilai manfaat, plus pragmatisme, dengan ekspresi tafsir keadilan yang beragam: mulai dari pencarian universalisme minimum, bahkan hingga universalisme pluralis yang belakangan semarak ditelaah banyak pemikir kemanusiaan, sebagaimana Parekh, Bell, dan lain-lain. Pelbagai metode dan setrategi untuk memformulasikan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam sejumlah deklarasi baik internasional, nasional, regional atau sub-regional dengan melibatkan pergumulan dialog lintas negara, lintas budaya, antar-agama, dan keyakinan untuk meraih makna intersubyektif sebagai universalisme minimum dan plural. Sekalipun substansi yang ditawarkan dalam HAM adalah nilai-nilai moral, namun dalam prakteknya tak bisa dilepaskan dari nuansa pragmatis dan tarikan geopolitik, disamping doktrin agama dan budaya. Adanya gap pada tataran teoritis dan praksis, tarikan perbedaan kepentingan politik lokal, nasional, transnasional, internasional, dan seterusnya meniscayakan munculnya ketidak-nayamanan penilaian dan istilah terkait makna dan moralitas HAM, yang masih sering disebut sebagai “hanya kepura-puraan (only in pretension), utopis, dan tidak produktif (unproductive). Melihat kenyataan ini, para pemikir kontemporer Barat semacam Bikhu Parekh, Daniel Bell dan lainnya tak henti-hentinya tetap committed berjuang membuat pendekatan yang dianggap integratif, lintas budaya, intersubyektif, komparatif serta applicable, seperti direkomendasikan Paraekh dan Daniel A. Bell. Karena itu, cara pandang moderat dan demokratis tetap menyimpan suatu harapan dalam memformulasi nilai-nilai tengah “universalisme minimum”. Begitu pula para pemikir Islam mutakhir, tak mau ketinggalan terus berjuang mencari ruang tafsir yang lebih bermakna seperti yang dilakukan oleh Ahmed Naim dengan tawaran teori “abrogasi”nya, al-Syathibi dengan , teori istiqra al-ādi-nya, dan lebih menukik lagi pendekatan yang ditawarkan Jaseer Audah belakangan, dengan menafsirkan maqasid al-Syari’ah dengan system approach-nya. Dan dari kreatifitas tawaran pemikir-pemikir Islam ini benih-benih nilai dan norma HAM dengan spirit “universalisme pluralis” dari Parekh tersebut mendapatkan enrichment tafsir baru dari khazanah nilai dan tradisi Islam sebagaimana ditawarkan tiga orang pemikir Islam tersebut. ","PeriodicalId":292649,"journal":{"name":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","volume":"41 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-08-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.37035/alqisthas.v12i1.4932","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
UNIVERSALISME MINIMUM NILAI-NILAI HAM MENUJU UNIVERSALISME PLURALIS DALAM ISLAM
Studi tentang HAM akan terus dikaji dan dikembangkan utamanya saat dirasa masih ada ruang makna yang kosong, dan menuntut segera dipenuhinya. Konteks dialektika penalaran antroposentris ini selama terus dikaji dan didalami mesti di dalamnya ada nilai manfaat, plus pragmatisme, dengan ekspresi tafsir keadilan yang beragam: mulai dari pencarian universalisme minimum, bahkan hingga universalisme pluralis yang belakangan semarak ditelaah banyak pemikir kemanusiaan, sebagaimana Parekh, Bell, dan lain-lain. Pelbagai metode dan setrategi untuk memformulasikan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam sejumlah deklarasi baik internasional, nasional, regional atau sub-regional dengan melibatkan pergumulan dialog lintas negara, lintas budaya, antar-agama, dan keyakinan untuk meraih makna intersubyektif sebagai universalisme minimum dan plural. Sekalipun substansi yang ditawarkan dalam HAM adalah nilai-nilai moral, namun dalam prakteknya tak bisa dilepaskan dari nuansa pragmatis dan tarikan geopolitik, disamping doktrin agama dan budaya. Adanya gap pada tataran teoritis dan praksis, tarikan perbedaan kepentingan politik lokal, nasional, transnasional, internasional, dan seterusnya meniscayakan munculnya ketidak-nayamanan penilaian dan istilah terkait makna dan moralitas HAM, yang masih sering disebut sebagai “hanya kepura-puraan (only in pretension), utopis, dan tidak produktif (unproductive). Melihat kenyataan ini, para pemikir kontemporer Barat semacam Bikhu Parekh, Daniel Bell dan lainnya tak henti-hentinya tetap committed berjuang membuat pendekatan yang dianggap integratif, lintas budaya, intersubyektif, komparatif serta applicable, seperti direkomendasikan Paraekh dan Daniel A. Bell. Karena itu, cara pandang moderat dan demokratis tetap menyimpan suatu harapan dalam memformulasi nilai-nilai tengah “universalisme minimum”. Begitu pula para pemikir Islam mutakhir, tak mau ketinggalan terus berjuang mencari ruang tafsir yang lebih bermakna seperti yang dilakukan oleh Ahmed Naim dengan tawaran teori “abrogasi”nya, al-Syathibi dengan , teori istiqra al-ādi-nya, dan lebih menukik lagi pendekatan yang ditawarkan Jaseer Audah belakangan, dengan menafsirkan maqasid al-Syari’ah dengan system approach-nya. Dan dari kreatifitas tawaran pemikir-pemikir Islam ini benih-benih nilai dan norma HAM dengan spirit “universalisme pluralis” dari Parekh tersebut mendapatkan enrichment tafsir baru dari khazanah nilai dan tradisi Islam sebagaimana ditawarkan tiga orang pemikir Islam tersebut.