Syarifuddin Jurdi, Basti Teteng, Fauzi Hadi Lukita
Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) sebanyak dua belas kali sejak pemilu pertama 1955 sampai pemilu serentak 2019. Dalam penyelenggaraan pemilu menerapkan sistem perwakilan berimbang (proporsioanl), pemilu 1955, pemilu Orde Baru dan pemilu awal reformasi menerapkan sistem proporsional tertutup, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008, sistem penentuan calon legislatif terpilih dengan suara terbanyak, pemilu 2009 sampai 2019 menerapkan sistem proporsional terbuka. Perubahan sistem pemilu dari tertutup ke terbuka pada pemilu 2009 merupakan upaya untuk mendekatkan kandidat dengan pemilih, meningkatkan derajat keterwakilan politik dan legitimasi elite terpilih. Sistem proporsional terbuka sebagai pemenuhan nilai-nilai dasar demokrasi agar calon dapat dikenal secara langsung pemilih. Dalam tiga kali pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka menghasilkan dua masalah utama yakni politik uang yang massif serta mendelegitimasi fungsi dan peran partai politik, calon terpilih seakan-akan terpisah dari partai yang mencalonkannya. Terhadap dua masalah ini, sekelompok masyarakat mengajukan Judicial Review terhadap sistem proporsional terbuka dan memohon agar dikembalikan ke sistem proporsional tertutup, Mahkamah Konstitusi memutuskan judicial review tersebut melalui Putusan No. 114/PUU-XX/2022 menolak sistem proporsional tertutup dan menguatkan Putusan MK No. 22-24 Tahun 2008 mengenai sistem proporsional terbuka. Pemilu serentak 2024, pemilih tetap memilih calon bukan partai, itu artinya pemilih tetap mengenal calon yang mereka pilih, legitimasi calon terpilih tinggi, tetapi potensi penggunaan uang/barang dalam perebutan suara pemilih akan meningkat.
{"title":"Analisis Terhadap Sistem Pemilu Indonesia: dari Proporsional Tertutup ke Proporsional Terbuka","authors":"Syarifuddin Jurdi, Basti Teteng, Fauzi Hadi Lukita","doi":"10.24252/vp.v6i2.44274","DOIUrl":"https://doi.org/10.24252/vp.v6i2.44274","url":null,"abstract":"Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) sebanyak dua belas kali sejak pemilu pertama 1955 sampai pemilu serentak 2019. Dalam penyelenggaraan pemilu menerapkan sistem perwakilan berimbang (proporsioanl), pemilu 1955, pemilu Orde Baru dan pemilu awal reformasi menerapkan sistem proporsional tertutup, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008, sistem penentuan calon legislatif terpilih dengan suara terbanyak, pemilu 2009 sampai 2019 menerapkan sistem proporsional terbuka. Perubahan sistem pemilu dari tertutup ke terbuka pada pemilu 2009 merupakan upaya untuk mendekatkan kandidat dengan pemilih, meningkatkan derajat keterwakilan politik dan legitimasi elite terpilih. Sistem proporsional terbuka sebagai pemenuhan nilai-nilai dasar demokrasi agar calon dapat dikenal secara langsung pemilih. Dalam tiga kali pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka menghasilkan dua masalah utama yakni politik uang yang massif serta mendelegitimasi fungsi dan peran partai politik, calon terpilih seakan-akan terpisah dari partai yang mencalonkannya. Terhadap dua masalah ini, sekelompok masyarakat mengajukan Judicial Review terhadap sistem proporsional terbuka dan memohon agar dikembalikan ke sistem proporsional tertutup, Mahkamah Konstitusi memutuskan judicial review tersebut melalui Putusan No. 114/PUU-XX/2022 menolak sistem proporsional tertutup dan menguatkan Putusan MK No. 22-24 Tahun 2008 mengenai sistem proporsional terbuka. Pemilu serentak 2024, pemilih tetap memilih calon bukan partai, itu artinya pemilih tetap mengenal calon yang mereka pilih, legitimasi calon terpilih tinggi, tetapi potensi penggunaan uang/barang dalam perebutan suara pemilih akan meningkat. ","PeriodicalId":497969,"journal":{"name":"Vox Populi","volume":"220 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140511778","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
M. Tajuddin, Awal Muqsith, Andi Tenri Yeyeng, Ireena Nasiha, Universitas Islam, N. Makassar, La Maddukelleng, Aktivisme Politik, Tellu Cappae
Artikel ini membahas tentang aktivisme dan diaspora La Maddukelleng yang berhasil merebut kembali Kerajaan Wajo dari cengkraman Belanda. Keberhasilan usaha La Maddukelleng dianalisis dengan menggunakan falsafah tellu cappae masyarakat Bugis, yang sekaligus menjadi kerangka kerja untuk menelaah aktivisme dalam diaspora La Maddukelleng di Nusantara. Artikel ini dijelaskan dengan menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian lapangan. Sumber data diperoleh dari wawancara, arsip dan dokumen. Hasilnya menemukan bahwa keberhasilan La Maddukelleng dalam merebut kembali kerajaan Wajo, merupakan pengejawantahan dari falsafah tellu cappa, yaitu pernikahan; perang; dan diplomasi. Pernikahan putrinya dengan Raja Kutai, kemenangannya dalam menaklukkan kerajaan Paser dan kelihaian diplomasinya dalam membaca situasi, menjadi kapital politik La Maddukelleng.
本文讨论了 La Maddukelleng 的行动主义和散居地,他成功地从荷兰人手中夺回了瓦约王国。本文利用布吉斯社会的 "tellu cappae "哲学分析了拉马杜克伦的成功,并以此为框架研究了拉马杜克伦散居在群岛上的活动。本文采用实地研究的定性方法进行解释。数据来源于访谈、档案和文件。研究结果发现,拉-马杜凯伦成功夺回瓦乔王国,体现了 tellu cappa 哲学,即婚姻、战争和外交。他女儿与古泰国王的婚姻、他征服帕塞王国的胜利以及他审时度势的外交手腕成为了拉马杜凯伦的政治资本。
{"title":"Aktivisme dan Politik Diaspora La Maddukelleng dalam Merebut Kembali Kekuasaan di Wajo","authors":"M. Tajuddin, Awal Muqsith, Andi Tenri Yeyeng, Ireena Nasiha, Universitas Islam, N. Makassar, La Maddukelleng, Aktivisme Politik, Tellu Cappae","doi":"10.24252/vp.v6i2.44204","DOIUrl":"https://doi.org/10.24252/vp.v6i2.44204","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas tentang aktivisme dan diaspora La Maddukelleng yang berhasil merebut kembali Kerajaan Wajo dari cengkraman Belanda. Keberhasilan usaha La Maddukelleng dianalisis dengan menggunakan falsafah tellu cappae masyarakat Bugis, yang sekaligus menjadi kerangka kerja untuk menelaah aktivisme dalam diaspora La Maddukelleng di Nusantara. Artikel ini dijelaskan dengan menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian lapangan. Sumber data diperoleh dari wawancara, arsip dan dokumen. Hasilnya menemukan bahwa keberhasilan La Maddukelleng dalam merebut kembali kerajaan Wajo, merupakan pengejawantahan dari falsafah tellu cappa, yaitu pernikahan; perang; dan diplomasi. Pernikahan putrinya dengan Raja Kutai, kemenangannya dalam menaklukkan kerajaan Paser dan kelihaian diplomasinya dalam membaca situasi, menjadi kapital politik La Maddukelleng.","PeriodicalId":497969,"journal":{"name":"Vox Populi","volume":"38 4","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140526300","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}