Eko Purwanto, Muhammad Khalid Ali, Abintoro Prakoso, Herowati Poesoko
{"title":"PUTUSAN TUN TIDAK DILAKSANAKAN : KONSEKUENSI HUKUM DAN UPAYA PAKSA BAGI PEJABAT TUN","authors":"Eko Purwanto, Muhammad Khalid Ali, Abintoro Prakoso, Herowati Poesoko","doi":"10.24929/snapp.v2i1.3166","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Banyaknya keputusan PTUN yang tidak dapat dilaksanakan justru menimbulkan pesimisme dan sikap apatis di masyarakat. Soalnya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Keadaan ini mengkhawatirkan karena keberadaan PTUN belum mampu memberikan keadilan bagi masyarakat dalam kewenangan administratif pemerintah. Prinsip keadilan TUN yang mempercayakan kontrol peradilan kepada penyelenggaraan pemerintahan yang baik terdistorsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika keputusan PTUN tidak mempunyai kekuasaan eksekutif, bagaimana hukum dan masyarakat bisa mengontrol tata kelola yang dilakukan pejabat TUN. Ketentuan yang terdapat dalam UU PTUN dinilai sudah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dan kehidupan ketatanegaraan masyarakat. Misalnya, tidak ada pejabat peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat memaksa terdakwa untuk menuruti putusan tersebut. Oleh karena itu UUdiubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pejabat TUN, apabila tidak menaati keputusan PTUN, dapat dikenakan tindakan paksa berupa kompensasi (dwangsom) dan sosial. Reintegrasi orang-orang yang tergabung tidak puas atas keputusan TUN pejabat TUN. Bahwa digunakannya tindakan paksaan dalam melaksanakan putusan TUN oleh pejabat TUN yang tidak mempunyai itikad baik untuk melaksanakan putusan TUN sangat mungkin diatur dalam UU No. 9 Tahun 2004 serta Undang-undang Administrasi Pemerintahan yang artinya (upaya paksa).","PeriodicalId":516724,"journal":{"name":"Prosiding SNAPP : Sosial Humaniora, Pertanian, Kesehatan dan Teknologi","volume":"39 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2024-01-08","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Prosiding SNAPP : Sosial Humaniora, Pertanian, Kesehatan dan Teknologi","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24929/snapp.v2i1.3166","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Banyaknya keputusan PTUN yang tidak dapat dilaksanakan justru menimbulkan pesimisme dan sikap apatis di masyarakat. Soalnya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Keadaan ini mengkhawatirkan karena keberadaan PTUN belum mampu memberikan keadilan bagi masyarakat dalam kewenangan administratif pemerintah. Prinsip keadilan TUN yang mempercayakan kontrol peradilan kepada penyelenggaraan pemerintahan yang baik terdistorsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika keputusan PTUN tidak mempunyai kekuasaan eksekutif, bagaimana hukum dan masyarakat bisa mengontrol tata kelola yang dilakukan pejabat TUN. Ketentuan yang terdapat dalam UU PTUN dinilai sudah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dan kehidupan ketatanegaraan masyarakat. Misalnya, tidak ada pejabat peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat memaksa terdakwa untuk menuruti putusan tersebut. Oleh karena itu UUdiubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pejabat TUN, apabila tidak menaati keputusan PTUN, dapat dikenakan tindakan paksa berupa kompensasi (dwangsom) dan sosial. Reintegrasi orang-orang yang tergabung tidak puas atas keputusan TUN pejabat TUN. Bahwa digunakannya tindakan paksaan dalam melaksanakan putusan TUN oleh pejabat TUN yang tidak mempunyai itikad baik untuk melaksanakan putusan TUN sangat mungkin diatur dalam UU No. 9 Tahun 2004 serta Undang-undang Administrasi Pemerintahan yang artinya (upaya paksa).