Pub Date : 2023-10-22DOI: 10.23887/jabi.v5i2.59400
Yohanes Wendelinus Dasor, Stanislaus Hermaditoyo, Robertus Hudin
Prinsip good governance dalam tata kelola lembaga adat adalah bagaimana lembaga adat itu berjalan secara benar untuk kebaikan semua masyarakat adat. Lembaga Adat dalam pelaksanaannya harus memenuhi tugas untuk mengembangkan, menjaga, dan merawat kekayaan budaya dan tradisi, serta hubungan antara tokoh adat dengan masyarakat dan pemerintah, yang seharusnya mencerminkan aspirasi semua pihak dalam wilayah hukum adat. Sesungguhnya prinsip good governance telah dihidupkan dan dijalankan dalam tata kelola lembaga adat di Manggarai. Dan karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana prinsip-prinsip good governance dalam tata kelola lembaga adat di Manggarai. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.Sedangkan teknis analisis datanya terdiri atas reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa prinsip good governance dalam tata kelola lembaga adat di Manggarai yaitu nilai partisipasi, transparansi, keadilan, supremasi hukum dan responsibilitas. Kelima aspek ini telah dihidupkan dan dijalankan dalam tata kelola lembaga adat sejak awal terbentuknya lembaga adat itu sendiri. Nilai-nilai ini ada dan dihidupkan melalui aspek pembiasaan yang telah digariskan dan diwariskan secara turun temurun.
{"title":"NILAI-NILAI GOOD GOVERNANCE DALAM TATA KELOLA LEMBAGA ADAT MASYARAKAT MANGGARAI NUSA TENGGARA TIMUR","authors":"Yohanes Wendelinus Dasor, Stanislaus Hermaditoyo, Robertus Hudin","doi":"10.23887/jabi.v5i2.59400","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jabi.v5i2.59400","url":null,"abstract":"Prinsip good governance dalam tata kelola lembaga adat adalah bagaimana lembaga adat itu berjalan secara benar untuk kebaikan semua masyarakat adat. Lembaga Adat dalam pelaksanaannya harus memenuhi tugas untuk mengembangkan, menjaga, dan merawat kekayaan budaya dan tradisi, serta hubungan antara tokoh adat dengan masyarakat dan pemerintah, yang seharusnya mencerminkan aspirasi semua pihak dalam wilayah hukum adat. Sesungguhnya prinsip good governance telah dihidupkan dan dijalankan dalam tata kelola lembaga adat di Manggarai. Dan karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana prinsip-prinsip good governance dalam tata kelola lembaga adat di Manggarai. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.Sedangkan teknis analisis datanya terdiri atas reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa prinsip good governance dalam tata kelola lembaga adat di Manggarai yaitu nilai partisipasi, transparansi, keadilan, supremasi hukum dan responsibilitas. Kelima aspek ini telah dihidupkan dan dijalankan dalam tata kelola lembaga adat sejak awal terbentuknya lembaga adat itu sendiri. Nilai-nilai ini ada dan dihidupkan melalui aspek pembiasaan yang telah digariskan dan diwariskan secara turun temurun.","PeriodicalId":477709,"journal":{"name":"Jurnal Adat dan Budaya Indonesia","volume":"20 3","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135464277","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-22DOI: 10.23887/jabi.v5i2.59323
Kamilus Bato, Andreas Geleda Manuk, Antonio Camnahas
Tulisan ini bertujuan untuk memahami dan menggali makna Huler Wair pada masyarakat Sikka dalam hubungan dengan Sakramen Pembaptisan. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode wawancara atau interview dengan tokoh masyarakat setempat untuk bisa memperoleh data yang benar dan akurat mengenai Huler Wair. Ada pun sumber atau rujukan yang digunakan penulis dalam karya tulis ini, seperti sumber tertulis lainnya yang berkaitan langsung dengan isi tulisan ini dan kemudian dianalisis agar bisa menemukan makna Huler Wair agar bisa disandingkan dengan pemahaman atau konsep tentang Sakramen Baptis dalam Gereja Katolik. Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian, terdapat dua paham yang berbeda antara ritus Huler Wair dan sakramen Baptis dalam Gereja Katolik. Ada pun persamaan dan perbedaan diantara keduanya yang memantik penulis untuk lebih giat dalam menulis tulisan ini dan berusaha untuk bisa memahaminya dengan baik. Ritus Huler Wair dan sakramen Baptis tentunya mempunyai makna yang berbeda. Oleh karena itu, penulis hendak membuat studi banding antara keduanya. Upaya yang dilakukan penulis tentu saja dapat membantu masyarakat setempat dalam memahami Huler Wair dan sakramen Baptis, sehingga masyarakat setempat tidak mengalami kebingungan
{"title":"MENGGALI MAKNA RITUS HULER WAIR DAN HUBUNGANNYA DENGAN SAKRAMEN PEMBAPTISAN","authors":"Kamilus Bato, Andreas Geleda Manuk, Antonio Camnahas","doi":"10.23887/jabi.v5i2.59323","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jabi.v5i2.59323","url":null,"abstract":"Tulisan ini bertujuan untuk memahami dan menggali makna Huler Wair pada masyarakat Sikka dalam hubungan dengan Sakramen Pembaptisan. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode wawancara atau interview dengan tokoh masyarakat setempat untuk bisa memperoleh data yang benar dan akurat mengenai Huler Wair. Ada pun sumber atau rujukan yang digunakan penulis dalam karya tulis ini, seperti sumber tertulis lainnya yang berkaitan langsung dengan isi tulisan ini dan kemudian dianalisis agar bisa menemukan makna Huler Wair agar bisa disandingkan dengan pemahaman atau konsep tentang Sakramen Baptis dalam Gereja Katolik. Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian, terdapat dua paham yang berbeda antara ritus Huler Wair dan sakramen Baptis dalam Gereja Katolik. Ada pun persamaan dan perbedaan diantara keduanya yang memantik penulis untuk lebih giat dalam menulis tulisan ini dan berusaha untuk bisa memahaminya dengan baik. Ritus Huler Wair dan sakramen Baptis tentunya mempunyai makna yang berbeda. Oleh karena itu, penulis hendak membuat studi banding antara keduanya. Upaya yang dilakukan penulis tentu saja dapat membantu masyarakat setempat dalam memahami Huler Wair dan sakramen Baptis, sehingga masyarakat setempat tidak mengalami kebingungan","PeriodicalId":477709,"journal":{"name":"Jurnal Adat dan Budaya Indonesia","volume":"14 5","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135464276","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-22DOI: 10.23887/jabi.v5i2.61112
Yusawinur Barella, None Aminuyati, Nurul Fahira, Maya Maulidya, Vhicka Cantika, Dea Tami Restu Bumi
Setiap suku tentunya memiliki kearifan lokal tersendiri seperti suku Chinese atau yang lebih dikenal sebagai suku Tionghoa yang banyak bermukim di daerah perkotaan, seperti di Kota Singkawang. Suku Tionghoa khususnya kelompok hakka memiliki banyak kebudayaan sebagai bentuk kearifan lokal salah satunya upacara kematian. Seiring perkembangan zaman, banyak orang suku hakka tidak melaksanakan upacara kematian ini atau hanya melakukan sebagian tahapan saja dikarenakan kekurangan biaya. Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti terdorong untuk meneliti tentang bagaimana tahapan upacara kematian orang suku hakka secara lengkap serta nilai yang terkandung di setiap tahapannya. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan metode pengambilan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil menunjukan bahwa dalam budaya kematian, upacara penghormatan dilakukan sebagai bentuk bakti dan kasih sayang terakhir bagi orang yang meninggal. Artikel ini menyimpulkan bahwa dalam budaya kematian, nilai berbakti dan hormat kepada orang tua sangat penting. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan upacara kematian yang dilakukan oleh anak-anak sebagai bentuk bukti dari rasa bakti dan penghormatan kepada orang tua yang sudah merawat mereka, meskipun pelaksanaannya memerlukan proses yang panjang dan membutuhkan biaya yang besar.
{"title":"ANALISIS NILAI YANG TERKANDUNG DALAM KEARIFAN LOKAL UPACARA KEMATIAN SUKU TIONGHOA HAKKA DI KOTA SINGKAWANG, KALIMANTAN BARAT","authors":"Yusawinur Barella, None Aminuyati, Nurul Fahira, Maya Maulidya, Vhicka Cantika, Dea Tami Restu Bumi","doi":"10.23887/jabi.v5i2.61112","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jabi.v5i2.61112","url":null,"abstract":"Setiap suku tentunya memiliki kearifan lokal tersendiri seperti suku Chinese atau yang lebih dikenal sebagai suku Tionghoa yang banyak bermukim di daerah perkotaan, seperti di Kota Singkawang. Suku Tionghoa khususnya kelompok hakka memiliki banyak kebudayaan sebagai bentuk kearifan lokal salah satunya upacara kematian. Seiring perkembangan zaman, banyak orang suku hakka tidak melaksanakan upacara kematian ini atau hanya melakukan sebagian tahapan saja dikarenakan kekurangan biaya. Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti terdorong untuk meneliti tentang bagaimana tahapan upacara kematian orang suku hakka secara lengkap serta nilai yang terkandung di setiap tahapannya. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan metode pengambilan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil menunjukan bahwa dalam budaya kematian, upacara penghormatan dilakukan sebagai bentuk bakti dan kasih sayang terakhir bagi orang yang meninggal. Artikel ini menyimpulkan bahwa dalam budaya kematian, nilai berbakti dan hormat kepada orang tua sangat penting. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan upacara kematian yang dilakukan oleh anak-anak sebagai bentuk bukti dari rasa bakti dan penghormatan kepada orang tua yang sudah merawat mereka, meskipun pelaksanaannya memerlukan proses yang panjang dan membutuhkan biaya yang besar.","PeriodicalId":477709,"journal":{"name":"Jurnal Adat dan Budaya Indonesia","volume":"54 8","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135464281","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-22DOI: 10.23887/jabi.v5i2.60025
Musa Kiring
Simbol dalam Suku Dayak Kayan. Simbol adalah tanda atau suatu isyarat dalam masyarakat Dayak Kayan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat lainnya. Selain daripada itu simbol juga menjadi alat komunikasi kepada Roh nenek moyang dari masyarakat Dayak Kayan. Penelitian ini sangat penting untuk diteliti guna untuk melestarikan kebudayaan yang dimiliki agar generasi sekarang tidak melupakan kekayaan dari kebudayaan yang dimiliki, Sehingga kebudayaan itu tidak mengalami kepunahan, dan dilupakan. Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan yaitu untuk mendeskripsikan makna, fungsi simbol dalam masyarakat Dayak Kayan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif, sedangkan metode penelitian menggunakan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Objek penelitian dilakukan di Desa Naha Aya Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara suku Dayak Kayan. Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa simbol dalam masyarakat Dayak kayan merupakan alat komunikasi antar masyarakat dan alat komunikasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ada beberapa simbol-simbol yang digunakan dalam budaya Dayak kayan Yaitu; simbol Kalung (ukiran) merupakan bahasa tulis, dan sekaligus simbol keindahan dan keharmonisan dalam bermasyarakat, Malat (Parang) merupakan senjata yang digunakan untuk berburu dan berperang, serta sebagai perlengkapan tari. Parang memiliki simbol yaitu keberanian. Kelembit (Tameng) merupakan perlengkapan perang yang berfungsi sebagai pelindung diri dan sekaligus menjadi alat bantu dalam berenang di air. Hiput (Sumpit), merupakan senjata untuk berburu binatang seperti babi, rusa serta binatang lainnya. Iling Aru (Telinga Panjang) merupakan tanda atau pembeda antara orang dayak dan monyet, dan sekaligus menjadi simbol kecantikan bagi wanita dan tampan bagi kaum laki-laki. ,Betik (tato). Merupakan simbol pembeda antara masyarakat biasa dengan masyarakat keturunan raja.
{"title":"SIMBOL DALAM SUKU DAYAK KAYAN KALIMANTAN UTARA","authors":"Musa Kiring","doi":"10.23887/jabi.v5i2.60025","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jabi.v5i2.60025","url":null,"abstract":"Simbol dalam Suku Dayak Kayan. Simbol adalah tanda atau suatu isyarat dalam masyarakat Dayak Kayan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat lainnya. Selain daripada itu simbol juga menjadi alat komunikasi kepada Roh nenek moyang dari masyarakat Dayak Kayan. Penelitian ini sangat penting untuk diteliti guna untuk melestarikan kebudayaan yang dimiliki agar generasi sekarang tidak melupakan kekayaan dari kebudayaan yang dimiliki, Sehingga kebudayaan itu tidak mengalami kepunahan, dan dilupakan. Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan yaitu untuk mendeskripsikan makna, fungsi simbol dalam masyarakat Dayak Kayan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif, sedangkan metode penelitian menggunakan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Objek penelitian dilakukan di Desa Naha Aya Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara suku Dayak Kayan. Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa simbol dalam masyarakat Dayak kayan merupakan alat komunikasi antar masyarakat dan alat komunikasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ada beberapa simbol-simbol yang digunakan dalam budaya Dayak kayan Yaitu; simbol Kalung (ukiran) merupakan bahasa tulis, dan sekaligus simbol keindahan dan keharmonisan dalam bermasyarakat, Malat (Parang) merupakan senjata yang digunakan untuk berburu dan berperang, serta sebagai perlengkapan tari. Parang memiliki simbol yaitu keberanian. Kelembit (Tameng) merupakan perlengkapan perang yang berfungsi sebagai pelindung diri dan sekaligus menjadi alat bantu dalam berenang di air. Hiput (Sumpit), merupakan senjata untuk berburu binatang seperti babi, rusa serta binatang lainnya. Iling Aru (Telinga Panjang) merupakan tanda atau pembeda antara orang dayak dan monyet, dan sekaligus menjadi simbol kecantikan bagi wanita dan tampan bagi kaum laki-laki. ,Betik (tato). Merupakan simbol pembeda antara masyarakat biasa dengan masyarakat keturunan raja.","PeriodicalId":477709,"journal":{"name":"Jurnal Adat dan Budaya Indonesia","volume":"5 6","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135464285","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-22DOI: 10.23887/jabi.v5i2.58414
None Hazim, Rizka Ardilah, Julyana Dwikustanti Asriningputri, Galuh Syahrial Ibrahim
Masyarakat Samin adalah salah satu kelompok masyarakat yang masih mampu memertahankan identitas dirinya di tengah tempaan arus teknologi informasi belakangan ini. Keunikan tersebut yang membuat peneliti tertarik untuk menggali lebih mendalam tentang kearifan lokal mereka serta pendekatan yang dilakukan dalam merawat dan memertahankan nilai budayanya. Metode penelitian ini adalah kualitatif melalui pendekatan etnografi. Pengumpulan data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara, dan studi dokumen. Temuan investigasi menunjukkan bahwa mereka memiliki nilai budaya lokal yang dikenal dengan “Pitutur Luhur”. Ajaran ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui sumber daya pendidikan Samin yang secara konsisten dilestarikan hingga saat ini. Meski demikian, penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang perlu mendapatkan perhatian peneliti berikutnya. Isu yang lepas dari perhatian peneliti antara lain adalah menyangkut akulturasi budaya antara masyarakat Samin dengan masyarakat lain di luar mereka karena interaksi mereka dengan komunitas lain semakin intensif belakangan ini.
{"title":"STUDI KASUS MASYARAKAT SAMIN BOJONEGORO","authors":"None Hazim, Rizka Ardilah, Julyana Dwikustanti Asriningputri, Galuh Syahrial Ibrahim","doi":"10.23887/jabi.v5i2.58414","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jabi.v5i2.58414","url":null,"abstract":"Masyarakat Samin adalah salah satu kelompok masyarakat yang masih mampu memertahankan identitas dirinya di tengah tempaan arus teknologi informasi belakangan ini. Keunikan tersebut yang membuat peneliti tertarik untuk menggali lebih mendalam tentang kearifan lokal mereka serta pendekatan yang dilakukan dalam merawat dan memertahankan nilai budayanya. Metode penelitian ini adalah kualitatif melalui pendekatan etnografi. Pengumpulan data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara, dan studi dokumen. Temuan investigasi menunjukkan bahwa mereka memiliki nilai budaya lokal yang dikenal dengan “Pitutur Luhur”. Ajaran ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui sumber daya pendidikan Samin yang secara konsisten dilestarikan hingga saat ini. Meski demikian, penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang perlu mendapatkan perhatian peneliti berikutnya. Isu yang lepas dari perhatian peneliti antara lain adalah menyangkut akulturasi budaya antara masyarakat Samin dengan masyarakat lain di luar mereka karena interaksi mereka dengan komunitas lain semakin intensif belakangan ini.","PeriodicalId":477709,"journal":{"name":"Jurnal Adat dan Budaya Indonesia","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135462885","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}