Safira Putri Cahyani, Siti Siti Winariyah, W. Andriyani, Drajat Samudra Pangestu, Z. Ulya
{"title":"Studi Komparasi Prosedur Pencatatan Perkawinan di Indonesia dan Malaysia","authors":"Safira Putri Cahyani, Siti Siti Winariyah, W. Andriyani, Drajat Samudra Pangestu, Z. Ulya","doi":"10.15642/mal.v4i3.240","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Mengingat begitu banyaknya hal yang akan berpengaruh dari dicatatkannya suatu perkawinan, maka tak heran jika pencatatan perkawinan menjadi perhatian bagi masyarakat hingga pemerintah. Pemerintah yang memiliki wewenang dalam membuat suatu peraturan juga turut ikut andil dalam mengefektivitaskan suatu pencatatan perkawinan dalam masyarakat, salah satunya adalah di Indonesia. Di Indonesia sendiri telah diatur tentang bagaimana prosedur pencatatan perkawinan yang telah termuat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia berusaha untuk menjaga hak-hak konstitusional rakyatnya. Hal serupa juga diterapkan oleh negara tetangganya, yakni Malaysia. Di Malaysia terdapat suatu peraturan yang mengatur tentang prosedur pencatatan perkawinan, yakni dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Hal ini membuktikan bahwa kedua negara tersebut turut memberikan perhatiannya terhadap pentingnya pencatatan sebuah perkawinan. Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan seperti apa prosedur pencatatan perkawinan dari kedua negara tersebut. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu Library Research atau studi pustaka. Salah satu persamaan dari kedua peraturan tersebut adalah sama-sama menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sah suatu perkawinan, akan tetapi merupakan bentuk legalisasi hukum bagi perkawinan itu sendiri. Selain itu, keduanya juga memiliki perbedaan dalam mendaftarkan kehendak nikah, yang mana di Indonesia dilakukan selambatnya 10 hari sebelum pernikahan, sedangkan di Malaysia 7 hari sebelum pernikahan.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"49 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-05-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i3.240","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Mengingat begitu banyaknya hal yang akan berpengaruh dari dicatatkannya suatu perkawinan, maka tak heran jika pencatatan perkawinan menjadi perhatian bagi masyarakat hingga pemerintah. Pemerintah yang memiliki wewenang dalam membuat suatu peraturan juga turut ikut andil dalam mengefektivitaskan suatu pencatatan perkawinan dalam masyarakat, salah satunya adalah di Indonesia. Di Indonesia sendiri telah diatur tentang bagaimana prosedur pencatatan perkawinan yang telah termuat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia berusaha untuk menjaga hak-hak konstitusional rakyatnya. Hal serupa juga diterapkan oleh negara tetangganya, yakni Malaysia. Di Malaysia terdapat suatu peraturan yang mengatur tentang prosedur pencatatan perkawinan, yakni dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Hal ini membuktikan bahwa kedua negara tersebut turut memberikan perhatiannya terhadap pentingnya pencatatan sebuah perkawinan. Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan seperti apa prosedur pencatatan perkawinan dari kedua negara tersebut. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu Library Research atau studi pustaka. Salah satu persamaan dari kedua peraturan tersebut adalah sama-sama menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sah suatu perkawinan, akan tetapi merupakan bentuk legalisasi hukum bagi perkawinan itu sendiri. Selain itu, keduanya juga memiliki perbedaan dalam mendaftarkan kehendak nikah, yang mana di Indonesia dilakukan selambatnya 10 hari sebelum pernikahan, sedangkan di Malaysia 7 hari sebelum pernikahan.