Telekomunikasi merupakan sarana komunikasi manusia/masyarakat modern yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan sarana komunikasi lainnya, karena telekomunikasi memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi dengan kecepatan tinggi yang dapat diterima seketika (real time) dan mampu menembus batas-batas wilayah negara. Melalui sarana telekomunikasi, manusia mengadakan saling tukar informasi jarak jauh, baik secara lisan (telepon, interkom, radio amatir), tulisan (telegram, teleks, faksimili), maupun audio-visual (televisi). Perkembangan yang pesat di bidang 3C (computer, communication, control), sarana telekomunikasi dari waktu ke waktu semakin canggih. Kondisi tersebut dimungkinkan oleh apa yang disebut fenomena sinergetik, yaitu terjadinya interaksi antara ketiga jenis teknologi di atas. Dalam World Telecommunication Development Report 2002, ITU (International Telecommunication Union), mendeskripsikan sektor telekomunikasi saat ini dengan empat kata kunci: "private", "competitive", "mobile", dan "global". Bahwa sektor telekomunikasi di mana pun di muka bumi ini semakin terprivatisasi, semakin terbuka pada kompetisi, semakin mobil dan mengglobal, baik dari sisi operasi, regulasi maupun layanannya. Unsur yang perlu dicermati adalah rumusan "private" dan "competitive". Dalam tataran praksis dua unsur rumusan tersebut telah menjadi pemicu utama reformasi sektor ini di negara mana pun, termasuk Indonesia. Pemerintah dari hampir seluruh anggota ITU mulai mengubah paradigma pengelolaannya dari pendekatan monopoli (monopolistic approach) menuju pendekatan pasar (market-based approach). Penyelenggaraan usaha telekomunikasi di Indonesia dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1964 dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
{"title":"REKONSTRUKSI HUKUM TERHADAP PENYELENGGARAAN USAHA TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA","authors":"R. Nugraha","doi":"10.35968/JH.V11I1.654","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V11I1.654","url":null,"abstract":"Telekomunikasi merupakan sarana komunikasi manusia/masyarakat modern yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan sarana komunikasi lainnya, karena telekomunikasi memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi dengan kecepatan tinggi yang dapat diterima seketika (real time) dan mampu menembus batas-batas wilayah negara. Melalui sarana telekomunikasi, manusia mengadakan saling tukar informasi jarak jauh, baik secara lisan (telepon, interkom, radio amatir), tulisan (telegram, teleks, faksimili), maupun audio-visual (televisi). Perkembangan yang pesat di bidang 3C (computer, communication, control), sarana telekomunikasi dari waktu ke waktu semakin canggih. Kondisi tersebut dimungkinkan oleh apa yang disebut fenomena sinergetik, yaitu terjadinya interaksi antara ketiga jenis teknologi di atas. Dalam World Telecommunication Development Report 2002, ITU (International Telecommunication Union), mendeskripsikan sektor telekomunikasi saat ini dengan empat kata kunci: \"private\", \"competitive\", \"mobile\", dan \"global\". Bahwa sektor telekomunikasi di mana pun di muka bumi ini semakin terprivatisasi, semakin terbuka pada kompetisi, semakin mobil dan mengglobal, baik dari sisi operasi, regulasi maupun layanannya. Unsur yang perlu dicermati adalah rumusan \"private\" dan \"competitive\". Dalam tataran praksis dua unsur rumusan tersebut telah menjadi pemicu utama reformasi sektor ini di negara mana pun, termasuk Indonesia. Pemerintah dari hampir seluruh anggota ITU mulai mengubah paradigma pengelolaannya dari pendekatan monopoli (monopolistic approach) menuju pendekatan pasar (market-based approach). Penyelenggaraan usaha telekomunikasi di Indonesia dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1964 dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"44 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114527640","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dalam praktek kenotariatan dan pendaftaran tanah, penggunaan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah sebagai dasar pembuatan akta jual beli tanah (AJB) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam rangka peralihan hak atas tanah, seyogyanya dilakukan secara selektif oleh Notaris maupun PPAT. Permasalahan yang timbul bagaimanakah keabsahan akta PPJB beli tanah sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah dan bagaimanakah keabsahan akta PPJB tanah yang diperoleh karena penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah?. Untuk menjawab persoalan tersebut, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum, menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Akta PPJB tanah lunas yang di dalamnya terdapat kuasa jual beli yang dibuat secara sah dan memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan juga pemberian kuasa pada khususnya (vide Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 Jis. Pasal 1319, Pasal 1337 dan Pasal 1339 serta Pasal 1792, Pasal 1793 dan Pasal 1795 KUH Perdata serta UU Jabatan Notaris) dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dihadapan PPAT yang berwenang sebagai bukti telah dilaksanakannya jual beli dan peralihan hak atas tanah atas bidang tanah yang menjadi objek akta PPJB dan AJB tersebut. Akta PPJB tanah belum lunas yang diperoleh karena atau di dalamnya terdapat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) atau keadaan jual beli proforma (schijnhandeling) tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah.
在土地登记和土地登记的实践中,在土地契约制定者(PPAT)面前,利用土地契约(pjb)作为土地买卖契约(AJB)的基础,使土地契约(PPAT)有选择性地得到公证和土地所有权。《PPJB契约》购买土地的合法性是如何为土地所有权转让奠定基础的,而《土地契约PPJB》的合法性又如何为这种情况(misbruik van omstandigheden)滥用土地(misbruik van omstandigheden)而获得的土地契约的合法性提供了理由?为了回答这个问题,使用规范法律研究方法,使用从法律材料来源获得的次要数据,使用法律方法(法律方法),处理法律方法(情况许可),以及概念方法(概念方法)。《普jb土地契约》,其中包含了合法的、可生效的交易权力,特别是《维德第1320章》(vide第1320章,Jo)。第1338章。1319章,每一章精确观测和第1339 1793 1792章,每一章一章和1795 KUH职位承担民事和法律公证人)可以作为AJB PPAT面前的土地创造的基本权利过渡当局作为证据成就了买卖和土地所有权的土地成为物体契约PPJB并AJB。不来由误用(misbruik van omstandigheden)或形式形式的形式购买(schijnhandeling)所获得的未偿还土地契约不能作为改变土地所有权的理由。
{"title":"KEABSAHAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH DALAM RANGKA PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN)","authors":"S. L. Gaol","doi":"10.35968/JH.V11I1.653","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V11I1.653","url":null,"abstract":"Dalam praktek kenotariatan dan pendaftaran tanah, penggunaan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah sebagai dasar pembuatan akta jual beli tanah (AJB) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam rangka peralihan hak atas tanah, seyogyanya dilakukan secara selektif oleh Notaris maupun PPAT. Permasalahan yang timbul bagaimanakah keabsahan akta PPJB beli tanah sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah dan bagaimanakah keabsahan akta PPJB tanah yang diperoleh karena penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah?. Untuk menjawab persoalan tersebut, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum, menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Akta PPJB tanah lunas yang di dalamnya terdapat kuasa jual beli yang dibuat secara sah dan memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan juga pemberian kuasa pada khususnya (vide Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 Jis. Pasal 1319, Pasal 1337 dan Pasal 1339 serta Pasal 1792, Pasal 1793 dan Pasal 1795 KUH Perdata serta UU Jabatan Notaris) dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dihadapan PPAT yang berwenang sebagai bukti telah dilaksanakannya jual beli dan peralihan hak atas tanah atas bidang tanah yang menjadi objek akta PPJB dan AJB tersebut. Akta PPJB tanah belum lunas yang diperoleh karena atau di dalamnya terdapat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) atau keadaan jual beli proforma (schijnhandeling) tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah.","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121275771","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Peranan kontrak sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kontrak adalah: Kesepakatan para pihak tentang sesuatu hal yang melahirkan perikatan/hubungan hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, apabila dilanggar menimbulkan sanksi. Sahnya kontrak harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata. Kontrak didasarkan pada asas-asas yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan kontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata; "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Para pihak bebas membuat isi kontrak asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Kontrak melahirkan perikatan yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kontrak yang sudah dibuat dengan memenuhi persyaratan, belum pasti menjamin terlaksana dengan baik (terjadi wanprestasi). Wanprestasi bisa terjadi karena: Kesalahan dapat berupa kelalaian atau kesengajaan, force majeure dan rebus sic stantibus. Force majeure adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang di perjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko. Konsep force majeure ditemukan dalam: Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, juga mengacu pada Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata. Ditemukan juga dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan putusan pengadilan serta berdasarkan pendapat ahli. Terjadinya peristiwa force majeure menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan maupun terhadap risiko. Force majeure mensyaratkan adanya itikad baik. Clausula rebus sic stantibus adalah asas hukum yang menyatakan bahwa suatu kontrak tidak lagi berlaku akibat perubahaan keadaan yang mendasar. Asas rebus sic stantibus telah menjadi bagian dari asas hukum umum sama halnya dengan asas-asas hukum yang lainnya dalam hukum (kontrak) internasional. Di Indonesia doktrin ini lebih dikenal di dalam hukum (kontrak) internasional dan sedikit di dalam hukum asuransi. Dalam peraturan perundangan Indonesia, keberadaan clausula rebus sic stantibus mendapatkan pengakuan dalam Pasal 18 c Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian internasional. Indonesia telah meratifikasi The UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC) melalui Peraturan Presiden RI No. 59 Tahun 2008 sebagai salah satu upaya untuk harmonisasi hukum atau pengaturan dalam hukum kontrak internasional, Dalam UNIDROIT terdapat asas-asas, antara lain: Asas pacta sunt servanda dan asas rebus sic stantibus istilah yang dipakai adalah hardship clauses (klausul kesulitan). Dalam KUHPerdata tidak ada mengatur tentang clausula rebus sic stantibus, yang ada adalah mengatur tentang force majeure. Walaupun seca
{"title":"PERSPEKTIF FORCE MAJEURE DAN REBUS SIC STANTIBUS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA","authors":"Niru Anita Sinaga","doi":"10.35968/JH.V11I1.648","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V11I1.648","url":null,"abstract":"Peranan kontrak sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kontrak adalah: Kesepakatan para pihak tentang sesuatu hal yang melahirkan perikatan/hubungan hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, apabila dilanggar menimbulkan sanksi. Sahnya kontrak harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata. Kontrak didasarkan pada asas-asas yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan kontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata; \"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya\". Para pihak bebas membuat isi kontrak asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Kontrak melahirkan perikatan yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kontrak yang sudah dibuat dengan memenuhi persyaratan, belum pasti menjamin terlaksana dengan baik (terjadi wanprestasi). Wanprestasi bisa terjadi karena: Kesalahan dapat berupa kelalaian atau kesengajaan, force majeure dan rebus sic stantibus. Force majeure adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang di perjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko. Konsep force majeure ditemukan dalam: Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, juga mengacu pada Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata. Ditemukan juga dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan putusan pengadilan serta berdasarkan pendapat ahli. Terjadinya peristiwa force majeure menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan maupun terhadap risiko. Force majeure mensyaratkan adanya itikad baik. Clausula rebus sic stantibus adalah asas hukum yang menyatakan bahwa suatu kontrak tidak lagi berlaku akibat perubahaan keadaan yang mendasar. Asas rebus sic stantibus telah menjadi bagian dari asas hukum umum sama halnya dengan asas-asas hukum yang lainnya dalam hukum (kontrak) internasional. Di Indonesia doktrin ini lebih dikenal di dalam hukum (kontrak) internasional dan sedikit di dalam hukum asuransi. Dalam peraturan perundangan Indonesia, keberadaan clausula rebus sic stantibus mendapatkan pengakuan dalam Pasal 18 c Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian internasional. Indonesia telah meratifikasi The UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC) melalui Peraturan Presiden RI No. 59 Tahun 2008 sebagai salah satu upaya untuk harmonisasi hukum atau pengaturan dalam hukum kontrak internasional, Dalam UNIDROIT terdapat asas-asas, antara lain: Asas pacta sunt servanda dan asas rebus sic stantibus istilah yang dipakai adalah hardship clauses (klausul kesulitan). Dalam KUHPerdata tidak ada mengatur tentang clausula rebus sic stantibus, yang ada adalah mengatur tentang force majeure. Walaupun seca","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"133 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"120980508","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kejahatan Narkotika sudah menjadi kejahatan Nasional suatu Negara bahkan menyangkut kejahatan antarnegara dan transnegara, dengan perkembangan masif dan banyak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari pelajar, pendidik, artis, pejabat, rakyat biasa bahkan penegak hukum sendiri juga melakukan kejahatan narkotika. Sehingga kejahatan ini sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dengan diundangkan dan berlakunya UU 35/2009, yang dilandasi semangat ramah HAM melalui dekriminalisasi penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri melalui pemberian rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU 35/2009 diharapkan tercipta kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan bagi penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri melalui pemberian rehabilitasi. Disisi lain dalam UU 35/2009 terdapat juga Pasal-Pasal Karet yaitu Pasal 111 ayat (1) dan 112 ayat (1) UU 35/2009. Permasalahan yang timbul, mengapa Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) dalam UU 35/2009 disebut dengan pasal-pasal karet?, dan bagaimana implikasi penerapan pasal-pasal karet dalam UU 35/2009 tersebut terhadap penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri dalam memperoleh Rehabilitasi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur?. Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) serta pendekatan kasus (case approach), menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Setidaknya ditemukan dua Pasal-pasal Karet dalam UU 35/2009 yaitu Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1), dan dari 748 perkara tindak Pidana Narkotika di PN Jakarta Timur dalam kurun waktu Januari s/d Desember 2018, secara acak diambil dan terpilih 10 (sepuluh) Putusan PN Jakarta Timur, tidak satupun putusannya berupa pemberian rehabilitasi terhadap Terdakwa penyalahguna narkotika untuk diri sendiri, melainkan semua putusannya berupa pemidanaan dengan pidana penjara terhadap Terdakwa. Implikasi penerapan pasal-pasal karet tersebut terhadap pemberian rehabilitasi bagi penyalahguna Narkotika Untuk Dirinya sendiri di PN Jakarta Timur adalah terjadi ketidakpastian hukum dan inkonsistensi oleh Hakim/Pengadilan dalam penerapan norma Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) Jo. Pasal 127 UU 35/2009 tersebut, hal ini mengakibatkan hilangnya independensi dan otonomi Hakim/Pengadilan dalam memberikan Rehabilitasi bagi Penyalahguna Narkotika Untuk Dirinya sendiri tersebut, karena disyaratkan adanya Surat Permohonan Rehabilitasi dan Surat Rekomendasi Rehabilitasi yang harus diajukan sejak semula, mulai dari awal penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam SEMA 04/2010 Jo. SEMA 03/2011. Agar tidak terjadi Pasal-pasal karet dalam UU 35/2009 yaitu Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) tersebut, Pemerintah perlu mengajukan perubahan UU 35/2009 melalui proses l
毒品犯罪在一个国家已经成为一种全国性的犯罪,甚至涉及国家和国家之间的犯罪,在很大程度上是由公众所犯下的,从学生、教育工作者、艺术家、官员、甚至执法人员自己犯下的麻醉品罪行。所以这一罪行已经被归类为犯罪非凡(额外的普通犯罪)。制定和生效35/2009,火腿的友好精神通过大麻合法化法案通过康复的礼物自己滥用麻醉品的第127章35/2009法案中所设置的预期产生确定性对麻醉品滥用法律和正义的权宜之计,以自己通过康复礼物。另一方面,在2009年第35条中也有橡胶章节,即第111条第1条(1)和第112条(1)第35条第2009款。问题出现了,为什么第111节(1)和第112节(1)第35/2009年法案的第1节被称为橡胶条款?橡胶,以及如何应用条款含义35/2009法案中对滥用毒品中为自己在初审法院的雅加达东部?获得康复。为了回答本研究中的问题,本研究采用了法律规范法(规范法)、概念法(案例应应性)和案例法(案例应应性)的研究方法,采用了从原始、次生和排序法中获得的次要数据。至少发现了两个橡胶35/2009法案即111章条款第(1)节和第112章(1)节,从后来PN毒品犯罪案件在雅加达东部1 s - d内拍摄于2018年12月,随机而精选10(十)PN雅加达东部的裁决,裁决没有康复的礼物对被告为自己滥用毒品,而是所有pemidanaan与刑事监狱对被告的判决。这些橡胶应用条款的含义对康复的礼物为毒品滥用自己的PN雅加达东部发生的不确定性和法律上的不一致是由法院/法官应用规范111章第(1)节和第112章(1)节乔。法案第127章35/2009 independensi和自主权,这导致失踪-法庭法官滥用毒品为自己提供康复中,因为需要康复治疗和康复的推荐信必须申请信最初,从头开始检查调查、起诉和审判中所提到的SEMA 04/2010乔。SEMA 03/2011。橡胶条款,以免发生35/2009法案即111章第(1)节和第112章(1)节的时候,政府需要申请更改35/2009法案通过立法的过程,对社会无论是个人或社会团体可以测试法案(PUU)向宪法法院申请对象的测试中,111章第(1)节和第112章(1节)这些35/2009法案违背了国家宪法R。I。1945年,通过要求MK根据第35/条例对其进行新的或有条件的解释,作为一个积极的立法者。
{"title":"IMPLIKASI PENERAPAN PASAL-PASAL KARET DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA UNTUK DIRINYA SENDIRI DALAM MEMPEROLEH HAK REHABILITASI DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA TIMUR","authors":"I. Sari, Niru Anita Sinaga, S. L. Gaol","doi":"10.35968/JH.V11I1.655","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V11I1.655","url":null,"abstract":"Kejahatan Narkotika sudah menjadi kejahatan Nasional suatu Negara bahkan menyangkut kejahatan antarnegara dan transnegara, dengan perkembangan masif dan banyak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari pelajar, pendidik, artis, pejabat, rakyat biasa bahkan penegak hukum sendiri juga melakukan kejahatan narkotika. Sehingga kejahatan ini sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dengan diundangkan dan berlakunya UU 35/2009, yang dilandasi semangat ramah HAM melalui dekriminalisasi penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri melalui pemberian rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU 35/2009 diharapkan tercipta kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan bagi penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri melalui pemberian rehabilitasi. Disisi lain dalam UU 35/2009 terdapat juga Pasal-Pasal Karet yaitu Pasal 111 ayat (1) dan 112 ayat (1) UU 35/2009. Permasalahan yang timbul, mengapa Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) dalam UU 35/2009 disebut dengan pasal-pasal karet?, dan bagaimana implikasi penerapan pasal-pasal karet dalam UU 35/2009 tersebut terhadap penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri dalam memperoleh Rehabilitasi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur?. Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) serta pendekatan kasus (case approach), menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Setidaknya ditemukan dua Pasal-pasal Karet dalam UU 35/2009 yaitu Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1), dan dari 748 perkara tindak Pidana Narkotika di PN Jakarta Timur dalam kurun waktu Januari s/d Desember 2018, secara acak diambil dan terpilih 10 (sepuluh) Putusan PN Jakarta Timur, tidak satupun putusannya berupa pemberian rehabilitasi terhadap Terdakwa penyalahguna narkotika untuk diri sendiri, melainkan semua putusannya berupa pemidanaan dengan pidana penjara terhadap Terdakwa. Implikasi penerapan pasal-pasal karet tersebut terhadap pemberian rehabilitasi bagi penyalahguna Narkotika Untuk Dirinya sendiri di PN Jakarta Timur adalah terjadi ketidakpastian hukum dan inkonsistensi oleh Hakim/Pengadilan dalam penerapan norma Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) Jo. Pasal 127 UU 35/2009 tersebut, hal ini mengakibatkan hilangnya independensi dan otonomi Hakim/Pengadilan dalam memberikan Rehabilitasi bagi Penyalahguna Narkotika Untuk Dirinya sendiri tersebut, karena disyaratkan adanya Surat Permohonan Rehabilitasi dan Surat Rekomendasi Rehabilitasi yang harus diajukan sejak semula, mulai dari awal penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam SEMA 04/2010 Jo. SEMA 03/2011. Agar tidak terjadi Pasal-pasal karet dalam UU 35/2009 yaitu Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) tersebut, Pemerintah perlu mengajukan perubahan UU 35/2009 melalui proses l","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125973414","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kemerdekaan pers, baik pada masa orde lama, orde baru dan orde reformasi memiliki kendala yang sama, yaitu kendala yuridis dan kendala sosiologis. Perbedaannya hanya terletak pada variasi dalam pelaksanaannya. Untuk mengatasi kendala itu formula yang paling tepat adalah pertama, negara hukum yaitu negara yang bertujuan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum pada warga masyarakat. Kedua, negara demokrasi dimana pemerintahan yang berpusat pada rakyat. Ketiga, hak asasi manusia dalam konteks ini adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan perasaan. Semula konsep ini tidak termasuk rancangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 karena kita ingin membangun negara kekeluargaan bukan negara individualistik dan liberalistik. Keempat, pemberdayaan organisasi dan birokrasi untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kelima, pengawasan hal itu diperlukan untuk efesiensi dan efektifitas pelaksanaan kemerdekaan pers. Keenam sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk tegaknya kemerdekaan pers Indonesia
{"title":"MENYOAL PELAKSANAAN KEMERDEKAAN PERS INDONESIA","authors":"M. S. Harahap","doi":"10.35968/JH.V11I1.652","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V11I1.652","url":null,"abstract":"Kemerdekaan pers, baik pada masa orde lama, orde baru dan orde reformasi memiliki kendala yang sama, yaitu kendala yuridis dan kendala sosiologis. Perbedaannya hanya terletak pada variasi dalam pelaksanaannya. Untuk mengatasi kendala itu formula yang paling tepat adalah pertama, negara hukum yaitu negara yang bertujuan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum pada warga masyarakat. Kedua, negara demokrasi dimana pemerintahan yang berpusat pada rakyat. Ketiga, hak asasi manusia dalam konteks ini adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan perasaan. Semula konsep ini tidak termasuk rancangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 karena kita ingin membangun negara kekeluargaan bukan negara individualistik dan liberalistik. Keempat, pemberdayaan organisasi dan birokrasi untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kelima, pengawasan hal itu diperlukan untuk efesiensi dan efektifitas pelaksanaan kemerdekaan pers. Keenam sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk tegaknya kemerdekaan pers Indonesia","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"30 5","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"120970975","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Hampir setiap hari masyarakat mendapat Informasi berkaitan dengan masalah kriminal, seperti masalah narkoba berikut para pelakunya. Dengan begitu masyarakat lalu bertanya juga kemungkinan tempat menampung mereka-mereka yang berstatus orang hukuman atau Narapidana, dimana orang-orang itu di tempatkan. Informasi yang nyata di ketahui masyarakat adalah bahwa umumnya kapasitas hunian bagi orang terhukum di Lapas ada dalam kondisi over kapasitas. Artinya bahwa tingkat hunian bagi orang terhukum telah melampaui kapasitas yang ada. Sebagimana di tayangkan dalam artikel berjudul: “Lapas dan Rumah Tahanan Negara/Rutan di Jakarta Kelebihan Kapasitas hingga 214 Persen”, yang inti dari informasi tersebut adalah, jumlah tahanan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) di wilayah DKI Jakarta melebihi kapasitas daya tampung yang ada. Selanjutnya yang akan di bahas dalam artikel ini adalah bagaimana realisasi hak-hak narapidana di masa pandemi Covid 19 mengingat interaksi antara sesama penghuni penjara yang tidak terkontrol akibat situasi overkapasitas hunian hampir di setiap lapas.
{"title":"PERLINDUNGAN DAN PENGHORMATAN HAK NARAPIDANA DI MASA PANDEMI COVID 19","authors":"Nurlely Darwis","doi":"10.35968/JH.V11I1.649","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V11I1.649","url":null,"abstract":"Hampir setiap hari masyarakat mendapat Informasi berkaitan dengan masalah kriminal, seperti masalah narkoba berikut para pelakunya. Dengan begitu masyarakat lalu bertanya juga kemungkinan tempat menampung mereka-mereka yang berstatus orang hukuman atau Narapidana, dimana orang-orang itu di tempatkan. Informasi yang nyata di ketahui masyarakat adalah bahwa umumnya kapasitas hunian bagi orang terhukum di Lapas ada dalam kondisi over kapasitas. Artinya bahwa tingkat hunian bagi orang terhukum telah melampaui kapasitas yang ada. Sebagimana di tayangkan dalam artikel berjudul: “Lapas dan Rumah Tahanan Negara/Rutan di Jakarta Kelebihan Kapasitas hingga 214 Persen”, yang inti dari informasi tersebut adalah, jumlah tahanan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) di wilayah DKI Jakarta melebihi kapasitas daya tampung yang ada. Selanjutnya yang akan di bahas dalam artikel ini adalah bagaimana realisasi hak-hak narapidana di masa pandemi Covid 19 mengingat interaksi antara sesama penghuni penjara yang tidak terkontrol akibat situasi overkapasitas hunian hampir di setiap lapas.","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133991161","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dalam Ilmu Hukum, kita mengenal adanya perbuatan melawan hukum (PMH). Biasanya perbuatan melawan hukum diidentifikasikan dengan perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang bertentangan dengan hak-hak orang lain, perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan serta perbuatan yang melanggar asas-asas umum dalam lapangan hukum. Dalam tulisan ini penulis ingin menjelaskan perbedaaan perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana maupun dalam hukum perdata serta unsur-unsur yang membedakan antara keduanya. Dalam konteks hukum perdata perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), bahwa dijelaskan pihak yang dirugikan oleh pihak lain berhak menuntut ganti rugi tetapi ini bukan dalam lapangan perjanjian. Sedangkan dalam konteks pidana perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang dilakukan di luar kekuasaan atau kewenangannya serta perbuatan yang melanggar asas-asas umum dalam lapangan hukum. Pada bagian akhir penulisan, penulis menyimpulkan perbedaan mendasar antara perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dan hukum perdata.
{"title":"PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) DALAM HUKUM PIDANA DAN HUKUM PERDATA","authors":"Indah Sari","doi":"10.35968/JH.V11I1.651","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V11I1.651","url":null,"abstract":"Dalam Ilmu Hukum, kita mengenal adanya perbuatan melawan hukum (PMH). Biasanya perbuatan melawan hukum diidentifikasikan dengan perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang bertentangan dengan hak-hak orang lain, perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan serta perbuatan yang melanggar asas-asas umum dalam lapangan hukum. Dalam tulisan ini penulis ingin menjelaskan perbedaaan perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana maupun dalam hukum perdata serta unsur-unsur yang membedakan antara keduanya. Dalam konteks hukum perdata perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), bahwa dijelaskan pihak yang dirugikan oleh pihak lain berhak menuntut ganti rugi tetapi ini bukan dalam lapangan perjanjian. Sedangkan dalam konteks pidana perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang dilakukan di luar kekuasaan atau kewenangannya serta perbuatan yang melanggar asas-asas umum dalam lapangan hukum. Pada bagian akhir penulisan, penulis menyimpulkan perbedaan mendasar antara perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dan hukum perdata.","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"61 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114183955","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini ingin mengkaji tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi. Penanaman Modal Asing diartikan kegiatan menanam untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang isinya tentang ketentuan-ketentuan pihak asing yang ingin melakukan Penanaman Modal di Indonesia baik itu dilakukan oleh warga negara asing, badan usaha asing dan/atau pemerintahan asing. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT PMA) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
{"title":"SYARAT-SYARAT PENANAMAN MODAL ASING (PMA) DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL","authors":"I. Sari","doi":"10.35968/JH.V10I2.462","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V10I2.462","url":null,"abstract":"Tulisan ini ingin mengkaji tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi. Penanaman Modal Asing diartikan kegiatan menanam untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang isinya tentang ketentuan-ketentuan pihak asing yang ingin melakukan Penanaman Modal di Indonesia baik itu dilakukan oleh warga negara asing, badan usaha asing dan/atau pemerintahan asing. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT PMA) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"66 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122086336","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia telah mengalami kemajuan baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Kemajuan ini berdasarkan kepada perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dalam kedudukan warga Negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Dalam hal ini, dapat memberikan perlindungan bagi para perempuan yang menikah dengan warga Negara asing, begitu pula dengan anak-anak mereka, sebagai hasil dari perkawinan campuran. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui pentingnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dalam melindungi hak perempuan dan anak-anak dari perkawinan campuran. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen yang dilakukan dari data-data yang bersifat sekunder kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada dasarnya menolak diskriminatif dan melindungan hak perempuan dan anak-anak dari perkawinan campuran antara WNI dan WNA di Negara Republik Indonesia.
{"title":"UNDANG – UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK PEREMPUAN DAN ANAK (PERSPEKTIF: PERKAWINAN ANTARA WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING)","authors":"Luh Suryatni","doi":"10.35968/JH.V10I2.461","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V10I2.461","url":null,"abstract":"Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia telah mengalami kemajuan baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Kemajuan ini berdasarkan kepada perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dalam kedudukan warga Negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Dalam hal ini, dapat memberikan perlindungan bagi para perempuan yang menikah dengan warga Negara asing, begitu pula dengan anak-anak mereka, sebagai hasil dari perkawinan campuran. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui pentingnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dalam melindungi hak perempuan dan anak-anak dari perkawinan campuran. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen yang dilakukan dari data-data yang bersifat sekunder kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada dasarnya menolak diskriminatif dan melindungan hak perempuan dan anak-anak dari perkawinan campuran antara WNI dan WNA di Negara Republik Indonesia.","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"18 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121534289","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dibuat terkejut dengan masuknya beberapa kapal nelayan China yang dijaga kapal Coast Guard nya melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna Utara yang merupakan ZEE Indonesia (ZEEI). China sesuai klaim Historis “Nine Dash Line” nya mengklaim hampir semua perairan yang ada di Laut Cina Selatan merupakan perairan milik China. Akibat klaim China tersebut perairan seperti Malaysia, Brunei, Vietnam dan Philipina termasuk sebagian perairan Natuna Utara (ZEEI) akan diambil oleh China padahal berdasarkan pasal 47 ayat (1), (2) Unclos 1982 tentang Hukum Laut, Penarikan garis pangkal kepulauan dinyatakan bahwa “suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan”, oleh karena itu secara yuridis peraian Natuna Utara yang diklaim China tersebut merupakan ZEE Indonesia.
{"title":"MENOLAK KLAIM HISTORIS CHINA “NINE DASH LINE” DAN KEWENANGAN PENEGAKAN KEDAULATAN SERTA PENEGAKAN HUKUM DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA","authors":"Mangisi Simanjuntak","doi":"10.35968/JH.V10I2.466","DOIUrl":"https://doi.org/10.35968/JH.V10I2.466","url":null,"abstract":"Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dibuat terkejut dengan masuknya beberapa kapal nelayan China yang dijaga kapal Coast Guard nya melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna Utara yang merupakan ZEE Indonesia (ZEEI). China sesuai klaim Historis “Nine Dash Line” nya mengklaim hampir semua perairan yang ada di Laut Cina Selatan merupakan perairan milik China. Akibat klaim China tersebut perairan seperti Malaysia, Brunei, Vietnam dan Philipina termasuk sebagian perairan Natuna Utara (ZEEI) akan diambil oleh China padahal berdasarkan pasal 47 ayat (1), (2) Unclos 1982 tentang Hukum Laut, Penarikan garis pangkal kepulauan dinyatakan bahwa “suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan”, oleh karena itu secara yuridis peraian Natuna Utara yang diklaim China tersebut merupakan ZEE Indonesia.","PeriodicalId":158939,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara","volume":"42 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128106883","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}