Abstract: Nose is an important structure of the face because it is centrally located and prominent, however, it is also weak and vulnerable to trauma. Nasal trauma, if not treated properly, can lead to functional and esthetic deformities. A full-thickness defect in dorsum nasal and septal area, caused by a traffic accident, can present a challenging reconstruction scenario. We present a case of a 21-year-old male with full-thickness defect in the dorsum nasal and septal area due to a traffic accident. The septal hinge flap is a common option for cartilage and lining reconstruction, but it may not always be available. Considering the complexity of the defect, we decided to perform a reconstruction using an auricular chondrocutaneous graft. A series of post-operative follow-ups were carried out from two months to four months postoperatively to evaluate in depth the function and aesthetic aspects of the patient. The results of the evaluation conducted showed that the patient had achieved a high level of satisfaction related to the restoration of his function and aesthetic appearance. This evaluation was essential to ensure that the interventions carried out had been functionally and aesthetically successful. Keywords: nasal fracture; nasal reconstruction; full-thickness graft; auricular graft; septal hinge flap Abstrak: Hidung merupakan struktur penting pada wajah karena letaknya di tengah dan menonjol, namun, struktur ini juga lemah dan rentan terhadap trauma. Trauma hidung, jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan kelainan bentuk baik fungsional maupun estetika. Defek dengan hilangnya ketebalan penuh pada area dorsum hidung dan septum, yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, dapat menghadirkan skenario rekonstruksi yang menyulitkan. Kami menyajikan laporan kasus seorang laki-laki berusia 21 tahun dengan defek ketebalan penuh pada area dorsum nasal dan septum akibat kecelakaan lalu lintas. Septal hinge flap ialah pilihan umum untuk rekonstruksi tulang rawan dan lapisannya, tetapi mungkin tidak selalu tersedia. Dengan mempertimbangkan kompleksitas defek tersebut, diputuskan untuk melakukan rekonstruksi menggunakan cangkok aurikular kondrokutaneus. Serangkaian tindak lanjut pasca-operasi dilakukan sejak dua bulan hingga empat bulan pasca operasi untuk mengevaluasi secara mendalam aspek fungsi serta estetik pada pasien. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pasien telah mencapai tingkat kepuasan tinggi terkait dengan pemulihan fungsi dan penampilan estetiknya. Evaluasi ini sangat penting untuk memastikan bahwa intervensi yang dilakukan telah berhasil secara fungsional dan estetis. Kata kunci: fraktur nasal; rekonstruksi hidung; full-thicknes graft; auricular graft; septal hinge flap
{"title":"Cangkok Aurikular Kondrokutaneus Komposit sebagai Alternatif untuk Rekonstruksi Defek Dorsum Nasal dengan Ketebalan Penuh Ketika Septal Hinge Flap Tidak Tersedia: Laporan Kasus","authors":"Nico Lumintang, Sherly Tandililing, Nuzly Q. Akmal","doi":"10.35790/msj.v7i1.54926","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v7i1.54926","url":null,"abstract":"Abstract: Nose is an important structure of the face because it is centrally located and prominent, however, it is also weak and vulnerable to trauma. Nasal trauma, if not treated properly, can lead to functional and esthetic deformities. A full-thickness defect in dorsum nasal and septal area, caused by a traffic accident, can present a challenging reconstruction scenario. We present a case of a 21-year-old male with full-thickness defect in the dorsum nasal and septal area due to a traffic accident. The septal hinge flap is a common option for cartilage and lining reconstruction, but it may not always be available. Considering the complexity of the defect, we decided to perform a reconstruction using an auricular chondrocutaneous graft. A series of post-operative follow-ups were carried out from two months to four months postoperatively to evaluate in depth the function and aesthetic aspects of the patient. The results of the evaluation conducted showed that the patient had achieved a high level of satisfaction related to the restoration of his function and aesthetic appearance. This evaluation was essential to ensure that the interventions carried out had been functionally and aesthetically successful.\u0000Keywords: nasal fracture; nasal reconstruction; full-thickness graft; auricular graft; septal hinge flap\u0000 \u0000Abstrak: Hidung merupakan struktur penting pada wajah karena letaknya di tengah dan menonjol, namun, struktur ini juga lemah dan rentan terhadap trauma. Trauma hidung, jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan kelainan bentuk baik fungsional maupun estetika. Defek dengan hilangnya ketebalan penuh pada area dorsum hidung dan septum, yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, dapat menghadirkan skenario rekonstruksi yang menyulitkan. Kami menyajikan laporan kasus seorang laki-laki berusia 21 tahun dengan defek ketebalan penuh pada area dorsum nasal dan septum akibat kecelakaan lalu lintas. Septal hinge flap ialah pilihan umum untuk rekonstruksi tulang rawan dan lapisannya, tetapi mungkin tidak selalu tersedia. Dengan mempertimbangkan kompleksitas defek tersebut, diputuskan untuk melakukan rekonstruksi menggunakan cangkok aurikular kondrokutaneus. Serangkaian tindak lanjut pasca-operasi dilakukan sejak dua bulan hingga empat bulan pasca operasi untuk mengevaluasi secara mendalam aspek fungsi serta estetik pada pasien. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pasien telah mencapai tingkat kepuasan tinggi terkait dengan pemulihan fungsi dan penampilan estetiknya. Evaluasi ini sangat penting untuk memastikan bahwa intervensi yang dilakukan telah berhasil secara fungsional dan estetis.\u0000Kata kunci: fraktur nasal; rekonstruksi hidung; full-thicknes graft; auricular graft; septal hinge flap","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"12 7","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-07-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"141804450","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Emily N. Gowidjaya, Laya M. Rares, Anne M. S. Umboh
Abstract: The use of contact lens is currently increasing, especially among young people. Contact lens is safe to use, however if behavior and contact lens care are not appropriate it can pose a risk of complications. This study aimed to obtain the overview of behaviors in using and taking care of contact lenses among students of Medical Faculty Universitas Sam Ratulangi Manado. This was a descriptive study with a cross sectional design involving 57 students. The results showed that based on age, the highest percentage of contact lens users was 20 years (35.1%) and the lowest percentage was 17 and 23 years (each of 1.8%). Based on sex, female students were predominant than male students (80.7% vs 19.3%). The most common behavior was removing contact lenses while sleeping (100%) and the least frequently performed was taking medication reducing tear production (3.5%). In conclusion, more than half of the students who wear contact lenses have good behavioral category in using and taking care of contact lenses. Keywords: contact lens; use; taking care; behavior of contact lens user Abstrak: Penggunaan lensa kontak saat ini meningkat terutama di kalangan anak muda. Lensa kontak aman digunakan namun jika perilaku dan perawatan lensa kontak tidak tepat dapat menimbulkan risiko komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran perilaku penggunaan dan perawatan lensa kontak pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jenis penelitian ialah deskriptif dengan desain potong lintang, yang melibatkan 57 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Hasil penelitian mendapatkan mahasiswa pengguna lensa kontak terbanyak berusia 20 tahun (35,1%) dan paling sedikit yang berusia 17 dan 23 tahun (masing-masing 1,8%), sedangkan berdasarkan jenis kelamin lebih banyak mahasiswa perempuan yang menggunakan lensa kontak (80,7%) dibandingkan mahasiswa laki-laki (19,3%). Perilaku yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa yaitu melepas lensa kontak saat tidur (100%) dan paling sedikit dilakukan yaitu mengosumsi obat yang menurunkan produksi air mata (3,5%). Simpulan penelitian ini ialah lebih dari setengah mahasiswa pengguna lensa kontak memiliki perilaku pengguaan dan perawatan lensa kontak termasuk dalam kategori baik. Kata kunci: lensa kontak; penggunaan; perawatan; perilaku pengguna
{"title":"Gambaran Perilaku Penggunaan dan Perawatan Lensa Kontak pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado","authors":"Emily N. Gowidjaya, Laya M. Rares, Anne M. S. Umboh","doi":"10.35790/msj.v7i1.53547","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v7i1.53547","url":null,"abstract":"Abstract: The use of contact lens is currently increasing, especially among young people. Contact lens is safe to use, however if behavior and contact lens care are not appropriate it can pose a risk of complications. This study aimed to obtain the overview of behaviors in using and taking care of contact lenses among students of Medical Faculty Universitas Sam Ratulangi Manado. This was a descriptive study with a cross sectional design involving 57 students. The results showed that based on age, the highest percentage of contact lens users was 20 years (35.1%) and the lowest percentage was 17 and 23 years (each of 1.8%). Based on sex, female students were predominant than male students (80.7% vs 19.3%). The most common behavior was removing contact lenses while sleeping (100%) and the least frequently performed was taking medication reducing tear production (3.5%). In conclusion, more than half of the students who wear contact lenses have good behavioral category in using and taking care of contact lenses.\u0000Keywords: contact lens; use; taking care; behavior of contact lens user\u0000 \u0000 \u0000Abstrak: Penggunaan lensa kontak saat ini meningkat terutama di kalangan anak muda. Lensa kontak aman digunakan namun jika perilaku dan perawatan lensa kontak tidak tepat dapat menimbulkan risiko komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran perilaku penggunaan dan perawatan lensa kontak pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jenis penelitian ialah deskriptif dengan desain potong lintang, yang melibatkan 57 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Hasil penelitian mendapatkan mahasiswa pengguna lensa kontak terbanyak berusia 20 tahun (35,1%) dan paling sedikit yang berusia 17 dan 23 tahun (masing-masing 1,8%), sedangkan berdasarkan jenis kelamin lebih banyak mahasiswa perempuan yang menggunakan lensa kontak (80,7%) dibandingkan mahasiswa laki-laki (19,3%). Perilaku yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa yaitu melepas lensa kontak saat tidur (100%) dan paling sedikit dilakukan yaitu mengosumsi obat yang menurunkan produksi air mata (3,5%). Simpulan penelitian ini ialah lebih dari setengah mahasiswa pengguna lensa kontak memiliki perilaku pengguaan dan perawatan lensa kontak termasuk dalam kategori baik.\u0000Kata kunci: lensa kontak; penggunaan; perawatan; perilaku pengguna","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"95 14","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-07-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"141818617","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Academic success and achievement are important goals for students in higher education. Feeling happy in individual life can help students to achieve their academic goals. This study aimed to determine the relationship between happiness and academic achievement in students at the Faculty of Medicine, Universitas Sam Ratulangi. This was a quantitative and analytical study. Respondents were students of class 2020 at Faculty of Medicine, Universitas Sam Ratulangi. Data were obtained by using the Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) and grade point average (GPA). The Pearson correlation test showed that from 145 students, a significant positive relationship (p=0.033) with a weak correlation (r=0.178) was found between happiness and academic achievement. In conclusioin, there is a positive relationship between happiness and academic achievement in students at the Faculty of Medicine, Universitas Sam Ratulangi. Keywords: happiness; academic achievement; medical students Abstrak: Keberhasilan dan prestasi akademik merupakan tujuan penting bagi mahasiswa dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Perasaan bahagia dan puas akan kehidupan individu dapat membantu mahasiswa mencapai tujuan akademiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebahagiaan dengan prestasi akademik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi dengan angkatan 2020 sebagai responden penelitian. Jenis penelitian ialah analitik kuantitatif. Data diperoleh menggunakan Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) dan indeks prestasi kumulatif (IPK). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa dari 145 mahasiswa, didapatkan hubungan positif yang bermakna (p=0,033), dengan kekuatan lemah (r = 0,178), antara kebahagiaan dengan prestasi akademik. Simpulan penelitian ini ialah terdapat hubungan positif antara kebahagiaan dengan prestasi akademik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi angkatan 2020. Kata kunci: kebahagiaan; prestasi akademik; mahasiswa kedokteran
{"title":"Hubungan Kebahagiaan dengan Prestasi Akademik pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi","authors":"Ray Harrison, Hendri Opod, J. Sinolungan","doi":"10.35790/msj.v7i1.55925","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v7i1.55925","url":null,"abstract":"Abstract: Academic success and achievement are important goals for students in higher education. Feeling happy in individual life can help students to achieve their academic goals. This study aimed to determine the relationship between happiness and academic achievement in students at the Faculty of Medicine, Universitas Sam Ratulangi. This was a quantitative and analytical study. Respondents were students of class 2020 at Faculty of Medicine, Universitas Sam Ratulangi. Data were obtained by using the Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) and grade point average (GPA). The Pearson correlation test showed that from 145 students, a significant positive relationship (p=0.033) with a weak correlation (r=0.178) was found between happiness and academic achievement. In conclusioin, there is a positive relationship between happiness and academic achievement in students at the Faculty of Medicine, Universitas Sam Ratulangi.\u0000Keywords: happiness; academic achievement; medical students\u0000 \u0000 \u0000Abstrak: Keberhasilan dan prestasi akademik merupakan tujuan penting bagi mahasiswa dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Perasaan bahagia dan puas akan kehidupan individu dapat membantu mahasiswa mencapai tujuan akademiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebahagiaan dengan prestasi akademik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi dengan angkatan 2020 sebagai responden penelitian. Jenis penelitian ialah analitik kuantitatif. Data diperoleh menggunakan Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) dan indeks prestasi kumulatif (IPK). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa dari 145 mahasiswa, didapatkan hubungan positif yang bermakna (p=0,033), dengan kekuatan lemah (r = 0,178), antara kebahagiaan dengan prestasi akademik. Simpulan penelitian ini ialah terdapat hubungan positif antara kebahagiaan dengan prestasi akademik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi angkatan 2020.\u0000Kata kunci: kebahagiaan; prestasi akademik; mahasiswa kedokteran","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"55 18","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-07-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"141818128","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abraham Dotulung, Rillya D. P. Manoppo, Laya M. Rares
Abstract: Presbyopia is a condition where the eyes begin to lose their vision at a close distance, usually appears at the age of 40 and over. The World Health Organization (WHO) states that presbyopia is a huge burden to developing countries due to the lack of access to eye health services and the low level of knowledge of the people. This study aimed to determine the overview of the level of knowledge of the employees at Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah 2 Sulawesi Utara about the use of presbyopic glasses. This was a descriptive and quantitative study with a cross-sectional design, involving 77 respondents. The results showed 68 respondents (88.3%) had good level of knowledge, (11.7%) had sufficient level of knowledge; no respondents (0%) had poor level of knowledge. In conclusion, the majority of employees of Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah 2 Sulawesi Utara have good level of knowledge about the use of presbyopic glasses. Keywords: eyeglasses; presbyopia; level of knowledge Abstrak: Presbiopi merupakan kondisi di mana mata mulai kehilangan penglihatan dengan jelas pada jarak dekat yang biasanya muncul saat umur 40 tahun ke atas. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa presbiopi memberi beban besar kepada negara berkembang karena tidak terpenuhinya koreksi gangguan penglihatan ini akibat akses pelayanan kesehatan mata dan tingkat pengetahuan masyarakat yang masih kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan tentang penggunaan kacamata presbiopi pada pegawai di Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah 2 Sulawesi Utara. Jenis penelitian ialah kuantitatif deskriptif dengan menggunakan desain potong lintang, melibatkan 77 responden. Hasil penelitian mendapatkan 68 responden (88,3%) memiliki tingkat pengetahuan kategori baik, 11 responden (11,7%) dengan tingkat pengetahuan kategori cukup, dan tidak ada responden (0%) dengan tingkat pengetahuan kategori kurang. Simpulan penelitian ini ialah mayoritas pegawai Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Provinsi Sulawesi Utara memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang penggunaan kacamata presbiopi. Kata kunci: kacamata; presbiopi; tingkat pengetahuan
{"title":"Gambaran Tingkat Pengetahuan Penggunaan Kacamata Presbiopi Pada Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah 2 Sulawesi Utara","authors":"Abraham Dotulung, Rillya D. P. Manoppo, Laya M. Rares","doi":"10.35790/msj.v7i1.54907","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v7i1.54907","url":null,"abstract":"Abstract: Presbyopia is a condition where the eyes begin to lose their vision at a close distance, usually appears at the age of 40 and over. The World Health Organization (WHO) states that presbyopia is a huge burden to developing countries due to the lack of access to eye health services and the low level of knowledge of the people. This study aimed to determine the overview of the level of knowledge of the employees at Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah 2 Sulawesi Utara about the use of presbyopic glasses. This was a descriptive and quantitative study with a cross-sectional design, involving 77 respondents. The results showed 68 respondents (88.3%) had good level of knowledge, (11.7%) had sufficient level of knowledge; no respondents (0%) had poor level of knowledge. In conclusion, the majority of employees of Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah 2 Sulawesi Utara have good level of knowledge about the use of presbyopic glasses.\u0000Keywords: eyeglasses; presbyopia; level of knowledge\u0000 \u0000Abstrak: Presbiopi merupakan kondisi di mana mata mulai kehilangan penglihatan dengan jelas pada jarak dekat yang biasanya muncul saat umur 40 tahun ke atas. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa presbiopi memberi beban besar kepada negara berkembang karena tidak terpenuhinya koreksi gangguan penglihatan ini akibat akses pelayanan kesehatan mata dan tingkat pengetahuan masyarakat yang masih kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan tentang penggunaan kacamata presbiopi pada pegawai di Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah 2 Sulawesi Utara. Jenis penelitian ialah kuantitatif deskriptif dengan menggunakan desain potong lintang, melibatkan 77 responden. Hasil penelitian mendapatkan 68 responden (88,3%) memiliki tingkat pengetahuan kategori baik, 11 responden (11,7%) dengan tingkat pengetahuan kategori cukup, dan tidak ada responden (0%) dengan tingkat pengetahuan kategori kurang. Simpulan penelitian ini ialah mayoritas pegawai Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Provinsi Sulawesi Utara memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang penggunaan kacamata presbiopi.\u0000Kata kunci: kacamata; presbiopi; tingkat pengetahuan","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"21 11","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-07-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"141818519","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Vidayatul Aziza, C. S. Rini, Andika Aliviameita, Jamilatur Rohmah
Urinary Tract Infection (UTI) is an infection caused by the growth of microorganisms in the urinary tract. The gold standard in diagnosing UTI is counting the number of bacteria. The aim of this study is to determine the effect of temperature and storage time for urine from patients with Urinary Tract Infection (UTI) on the number and the kind species of bacteria, which is important in supporting the diagnosis of UTI and evaluating the quality of these samples. The study was conducted at the Sidoarjo Regional General Hospital in October-November 2023. This study used the laboratory experimental method with Accidental Sampling techniques in accordance with the inclusion criteria. The results of the study were obtained that at room temperature (20-25oC) the number of bacteria increased faster and higher than the number of bacteria at cold temperature (2-8oC), at storage time of 5 hours, the amount colony counting of bacteria 5,3x104 CFU/ml. Data statistically analyzed using the Friedman test showed that there was an effect of temperature and storage time for urine in patients with urinary tract infections (UTI) on the number of bacteria with a sig P value of 0,001 (p<0,05). Keywords: Urinary Tract Infection (UTI); The Number of Bacteria; Storage Time; Urine Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan infeksi akibat adanya pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran kemih. Gold standart dalam mendiagnosa ISK adalah hitung jumlah bakteri. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penyimpanan urine pada pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) terhadap jumlah dan jenis bakteri yang penting dalam menunjang diagnosa ISK dan mengevaluasi kualitas sampel. Penelitian dilakukan di RSUD Sidoarjo pada bulan Oktober-November 2023. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorik dengan teknik pengambilan sampel Accidental Sampling sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil penelitian diperoleh pada suhu ruang (20-25oC) jumlah bakteri meningkat lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan jumlah bakteri pada suhu dingin (2-8oC), pada waktu penyimpanan 5 jam jumlah koloni bakteri sebesar 5,3x104 CFU/ml. Data dianalisis secara statistik dengan uji Friedman menunjukkan terdapat pengaruh suhu dan lama penyimpanan urine pada asien Infeksi Saluran Kemih (ISK) terhadap jumlah bakteri dengan nilai sig P value 0,001 (p<0,05). Kata kunci: Infeksi Saluran Kemih (ISK); Jumlah Bakteri; Lama Penyimpanan; Urine
尿路感染(UTI)是由微生物在尿路中生长引起的感染。诊断尿路感染的金标准是计算细菌数量。本研究的目的是确定尿路感染(UTI)患者尿液的温度和储存时间对细菌数量和种类的影响,这对诊断UTI和评估这些样本的质量非常重要。这项研究于 2023 年 10 月至 11 月在锡多阿若地区综合医院进行。根据纳入标准,该研究采用了实验室实验法和意外采样技术。研究结果表明,在室温(20-25oC)下,细菌数量比在低温(2-8oC)下细菌数量增加得更快更多,在储存 5 小时后,细菌菌落计数量为 5,3x104 CFU/ml。使用弗里德曼检验法对数据进行统计分析后发现,尿路感染(UTI)患者尿液的温度和储存时间对细菌数量有影响,Sig P 值为 0.001(P<0.05)。关键词:尿路感染尿路感染(UTI);细菌数量;储存时间;尿液 Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan infeksi akibat adanya pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran kemih.诊断ISK的黄金标准是 "熏烤"。通过对患者的尿液和尿液中的微量元素进行分析,可以诊断出患者体内的盐酸血症(ISK),并对患者的尿液和尿液中的微量元素进行评估。该计划将于 2023 年 10 月至 11 月在西岛皇家学院实施。该项目采用实验室实验方法,利用意外采样技术,并根据相关标准进行采样。在温度为 20-25 摄氏度的条件下,焙烧过程中的菌落浓度较低,而在温度为 2-8 摄氏度的条件下,焙烧过程中的菌落浓度较高,达到 5.3x104 CFU/ml。通过弗里德曼统计法得出的数据显示,在烘焙食品中的尿液和尿液中的菌落总数(ISK)的比值为 0.001(P<0.05)。关键词: 肾脏病(ISK); 佝偻病; 贫血症; 尿液
{"title":"Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Urine Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) Terhadap Jumlah Bakteri","authors":"Vidayatul Aziza, C. S. Rini, Andika Aliviameita, Jamilatur Rohmah","doi":"10.35790/msj.v7i1.55142","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v7i1.55142","url":null,"abstract":"Urinary Tract Infection (UTI) is an infection caused by the growth of microorganisms in the urinary tract. The gold standard in diagnosing UTI is counting the number of bacteria. The aim of this study is to determine the effect of temperature and storage time for urine from patients with Urinary Tract Infection (UTI) on the number and the kind species of bacteria, which is important in supporting the diagnosis of UTI and evaluating the quality of these samples. The study was conducted at the Sidoarjo Regional General Hospital in October-November 2023. This study used the laboratory experimental method with Accidental Sampling techniques in accordance with the inclusion criteria. The results of the study were obtained that at room temperature (20-25oC) the number of bacteria increased faster and higher than the number of bacteria at cold temperature (2-8oC), at storage time of 5 hours, the amount colony counting of bacteria 5,3x104 CFU/ml. Data statistically analyzed using the Friedman test showed that there was an effect of temperature and storage time for urine in patients with urinary tract infections (UTI) on the number of bacteria with a sig P value of 0,001 (p<0,05). \u0000Keywords: Urinary Tract Infection (UTI); The Number of Bacteria; Storage Time; Urine \u0000Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan infeksi akibat adanya pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran kemih. Gold standart dalam mendiagnosa ISK adalah hitung jumlah bakteri. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penyimpanan urine pada pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) terhadap jumlah dan jenis bakteri yang penting dalam menunjang diagnosa ISK dan mengevaluasi kualitas sampel. Penelitian dilakukan di RSUD Sidoarjo pada bulan Oktober-November 2023. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorik dengan teknik pengambilan sampel Accidental Sampling sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil penelitian diperoleh pada suhu ruang (20-25oC) jumlah bakteri meningkat lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan jumlah bakteri pada suhu dingin (2-8oC), pada waktu penyimpanan 5 jam jumlah koloni bakteri sebesar 5,3x104 CFU/ml. Data dianalisis secara statistik dengan uji Friedman menunjukkan terdapat pengaruh suhu dan lama penyimpanan urine pada asien Infeksi Saluran Kemih (ISK) terhadap jumlah bakteri dengan nilai sig P value 0,001 (p<0,05). \u0000Kata kunci: Infeksi Saluran Kemih (ISK); Jumlah Bakteri; Lama Penyimpanan; Urine","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"42 5","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-06-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"141347321","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
James C. Kurniawan, Benny M. Setiadi, Starry H. Rampengan
Abstract: Torsades de pointes (TdP) is a fatal tachyarrhythmia that has the potential to degenerate into ventricular fibrillation. The occurrence of TdP is associated with prolongation of the QT interval on the electrocardiogram (ECG), which is often found in bradycardia patients. We reported an 86-year-old female who experienced recurrent fainting episodes in the past month. From the ECG we recorded sinus rhythm was bradycardia with a heart rate of 43 bpm with a high degree of atrioventricular block, with a prolongation of the QT interval reaching 640 milliseconds. The patient was not taking any medications known to have the effect of prolonging the QT interval. The patient underwent a series of examination. Blood and electrolyte tests were within normal limit. Echocardiography examination showed good heart pump function and no structural abnormalities were found. The 24-hour Holter examination recorded a TdP rhythm with a heart rate of 180 bpm which was spontaneos termination. The patient underwent a permanent dual chamber pacemaker implantation. At post-insertion follow-up, the patient never experienced another fainting episode. In conclusion, bradycardia on ECG is known to prolong the QT interval thereby predisposing to torsades de pointes. Implantation of a permanent pacemaker was done and was successful in treating bradycardia, shortening the QT interval thereby suppressing the occurrence of torsades de pointes. Keywords: torsades de pointes; bradycardia; atrioventricular block Abstrak: Torsades de pointes (TdP) merupakan takiaritmia fatal yang berpotensi berdegenerasi menjadi fibrilasi ventrikel. Kejadian TdP dikaitkan dengan pemanjangan interval QT pada elektrokardiogram (EKG), yang seringkali dijumpai pada pasien bradikardia. Kami melaporkan kasus seorang pasien wanita berusia 86 tahun yang mengalami episode pingsan berulang dalam satu bulan terakhir. Dari gambaran EKG didapatkan irama sinus bradikardia dengan laju jantung 43x per menit dengan blok atrioventrikular derajat tinggi, dengan pemanjangan interval QT mencapai 640 milidetik. Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan yang diketahui memiliki efek memperpanjang interval QT. Pasien menjalani serangkaian penunjang. Pemeriksaan darah dan elektrolit hasilnya normal. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan fungsi pompa jantung baik dan tidak ditemukan adanya abnormalitas struktur jantung. Pemeriksaan Holter 24 jam berhasil merekam irama TdP dengan laju jantung 180x per menit yang mengalami terminasi spontan. Pada pasien dilakukan pemasangan alat pacu jantung permanen dual chamber. Pada follow up paska pemasangan, pasien tidak pernah mengalami episode pingsan lagi. Simpulan kasus ini ialah bradikardia pada elektrokardiogram diketahui memperpanjang interval QT sehingga memredisposisi terjadinya TdP. Pemasangan alat pacu jantung permanen pada pasien dipilih sebagai langkah tatalaksana, dan terbukti berhasil mengatasi bradikardia, memperpendek interval QT sehingga mensupresi terjadinya torsa
{"title":"Torsades de Pointes Akibat Bradikardia","authors":"James C. Kurniawan, Benny M. Setiadi, Starry H. Rampengan","doi":"10.35790/msj.v7i1.54391","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v7i1.54391","url":null,"abstract":"Abstract: Torsades de pointes (TdP) is a fatal tachyarrhythmia that has the potential to degenerate into ventricular fibrillation. The occurrence of TdP is associated with prolongation of the QT interval on the electrocardiogram (ECG), which is often found in bradycardia patients. We reported an 86-year-old female who experienced recurrent fainting episodes in the past month. From the ECG we recorded sinus rhythm was bradycardia with a heart rate of 43 bpm with a high degree of atrioventricular block, with a prolongation of the QT interval reaching 640 milliseconds. The patient was not taking any medications known to have the effect of prolonging the QT interval. The patient underwent a series of examination. Blood and electrolyte tests were within normal limit. Echocardiography examination showed good heart pump function and no structural abnormalities were found. The 24-hour Holter examination recorded a TdP rhythm with a heart rate of 180 bpm which was spontaneos termination. The patient underwent a permanent dual chamber pacemaker implantation. At post-insertion follow-up, the patient never experienced another fainting episode. In conclusion, bradycardia on ECG is known to prolong the QT interval thereby predisposing to torsades de pointes. Implantation of a permanent pacemaker was done and was successful in treating bradycardia, shortening the QT interval thereby suppressing the occurrence of torsades de pointes.\u0000Keywords: torsades de pointes; bradycardia; atrioventricular block\u0000 \u0000Abstrak: Torsades de pointes (TdP) merupakan takiaritmia fatal yang berpotensi berdegenerasi menjadi fibrilasi ventrikel. Kejadian TdP dikaitkan dengan pemanjangan interval QT pada elektrokardiogram (EKG), yang seringkali dijumpai pada pasien bradikardia. Kami melaporkan kasus seorang pasien wanita berusia 86 tahun yang mengalami episode pingsan berulang dalam satu bulan terakhir. Dari gambaran EKG didapatkan irama sinus bradikardia dengan laju jantung 43x per menit dengan blok atrioventrikular derajat tinggi, dengan pemanjangan interval QT mencapai 640 milidetik. Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan yang diketahui memiliki efek memperpanjang interval QT. Pasien menjalani serangkaian penunjang. Pemeriksaan darah dan elektrolit hasilnya normal. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan fungsi pompa jantung baik dan tidak ditemukan adanya abnormalitas struktur jantung. Pemeriksaan Holter 24 jam berhasil merekam irama TdP dengan laju jantung 180x per menit yang mengalami terminasi spontan. Pada pasien dilakukan pemasangan alat pacu jantung permanen dual chamber. Pada follow up paska pemasangan, pasien tidak pernah mengalami episode pingsan lagi. Simpulan kasus ini ialah bradikardia pada elektrokardiogram diketahui memperpanjang interval QT sehingga memredisposisi terjadinya TdP. Pemasangan alat pacu jantung permanen pada pasien dipilih sebagai langkah tatalaksana, dan terbukti berhasil mengatasi bradikardia, memperpendek interval QT sehingga mensupresi terjadinya torsa","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"53 14","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-06-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"141384113","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Legal perspective euthanasia is a form of taking one's life. There are differences in the legality of euthanasia in Indonesia and several other countries that require doctors to understand the medical ethics related to euthanasia. This study aimed to explore the medical ethics related to euthanasia. This was a systematic literature review study using three database sources, namely ClinicalKey, Pubmed, and Sage Journal based on inclusion criteria and exclusion criteria. The results showed that euthanasia was not an appropriate and ethical matter for doctors to do. Doctors had to fulfill the autonomy of patients meanwhile doctors had also to consider the decisions given by patients since not all decisions of the patients had to be fulfilled, let alone decisions asking for euthanasia. Medical ethics viewed euthanasia as an unethical act to be performed by a doctor. Legal and religious views viewed euthanasia as something that should not be done. Moreover, medical ethics' view on euthanasia was different from bioethics' view on euthanasia. Bioethics viewed euthanasia from various perspectives, broader than medical ethics did. In conclusion, medical ethics respects the autonomy of the patient, albeit, the patient does not have the right to assert the obligation of others to fulfill that right. Keywords: euthanasia; medical ethics; doctors; patient’s autonomy Abstrak: Dalam perspektif hukum eutanasia merupakan suatu bentuk tindakan menghilangkan nyawa seseorang. Terdapat perbedaan legalitas eutanasia di Indonesia dengan beberapa negara lain yang mewajibkan dokter untuk mengetahui etika kedokteran terkait eutanasia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami etika kedokteran terkait eutanasia. Jenis penelitian yang dilakukan ialah systematic literature review dengan tiga sumber database yang digunakan yakni ClinicalKey, Pubmed, dan Sage Journal berdasarkan kriteria inklusi serta kriteria eksklusi. Hasil penelitian mendapatkan bahwa eutanasia bukan hal yang pantas dan bukan hal yang etis untuk dilakukan oleh seorang dokter. Dokter memang harus memenuhi otonomi pasien namun dokter juga harus mempertimbangkan keputusan yang diberikan pasien karena tidak semua keputusan yang diambil pasien harus dipenuhi oleh dokter, apalagi keputusan meminta untuk eutanasia. Etika kedokteran memandang eutanasia sebagai tindakan yang tidak etis untuk dilakukan oleh seorang dokter. Pandangan hukum dan pandangan agama memandang eutanasia sebagai hal yang tidak patut untuk dilakukan. Pandangan etika kedokteran terhadap eutanasia berbeda dengan pandangan bioetika terhadap eutanasia. Bioetika memandang eutanasia dari berbagai sudut pandang, yang lebih luas dari pandangan etika kedokteran. Simpulan penelitian ini ialah etika kedokteran menghargai otonomi pasien namun pasien tidak mempunyai hak untuk menuntut kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Kata kunci: eutanasia; etika kedokteran; dokter; otonomi pasien
{"title":"Eutanasia Ditinjau dari Etika Kedokteran di Indonesia","authors":"Octaviane K. Rarung, Djemi Tomuka, James F. Siwu","doi":"10.35790/msj.v6i2.53532","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v6i2.53532","url":null,"abstract":"Abstract: Legal perspective euthanasia is a form of taking one's life. There are differences in the legality of euthanasia in Indonesia and several other countries that require doctors to understand the medical ethics related to euthanasia. This study aimed to explore the medical ethics related to euthanasia. This was a systematic literature review study using three database sources, namely ClinicalKey, Pubmed, and Sage Journal based on inclusion criteria and exclusion criteria. The results showed that euthanasia was not an appropriate and ethical matter for doctors to do. Doctors had to fulfill the autonomy of patients meanwhile doctors had also to consider the decisions given by patients since not all decisions of the patients had to be fulfilled, let alone decisions asking for euthanasia. Medical ethics viewed euthanasia as an unethical act to be performed by a doctor. Legal and religious views viewed euthanasia as something that should not be done. Moreover, medical ethics' view on euthanasia was different from bioethics' view on euthanasia. Bioethics viewed euthanasia from various perspectives, broader than medical ethics did. In conclusion, medical ethics respects the autonomy of the patient, albeit, the patient does not have the right to assert the obligation of others to fulfill that right.\u0000Keywords: euthanasia; medical ethics; doctors; patient’s autonomy\u0000 \u0000Abstrak: Dalam perspektif hukum eutanasia merupakan suatu bentuk tindakan menghilangkan nyawa seseorang. Terdapat perbedaan legalitas eutanasia di Indonesia dengan beberapa negara lain yang mewajibkan dokter untuk mengetahui etika kedokteran terkait eutanasia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami etika kedokteran terkait eutanasia. Jenis penelitian yang dilakukan ialah systematic literature review dengan tiga sumber database yang digunakan yakni ClinicalKey, Pubmed, dan Sage Journal berdasarkan kriteria inklusi serta kriteria eksklusi. Hasil penelitian mendapatkan bahwa eutanasia bukan hal yang pantas dan bukan hal yang etis untuk dilakukan oleh seorang dokter. Dokter memang harus memenuhi otonomi pasien namun dokter juga harus mempertimbangkan keputusan yang diberikan pasien karena tidak semua keputusan yang diambil pasien harus dipenuhi oleh dokter, apalagi keputusan meminta untuk eutanasia. Etika kedokteran memandang eutanasia sebagai tindakan yang tidak etis untuk dilakukan oleh seorang dokter. Pandangan hukum dan pandangan agama memandang eutanasia sebagai hal yang tidak patut untuk dilakukan. Pandangan etika kedokteran terhadap eutanasia berbeda dengan pandangan bioetika terhadap eutanasia. Bioetika memandang eutanasia dari berbagai sudut pandang, yang lebih luas dari pandangan etika kedokteran. Simpulan penelitian ini ialah etika kedokteran menghargai otonomi pasien namun pasien tidak mempunyai hak untuk menuntut kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut.\u0000Kata kunci: eutanasia; etika kedokteran; dokter; otonomi pasien","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"45 6","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140080706","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Angelica M. J. Wagiu, Fadilah N. A. Kasim, Andiressanto C. Lengkong
Background: Peritonitis is an inflammation that occurs in the peritoneum. The complex structure of the abdomen makes diagnosing and treating intraperitoneal infections challenging in the practice of medicine. Purpose: This study aims to determine the profile of primary peritonitis, secondary peritonitis, and tertiary peritonit patients treated at RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado in 2022. Methods: This study used a retrospective descriptive method using medical record data of peritonitis patients during the period January – December 2022. Result : Peritonitis patients are treated at RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado most often occurs in men. Generally occurs in the age group of 19-59 years. Based on the etiology, Hepatic cirrhosis (45%) is the most common etiology of primary peritonitis, gastric perforation (38%) is the most common etiology of secondary peritonitis, post appendectomy (18%), post nephrostomy (18%) and leakage sigmoid anastomosis (18%) is the most common etiology of tertiary peritonitis. Generally patients have radiological features of preperitoneal fat depletion (44%), and subdiaphragm free air (20%). Most patients receive operative treatment. Most patients present with sepsis. Conclusion: Peritonitis is most common in males, age group 19-59 years, most primary peritonitis is caused by hepatic cirrhosis, most secondary peritonitis is caused by gastric perforation, and most tertiary peritonitis is caused by post appendectomy, post nephrostomy and leakage sigmoid anastomosis. Most patients present with depletion of preperitonela fat, subdiaphragmatic free air, receive operative treatment, and present with sepsis. Keywords: profile; primary peritonitis; secondary peritonitis; tertiary peritonitis.
背景:腹膜炎是发生在腹膜上的炎症。腹部结构复杂,使得腹膜内感染的诊断和治疗在医学实践中具有挑战性。目的:本研究旨在确定 2022 年在万鸦老 RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou 接受治疗的原发性腹膜炎、继发性腹膜炎和三级腹膜炎患者的概况。方法:本研究采用回顾性描述方法,使用 2022 年 1 月至 12 月期间腹膜炎患者的医疗记录数据。结果:腹膜炎患者在 RSUP 接受治疗。R. D. Kandou Manado 教授最常发生在男性身上。一般发生在 19-59 岁年龄组。根据病因,肝硬化(45%)是原发性腹膜炎最常见的病因,胃穿孔(38%)是继发性腹膜炎最常见的病因,阑尾切除术后(18%)、肾切除术后(18%)和乙状结肠吻合口漏(18%)是三级腹膜炎最常见的病因。一般来说,患者的放射学特征是腹膜前脂肪耗竭(44%)和膈下游离气体(20%)。大多数患者接受手术治疗。大多数患者伴有败血症。结论腹膜炎多见于男性,年龄在 19-59 岁之间,原发性腹膜炎多由肝硬化引起,继发性腹膜炎多由胃穿孔引起,三级腹膜炎多由阑尾切除术后、肾切除术后和乙状结肠吻合术后渗漏引起。大多数患者出现腹膜前脂肪耗竭、膈下游离气体,接受手术治疗,并伴有败血症。关键词:概况;原发性腹膜炎;继发性腹膜炎;三级腹膜炎。
{"title":"Patient Profile of Primary Peritonitis, Secondary Peritonitis, and Tertiary Peritonitis","authors":"Angelica M. J. Wagiu, Fadilah N. A. Kasim, Andiressanto C. Lengkong","doi":"10.35790/msj.v6i2.53518","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v6i2.53518","url":null,"abstract":"Background: Peritonitis is an inflammation that occurs in the peritoneum. The complex structure of the abdomen makes diagnosing and treating intraperitoneal infections challenging in the practice of medicine. Purpose: This study aims to determine the profile of primary peritonitis, secondary peritonitis, and tertiary peritonit patients treated at RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado in 2022. Methods: This study used a retrospective descriptive method using medical record data of peritonitis patients during the period January – December 2022. Result : Peritonitis patients are treated at RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado most often occurs in men. Generally occurs in the age group of 19-59 years. Based on the etiology, Hepatic cirrhosis (45%) is the most common etiology of primary peritonitis, gastric perforation (38%) is the most common etiology of secondary peritonitis, post appendectomy (18%), post nephrostomy (18%) and leakage sigmoid anastomosis (18%) is the most common etiology of tertiary peritonitis. Generally patients have radiological features of preperitoneal fat depletion (44%), and subdiaphragm free air (20%). Most patients receive operative treatment. Most patients present with sepsis. Conclusion: Peritonitis is most common in males, age group 19-59 years, most primary peritonitis is caused by hepatic cirrhosis, most secondary peritonitis is caused by gastric perforation, and most tertiary peritonitis is caused by post appendectomy, post nephrostomy and leakage sigmoid anastomosis. Most patients present with depletion of preperitonela fat, subdiaphragmatic free air, receive operative treatment, and present with sepsis. \u0000Keywords: profile; primary peritonitis; secondary peritonitis; tertiary peritonitis.","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":" 7","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140091625","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Pre-Clinical Students tend to experience a decline in quality of life and well-being due to different responsibilities in curriculum, tasks, and demands during their studies. Extracurricular activities involve aspects of perseverance, empathy, and mindfulness, where these elements can prevent, and even enhance, an individual's psychological well-being (PWB). This study aimed to evaluate the correlation between extracurricular activities and PWB in pre-clinical medical students of Universitas Sam Ratulangi, Manado. This was a quantitative approach study employing data collection through the administration of the PWB scale (PWBS) questionnaire with 84 items developed by Ryff. The results obtained a total of 155 respondents participated in this study. The analysis did not reveal any correlation between participation in extracurricular activities and the dimensions of PWB. Albeit, a correlation was identified between the duration of involvement in extracurricular activities and specific dimensions of PWB (p<0.05). In conclusion, there is no correlation between extracurricular activities and PWB. However, there is a correlation between the duration aspect of involvement in extracurricular activities and PWB dimensions, especially the dimensions of positive relations with others and personal growth. Keywords: extracurricular activities; psychological well-being; duration aspect Abstrak: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter cenderung mengalami penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan karena adanya perbedaan dari segi kurikulum, tugas, dan tuntutan dalam menjalani studi. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan suatu kegiatan yang melibatkan aspek ketekunan, empati, dan mindfulness, di mana aspek-aspek ini dapat mencegah penurunan, bahkan meningkatkan psychological well-being (PWB) seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi korelasi antara kegiatan ekstrakurikular dengan PWB pada mahasiswa pre-klinik Universitas Sam Ratulangi, Manado. Jenis penelitian ialah kuantitatif dengan metode pengambilan data menggunakan kueisioner PWB scale (PWBS) 84–items oleh Ryff. Hasil penelitian mendapatkan 155 responden yang terlibat dalam penelitian ini yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Tidak ditemukan adanya korelasi antara kegiatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, tetapi terdapat korelasi antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi-dimensi PWB tertentu (p<0,05). Simpulan penelitian ini ialah tidak terdapat hubungan antara ekstrakurikuler dengan PWB, tetapi terdapat hubungan antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, terkhususnya dimensi positive relations with others dan personal growth. Kata kunci: aktivitas ekstrakurikuler; psychological well-being; aspek durasi
{"title":"Hubungan Kegiatan Ekstrakurikuler dengan Psychological Well-Being Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi","authors":"F. Gunawan, Hendri Opod, Lydia E. V. David","doi":"10.35790/msj.v6i2.53197","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v6i2.53197","url":null,"abstract":"Abstract: Pre-Clinical Students tend to experience a decline in quality of life and well-being due to different responsibilities in curriculum, tasks, and demands during their studies. Extracurricular activities involve aspects of perseverance, empathy, and mindfulness, where these elements can prevent, and even enhance, an individual's psychological well-being (PWB). This study aimed to evaluate the correlation between extracurricular activities and PWB in pre-clinical medical students of Universitas Sam Ratulangi, Manado. This was a quantitative approach study employing data collection through the administration of the PWB scale (PWBS) questionnaire with 84 items developed by Ryff. The results obtained a total of 155 respondents participated in this study. The analysis did not reveal any correlation between participation in extracurricular activities and the dimensions of PWB. Albeit, a correlation was identified between the duration of involvement in extracurricular activities and specific dimensions of PWB (p<0.05). In conclusion, there is no correlation between extracurricular activities and PWB. However, there is a correlation between the duration aspect of involvement in extracurricular activities and PWB dimensions, especially the dimensions of positive relations with others and personal growth.\u0000Keywords: extracurricular activities; psychological well-being; duration aspect\u0000 \u0000Abstrak: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter cenderung mengalami penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan karena adanya perbedaan dari segi kurikulum, tugas, dan tuntutan dalam menjalani studi. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan suatu kegiatan yang melibatkan aspek ketekunan, empati, dan mindfulness, di mana aspek-aspek ini dapat mencegah penurunan, bahkan meningkatkan psychological well-being (PWB) seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi korelasi antara kegiatan ekstrakurikular dengan PWB pada mahasiswa pre-klinik Universitas Sam Ratulangi, Manado. Jenis penelitian ialah kuantitatif dengan metode pengambilan data menggunakan kueisioner PWB scale (PWBS) 84–items oleh Ryff. Hasil penelitian mendapatkan 155 responden yang terlibat dalam penelitian ini yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Tidak ditemukan adanya korelasi antara kegiatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, tetapi terdapat korelasi antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi-dimensi PWB tertentu (p<0,05). Simpulan penelitian ini ialah tidak terdapat hubungan antara ekstrakurikuler dengan PWB, tetapi terdapat hubungan antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, terkhususnya dimensi positive relations with others dan personal growth. \u0000Kata kunci: aktivitas ekstrakurikuler; psychological well-being; aspek durasi","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"8 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-02-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139783627","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract: Pre-Clinical Students tend to experience a decline in quality of life and well-being due to different responsibilities in curriculum, tasks, and demands during their studies. Extracurricular activities involve aspects of perseverance, empathy, and mindfulness, where these elements can prevent, and even enhance, an individual's psychological well-being (PWB). This study aimed to evaluate the correlation between extracurricular activities and PWB in pre-clinical medical students of Universitas Sam Ratulangi, Manado. This was a quantitative approach study employing data collection through the administration of the PWB scale (PWBS) questionnaire with 84 items developed by Ryff. The results obtained a total of 155 respondents participated in this study. The analysis did not reveal any correlation between participation in extracurricular activities and the dimensions of PWB. Albeit, a correlation was identified between the duration of involvement in extracurricular activities and specific dimensions of PWB (p<0.05). In conclusion, there is no correlation between extracurricular activities and PWB. However, there is a correlation between the duration aspect of involvement in extracurricular activities and PWB dimensions, especially the dimensions of positive relations with others and personal growth. Keywords: extracurricular activities; psychological well-being; duration aspect Abstrak: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter cenderung mengalami penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan karena adanya perbedaan dari segi kurikulum, tugas, dan tuntutan dalam menjalani studi. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan suatu kegiatan yang melibatkan aspek ketekunan, empati, dan mindfulness, di mana aspek-aspek ini dapat mencegah penurunan, bahkan meningkatkan psychological well-being (PWB) seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi korelasi antara kegiatan ekstrakurikular dengan PWB pada mahasiswa pre-klinik Universitas Sam Ratulangi, Manado. Jenis penelitian ialah kuantitatif dengan metode pengambilan data menggunakan kueisioner PWB scale (PWBS) 84–items oleh Ryff. Hasil penelitian mendapatkan 155 responden yang terlibat dalam penelitian ini yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Tidak ditemukan adanya korelasi antara kegiatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, tetapi terdapat korelasi antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi-dimensi PWB tertentu (p<0,05). Simpulan penelitian ini ialah tidak terdapat hubungan antara ekstrakurikuler dengan PWB, tetapi terdapat hubungan antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, terkhususnya dimensi positive relations with others dan personal growth. Kata kunci: aktivitas ekstrakurikuler; psychological well-being; aspek durasi
{"title":"Hubungan Kegiatan Ekstrakurikuler dengan Psychological Well-Being Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi","authors":"F. Gunawan, Hendri Opod, Lydia E. V. David","doi":"10.35790/msj.v6i2.53197","DOIUrl":"https://doi.org/10.35790/msj.v6i2.53197","url":null,"abstract":"Abstract: Pre-Clinical Students tend to experience a decline in quality of life and well-being due to different responsibilities in curriculum, tasks, and demands during their studies. Extracurricular activities involve aspects of perseverance, empathy, and mindfulness, where these elements can prevent, and even enhance, an individual's psychological well-being (PWB). This study aimed to evaluate the correlation between extracurricular activities and PWB in pre-clinical medical students of Universitas Sam Ratulangi, Manado. This was a quantitative approach study employing data collection through the administration of the PWB scale (PWBS) questionnaire with 84 items developed by Ryff. The results obtained a total of 155 respondents participated in this study. The analysis did not reveal any correlation between participation in extracurricular activities and the dimensions of PWB. Albeit, a correlation was identified between the duration of involvement in extracurricular activities and specific dimensions of PWB (p<0.05). In conclusion, there is no correlation between extracurricular activities and PWB. However, there is a correlation between the duration aspect of involvement in extracurricular activities and PWB dimensions, especially the dimensions of positive relations with others and personal growth.\u0000Keywords: extracurricular activities; psychological well-being; duration aspect\u0000 \u0000Abstrak: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter cenderung mengalami penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan karena adanya perbedaan dari segi kurikulum, tugas, dan tuntutan dalam menjalani studi. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan suatu kegiatan yang melibatkan aspek ketekunan, empati, dan mindfulness, di mana aspek-aspek ini dapat mencegah penurunan, bahkan meningkatkan psychological well-being (PWB) seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi korelasi antara kegiatan ekstrakurikular dengan PWB pada mahasiswa pre-klinik Universitas Sam Ratulangi, Manado. Jenis penelitian ialah kuantitatif dengan metode pengambilan data menggunakan kueisioner PWB scale (PWBS) 84–items oleh Ryff. Hasil penelitian mendapatkan 155 responden yang terlibat dalam penelitian ini yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Tidak ditemukan adanya korelasi antara kegiatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, tetapi terdapat korelasi antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi-dimensi PWB tertentu (p<0,05). Simpulan penelitian ini ialah tidak terdapat hubungan antara ekstrakurikuler dengan PWB, tetapi terdapat hubungan antara aspek durasi keterlibatan ekstrakurikuler dengan dimensi PWB, terkhususnya dimensi positive relations with others dan personal growth. \u0000Kata kunci: aktivitas ekstrakurikuler; psychological well-being; aspek durasi","PeriodicalId":504046,"journal":{"name":"Medical Scope Journal","volume":"83 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-02-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139843657","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}