Enggano merupakan sebuah pulau terluar yang berhadapan dengan pantai barat Pulau Sumatera, tepatnya terletak di Provinsi Bengkulu. Di pulau ini, dapat ditemukan bahasa Enggano dan bahasa-bahasa lain yang dituturkan oleh berbagai etnik pendatang seperti bahasa Jawa, Melayu, Padang, Batak, dan Bugis. Bahasa Enggano sendiri dituturkan di beberapa desa seperti Desa Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, Khayapu, dan Banjarsari. Namun, pemakaian yang masih kuat yaitu di desa Meok, Apoho, dan Malakoni, sedangkan di ketiga desa terakhir sudah mulai terkikis karena sudah bercampur dengan etnik pendatang. Penelitian yang bersifat kualitatif ini dilakukan di Pulau Enggano, Bengkulu, sebagai bagian dari ekspedisi LIPI tahun 2015 yang dinamakan Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) yang melibatkan berbagai disiplin ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Dalam pengumpulan data digunakan teknik observasi dan wawancara mendalam untuk mengetahui situasi kebahasaan khususnya kontak bahasa dan gejala kepunahan bahasa. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kontak bahasa antara orang Enggano yang berbahasa Enggano dengan para pendatang dengan bahasanya masing-masing sangat kuat terjadi di desa Banjarsari, Kaana, dan Khayapu sehingga menyebabkan munculnya gejala kepunahan bahasa. Sementara itu, bahasa Enggano di desa Meok, Apoho, dan Malakoni masih cukup dapat bertahan karena penduduknya homogen orang Enggano dan belum banyak bercampur dengan para pendatang.
{"title":"Bahasa Minoritas Enggano di Beranda Depan NKRI: Kontak dan Gejala Kepunahan Bahasa di Pulau Enggano, Bengkulu - Indonesia","authors":"Fanny Henry Tondo","doi":"10.55981/jmb.2023.1849","DOIUrl":"https://doi.org/10.55981/jmb.2023.1849","url":null,"abstract":"Enggano merupakan sebuah pulau terluar yang berhadapan dengan pantai barat Pulau Sumatera, tepatnya terletak di Provinsi Bengkulu. Di pulau ini, dapat ditemukan bahasa Enggano dan bahasa-bahasa lain yang dituturkan oleh berbagai etnik pendatang seperti bahasa Jawa, Melayu, Padang, Batak, dan Bugis. Bahasa Enggano sendiri dituturkan di beberapa desa seperti Desa Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, Khayapu, dan Banjarsari. Namun, pemakaian yang masih kuat yaitu di desa Meok, Apoho, dan Malakoni, sedangkan di ketiga desa terakhir sudah mulai terkikis karena sudah bercampur dengan etnik pendatang. Penelitian yang bersifat kualitatif ini dilakukan di Pulau Enggano, Bengkulu, sebagai bagian dari ekspedisi LIPI tahun 2015 yang dinamakan Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) yang melibatkan berbagai disiplin ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Dalam pengumpulan data digunakan teknik observasi dan wawancara mendalam untuk mengetahui situasi kebahasaan khususnya kontak bahasa dan gejala kepunahan bahasa. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kontak bahasa antara orang Enggano yang berbahasa Enggano dengan para pendatang dengan bahasanya masing-masing sangat kuat terjadi di desa Banjarsari, Kaana, dan Khayapu sehingga menyebabkan munculnya gejala kepunahan bahasa. Sementara itu, bahasa Enggano di desa Meok, Apoho, dan Malakoni masih cukup dapat bertahan karena penduduknya homogen orang Enggano dan belum banyak bercampur dengan para pendatang.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"84 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"90349577","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kolektif seni adalah bentuk subjektivitas seni yang semakin jamak ditemukan di lingkungan urban dalam dua dekade terakhir. Dengan berfokus pada tujuh kolektif (Gudskul, ruangrupa, Forum Lenteng, Serrum, Grafis Huru Hara, Gardu House dan Cut and Rescue), artikel ini merupakan sebuah pemetaan atas evolusi wacana mengenai kolektif seni rupa di Jakarta selama 2000 – 2022. Metode yang akan digunakan adalah pembacaan jauh dan Analisis Jaringan Sosial atas interaksi kolektif-kolektif seni tersebut di media sosial (Twitter dan Instagram) serta sejumlah jurnal dan buku yang mereka terbitkan. Analisis Jaringan Sosial akan diterapkan untuk memeriksa pola mention antarakun media sosial dalam membahas masalah kolektif seni. Pembacaan jauh akan diterapkan atas konten dari postingan setiap akun tersebut dan aneka jurnal dan buku terbitan kolektif. Melalui metode tersebut, ditemukan tiga hal utama: (1) kemunculan kolektif seni rupa di Jakarta pada awal 2000-an tidak dibarengi dengan konsolidasi yang sadar atas kolektivitas yang berbasis kemajemukan ketimbang individualitas, (2) peralihan dari fokus pada “ruang alternatif” ke “kolektif” dan “lumbung” muncul dari kebutuhan konsolidasi jaringan dan pengelolaan komunal atas sumber daya, (3) fokus ke “lumbung” mendorong kembalinya sejumlah ciri tradisional dari sanggar dan konsepsi seni yang lebih programatik.
{"title":"KOLEKTIF DAN MENJADI-KOLEKTIF","authors":"Martin Suryajaya, Nyak Ina Raseuk, Amy Zahrawaan","doi":"10.55981/jmb.2023.2005","DOIUrl":"https://doi.org/10.55981/jmb.2023.2005","url":null,"abstract":"Kolektif seni adalah bentuk subjektivitas seni yang semakin jamak ditemukan di lingkungan urban dalam dua dekade terakhir. Dengan berfokus pada tujuh kolektif (Gudskul, ruangrupa, Forum Lenteng, Serrum, Grafis Huru Hara, Gardu House dan Cut and Rescue), artikel ini merupakan sebuah pemetaan atas evolusi wacana mengenai kolektif seni rupa di Jakarta selama 2000 – 2022. Metode yang akan digunakan adalah pembacaan jauh dan Analisis Jaringan Sosial atas interaksi kolektif-kolektif seni tersebut di media sosial (Twitter dan Instagram) serta sejumlah jurnal dan buku yang mereka terbitkan. Analisis Jaringan Sosial akan diterapkan untuk memeriksa pola mention antarakun media sosial dalam membahas masalah kolektif seni. Pembacaan jauh akan diterapkan atas konten dari postingan setiap akun tersebut dan aneka jurnal dan buku terbitan kolektif. Melalui metode tersebut, ditemukan tiga hal utama: (1) kemunculan kolektif seni rupa di Jakarta pada awal 2000-an tidak dibarengi dengan konsolidasi yang sadar atas kolektivitas yang berbasis kemajemukan ketimbang individualitas, (2) peralihan dari fokus pada “ruang alternatif” ke “kolektif” dan “lumbung” muncul dari kebutuhan konsolidasi jaringan dan pengelolaan komunal atas sumber daya, (3) fokus ke “lumbung” mendorong kembalinya sejumlah ciri tradisional dari sanggar dan konsepsi seni yang lebih programatik.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"32 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81253431","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Bregada keraton Surakarta merupakan tentara militer yang berfungsi sebagai pertahanan, keamanan, dan angkatan perang keraton Surakarta pada masa kolonialisme di Indonesia. Bregada Keraton Surakarta senantiasa mengalami pergeseran fungsi pada masa pasca-kemerdekaan, terutama di masa pimpinan raja Paku Buwono XII. Meskipun telah terjadi pergeseran fungsi, namun bregada prajurit keraton Surakarta masih dipertahankan keberadaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses pergeseran fungsi bregada prajurit keraton Surakarta. Data penelitian ini menggunakan kajian pustaka dari buku catatan-catatan sejarah dan naskah kuno, serta wawancara mendalam kepada narasumber kunci. Berdasarkan hasil penelitian, jenis kesatuan dan susunan bregada prajurit keraton Surakarta senantiasa mengalami perubahan dari jaman ke jaman. Bregada yang dimiliki oleh Keraton Surakarta pada masa kini yaitu Korps Musik, Tamtama, Jayeng Astra, Prawira Anom, Sarageni, Darapati, Jayasura, Baki, dan Nyutra atau Panyutra. Pergeseran fungsi utama bregada prajurit keraton Surakarta terlihat dari fungsi angkatan perang, pertahanan, dan keamanan beralih menjadi kegiatan adat istiadat dan budaya, terutama mengacu pada fungsi sebagai pelaku seni pertunjukan dan penggiat pariwisata. Paku Buwono XIII, sebagai pemangku adat dan penerus raja keraton Surakarta terdahulu memiliki kebijakan terhadap keberlangsungan bregada prajurit keraton Surakarta. Kebijakan tersebut antara lain sebagai bentuk pelestarian budaya dan menambah kegiatan parade keprajuritan demi kemajuan pariwisata kota Solo, Jawa Tengah.
{"title":"Pergeseran Fungsi Bregada Prajurit Keraton Surakarta","authors":"Tejo Bagus Sunaryo, Jussac Maulana Masjhoer","doi":"10.55981/jmb.2023.1639","DOIUrl":"https://doi.org/10.55981/jmb.2023.1639","url":null,"abstract":"Bregada keraton Surakarta merupakan tentara militer yang berfungsi sebagai pertahanan, keamanan, dan angkatan perang keraton Surakarta pada masa kolonialisme di Indonesia. Bregada Keraton Surakarta senantiasa mengalami pergeseran fungsi pada masa pasca-kemerdekaan, terutama di masa pimpinan raja Paku Buwono XII. Meskipun telah terjadi pergeseran fungsi, namun bregada prajurit keraton Surakarta masih dipertahankan keberadaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses pergeseran fungsi bregada prajurit keraton Surakarta. Data penelitian ini menggunakan kajian pustaka dari buku catatan-catatan sejarah dan naskah kuno, serta wawancara mendalam kepada narasumber kunci. Berdasarkan hasil penelitian, jenis kesatuan dan susunan bregada prajurit keraton Surakarta senantiasa mengalami perubahan dari jaman ke jaman. Bregada yang dimiliki oleh Keraton Surakarta pada masa kini yaitu Korps Musik, Tamtama, Jayeng Astra, Prawira Anom, Sarageni, Darapati, Jayasura, Baki, dan Nyutra atau Panyutra. Pergeseran fungsi utama bregada prajurit keraton Surakarta terlihat dari fungsi angkatan perang, pertahanan, dan keamanan beralih menjadi kegiatan adat istiadat dan budaya, terutama mengacu pada fungsi sebagai pelaku seni pertunjukan dan penggiat pariwisata. Paku Buwono XIII, sebagai pemangku adat dan penerus raja keraton Surakarta terdahulu memiliki kebijakan terhadap keberlangsungan bregada prajurit keraton Surakarta. Kebijakan tersebut antara lain sebagai bentuk pelestarian budaya dan menambah kegiatan parade keprajuritan demi kemajuan pariwisata kota Solo, Jawa Tengah.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82338795","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
M. I. Ahnaf, Selvonne Christin Pattiserlihun, M. Naufal, Firosa Ahda, Gadjah Mada
Perubahan sosial dan digitalisasi memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat khususnya dalam hal bersosial. Perubahan sosial dan digitalisasi memberikan dampak pada keutuhan masyarakat khususnya pada kondisi damai yang ada pada kehidupan masyarakat beragama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana masyarakat memproduksi budaya damai di tengah tantangan digitalisasi dan perubahan sosial yang ada. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penggalian data menggunakan teknik wawancara focus group discussion (FGD), observasi, dan studi pustaka. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua puluh satu orang yang berasal dari latar belakang seperti warga, pemuda, kaum perempuan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Para subjek berasal dari tiga desa yang berbeda dan tersebar di dua wilayah Provinsi Yogyakarta seperti Sleman dan Kulonprogo. Hasil menunjukkan bahwa masyarakat di ketiga desa tersebut memiliki cara masing-masing dalam memproduksi budaya damai di tempat mereka. Budaya damai yang ada di ketiga desa tersebut terwujud dalam beberapa kegiatan masyarakat seperti tradisi desa, upacara agama, dan aktifitas sehari-hari. Selain itu perubahan sosial dan dampak digitalisasi menunjukkan adanya indikasi bahwa ruang perjumpaan khususnya bagi para pemuda dan warga lainnya mengalami pergeseran akibat adanya pengaruh digitalisasi yang masif. Sehingga dampak yang dihasilkan akan berpengaruh pada relasi masyarakat di ketiga desa tersebut.
{"title":"TRANSFORMASI DIGITAL, PERUBAHAN SOSIAL DAN TANTANGAN REPRODUKSI BUDAYA DAMAI MASYARAKAT AGAMA DI YOGYAKARTA","authors":"M. I. Ahnaf, Selvonne Christin Pattiserlihun, M. Naufal, Firosa Ahda, Gadjah Mada","doi":"10.55981/jmb.2023.1942","DOIUrl":"https://doi.org/10.55981/jmb.2023.1942","url":null,"abstract":"Perubahan sosial dan digitalisasi memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat khususnya dalam hal bersosial. Perubahan sosial dan digitalisasi memberikan dampak pada keutuhan masyarakat khususnya pada kondisi damai yang ada pada kehidupan masyarakat beragama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana masyarakat memproduksi budaya damai di tengah tantangan digitalisasi dan perubahan sosial yang ada. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penggalian data menggunakan teknik wawancara focus group discussion (FGD), observasi, dan studi pustaka. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua puluh satu orang yang berasal dari latar belakang seperti warga, pemuda, kaum perempuan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Para subjek berasal dari tiga desa yang berbeda dan tersebar di dua wilayah Provinsi Yogyakarta seperti Sleman dan Kulonprogo. Hasil menunjukkan bahwa masyarakat di ketiga desa tersebut memiliki cara masing-masing dalam memproduksi budaya damai di tempat mereka. Budaya damai yang ada di ketiga desa tersebut terwujud dalam beberapa kegiatan masyarakat seperti tradisi desa, upacara agama, dan aktifitas sehari-hari. Selain itu perubahan sosial dan dampak digitalisasi menunjukkan adanya indikasi bahwa ruang perjumpaan khususnya bagi para pemuda dan warga lainnya mengalami pergeseran akibat adanya pengaruh digitalisasi yang masif. Sehingga dampak yang dihasilkan akan berpengaruh pada relasi masyarakat di ketiga desa tersebut.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"37 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"83650024","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nightclub worker behavior has been considered as negative and immoral behavior by society because they have been practicing obnoxious attitude such as consuming alcohol, having intercourse, inhaling drugs, etc. Therefore, this study aimed to analyze the behavior of actors or nightclub workers at Bara nightclub in Bira Village, Bulukumba, South Sulawesi, Indonesia. This was a case study with participatory approach. In the results of this research, it was revealed that the behavior of nightclub workers came naturally and taught (nature and nurture). The behavior is of human is a result of human natural traits. Moreover, nurtured-behavior occurred because of the initiative of actors or nightclub workers when they saw a nightclub and found alcohol and they drank it until they lost control or consciousness. Nurture behavior is the behavior that is taught unconsciously when seeing and imitating the behavior of others or surrounding. Thus, human behavior is influenced by nature and nurture that resulted a new culture.
{"title":"CULTURE, NATURE AND NURTURE","authors":"Ramlafatma, S. Oruh, S. Kamaruddin, Andi Agustang","doi":"10.55981/jmb.2023.1777","DOIUrl":"https://doi.org/10.55981/jmb.2023.1777","url":null,"abstract":"Nightclub worker behavior has been considered as negative and immoral behavior by society because they have been practicing obnoxious attitude such as consuming alcohol, having intercourse, inhaling drugs, etc. Therefore, this study aimed to analyze the behavior of actors or nightclub workers at Bara nightclub in Bira Village, Bulukumba, South Sulawesi, Indonesia. This was a case study with participatory approach. In the results of this research, it was revealed that the behavior of nightclub workers came naturally and taught (nature and nurture). The behavior is of human is a result of human natural traits. Moreover, nurtured-behavior occurred because of the initiative of actors or nightclub workers when they saw a nightclub and found alcohol and they drank it until they lost control or consciousness. Nurture behavior is the behavior that is taught unconsciously when seeing and imitating the behavior of others or surrounding. Thus, human behavior is influenced by nature and nurture that resulted a new culture.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75198657","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstraksi Pelabuhan Banten pada awal abad ke-17 telah dikenal luas sebagai salah satu pusat perdagangan rempah-rempah dan berbagai produk eksotis lain dari berbagai kawasan Asia. Kehadiran para Pedagang Inggris yang hampir bersamaan dengan awal dominasi perdagangan yang dilakukan oleh para Pedagang Belanda kemudian memunculkan konflik diantara keduanya. Kondisi tersebut turut berpengaruh pula pada stabilitas politik di Banten yang telah sangat rapuh sejak akhir abad ke-16. Kondisi ini juga berakibat pada perubahan dinamika dan struktur perdagangan di Banten yang sebelumnya dikuasai oleh para Pedagang Tionghoa. Kajian ini melihat upaya armada dagang Inggris (EIC) dalam upaya mereka bersaing dengan armada dagang Belanda (VOC). Kajian ini juga menekankan pada upaya para pedagang Inggris dalam menjalin relasi dengan pihak Kesultanan Banten maupun para pedagang asing lain di Pelabuhan Banten. Para pedagang Inggris dan Belanda menjadikan Banten sebagai medium awal dalam mengembangkan dominasi perdagangan mereka di kawasan Nusantara. Interaksi dan komunikasi antar pedagang mancanegara di Banten dimanfaatkan dengan baik oleh mereka untuk lebih dalam terlibat dalam jejaring perdagangan di kawasan ini.
{"title":"JEJAK AWAL IMPERIUM INGGRIS DI ASIA","authors":"Gregorius Andika Ariwibowo","doi":"10.55981/jmb.2023.1632","DOIUrl":"https://doi.org/10.55981/jmb.2023.1632","url":null,"abstract":"Abstraksi \u0000Pelabuhan Banten pada awal abad ke-17 telah dikenal luas sebagai salah satu pusat perdagangan rempah-rempah dan berbagai produk eksotis lain dari berbagai kawasan Asia. Kehadiran para Pedagang Inggris yang hampir bersamaan dengan awal dominasi perdagangan yang dilakukan oleh para Pedagang Belanda kemudian memunculkan konflik diantara keduanya. Kondisi tersebut turut berpengaruh pula pada stabilitas politik di Banten yang telah sangat rapuh sejak akhir abad ke-16. Kondisi ini juga berakibat pada perubahan dinamika dan struktur perdagangan di Banten yang sebelumnya dikuasai oleh para Pedagang Tionghoa. Kajian ini melihat upaya armada dagang Inggris (EIC) dalam upaya mereka bersaing dengan armada dagang Belanda (VOC). Kajian ini juga menekankan pada upaya para pedagang Inggris dalam menjalin relasi dengan pihak Kesultanan Banten maupun para pedagang asing lain di Pelabuhan Banten. Para pedagang Inggris dan Belanda menjadikan Banten sebagai medium awal dalam mengembangkan dominasi perdagangan mereka di kawasan Nusantara. Interaksi dan komunikasi antar pedagang mancanegara di Banten dimanfaatkan dengan baik oleh mereka untuk lebih dalam terlibat dalam jejaring perdagangan di kawasan ini.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"86 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"77646621","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The tourism industry is growing along with technological developments and human needs. In fact, tourism is the main economic sector in several countries, including Indonesia. Tourism development requires the full support of the local community as a tourist destination. The purposes of this study were to analyze people's attitudes towards the impact of tourism and measure community readiness towards digital tourism development in Pangururan Subdistrict, Samosir Regency. Data were collected using questionnaires and interviews. Respondents were local people and community leaders with total of 79 people. Quantitative data were analyzed using descriptive statistics and qualitative data through qualitative deductive analysis of content. The results of the study showed the positive attitude of the community towards the impact of tourism both socio-cultural, economic and environmental. The highest mean value on economic impact. Community readiness for digital tourism development which consists of 6 dimensions, namely community knowledge about the issue, resources related to issue, community efforts, community knowledge of the efforts, leadership and community climate. The highest mean on leadership with preparation level. But overall the community's readiness for the development of digital tourism is at the preplanning level.
{"title":"ATTITUDES AND COMMUNITY READINESS TOWARD DIGITAL TOURISM DEVELOPMENT","authors":"Tumiar Sidauruk, Fitra Delita, Rohani, Elfayetti, Herdi","doi":"10.55981/jmb.2023.2013","DOIUrl":"https://doi.org/10.55981/jmb.2023.2013","url":null,"abstract":"The tourism industry is growing along with technological developments and human needs. In fact, tourism is the main economic sector in several countries, including Indonesia. Tourism development requires the full support of the local community as a tourist destination. The purposes of this study were to analyze people's attitudes towards the impact of tourism and measure community readiness towards digital tourism development in Pangururan Subdistrict, Samosir Regency. Data were collected using questionnaires and interviews. Respondents were local people and community leaders with total of 79 people. Quantitative data were analyzed using descriptive statistics and qualitative data through qualitative deductive analysis of content. The results of the study showed the positive attitude of the community towards the impact of tourism both socio-cultural, economic and environmental. The highest mean value on economic impact. Community readiness for digital tourism development which consists of 6 dimensions, namely community knowledge about the issue, resources related to issue, community efforts, community knowledge of the efforts, leadership and community climate. The highest mean on leadership with preparation level. But overall the community's readiness for the development of digital tourism is at the preplanning level.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"33 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"78339990","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
T This article analyses the connection between the spice route and the Islamization of the Nusantara archipelago, focusing on the Samudera Pasai network. This research is historical research that uses several sources from Malay, Arabic, Chinese, and Portuguese. The research found that the Samudera Pasai use the decline of the Sriwijaya network to create a hub of a new network of the Malacca Strait, Indian Ocean, and the Java Sea at the northern tip of Sumatra. After the king converted to Islam and made his country a center for religious da'wah, Samudera Pasai grew more rapidly. From this process, two patterns were formed, namely the India-China network and the Java-Malacca network. The first pattern is highly influenced by India's religious and commercial characteristics, while China tends to have political and trade characteristics. In this pattern, Samudera Pasai is passive and becomes part of two main poles of the Asian economy (India and China). In the second pattern, Samudera Pasai is more serious in pushing Muslim communities and the birth of Islamic leaders in Java. Samudera Pasai network largely determined the progress of Malacca. After the kingdom converted to Islam because of the enforcement of the Sultan of Pasai and the scholars in Malacca, Samudera Pasai finally replaced the primary role of the Malacca Strait. This study concludes that Islam is a stimulus for the growth and development of Muslim port cities in the archipelago's spice routes in the XIII-XVI centuries.
{"title":"JALUR REMPAH DAN ISLAMISASI NUSANTARA:","authors":"A. Hamid","doi":"10.14203/jmb.v23i3.1065","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/jmb.v23i3.1065","url":null,"abstract":"T\u0000This article analyses the connection between the spice route and the Islamization of the Nusantara archipelago, focusing on the Samudera Pasai network. This research is historical research that uses several sources from Malay, Arabic, Chinese, and Portuguese. The research found that the Samudera Pasai use the decline of the Sriwijaya network to create a hub of a new network of the Malacca Strait, Indian Ocean, and the Java Sea at the northern tip of Sumatra. After the king converted to Islam and made his country a center for religious da'wah, Samudera Pasai grew more rapidly. From this process, two patterns were formed, namely the India-China network and the Java-Malacca network. The first pattern is highly influenced by India's religious and commercial characteristics, while China tends to have political and trade characteristics. In this pattern, Samudera Pasai is passive and becomes part of two main poles of the Asian economy (India and China). In the second pattern, Samudera Pasai is more serious in pushing Muslim communities and the birth of Islamic leaders in Java. Samudera Pasai network largely determined the progress of Malacca. After the kingdom converted to Islam because of the enforcement of the Sultan of Pasai and the scholars in Malacca, Samudera Pasai finally replaced the primary role of the Malacca Strait. This study concludes that Islam is a stimulus for the growth and development of Muslim port cities in the archipelago's spice routes in the XIII-XVI centuries.\u0000 ","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"64 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"84295245","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Marwan Setiawan, M. Rahayu, Dewi Qurrohta Wahyu Ningsih, Nissa Arifa
Keanekaragaman suku (etnis) yang terdapat di Indonesia sangat banyak dengan berbagai corak budaya yang berbeda satu sama lain, pengetahuan tradisional dan budaya yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai negara kebudayaan. Masakan tradisional merupakan masakan yang dikonsumsi dari generasi ke generasi dengan berbagai rempah. Keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan sumber komoditi niaga di masa lalu, menarik minat para pedagang termasuk tumbuhan rempah. Penelitian dilakukan di Nanggewer Mekar, Cibinong, Bogor. Mayoritas masyarakatnya yaitu Sunda, selain Jawa, dan Betawi. Masakan tradisional yang terdapat di Nanggewer Mekar ini banyak menambahkan rempah-rempah yang dapat menjadi ciri khas masakan tersebut. Tumbuhan rempah yang dimanfaatkan sebagai bumbu masakan terdiri dari 23 jenis yang termasuk dalam 19 marga dan 14 famili tumbuhan. Masakan tradisional tersebut meliputi: laksa, soto betawi, semur jengkol dan disajikan pada acara - acara tertentu.
{"title":"Tumbuhan Rempah dan Masakan Tradisional di Kelurahan Nanggewer Mekar, Cibinong, Kabupaten Bogor","authors":"Marwan Setiawan, M. Rahayu, Dewi Qurrohta Wahyu Ningsih, Nissa Arifa","doi":"10.14203/jmb.v23i3.1434","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/jmb.v23i3.1434","url":null,"abstract":"Keanekaragaman suku (etnis) yang terdapat di Indonesia sangat banyak dengan berbagai corak budaya yang berbeda satu sama lain, pengetahuan tradisional dan budaya yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai negara kebudayaan. Masakan tradisional merupakan masakan yang dikonsumsi dari generasi ke generasi dengan berbagai rempah. Keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan sumber komoditi niaga di masa lalu, menarik minat para pedagang termasuk tumbuhan rempah. Penelitian dilakukan di Nanggewer Mekar, Cibinong, Bogor. Mayoritas masyarakatnya yaitu Sunda, selain Jawa, dan Betawi. Masakan tradisional yang terdapat di Nanggewer Mekar ini banyak menambahkan rempah-rempah yang dapat menjadi ciri khas masakan tersebut. Tumbuhan rempah yang dimanfaatkan sebagai bumbu masakan terdiri dari 23 jenis yang termasuk dalam 19 marga dan 14 famili tumbuhan. Masakan tradisional tersebut meliputi: laksa, soto betawi, semur jengkol dan disajikan pada acara - acara tertentu.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"23 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88744975","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini bertujuan merekonstruksi hubungan perdagangan antar Banten dan Manila tahun 1663-1682 dengan menjawab tiga pertanyaan riset: (1) Bagaimana Banten menjalin hubungan dagang dengan Manila, (2) Bagaimana Banten memelihara hubungan tersebut dari kontrol VOC, dan (3) Bagaimana perdagangan Banten dan Manila tersebut berakhir akibat peperangan dengan Kompeni Belanda. . Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi empat tahap: heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer (primary sources), terutama dagh register dan catatan harian misionaris Katolik di Philipina. Hasil kajian terhadap laporan harian Kompeni Belanda di Batavia (dagh register) menunjukan bahwa secara konsisten kapal-kapal Banten mengirim dua komoditas dagang penting: pakaian dan besi ke Manila dan membawa pulang uang kontan real Spanyol. Disamping itu kapal Banten sesekali mengangkut lada dan komoditas dagang lainnya ke Manila. Beras, tembaga Jepang, kayu sapang adalah tiga komoditas dagang yang dibawa kapal Banten dari Manila. Periode termakmur dalam sejarah Kesultanan Banten tepat bersamaan waktunya dengan periode terjalinnya hubungan dengan Manila, yaitu antara tahun 1663-1682. Perdagangan Banten dengan Manila memungkinkan Banten mengirimkan kapal-kapal dagangnya ke berbagai negara: Siam, Cina, Gujarat, Pegu, Koromandel, Madraspatnam, Surat, Makao, Vietnam, Persia, Mocha dan London.
{"title":"Perdagangan Banten- Manila, 1663-1682","authors":"Mufti Ali","doi":"10.14203/jmb.v23i3.1335","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/jmb.v23i3.1335","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan merekonstruksi hubungan perdagangan antar Banten dan Manila tahun 1663-1682 dengan menjawab tiga pertanyaan riset: (1) Bagaimana Banten menjalin hubungan dagang dengan Manila, (2) Bagaimana Banten memelihara hubungan tersebut dari kontrol VOC, dan (3) Bagaimana perdagangan Banten dan Manila tersebut berakhir akibat peperangan dengan Kompeni Belanda. . Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi empat tahap: heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer (primary sources), terutama dagh register dan catatan harian misionaris Katolik di Philipina. Hasil kajian terhadap laporan harian Kompeni Belanda di Batavia (dagh register) menunjukan bahwa secara konsisten kapal-kapal Banten mengirim dua komoditas dagang penting: pakaian dan besi ke Manila dan membawa pulang uang kontan real Spanyol. Disamping itu kapal Banten sesekali mengangkut lada dan komoditas dagang lainnya ke Manila. Beras, tembaga Jepang, kayu sapang adalah tiga komoditas dagang yang dibawa kapal Banten dari Manila. Periode termakmur dalam sejarah Kesultanan Banten tepat bersamaan waktunya dengan periode terjalinnya hubungan dengan Manila, yaitu antara tahun 1663-1682. Perdagangan Banten dengan Manila memungkinkan Banten mengirimkan kapal-kapal dagangnya ke berbagai negara: Siam, Cina, Gujarat, Pegu, Koromandel, Madraspatnam, Surat, Makao, Vietnam, Persia, Mocha dan London.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"7 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88869052","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}