Abstract: There are many disputes in society, especially between consumers and business actors. Data from the Surabaya Consumer Dispute Settlement Agency from 2019-2022 totals approximately 100 disputes. Dispute resolution at the Surabaya Consumer Dispute Resolution Agency is in accordance with what is regulated in Law no. 30 of 1999. However, in resolving disputes at the Surabaya Consumer Dispute Resolution Agency from 2019-2020, according to existing data, at most two dispute resolution methods were used, namely Mediation and Arbitration. This article aims to find out the comparison in the mediation and arbitration dispute resolution process at the Surabaya Consumer Dispute Resolution Agency. This writing uses an empirical approach with collection techniques through observations supported by interviews. The results of this research conclude that in the comparison of the administrative processes between arbitration and mediation they are the same. What is different when entering the trial is that there are several things that are different. One of them concerns the difference in the role of the assembly as a mediator between business actors and consumers. The role of the tribunal when resolving through arbitration will be active, whereas if resolving through mediation the tribunal will be passive. Keywords: Comparison, Mediation, Arbitration, Consumer Disputes. Abstrak: Terdapat banyak sengketa di masyarakat khususnya antara pihak konsumen dan pihak pelaku usaha. Data Badan Penyelesaian Segketa Konsumen Surabaya dari tahun 2019-2022 total sebanyak kurang lebih 100 sengketa. Penyelesaian sengketa di Badan Peyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya telah sesuai dengan yang diatur didalam UU No. 30 Tahun 1999. Tetapi didalam penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya dari tahun 2019-2020 sesuai data yang ada paling banyak menggunakan dua cara penyelesaian sengeketa yaitu Mediasi dan Arbitrase. Tulisan ini bertujuan mengetahui perbandingan dalam proses penyelesaian sengketa mediasi dan arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya. Penulisan ini menggunakan pendekatan empiris dengan teknik pengumpulan melalui observasi/pengamatan didukung dengan wawancara. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa didalam perbandingan proses administrasi antara arbitrase dengan mediasi mnunjukkan hasil yang sama. Hal yang membedakan ialah terletak pada saat proses persidangan dan beberapa hal yang berbeda. Salah satunya mengenai perbedaan peran majelis sebagai penengah antara pelaku usaha dan konsumen. Peran majelis jika menyelesaikan secara arbitrase akan bersifat aktif sebaliknya jika penyelesaiannya secara mediasi majelis akan bersifat pasif. Kata Kunci: Perbandingan, mediasi, arbitrase, sengketa konsumen.
{"title":"Proses Mediasi dan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya","authors":"Alif Tirta Amarta, Daman Huri","doi":"10.15642/mal.v4i6.306","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i6.306","url":null,"abstract":"Abstract: There are many disputes in society, especially between consumers and business actors. Data from the Surabaya Consumer Dispute Settlement Agency from 2019-2022 totals approximately 100 disputes. Dispute resolution at the Surabaya Consumer Dispute Resolution Agency is in accordance with what is regulated in Law no. 30 of 1999. However, in resolving disputes at the Surabaya Consumer Dispute Resolution Agency from 2019-2020, according to existing data, at most two dispute resolution methods were used, namely Mediation and Arbitration. This article aims to find out the comparison in the mediation and arbitration dispute resolution process at the Surabaya Consumer Dispute Resolution Agency. This writing uses an empirical approach with collection techniques through observations supported by interviews. The results of this research conclude that in the comparison of the administrative processes between arbitration and mediation they are the same. What is different when entering the trial is that there are several things that are different. One of them concerns the difference in the role of the assembly as a mediator between business actors and consumers. The role of the tribunal when resolving through arbitration will be active, whereas if resolving through mediation the tribunal will be passive.\u0000Keywords: Comparison, Mediation, Arbitration, Consumer Disputes.\u0000 \u0000Abstrak: Terdapat banyak sengketa di masyarakat khususnya antara pihak konsumen dan pihak pelaku usaha. Data Badan Penyelesaian Segketa Konsumen Surabaya dari tahun 2019-2022 total sebanyak kurang lebih 100 sengketa. Penyelesaian sengketa di Badan Peyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya telah sesuai dengan yang diatur didalam UU No. 30 Tahun 1999. Tetapi didalam penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya dari tahun 2019-2020 sesuai data yang ada paling banyak menggunakan dua cara penyelesaian sengeketa yaitu Mediasi dan Arbitrase. Tulisan ini bertujuan mengetahui perbandingan dalam proses penyelesaian sengketa mediasi dan arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya. Penulisan ini menggunakan pendekatan empiris dengan teknik pengumpulan melalui observasi/pengamatan didukung dengan wawancara. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa didalam perbandingan proses administrasi antara arbitrase dengan mediasi mnunjukkan hasil yang sama. Hal yang membedakan ialah terletak pada saat proses persidangan dan beberapa hal yang berbeda. Salah satunya mengenai perbedaan peran majelis sebagai penengah antara pelaku usaha dan konsumen. Peran majelis jika menyelesaikan secara arbitrase akan bersifat aktif sebaliknya jika penyelesaiannya secara mediasi majelis akan bersifat pasif.\u0000Kata Kunci: Perbandingan, mediasi, arbitrase, sengketa konsumen.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"380 3","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140246910","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ainun Najib, Mohammad Aqil Al-Huda, Jundullah Faqihuddin Ramadhan
Pencurian merupakan tindak pidana purba yang sudah ada sejak zaman dahulu. Sampai pada zaman modern ini pencurian masih banyak dilakukan yang salah satu tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup maka sering nominal curiannya hanya sedikit dan masuk kategori pencurian ringan. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah ajaran dualistis dapat diterapkan pada tindak pidana pencurian ringan dalam putusan nomor 43/Pid.C/2020/Pn Prp, dan untuk menjawab bagaimana ajaran dualistis dalam kacamata kaidah Fiqhiyyah dharar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua model pendekatan yaitu pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach). Bahan hukum dalam penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka (library research). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; pertama, ajaran dualistis bisa dan harus diterapkan dalam putusan nomor 43/Pid.C/2020/Pn Prp, Hakim harus mempertahankan segala aspek, meliputi kondisi psikis pelaku, keadaan ekonomi pelaku, dan tujuan pelaku. Kedua, hukum Islam sudah lebih dahulu meneapkan ajaran dualistis, kaidah fiqhiyyah dharar merupakan dasar kerangka berpikir dalam hukum Islam dalam membebasakan seseorang dari pertanggungjawan pidana. Kaidah fiqhiyyah dharar merupakan representasi dari ajaran dualistis dalam hukum positif.
{"title":"Implementasi Kaidah Fikih Dharar terhadap Ajaran Dualistis dalam Tindak Pidana Pencurian Ringan","authors":"Ainun Najib, Mohammad Aqil Al-Huda, Jundullah Faqihuddin Ramadhan","doi":"10.15642/mal.v4i3.253","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i3.253","url":null,"abstract":"Pencurian merupakan tindak pidana purba yang sudah ada sejak zaman dahulu. Sampai pada zaman modern ini pencurian masih banyak dilakukan yang salah satu tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup maka sering nominal curiannya hanya sedikit dan masuk kategori pencurian ringan. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah ajaran dualistis dapat diterapkan pada tindak pidana pencurian ringan dalam putusan nomor 43/Pid.C/2020/Pn Prp, dan untuk menjawab bagaimana ajaran dualistis dalam kacamata kaidah Fiqhiyyah dharar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua model pendekatan yaitu pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach). Bahan hukum dalam penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka (library research). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; pertama, ajaran dualistis bisa dan harus diterapkan dalam putusan nomor 43/Pid.C/2020/Pn Prp, Hakim harus mempertahankan segala aspek, meliputi kondisi psikis pelaku, keadaan ekonomi pelaku, dan tujuan pelaku. Kedua, hukum Islam sudah lebih dahulu meneapkan ajaran dualistis, kaidah fiqhiyyah dharar merupakan dasar kerangka berpikir dalam hukum Islam dalam membebasakan seseorang dari pertanggungjawan pidana. Kaidah fiqhiyyah dharar merupakan representasi dari ajaran dualistis dalam hukum positif.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"26 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126041572","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis adalah adanya pemilu yang bebas dan tidak memihak. Berkenaan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang di satu sisi menjalankan fungsi pengawasan pemilu, dan di sisi lain mengadili pelanggaran pemilu apabila dilihat dari segi kelembagaan negara, maka dapat berpotensi munculnya abuse of power dalam suatu lembaga. Selain itu dengan adanya kewenangan mengadili pelanggaran administrasi pemilu khususnya pada proses perhitungan suara sering kali menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi kewenangan Bawaslu agar terciptanya pemilu yang demokratis. Berdasarkan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach), dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam kasus pelanggaran pemilu yang baru dilaporkan dan diregistrasi oleh Bawaslu setelah adanya Penetapan Hasil Perolehan Suara secara Nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengakibatkan tumpang tindih kewenangan penyelesaian. Hal ini dikarenakan pelanggaran dan atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi yang ditangani oleh Bawaslu dan berdampak pada hasil, hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga konsep Judicial Restraint sebagai upaya pembatasan yudisial kewenangan yang dimiliki Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran pemilu diperlukan dalam upaya mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Sehingga dalam memutus pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu perlu dibentuk Pengadilan khusus pemilu.
{"title":"Judical Restraint Kewenangan Badan Pengawas Pemilu Pasca Penetapan Hasil Perolehan Suara Secara Nasional","authors":"Vina Septi Megita, Zainatul Ilmiyah","doi":"10.15642/mal.v4i3.237","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i3.237","url":null,"abstract":"Salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis adalah adanya pemilu yang bebas dan tidak memihak. Berkenaan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang di satu sisi menjalankan fungsi pengawasan pemilu, dan di sisi lain mengadili pelanggaran pemilu apabila dilihat dari segi kelembagaan negara, maka dapat berpotensi munculnya abuse of power dalam suatu lembaga. Selain itu dengan adanya kewenangan mengadili pelanggaran administrasi pemilu khususnya pada proses perhitungan suara sering kali menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi kewenangan Bawaslu agar terciptanya pemilu yang demokratis. Berdasarkan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach), dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam kasus pelanggaran pemilu yang baru dilaporkan dan diregistrasi oleh Bawaslu setelah adanya Penetapan Hasil Perolehan Suara secara Nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengakibatkan tumpang tindih kewenangan penyelesaian. Hal ini dikarenakan pelanggaran dan atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi yang ditangani oleh Bawaslu dan berdampak pada hasil, hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga konsep Judicial Restraint sebagai upaya pembatasan yudisial kewenangan yang dimiliki Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran pemilu diperlukan dalam upaya mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Sehingga dalam memutus pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu perlu dibentuk Pengadilan khusus pemilu.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"51 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127131731","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini disusun untuk membahas mengenai tindak pidana perdagangan orang atau lazim dengan TPPO. Human trafficking ini masuk dalam kategori hukum pidana khusus,yang di Indonesia diatur dalam UU No.21 Tahun 2007. Indonesia sendiri merupakan negara hukum yang segala perbuatan diatur oleh hukum dan menjujung juga adanya hak asasi manusia. HAM tersebut harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu terdapat pengaturan sanksi mengenai TPPO menurut hukum positif yang ada di Indonesia dan pengaturan sanksi mengenai TPPO menurut hukum pidana islam. Sehingga artikel ini memiliki tujuan yaitu untuk menganalisis bagaimana kedua hukum tersebut mengatur mengenai TPPO ini. Artikel ini pula disusun berdasarkan studi pustaka, dimana penulis melakukan pendekatan dengan berbagai sumber literatur seperti buku, jurnal hukum. Dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan TPPO. Dalam hukum positif sendiri, TPPO diatur dengan melihat UU No. 21 Tahun 2007 juga dalam KUHP. Sedangkan dalam hukum pidana islam sendiri, TPPO ini sebenarnya sudah dilakuka sejak zaman jahiliyah namun merujuknya pada perbudakan. Dalam hukum pidana islam sendiri TPPO masuk dalam kategori jarimah ta’zir.
{"title":"Tindak Pidana Human Trafficking Perspektif Hukum Pidana Islam","authors":"Syahdila Nur Rahmawati","doi":"10.15642/mal.v4i3.246","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i3.246","url":null,"abstract":"Artikel ini disusun untuk membahas mengenai tindak pidana perdagangan orang atau lazim dengan TPPO. Human trafficking ini masuk dalam kategori hukum pidana khusus,yang di Indonesia diatur dalam UU No.21 Tahun 2007. Indonesia sendiri merupakan negara hukum yang segala perbuatan diatur oleh hukum dan menjujung juga adanya hak asasi manusia. HAM tersebut harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu terdapat pengaturan sanksi mengenai TPPO menurut hukum positif yang ada di Indonesia dan pengaturan sanksi mengenai TPPO menurut hukum pidana islam. Sehingga artikel ini memiliki tujuan yaitu untuk menganalisis bagaimana kedua hukum tersebut mengatur mengenai TPPO ini. Artikel ini pula disusun berdasarkan studi pustaka, dimana penulis melakukan pendekatan dengan berbagai sumber literatur seperti buku, jurnal hukum. Dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan TPPO. Dalam hukum positif sendiri, TPPO diatur dengan melihat UU No. 21 Tahun 2007 juga dalam KUHP. Sedangkan dalam hukum pidana islam sendiri, TPPO ini sebenarnya sudah dilakuka sejak zaman jahiliyah namun merujuknya pada perbudakan. Dalam hukum pidana islam sendiri TPPO masuk dalam kategori jarimah ta’zir.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"248 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122929720","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin menjamur di tengah-tengah masyarakat. Kasus ini terjadi di lingkungan sekolah hingga keluarga dengan latar belakang serta bentuk kekerasan yang beragam. Tindak kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa dipisahkan dari posisi rentan perempuan dan anak perempuan. Dalam hierarki dehumanisasi, anak perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan, dari etnis minoritas, serta cacat, berada pada posisi terendah. Mereka mengalami penindasan berlapis. Meskipun tidak mutlak bahwa hanya mereka yang dapat mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan peristiwa tragis yang menyasar eksistensi seseorang dan meninggalkan trauma mendalam sehingga membutuhkan penanganan khusus. Kekerasan seksual ini mengakibatkan dampak secara fisik dan psikis seperti gangguan pola makan, hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa, trauma secara seksual, mimpi buruk, munculnya rasa malu dan bersalah, krisis kepercayaan, disosiasi, depresi, pengulangan memori, hypoactive sexual desire disorder, hingga menjadi pelaku di kemudian hari. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi fenomenologi dengan tujuan mempelajari peran perempuan dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perempuan yang memiliki peran penting dalam keluarga mampu menjadi pioneer dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak. Sebagai seorang ibu, perempuan dapat menjalin komunikasi informasi edukasi secara intens terhadap anak, memberikan pendidikan agama lebih mendalam, melakukan pengawasan secara aktif, memberikan pendidikan seksual sesuai usia, mendorong anak untuk berani melawan kejahatan, menjadi konselor terhadap masalah anak, serta memberikan pelatihan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.
{"title":"Perempuan Sebagai Pelopor Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada Anak di Lingkungan Keluarga","authors":"Elva Imeldatur Rohmah","doi":"10.15642/mal.v4i3.242","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i3.242","url":null,"abstract":"Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin menjamur di tengah-tengah masyarakat. Kasus ini terjadi di lingkungan sekolah hingga keluarga dengan latar belakang serta bentuk kekerasan yang beragam. Tindak kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa dipisahkan dari posisi rentan perempuan dan anak perempuan. Dalam hierarki dehumanisasi, anak perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan, dari etnis minoritas, serta cacat, berada pada posisi terendah. Mereka mengalami penindasan berlapis. Meskipun tidak mutlak bahwa hanya mereka yang dapat mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan peristiwa tragis yang menyasar eksistensi seseorang dan meninggalkan trauma mendalam sehingga membutuhkan penanganan khusus. Kekerasan seksual ini mengakibatkan dampak secara fisik dan psikis seperti gangguan pola makan, hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa, trauma secara seksual, mimpi buruk, munculnya rasa malu dan bersalah, krisis kepercayaan, disosiasi, depresi, pengulangan memori, hypoactive sexual desire disorder, hingga menjadi pelaku di kemudian hari. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi fenomenologi dengan tujuan mempelajari peran perempuan dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perempuan yang memiliki peran penting dalam keluarga mampu menjadi pioneer dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak. Sebagai seorang ibu, perempuan dapat menjalin komunikasi informasi edukasi secara intens terhadap anak, memberikan pendidikan agama lebih mendalam, melakukan pengawasan secara aktif, memberikan pendidikan seksual sesuai usia, mendorong anak untuk berani melawan kejahatan, menjadi konselor terhadap masalah anak, serta memberikan pelatihan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"138 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-06-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115175154","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Safira Putri Cahyani, Siti Siti Winariyah, W. Andriyani, Drajat Samudra Pangestu, Z. Ulya
Mengingat begitu banyaknya hal yang akan berpengaruh dari dicatatkannya suatu perkawinan, maka tak heran jika pencatatan perkawinan menjadi perhatian bagi masyarakat hingga pemerintah. Pemerintah yang memiliki wewenang dalam membuat suatu peraturan juga turut ikut andil dalam mengefektivitaskan suatu pencatatan perkawinan dalam masyarakat, salah satunya adalah di Indonesia. Di Indonesia sendiri telah diatur tentang bagaimana prosedur pencatatan perkawinan yang telah termuat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia berusaha untuk menjaga hak-hak konstitusional rakyatnya. Hal serupa juga diterapkan oleh negara tetangganya, yakni Malaysia. Di Malaysia terdapat suatu peraturan yang mengatur tentang prosedur pencatatan perkawinan, yakni dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Hal ini membuktikan bahwa kedua negara tersebut turut memberikan perhatiannya terhadap pentingnya pencatatan sebuah perkawinan. Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan seperti apa prosedur pencatatan perkawinan dari kedua negara tersebut. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu Library Research atau studi pustaka. Salah satu persamaan dari kedua peraturan tersebut adalah sama-sama menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sah suatu perkawinan, akan tetapi merupakan bentuk legalisasi hukum bagi perkawinan itu sendiri. Selain itu, keduanya juga memiliki perbedaan dalam mendaftarkan kehendak nikah, yang mana di Indonesia dilakukan selambatnya 10 hari sebelum pernikahan, sedangkan di Malaysia 7 hari sebelum pernikahan.
{"title":"Studi Komparasi Prosedur Pencatatan Perkawinan di Indonesia dan Malaysia","authors":"Safira Putri Cahyani, Siti Siti Winariyah, W. Andriyani, Drajat Samudra Pangestu, Z. Ulya","doi":"10.15642/mal.v4i3.240","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i3.240","url":null,"abstract":"Mengingat begitu banyaknya hal yang akan berpengaruh dari dicatatkannya suatu perkawinan, maka tak heran jika pencatatan perkawinan menjadi perhatian bagi masyarakat hingga pemerintah. Pemerintah yang memiliki wewenang dalam membuat suatu peraturan juga turut ikut andil dalam mengefektivitaskan suatu pencatatan perkawinan dalam masyarakat, salah satunya adalah di Indonesia. Di Indonesia sendiri telah diatur tentang bagaimana prosedur pencatatan perkawinan yang telah termuat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia berusaha untuk menjaga hak-hak konstitusional rakyatnya. Hal serupa juga diterapkan oleh negara tetangganya, yakni Malaysia. Di Malaysia terdapat suatu peraturan yang mengatur tentang prosedur pencatatan perkawinan, yakni dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Hal ini membuktikan bahwa kedua negara tersebut turut memberikan perhatiannya terhadap pentingnya pencatatan sebuah perkawinan. Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan seperti apa prosedur pencatatan perkawinan dari kedua negara tersebut. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu Library Research atau studi pustaka. Salah satu persamaan dari kedua peraturan tersebut adalah sama-sama menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sah suatu perkawinan, akan tetapi merupakan bentuk legalisasi hukum bagi perkawinan itu sendiri. Selain itu, keduanya juga memiliki perbedaan dalam mendaftarkan kehendak nikah, yang mana di Indonesia dilakukan selambatnya 10 hari sebelum pernikahan, sedangkan di Malaysia 7 hari sebelum pernikahan.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"49 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-05-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134189973","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
A. Al Ghifari, Ghoniyah Zulindah Maulidya, Nurul Masruroh, S. Hayati
Indonesia sebagai salah satu negara terdampak pandemi Covid-19 Untuk meminimalisasi pelanggaran Covid-19, pemerintah mewajibkan masyarakat untuk mematuhi protokol Kesehatan akan tetapi masyarakat masih banyak yang melanggar sehingga diterbitkan peraturan PERWALI Nomor 10 Tahun 2021. Akan tetapi peraturan hukum tentang protokol Kesehatan tidak berjalan dengan efektif. Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk meneliti tentang pelanggaran protokol kesehatan menurut perspektif hukum positif dan hukum pidana Islam. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dan penganalisisan data menggunakan metode deduktif dengan materi yang bersumber pada kajian pustaka. Sehingga diperoleh hasil penelitian bahwa terkait pelanggaran protokol kesehatan di Indonesia telah jelas diatur dalam Perwali bahkan disebutkan sanksi berupa denda sesuai dengan golongan yang melakukan pelanggaran. Bahkan di dalam sudut pandang hukum pidana Islam kami menemukan hasil bahwa sanksi untuk pelanggaran protol Kesehatan saat covid yaitu di ta’zir. Sehingga diperoleh hasil penelitian kami tentang pelanggaran protokol kesehatan yang dipandang dari sudut hukum positif dan hukum pidana Islam. Yang mana dari hukum positif kami mengkaji PERWALI Nomor 10 Tahun 2021 dan dari hukum pidana Islam kami mengkaji dari sudut pidana ta’zir dan maqasid syariahnya.
{"title":"Pelanggaran Protokol Kesehatan Menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam","authors":"A. Al Ghifari, Ghoniyah Zulindah Maulidya, Nurul Masruroh, S. Hayati","doi":"10.15642/mal.v4i2.163","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.163","url":null,"abstract":"Indonesia sebagai salah satu negara terdampak pandemi Covid-19 Untuk meminimalisasi pelanggaran Covid-19, pemerintah mewajibkan masyarakat untuk mematuhi protokol Kesehatan akan tetapi masyarakat masih banyak yang melanggar sehingga diterbitkan peraturan PERWALI Nomor 10 Tahun 2021. Akan tetapi peraturan hukum tentang protokol Kesehatan tidak berjalan dengan efektif. Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk meneliti tentang pelanggaran protokol kesehatan menurut perspektif hukum positif dan hukum pidana Islam. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dan penganalisisan data menggunakan metode deduktif dengan materi yang bersumber pada kajian pustaka. Sehingga diperoleh hasil penelitian bahwa terkait pelanggaran protokol kesehatan di Indonesia telah jelas diatur dalam Perwali bahkan disebutkan sanksi berupa denda sesuai dengan golongan yang melakukan pelanggaran. Bahkan di dalam sudut pandang hukum pidana Islam kami menemukan hasil bahwa sanksi untuk pelanggaran protol Kesehatan saat covid yaitu di ta’zir. Sehingga diperoleh hasil penelitian kami tentang pelanggaran protokol kesehatan yang dipandang dari sudut hukum positif dan hukum pidana Islam. Yang mana dari hukum positif kami mengkaji PERWALI Nomor 10 Tahun 2021 dan dari hukum pidana Islam kami mengkaji dari sudut pidana ta’zir dan maqasid syariahnya.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130585978","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study photographed the ijtihad method of two organizations Rumah KitaB Bersama (Rumah KitaB) and the Indonesian Women Ulema Congress (KUPI). The two points examined are the framework of the ijtihad method and the extent to which it can advocate for the rights of women and children. This study is a normative study by utilizing conceptual and philosophical approaches. Rumah KitaB and KUPI have a basic ushuliyyah approach, but differ in the construction of the paradigm and framework of ijtihad. The House of Book makes maqashid al-Islam a medium of dialogue between text and context. When linked to maqashid al-Islam, the text should be read with a critical paradigm while context with a spiritual paradigm. Then, the relationship of text and context should be read with a framework of alignments. Meanwhile, KUPI makes the rules of ushuliyyah and fiqhiyyah as methods elaborated with maqashid ash-sharia and Islamic universal values, such as humanity, justice, equality, interconnectedness, kindness, benefit, nationality, and universality. The main approaches used are mubadalah, makruf, and ultimate justice. This article finds that the ijtihad framework both contribute significantly to the strengthening of women's rights. It proves that both have created a new current of progressive, responsive, and inclusive collective ijtihad methods in Indonesia without having to abandon the classical texts. In fact, they have fought against Indonesia's established collective ijtihad framework but tend to be less responsive to marginal issues.
本研究拍摄了两个组织Rumah KitaB Bersama (Rumah KitaB)和印度尼西亚妇女乌里玛大会(KUPI)的伊智哈德方法。审查的两点是伊吉提哈德方法的框架和它能在多大程度上倡导妇女和儿童的权利。本研究是一项运用概念和哲学方法的规范性研究。Rumah KitaB和KUPI都有一个基本的ushuliyyah方法,但在构建伊智提哈德的范式和框架方面有所不同。书之家使maqashid al-Islam成为文本与语境对话的媒介。当与maqashid al-Islam联系在一起时,文本应该以批判范式阅读,而上下文则以精神范式阅读。其次,要用对齐的框架来解读文本与语境的关系。同时,KUPI将ushuliyyah和fiqhiyyah的规则作为与maqashid ash-sharia和伊斯兰普世价值(如人性、正义、平等、互联、善良、利益、民族性和普遍性)相结合的方法来阐述。使用的主要方法是mubadalah, makruf和最终正义。本文发现,伊吉哈德框架都对加强妇女权利作出了重大贡献。这证明,两者都在印度尼西亚创造了一种进步的、反应迅速的、包容的集体伊智哈德方法的新潮流,而不必放弃经典文本。事实上,他们反对印尼已建立的集体圣战框架,但往往对边缘问题反应较少。
{"title":"Metode Ijtihad Kolektif Progresif di Indonesia Sebagai Media Proyeksi Nalar Kemanusiaan","authors":"Mukhammad Nur Hadi","doi":"10.15642/mal.v4i2.247","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.247","url":null,"abstract":"This study photographed the ijtihad method of two organizations Rumah KitaB Bersama (Rumah KitaB) and the Indonesian Women Ulema Congress (KUPI). The two points examined are the framework of the ijtihad method and the extent to which it can advocate for the rights of women and children. This study is a normative study by utilizing conceptual and philosophical approaches. Rumah KitaB and KUPI have a basic ushuliyyah approach, but differ in the construction of the paradigm and framework of ijtihad. The House of Book makes maqashid al-Islam a medium of dialogue between text and context. When linked to maqashid al-Islam, the text should be read with a critical paradigm while context with a spiritual paradigm. Then, the relationship of text and context should be read with a framework of alignments. Meanwhile, KUPI makes the rules of ushuliyyah and fiqhiyyah as methods elaborated with maqashid ash-sharia and Islamic universal values, such as humanity, justice, equality, interconnectedness, kindness, benefit, nationality, and universality. The main approaches used are mubadalah, makruf, and ultimate justice. This article finds that the ijtihad framework both contribute significantly to the strengthening of women's rights. It proves that both have created a new current of progressive, responsive, and inclusive collective ijtihad methods in Indonesia without having to abandon the classical texts. In fact, they have fought against Indonesia's established collective ijtihad framework but tend to be less responsive to marginal issues.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"32 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114164011","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Hutmi Amivia Ilma, Imroatin Arsali, I. Sari, Nabila Maharani
Kehidupan yang kian padat berdampak pada meningkatnya populasi makhluk hidup sehingga mempengaruhi sempitnya lahan untuk beraktivitas. Oleh karena itu, perlu adanya kreasi dan inovasi dalam memanfaatkan tanah yang ada dan tersisa dengan tata guna tanah yang berdasarkan oleh kepentingan umum. Pemerintahan kota Surabaya telah menerapkan pemanfaatan lahan sisa dari masyarakat untuk dibangun menjadi sebuah taman kota, dengan tujuan memberikan fasilitas umum pada masyarakat untuk beraktivitas dan meningkatkan kadar kebersihan serta keindahan kota. Dalam hal ini, kami akan menganalisis tanggapan dari masyarakat dan undang – undang, akan pemanfaatan lahan untuk fasilitas umum taman pelangi Kota Surabaya, yang didasari oleh banyaknya kontradiksi akan adanya pembuatan taman kota pada saat masih ada pemukiman aktif di dalamnya. Kami menggunakan metode penelitian secara normatif yang berdasarkan undang – undang terkait dan pendekatan sejarah demi keberlangsungan analisis yang lebih efisien. Tujuan dari analisis ini yakni sebagai sistem pengetahuan bagi masyarakat dan pemerintah terkait dengan tingkat efisiensi penerapan tata guna lahan tanah secara terstruktur dan terencana tanpa adanya kontradiksi. Maka dari itu, penerapan Tata guna lahan terhadap Taman Pelangi Kota Surabaya dinilai telah memenuhi persyaratan dan standar dari apa yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
{"title":"Analisis Tata Guna Tanah (Land Use) Dalam Pemanfaatan Taman Pelangi Kota Surabaya Sebagai Fasilitas Umum","authors":"Hutmi Amivia Ilma, Imroatin Arsali, I. Sari, Nabila Maharani","doi":"10.15642/mal.v4i2.214","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.214","url":null,"abstract":"Kehidupan yang kian padat berdampak pada meningkatnya populasi makhluk hidup sehingga mempengaruhi sempitnya lahan untuk beraktivitas. Oleh karena itu, perlu adanya kreasi dan inovasi dalam memanfaatkan tanah yang ada dan tersisa dengan tata guna tanah yang berdasarkan oleh kepentingan umum. Pemerintahan kota Surabaya telah menerapkan pemanfaatan lahan sisa dari masyarakat untuk dibangun menjadi sebuah taman kota, dengan tujuan memberikan fasilitas umum pada masyarakat untuk beraktivitas dan meningkatkan kadar kebersihan serta keindahan kota. Dalam hal ini, kami akan menganalisis tanggapan dari masyarakat dan undang – undang, akan pemanfaatan lahan untuk fasilitas umum taman pelangi Kota Surabaya, yang didasari oleh banyaknya kontradiksi akan adanya pembuatan taman kota pada saat masih ada pemukiman aktif di dalamnya. Kami menggunakan metode penelitian secara normatif yang berdasarkan undang – undang terkait dan pendekatan sejarah demi keberlangsungan analisis yang lebih efisien. Tujuan dari analisis ini yakni sebagai sistem pengetahuan bagi masyarakat dan pemerintah terkait dengan tingkat efisiensi penerapan tata guna lahan tanah secara terstruktur dan terencana tanpa adanya kontradiksi. Maka dari itu, penerapan Tata guna lahan terhadap Taman Pelangi Kota Surabaya dinilai telah memenuhi persyaratan dan standar dari apa yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"2 2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126052277","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Mochammad Rafi Pravidjayanto, Nuraida Khoirun Nisa, Muhammad Alvin Nashir, M. Ayuningtyas
Tujuan dari penelitian ini untuk menelaah konsep dan peran bank tanah dalam mengatasi problematika pengadaan tanah yang kian hari makin meningkat. Hal ini dipicu oleh pembebasan lahan oleh pemerintah yang terkadang tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Pemerintah dalam praktek pembebeasan lahan dan mekanisme ganti rugi menggunakan Nilai Jual Objek Pajak sebagai acuan dalam menakar nilai harga tanah. Hal ini tidak sejalan dengan harga pasar tanah yang spekulatif cenderung lebih tinggi. Kehadiran bank tanah yang dituangkan dalam Peraturan Pemeritah (PP) No 64 Tahun 2021 merupakan angin segar dalam pemerataan infrastruktur pemerintah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan didukung oleh data kepustakaan berupa buku, jurnal, dan dokumen perundang-undangan menghasilkan bahwa peran bank tanah sangat menghasilkan manfaat berupa stabilisasi harga pasar tanah, akuisisi tanah sebagai cadangan pemerintah dalam rangka pembangunan infrastruktur serta perombakan struktur kelembagaan dalam bank tanah untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
{"title":"Peran Bank Tanah Dalam Mengatasi Problematika Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum","authors":"Mochammad Rafi Pravidjayanto, Nuraida Khoirun Nisa, Muhammad Alvin Nashir, M. Ayuningtyas","doi":"10.15642/mal.v4i2.209","DOIUrl":"https://doi.org/10.15642/mal.v4i2.209","url":null,"abstract":"Tujuan dari penelitian ini untuk menelaah konsep dan peran bank tanah dalam mengatasi problematika pengadaan tanah yang kian hari makin meningkat. Hal ini dipicu oleh pembebasan lahan oleh pemerintah yang terkadang tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Pemerintah dalam praktek pembebeasan lahan dan mekanisme ganti rugi menggunakan Nilai Jual Objek Pajak sebagai acuan dalam menakar nilai harga tanah. Hal ini tidak sejalan dengan harga pasar tanah yang spekulatif cenderung lebih tinggi. Kehadiran bank tanah yang dituangkan dalam Peraturan Pemeritah (PP) No 64 Tahun 2021 merupakan angin segar dalam pemerataan infrastruktur pemerintah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan didukung oleh data kepustakaan berupa buku, jurnal, dan dokumen perundang-undangan menghasilkan bahwa peran bank tanah sangat menghasilkan manfaat berupa stabilisasi harga pasar tanah, akuisisi tanah sebagai cadangan pemerintah dalam rangka pembangunan infrastruktur serta perombakan struktur kelembagaan dalam bank tanah untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.","PeriodicalId":377312,"journal":{"name":"Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133550930","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}