{"title":"州长、摄政王/宪法法院裁决后选举产生的争议解决方案。55 / PUU-XVII 2019","authors":"Nurush Shobahah, M. Rifai","doi":"10.21274/legacy.2021.1.1.24-45","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Diskursus desain penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (baca: Pilkada) kembali mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 pada tanggal 26 Februari 2020. Pada Putusan tersebut muncul istilah Pemilu serentak yang di dalamnya memuat penyelenggaraan Pilkada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah Pilkada masuk kembali ke rezim Pemilu setelah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU Pilkada dinyatakan bukan bagian dari Pemilu. Terbukti UU Pilkada mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Lantas bagaimana sebenarnya standing position Pilkada? Apakah bagian dari Pemilu atau tidak? Sebab standing position itu mempengaruhi desain penyelesaian perselisihan hasil Pilkada. Melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach), terjawab bahwa Pilkada bukanlah bagian dari Pemilu sehingga Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya. Perselisihan hasil Pilkada dapat diberikan kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pilihannya ada dua yakni diberikan kepada PTTUN atau dibentuk badan peradilan khusus. Dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi, penulis berpendapat sebaiknya diberikan kepada PTTUN.","PeriodicalId":114951,"journal":{"name":"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-03-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"DESAIN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI/WALIKOTA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 55/PUU-XVII/2019\",\"authors\":\"Nurush Shobahah, M. Rifai\",\"doi\":\"10.21274/legacy.2021.1.1.24-45\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Diskursus desain penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (baca: Pilkada) kembali mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 pada tanggal 26 Februari 2020. Pada Putusan tersebut muncul istilah Pemilu serentak yang di dalamnya memuat penyelenggaraan Pilkada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah Pilkada masuk kembali ke rezim Pemilu setelah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU Pilkada dinyatakan bukan bagian dari Pemilu. Terbukti UU Pilkada mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Lantas bagaimana sebenarnya standing position Pilkada? Apakah bagian dari Pemilu atau tidak? Sebab standing position itu mempengaruhi desain penyelesaian perselisihan hasil Pilkada. Melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach), terjawab bahwa Pilkada bukanlah bagian dari Pemilu sehingga Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya. Perselisihan hasil Pilkada dapat diberikan kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pilihannya ada dua yakni diberikan kepada PTTUN atau dibentuk badan peradilan khusus. Dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi, penulis berpendapat sebaiknya diberikan kepada PTTUN.\",\"PeriodicalId\":114951,\"journal\":{\"name\":\"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan\",\"volume\":\"1 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2021-03-04\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.21274/legacy.2021.1.1.24-45\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21274/legacy.2021.1.1.24-45","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
DESAIN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI/WALIKOTA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 55/PUU-XVII/2019
Diskursus desain penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (baca: Pilkada) kembali mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 pada tanggal 26 Februari 2020. Pada Putusan tersebut muncul istilah Pemilu serentak yang di dalamnya memuat penyelenggaraan Pilkada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah Pilkada masuk kembali ke rezim Pemilu setelah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU Pilkada dinyatakan bukan bagian dari Pemilu. Terbukti UU Pilkada mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Lantas bagaimana sebenarnya standing position Pilkada? Apakah bagian dari Pemilu atau tidak? Sebab standing position itu mempengaruhi desain penyelesaian perselisihan hasil Pilkada. Melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach), terjawab bahwa Pilkada bukanlah bagian dari Pemilu sehingga Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya. Perselisihan hasil Pilkada dapat diberikan kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pilihannya ada dua yakni diberikan kepada PTTUN atau dibentuk badan peradilan khusus. Dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi, penulis berpendapat sebaiknya diberikan kepada PTTUN.