{"title":"PEMILIHAN GUBERNUR PAPUA 2018: POLITIK IDENTITAS, TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAN DAYA HIDUP ORANG PAPUA","authors":"Cahyo Pamungkas, Devi Triindriasari","doi":"10.14203/JMB.V20I3.721","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Indonesia sekarang ini sedang menghadapi gelombang politik identitas baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Selama ini, pemilihan kepala daerah sering menjadi arena politik identitas baik oleh kelompok yang dominan maupun yang tersubordinat, terutama dengan menggunakan isu agama. Kebanyakan pengamat politik identitas memfokuskan kajian pada penggunaan isu agama dalam ranah Pilkada seperti yang terjadi di DKI pada tahun 2017. Berbeda dengan studi-studi tersebut, artikel ini mengkaji penggunaan identitas etnik dalam Pilkada serentak di Provinsi Papua pada tahun 2018. Tujuan yang bersifat konseptual dari penelitian ini adalah sejauhamana penggunaan politik identitas dalam pilkada di Papua memperkuat atau memperlemah tata kelola pemerintahan dan daya hidup orang asli Papua pada masa mendatang. Sumber data dari penulisan artikel ini adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terpumpun di Jayapura pada bulan Mei dan Juni 2018 serta studi pustaka. Argumentasi yang dibangun dalam artikel ini adalah politik identitas sudah melekat pada pengalaman orang Papua dalam masa kolonial, Orde Baru, maupun Otonomi Khusus. Setelah Otsus, identitas kesukuan menguat kembali mengalahkan ke-Papua-an dalam ranah baru politik lokal. Sebagai akibatnya, Pemilu ditempatkan sebaai strategi dan siasat elit untuk memperebutkan sumber daya daripada membangun tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya hidup orang Papua. \n \nIndonesia is currently dealing with a wave of identity politics both at the national and at the regional level. During this time, the election of governor or regencies’ head was often the arena of identity politics by both dominant and subordinate groups, mainly by using religious issues. Most present studies of identity politics focus on the use of religious issues in the 2017 Jakarta gubernatorial election. Different from these studies, this research investigates the use of ethnic identity in the 2018 Papua gubernatorial election. Conceptual objectives of this research are how far the use of identity politics in the elections in Papua strengthens or weakens local governance and the life forces of indigenous Papuans in the future. This research uses observations, interviews and focuses group discussions in Jayapura and Wamena, between May and June 2018s. The argument of this study is that identity politics is inherent in the experience of Papuans in the colonial period, the New Order, and Special Autonomy. After Special Autonomy of Papua, tribal identity strengthens to defeat Papua in the new realm of local politics. As a result, most Papuan political elite place elections as a strategy for fighting over resources rather than building governance and improving the life forces of the indigenous Papuans.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"64 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.721","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3
Abstract
Indonesia sekarang ini sedang menghadapi gelombang politik identitas baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Selama ini, pemilihan kepala daerah sering menjadi arena politik identitas baik oleh kelompok yang dominan maupun yang tersubordinat, terutama dengan menggunakan isu agama. Kebanyakan pengamat politik identitas memfokuskan kajian pada penggunaan isu agama dalam ranah Pilkada seperti yang terjadi di DKI pada tahun 2017. Berbeda dengan studi-studi tersebut, artikel ini mengkaji penggunaan identitas etnik dalam Pilkada serentak di Provinsi Papua pada tahun 2018. Tujuan yang bersifat konseptual dari penelitian ini adalah sejauhamana penggunaan politik identitas dalam pilkada di Papua memperkuat atau memperlemah tata kelola pemerintahan dan daya hidup orang asli Papua pada masa mendatang. Sumber data dari penulisan artikel ini adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terpumpun di Jayapura pada bulan Mei dan Juni 2018 serta studi pustaka. Argumentasi yang dibangun dalam artikel ini adalah politik identitas sudah melekat pada pengalaman orang Papua dalam masa kolonial, Orde Baru, maupun Otonomi Khusus. Setelah Otsus, identitas kesukuan menguat kembali mengalahkan ke-Papua-an dalam ranah baru politik lokal. Sebagai akibatnya, Pemilu ditempatkan sebaai strategi dan siasat elit untuk memperebutkan sumber daya daripada membangun tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya hidup orang Papua.
Indonesia is currently dealing with a wave of identity politics both at the national and at the regional level. During this time, the election of governor or regencies’ head was often the arena of identity politics by both dominant and subordinate groups, mainly by using religious issues. Most present studies of identity politics focus on the use of religious issues in the 2017 Jakarta gubernatorial election. Different from these studies, this research investigates the use of ethnic identity in the 2018 Papua gubernatorial election. Conceptual objectives of this research are how far the use of identity politics in the elections in Papua strengthens or weakens local governance and the life forces of indigenous Papuans in the future. This research uses observations, interviews and focuses group discussions in Jayapura and Wamena, between May and June 2018s. The argument of this study is that identity politics is inherent in the experience of Papuans in the colonial period, the New Order, and Special Autonomy. After Special Autonomy of Papua, tribal identity strengthens to defeat Papua in the new realm of local politics. As a result, most Papuan political elite place elections as a strategy for fighting over resources rather than building governance and improving the life forces of the indigenous Papuans.