Being a priest or pastor suddenly who only studied the Bible for 3 months is an issue that is considered a problem in the church environment. Priests play a role in guiding the congregation to gain salvation, know God and have a soul that is increasingly purified from day a day. In carrying out this role there are conditions that must be possessed so that in his ministry, he becomes a priest who succeeds in shepherding the souls entrusted by God. For this reason, this study aims to provide an overview of the qualifications of a priest in the book The Priesthood and in 1 Timothy 3: 1-7. Through a literary analysis of The Priesthood and 1 Timothy 3: 1-7 the writer will explore the requirements for becoming a priest. The data collected will help the priests to be more serious in their ministry. According to Chrysostom the priest should not be a chaplain of the priestly office, have a clear mind, not be seduced by worldly desires, not be angry, not a person who loves praise. Meanwhile, according to the apostle Paul, the priest must be able to accept the responsibility of shepherding the church, have self-control, capable of teaching, be recognized as dignified in the family, well known in the community. The two opinions of this figure mutually support the success of a priest in pure service to the congregation. The result is that the priest fulfills the requirements to become a priest, so the priest can successfully serve the souls of the congregation that God has entrusted to him. AbstrakMenjadi imam atau pendeta secara tiba – tiba, yang hanya belajar Alkitab 3 bulan, merupakan isu yang dianggap sebagai persoalan dalam lingkungan gereja. Imam berperan dalam membimbing jemaat untuk memperoleh keselamatan, mengenal Allah dan memiliki jiwa yang semakin dimurnikan dari hari lepas hari. Dalam menjalankan peran ini ada syarat yang harus dimiliki sehingga dalam pelayanannya, ia menjadi seorang imam yang berhasil menggembalakan jiwa- jiwa yang dipercayakan Tuhan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kualifikasi seorang imam dalam buku The Priesthood dan dalam surat 1 Timotius 3: 1-7. Melalui analisis pustaka Buku The Priesthood dan surat 1 Timotius 3: 1- 7 penulis akan mengexplorasi syarat-syarat menjadi imam. Data- data yang dikumpulkan akan menolong para imam untuk semakin serius dalam pelayanannya. Menurut Chrysostom imam harus bukan seorang pengejar jabatan keimaman, memiliki pikiran yang jernih, tidak tergoda dengan keinginan duniawi, bukan pemarah, bukan orang yang cinta akan pujian. Sedangkan menurut rasul Paulus imam itu harus Jiwanya sanggup menerima tanggung jawab penggembalaan jemaat, mengontrol diri, cakap mengajar, dikenal berwibawa dalam keluarga, dikenal baik di tengah masyarakat. Kedua pendapat tokoh ini saling mendukung keberhasilan seorang imam dalam pelayanan yang murni kepada jemaat. Hasilnya, memenuhi syarat menjadi imam adalah panduan seorang imam untuk mencapai keberhasilan melayani jiwa–jiwa atau jemaat yang
突然成为一个只学了三个月圣经的神父或牧师,在教会环境中被认为是一个问题。牧师的作用是引导会众获得救赎,认识上帝,拥有一个日益净化的灵魂。在履行这一角色时,他必须具备一些条件,这样他才能成为一名牧师,成功地牧养上帝所托付的灵魂。因此,本研究旨在提供《祭司职任》一书和提摩太前书3:1 -7中祭司资格的概述。通过对祭司和提摩太前书3:1 -7的文学分析,作者将探讨成为祭司的要求。收集到的数据将帮助牧师在他们的事工中更加认真。根据金口的说法,祭司不应该是司祭职的牧师,有清醒的头脑,不被世俗的欲望所诱惑,不生气,不喜欢赞美。同时,根据使徒保罗的说法,祭司必须能够承担牧养教会的责任,有自制力,有能力教导,在家庭中被认为是有尊严的,在社区中是众所周知的。这个数字的两种观点相互支持牧师在为会众服务方面的成功。结果是,牧师满足了成为牧师的要求,因此牧师可以成功地为上帝托付给他的会众的灵魂服务。[摘要]门加迪伊玛目atau pendeta secara tiba - tiba,杨汉亚belajar Alkitab 3 bulan, merupakan isu杨江盖塞巴盖个人,dalam lingkungan gereja。伊玛目berperan dalam成员jemaat untuk memperoleh keselamatan, mengeal dan memiliki jiwa yang semakin dimurnikan dari hari lepas hari。Dalam menjalankan peran ini ada syarat yang harus dimiliki sehinga Dalam pelayanannya, ia menjadi seorang imam yang berhasil menggembalakan jiwa- jiwa yang dipercayakan Tuhan。Untuk itu, penelitian ini bertujuan Untuk memberikan gambaran kualifikasi seorang imam dalam buku圣职dan dalam surat提摩太前书3:1 -7。《提摩太前书》3章1- 7节,《祭司的职分》。数据-数据yang dikumpulkan akan menonong para imam untuk semakin serius dalam pelayanannya。金牛:金牛,金牛,金牛,金牛,金牛,金牛,金牛,金牛,金牛,金牛。Sedangkan menurut rasul Paulus imam itharus Jiwanya sanggup menerima tanggung jawab penggembalaan jemaat, mengcontrol diri, cakap mengajar, dikenal berwibawa dalam keluarga, dikenal baik di tengah masyarakat。Kedua pendapat tokoh i sale mendukung keberhasilan seorang imam dalam pelayanan yang murni kepada jemaat。哈西尼亚,我是哈西尼亚,我是哈西尼亚,我是哈西尼亚,我是哈西尼亚,我是哈西尼亚,我是哈西尼亚,我是哈西尼亚。
{"title":"Pandangan Jhon Chrysostom tentang kualifikasi Seorang Imam: Refleksi Komparatif Buku The Priesthood dan 1 Timotius 3:1-7","authors":"Desti Ratna Sari Halawa","doi":"10.52220/magnum.v3i1.65","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/magnum.v3i1.65","url":null,"abstract":"Being a priest or pastor suddenly who only studied the Bible for 3 months is an issue that is considered a problem in the church environment. Priests play a role in guiding the congregation to gain salvation, know God and have a soul that is increasingly purified from day a day. In carrying out this role there are conditions that must be possessed so that in his ministry, he becomes a priest who succeeds in shepherding the souls entrusted by God. For this reason, this study aims to provide an overview of the qualifications of a priest in the book The Priesthood and in 1 Timothy 3: 1-7. Through a literary analysis of The Priesthood and 1 Timothy 3: 1-7 the writer will explore the requirements for becoming a priest. The data collected will help the priests to be more serious in their ministry. According to Chrysostom the priest should not be a chaplain of the priestly office, have a clear mind, not be seduced by worldly desires, not be angry, not a person who loves praise. Meanwhile, according to the apostle Paul, the priest must be able to accept the responsibility of shepherding the church, have self-control, capable of teaching, be recognized as dignified in the family, well known in the community. The two opinions of this figure mutually support the success of a priest in pure service to the congregation. The result is that the priest fulfills the requirements to become a priest, so the priest can successfully serve the souls of the congregation that God has entrusted to him. AbstrakMenjadi imam atau pendeta secara tiba – tiba, yang hanya belajar Alkitab 3 bulan, merupakan isu yang dianggap sebagai persoalan dalam lingkungan gereja. Imam berperan dalam membimbing jemaat untuk memperoleh keselamatan, mengenal Allah dan memiliki jiwa yang semakin dimurnikan dari hari lepas hari. Dalam menjalankan peran ini ada syarat yang harus dimiliki sehingga dalam pelayanannya, ia menjadi seorang imam yang berhasil menggembalakan jiwa- jiwa yang dipercayakan Tuhan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kualifikasi seorang imam dalam buku The Priesthood dan dalam surat 1 Timotius 3: 1-7. Melalui analisis pustaka Buku The Priesthood dan surat 1 Timotius 3: 1- 7 penulis akan mengexplorasi syarat-syarat menjadi imam. Data- data yang dikumpulkan akan menolong para imam untuk semakin serius dalam pelayanannya. Menurut Chrysostom imam harus bukan seorang pengejar jabatan keimaman, memiliki pikiran yang jernih, tidak tergoda dengan keinginan duniawi, bukan pemarah, bukan orang yang cinta akan pujian. Sedangkan menurut rasul Paulus imam itu harus Jiwanya sanggup menerima tanggung jawab penggembalaan jemaat, mengontrol diri, cakap mengajar, dikenal berwibawa dalam keluarga, dikenal baik di tengah masyarakat. Kedua pendapat tokoh ini saling mendukung keberhasilan seorang imam dalam pelayanan yang murni kepada jemaat. Hasilnya, memenuhi syarat menjadi imam adalah panduan seorang imam untuk mencapai keberhasilan melayani jiwa–jiwa atau jemaat yang ","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129070367","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The church as a place of fellowship for believers has a responsibility to create, maintain and develop koinonia relationships that can lead to church growth. Through this paper, the author can describe the importance of the cell community in bringing about the value of close fellowship and kinship so that it can lead to church growth. Using the descriptive qualitative method, it can be concluded that the cell community is a system that must be implemented. Where this group will be able to run well if the community applies the characteristics of strengthening, caring, sharing, and belonging to each other in the concept of shared interests, as well as being a role in serving others. The community in the Acts of the Apostles or the early church became a community that lived in respect for others. The cell community in the Acts model becomes a role model for the church that will develop in church growth. AbstrakGereja sebagai tempat bersekutu orang-orang percaya memiliki tanggung jawab untuk menciptakan, memelihara dan mengembangkan hubungan koinonia yang dapat membawa pada pertumbuhan gereja. Melalui tulisan ini penulis dapat mendeskripsikan bahwa pentingnya komunitas sel dalam membawa dampak bagi nilai pesekutuan dan kekekuargaan yang erat sehingga dapat membawa pada pertumbuhan gereja. Menggunkan metode kualitatif deskriftif dapat disimpulkan bahwa komunitas sel mempakan suatu sistem yang harus dilaksanakan. Dimana kelompok ini akan dapat berjalan dengan baik, jika dalam komunitas tersebut menerapkan karakteristik menguatkan, memperhatikan, berbagi serta saling memiliki dalam konsep kepentingan bersama, juga menjadi role dalam melayani sesama. Komuntas dalamKisah Parah Rasul atau gereja mula-mula menjadi komunitas yang hidup dalam menghargai sesama. Komunitas sel dalam permodelan Kisah Para Rasul tersebut menjadi suatu role model bagi gereja yang akan berkembang dalam pertumbuhan gereja.
教会作为信徒团契的地方,有责任创造、维持和发展能使教会成长的共同关系。通过这篇文章,作者可以描述细胞团体在带来亲密的团契和亲属关系的价值方面的重要性,从而导致教会的成长。采用描述定性的方法,可以得出细胞群落是一个必须实施的系统。如果社区在共同利益的概念中运用彼此加强、关怀、分享和归属的特点,并在服务他人方面发挥作用,这个群体将能够很好地运作。《使徒行传》中的团体或早期教会变成了一个尊重他人的团体。使徒行传模式中的细胞团体成为教会成长的榜样。[摘要][中文]:[中文][中文]:[中文]:[中文]:[中文]:[中文]:[中文]:我是说,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿。孟根坎方法的定性分析与定性分析。Dimana kelompok ini akan dapat berjalan dengan baik, jika dalam komunitas tersebut menerapkan karakteristik menguatkan, member hatikan, berbagi serta saling memiliki dalam konsep kepentingan bersama, juga menjadi role dalam melayani sesama。这是我的梦想,这是我的梦想,这是我的梦想。我们的人民团结一致,我们的人民团结一致,我们的人民团结一致,我们的人民团结一致。
{"title":"Pentingnya Komunitas Sel dalam Pertumbuhan Gereja: Sebuah Permodelan dalam Kisah Para Rasul","authors":"Paulus Kunto Baskoro","doi":"10.52220/MAGNUM.V2I2.87","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/MAGNUM.V2I2.87","url":null,"abstract":"The church as a place of fellowship for believers has a responsibility to create, maintain and develop koinonia relationships that can lead to church growth. Through this paper, the author can describe the importance of the cell community in bringing about the value of close fellowship and kinship so that it can lead to church growth. Using the descriptive qualitative method, it can be concluded that the cell community is a system that must be implemented. Where this group will be able to run well if the community applies the characteristics of strengthening, caring, sharing, and belonging to each other in the concept of shared interests, as well as being a role in serving others. The community in the Acts of the Apostles or the early church became a community that lived in respect for others. The cell community in the Acts model becomes a role model for the church that will develop in church growth. AbstrakGereja sebagai tempat bersekutu orang-orang percaya memiliki tanggung jawab untuk menciptakan, memelihara dan mengembangkan hubungan koinonia yang dapat membawa pada pertumbuhan gereja. Melalui tulisan ini penulis dapat mendeskripsikan bahwa pentingnya komunitas sel dalam membawa dampak bagi nilai pesekutuan dan kekekuargaan yang erat sehingga dapat membawa pada pertumbuhan gereja. Menggunkan metode kualitatif deskriftif dapat disimpulkan bahwa komunitas sel mempakan suatu sistem yang harus dilaksanakan. Dimana kelompok ini akan dapat berjalan dengan baik, jika dalam komunitas tersebut menerapkan karakteristik menguatkan, memperhatikan, berbagi serta saling memiliki dalam konsep kepentingan bersama, juga menjadi role dalam melayani sesama. Komuntas dalamKisah Parah Rasul atau gereja mula-mula menjadi komunitas yang hidup dalam menghargai sesama. Komunitas sel dalam permodelan Kisah Para Rasul tersebut menjadi suatu role model bagi gereja yang akan berkembang dalam pertumbuhan gereja.","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"96 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122791844","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Apin Militia Christi, Ferdinand Edu, Jonathan Daniel Sumantri
Recruitment and selection is common things in the working field. But lately the existence of recruitment and selection has begun to enter into the church. Anyways church doing this thing with aim that the church gets quality servants. This can be ascertained because in the recruitment and selection process there must be pre-requirements or qualifications that must be met by the servants, and in this case the quality of service will definitely be tested. However, after the researcher saw one of the local churches in the Lippo Cikarang area, GBI Graha Bethany Lippo Cikarang, especially in the youth and youth category services, the researchers found that even though every servant in this place had to go through the recruitment and selection stages before serving, many of them could not committed to service. This is of course a problem. So that a question arises, can it be ascertained that someone who follows the recruitment and selection process has good service quality? The purpose of the researchers conducting this research was to determine the strategy for the recruitment and selection implementation and to compare empirically the service quality of volunteers at Teens and Youth GBI Graha Bethany Lippo Cikarang. The methodology used is a qualitative method with a descriptive and comparative research design. The interview informants in this study were ten people consisting of six servants who attended recruitment-selection, and four servants who did not participate in recruitment selection. Meanwhile, through the analysis of existing primary and secondary data, the researcher found four recruitment-selection implementation strategies, namely: (1) Making recruitment and selection an annual program; (2) Holding Ministry Expo; (3) Applying 3K program (Commitment, Character, and Skills) as the basis for Qualification to Serve; and (4) Implementing the Afferentive stage for selection participants who passed the recruitment and selection of servants. In an effort to compare the quality of service, researchers found that recruitment and selection did not have too much impact on the quality of service of a servant of God.AbstrakRekrutmen dan seleksi merupakan salah satu tahapan yang lazim dalam dunia pekerjaan sekuler. Namun belakangan ini keberadaan rekrutmen dan seleksi mulai masuk ke dalam dunia pelayanan gerejawi. Latar belakang dilaksanakannya tahapan rekrutmen dan seleksi dalam pelayanan adalah agar gereja mendapatkan para pelayan yang berkualitas. Hal ini dapat dipastikan karena dalam proses rekrutmen dan seleksi pasti trdapat pra-syarat atau kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para pelayan, dan dalam hal ini pasti kualitas pelayanan akan teruji. Namun, pemahaman itu tidak sesuai dengan fakta dilapangan. Peneliti menjumpai para pelayan teens dan youth di salah satu gereja di Lippo Cikarang, yakni GBI Graha Bethany tidak memiliki kualitas yang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tentunya menjadi satu permasalahan. Sehingga muncul suatu pertanya
招聘和选拔是职场中常见的事情。但最近招聘和选拔的存在已经开始进入教会。无论如何,教会做这件事的目的是教会得到高质量的仆人。这是可以确定的,因为在招聘和选择过程中,必须有预先要求或资格,必须由仆人满足,在这种情况下,服务质量肯定会受到考验。然而,研究人员在看到Lippo Cikarang地区的一个地方教会GBI Graha Bethany Lippo Cikarang,特别是在青少年和青少年类别的服务后,研究人员发现,即使这个地方的每个仆人都要经过招募和选拔阶段才能服务,但他们中的许多人无法承诺服务。这当然是个问题。那么问题来了,是否可以确定遵循招聘和选拔过程的人具有良好的服务质量?研究人员进行本研究的目的是确定招募和选拔实施的策略,并对Graha Bethany Lippo Cikarang青少年GBI志愿者的服务质量进行实证比较。研究方法采用定性方法,并结合描述性和比较性研究设计。本研究的访谈对象为10人,包括6名参加招聘选拔的仆人和4名未参加招聘选拔的仆人。同时,通过对现有一手和二手数据的分析,研究者发现了四种招聘选拔的实施策略,即:(1)将招聘选拔作为一项年度计划;(2)举办部级博览会;(3)运用3K项目(承诺、品格、技能)作为服务资格的依据;(4)对通过用人招聘和选拔的选拔参与者实行择优阶段。为了比较服务的质量,研究人员发现,招募和选择对上帝仆人的服务质量没有太大的影响。[摘要][摘要][摘要][摘要][footnoter.com] [footnoter.com] [footnoter.com]。那是我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国。在这里,我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是,在这里我想说的是。哈尔ini dapat dipastikan林嘉欣dalam散文rekrutmen丹seleksi pasti trdapat pra-syarat atau kualifikasi杨harus dipenuhi奥列格·杜宾纳(para pelayan丹dalam哈尔ini pasti kualitas pelayanan阿坎人teruji。Namun, pemahaman to tidak sesuai dengan fakta破旧不堪。Peneliti menjumpai para - ayan青少年和青年di salah satu gereja di Lippo Cikarang, yakni GBI Graha Bethany tidak memiliki kualitas yang sesuai dengan yang diharapkan。Hal ini tentunya menjadi satu permasalahan。西兴加市的水都是水,水都是水,水都是水,水都是水,水都是水,水都是水。Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pelaksanaan rekutmen and seleksi serdingingkan secara帝国kualitas pelayanan para志愿者di青少年和青年GBI Graha Bethany Lippo Cikarang。方法杨狄纳坎是一种具有质量特征的登高设计,并对其进行了比较。Informan wanancara dalam penelitian ini berjumlah sepuluh orang terdiri dari enam pelayan yang mengikuti rekuti -seleksi,但empat pelayan yang tidak mengikuti rekuti -seleksi。(1)新疆维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族维吾尔族;(2)孟嘎达坎省博览会;(3) Menerapkan 3K (Komitmen, Karakter, dan Keterampilan) sebagai dasar Kualifikasi untuk Melayani;(4) . (1) . (1) . (1) . (1) . (1) . (3)我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。
{"title":"Dampak Rekruitmen dan Seleksi Pelayan terhadap Kualitas Pelayanan Teens dan Youth GBI Graha Bethany Lippo Cikarang","authors":"Apin Militia Christi, Ferdinand Edu, Jonathan Daniel Sumantri","doi":"10.52220/MAGNUM.V2I2.84","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/MAGNUM.V2I2.84","url":null,"abstract":" Recruitment and selection is common things in the working field. But lately the existence of recruitment and selection has begun to enter into the church. Anyways church doing this thing with aim that the church gets quality servants. This can be ascertained because in the recruitment and selection process there must be pre-requirements or qualifications that must be met by the servants, and in this case the quality of service will definitely be tested. However, after the researcher saw one of the local churches in the Lippo Cikarang area, GBI Graha Bethany Lippo Cikarang, especially in the youth and youth category services, the researchers found that even though every servant in this place had to go through the recruitment and selection stages before serving, many of them could not committed to service. This is of course a problem. So that a question arises, can it be ascertained that someone who follows the recruitment and selection process has good service quality? The purpose of the researchers conducting this research was to determine the strategy for the recruitment and selection implementation and to compare empirically the service quality of volunteers at Teens and Youth GBI Graha Bethany Lippo Cikarang. The methodology used is a qualitative method with a descriptive and comparative research design. The interview informants in this study were ten people consisting of six servants who attended recruitment-selection, and four servants who did not participate in recruitment selection. Meanwhile, through the analysis of existing primary and secondary data, the researcher found four recruitment-selection implementation strategies, namely: (1) Making recruitment and selection an annual program; (2) Holding Ministry Expo; (3) Applying 3K program (Commitment, Character, and Skills) as the basis for Qualification to Serve; and (4) Implementing the Afferentive stage for selection participants who passed the recruitment and selection of servants. In an effort to compare the quality of service, researchers found that recruitment and selection did not have too much impact on the quality of service of a servant of God.AbstrakRekrutmen dan seleksi merupakan salah satu tahapan yang lazim dalam dunia pekerjaan sekuler. Namun belakangan ini keberadaan rekrutmen dan seleksi mulai masuk ke dalam dunia pelayanan gerejawi. Latar belakang dilaksanakannya tahapan rekrutmen dan seleksi dalam pelayanan adalah agar gereja mendapatkan para pelayan yang berkualitas. Hal ini dapat dipastikan karena dalam proses rekrutmen dan seleksi pasti trdapat pra-syarat atau kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para pelayan, dan dalam hal ini pasti kualitas pelayanan akan teruji. Namun, pemahaman itu tidak sesuai dengan fakta dilapangan. Peneliti menjumpai para pelayan teens dan youth di salah satu gereja di Lippo Cikarang, yakni GBI Graha Bethany tidak memiliki kualitas yang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tentunya menjadi satu permasalahan. Sehingga muncul suatu pertanya","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130919737","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The presupposition of God's Kingdom was initially eschatological in relation to the Kingdom of Israel. In the Gospels Jesus often uses the Metaphor of God's Kingdom in conveying His teachings. Jesus often reinterpreted the concept of the kingdom of God formed in the wrong Jewish tradition with hope for its geographical nature. On the contrary in the Church itself, especially the Pentecostal/charismatic school. Interpretations of this topic are often taught partially in certain parts and not as a whole. Not a few seminars are held that discuss the condition of the age to come which is only centered on the second coming of Christ but the discussion of the present is ignored. The emphasis tends to be more eschatological in the future but less responsible for daily life. Jesus' emphasis on the concept of the kingdom of God never replaced the present with a state of being far away in the future. In essence, the picture of the Kingdom of God taught by the Lord Jesus recorded by the Gospel is full of spiritual values and not talking about the visible. This study is a text analysis of Gospel texts to interpret what is said in the Gospel texts regarding the Kingdom of God.
{"title":"Memaknai Metafora Kerajaan Allah dalam Kehidupan Gereja: Antara Utopia atau Existensi","authors":"Fredy Simanjuntak, Fereddy Siagian","doi":"10.52220/MAGNUM.V2I2.93","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/MAGNUM.V2I2.93","url":null,"abstract":"The presupposition of God's Kingdom was initially eschatological in relation to the Kingdom of Israel. In the Gospels Jesus often uses the Metaphor of God's Kingdom in conveying His teachings. Jesus often reinterpreted the concept of the kingdom of God formed in the wrong Jewish tradition with hope for its geographical nature. On the contrary in the Church itself, especially the Pentecostal/charismatic school. Interpretations of this topic are often taught partially in certain parts and not as a whole. Not a few seminars are held that discuss the condition of the age to come which is only centered on the second coming of Christ but the discussion of the present is ignored. The emphasis tends to be more eschatological in the future but less responsible for daily life. Jesus' emphasis on the concept of the kingdom of God never replaced the present with a state of being far away in the future. In essence, the picture of the Kingdom of God taught by the Lord Jesus recorded by the Gospel is full of spiritual values and not talking about the visible. This study is a text analysis of Gospel texts to interpret what is said in the Gospel texts regarding the Kingdom of God.","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"70 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122542478","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini mengkaji hubungan antarumat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling menghormati dalam pengamalan ajaran agama serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Kerukunan umat beragama itu ditentukan oleh dua faktor yaitu prilaku umat beragama dan kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi kerukunan. Semua agama mengajarkan kerukunan beragama sehingga berfungsi sebagai faktor integratif. Penelitian ini bertujuan menampilkan potret sosiologis masyarakat Indonesia dalam menjalan kegiatan keagamaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan mengumpulan data-data melalui studi pustaka. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa relasi antar pemeluk agama di Indonesia selama ini sangat harmonis namun di era reformasi yang notabene mendukung kebebasan muncul berbagai ekspresi kebebasan dalam bentuk pikiran, ideologi politik, faham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-hak asasi. Urgensi terbukanya ruang dialog publik pemerintah dan tokoh lintas agama adalah keniscayaan untuk merawat kerukunan hidup antar umat beragama. Konflik yang terjadi antar-umat beragama tidak murni disebabkan oleh faktor agama, tetapi oleh faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan dengan agama. Simpulan dari penelitian ini adalah keragaman budaya, bahasa tidak menghalangi partisipasi gereja untuk mewujudkan masyarakat madani yang konsisten menjalankan prinsip demokratis serta menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat
{"title":"Gereja dalam Keragaman dan Keharmonisan: Studi Sosioteologis Merawat Kerukunan Hidup Beragama","authors":"Jefrie Walean","doi":"10.52220/MAGNUM.V2I2.83","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/MAGNUM.V2I2.83","url":null,"abstract":"Artikel ini mengkaji hubungan antarumat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling menghormati dalam pengamalan ajaran agama serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Kerukunan umat beragama itu ditentukan oleh dua faktor yaitu prilaku umat beragama dan kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi kerukunan. Semua agama mengajarkan kerukunan beragama sehingga berfungsi sebagai faktor integratif. Penelitian ini bertujuan menampilkan potret sosiologis masyarakat Indonesia dalam menjalan kegiatan keagamaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan mengumpulan data-data melalui studi pustaka. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa relasi antar pemeluk agama di Indonesia selama ini sangat harmonis namun di era reformasi yang notabene mendukung kebebasan muncul berbagai ekspresi kebebasan dalam bentuk pikiran, ideologi politik, faham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-hak asasi. Urgensi terbukanya ruang dialog publik pemerintah dan tokoh lintas agama adalah keniscayaan untuk merawat kerukunan hidup antar umat beragama. Konflik yang terjadi antar-umat beragama tidak murni disebabkan oleh faktor agama, tetapi oleh faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan dengan agama. Simpulan dari penelitian ini adalah keragaman budaya, bahasa tidak menghalangi partisipasi gereja untuk mewujudkan masyarakat madani yang konsisten menjalankan prinsip demokratis serta menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131341635","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Teologi hospitalitas mengajarkan bagaimana orang Kristen dapat mengasihi sesama dalam perbedaan. Kepemimpinan Kristiani sejatinya dapat mengakomodir keberagaman, tidak malah memelihara sikap diskriminatif. Kajian ini merupakan penelitian kualitatif yang berbasis pada penggunaan literatur dengan metode deskriptif dan analisis tematik. Hasil kajian menunjukkan sikap hospitalitas mereduksi sikap-sikap diskriminatif. Kesimpulannya, kepemimpinan gereja harus memiliki virtue hospitalitas.
{"title":"Hospitalitas sebagai Virtue Kepemimpinan Gereja","authors":"H. E. Siahaan, Alfinny Jelie Runtunuwu","doi":"10.52220/MAGNUM.V2I2.94","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/MAGNUM.V2I2.94","url":null,"abstract":"Teologi hospitalitas mengajarkan bagaimana orang Kristen dapat mengasihi sesama dalam perbedaan. Kepemimpinan Kristiani sejatinya dapat mengakomodir keberagaman, tidak malah memelihara sikap diskriminatif. Kajian ini merupakan penelitian kualitatif yang berbasis pada penggunaan literatur dengan metode deskriptif dan analisis tematik. Hasil kajian menunjukkan sikap hospitalitas mereduksi sikap-sikap diskriminatif. Kesimpulannya, kepemimpinan gereja harus memiliki virtue hospitalitas.","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128042085","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The period between the Old Testament and the New Testament is often referred to as the intertestamental period which is approximately 400 years apart, during which time no prophet appears to be the successor of God's voice. Ended by the prophet Malachi and the book of Chronicles the Bible does not give any record. This certainly raises so many questions as to what happened in that dark age, whether God really did not do anything among God's people, especially the Israelites, while at that time the Israelites had repeatedly experienced good colonization from Persian, Greek or Roman. By using descriptive methods and historical analysis, this discussion will provide an insight into God's faithfulness to His covenant to the people, and how the concept of salvation has not changed even though in the 400 years that God did not speak to His people. Understanding the consistency of the concept of salvation is a gift in intertestamental times will open a new understanding of the power of God in keeping the covenants and His Word.AbstractMasa antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru seringkali disebut dengan masa intertesta-men yang berjarak lebih kurang 400 tahun, di mana sepanjang masa tersebut tidak ada nabi yang muncul menjadi penerus suara dari Tuhan. Diakhiri oleh Nabi Maleakhi dan kitab Tawarikh maka Alkitab tidak memberikan catatan apa pun. Hal tersebut tentu memunculkan begitu banyak pertanyaan dengan apa yang terjadi dalam masa kegelapan tersebut, apakah memang Allah betul-betul tidak berbuat sesuatu apapun di tengah-tengah umat Tuhan, khususnya bangsa Israel, sementara pada masa tersebut bangsa Israel berkali-kali mengalami penjajahan baik dari Persia, Yunani ataupun Romawi. Dengan menggunakan metode deskriptif dan analisis historis, pemba-hasan ini akan memberikan pandangan tentang kesetiaan Allah dengan perjanjianNya kepada umat, serta bagaimana konsep keselamatan itu tidak mengalami pergeseran sekalipun dalam keadaan 400 tahun Tuhan tidak berbicara kepada umatNya. Memahami konsistensi konsep keselamatan adalah anugerah dalam masa intertestamental akan membukakan pemahaman baru tentang kekuatan Allah dalam memelihara perjanjian dan FirmanNya.
旧约和新约之间的这段时间通常被称为“新约间期”,间隔大约400年,在这段时间里,似乎没有先知是上帝声音的继承人。以先知玛拉基和历代志结束,圣经没有给出任何记录。这当然引发了很多问题,关于在那个黑暗时代发生了什么,上帝是否真的没有在上帝的子民中做任何事情,尤其是以色列人,而当时以色列人一再经历波斯,希腊或罗马的殖民统治。通过使用描述性的方法和历史分析,这个讨论将提供一个洞察神对他的百姓的约的信实,以及即使在400年里神没有对他的百姓说话,救恩的概念是如何没有改变的。理解救恩概念的一致性是跨约时代的恩赐,将开启对神在遵守圣约和他的话语方面的大能的新理解。【摘要】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】【中文译文】Diakhiri oleh Nabi Maleakhi dan kitab Tawarikh maka Alkitab tidak memberikan catatan apa pun。Hal tersebut tentu memunculkan begitu banyak pertanyaan dengan apa yang terjadi dalam masa kegelapan tersebut, apakah memang Allah betul-betul - begah -tengah umat Tuhan, khususnya bangsa Israel, sementara pada masa terseu bangsa Israel berkali-kali mengalami penjajahan baik dari Persia, Yunani ataupun Romawi。登干语语分析历史,登干语语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语分析历史,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语,登干语。我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是我的意思。
{"title":"Konsistensi Konsep Keselamatan adalah Anugerah dalam Masa Intertestamental","authors":"Agustin Soewitomo Putri","doi":"10.52220/MAGNUM.V2I1.69","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/MAGNUM.V2I1.69","url":null,"abstract":"The period between the Old Testament and the New Testament is often referred to as the intertestamental period which is approximately 400 years apart, during which time no prophet appears to be the successor of God's voice. Ended by the prophet Malachi and the book of Chronicles the Bible does not give any record. This certainly raises so many questions as to what happened in that dark age, whether God really did not do anything among God's people, especially the Israelites, while at that time the Israelites had repeatedly experienced good colonization from Persian, Greek or Roman. By using descriptive methods and historical analysis, this discussion will provide an insight into God's faithfulness to His covenant to the people, and how the concept of salvation has not changed even though in the 400 years that God did not speak to His people. Understanding the consistency of the concept of salvation is a gift in intertestamental times will open a new understanding of the power of God in keeping the covenants and His Word.AbstractMasa antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru seringkali disebut dengan masa intertesta-men yang berjarak lebih kurang 400 tahun, di mana sepanjang masa tersebut tidak ada nabi yang muncul menjadi penerus suara dari Tuhan. Diakhiri oleh Nabi Maleakhi dan kitab Tawarikh maka Alkitab tidak memberikan catatan apa pun. Hal tersebut tentu memunculkan begitu banyak pertanyaan dengan apa yang terjadi dalam masa kegelapan tersebut, apakah memang Allah betul-betul tidak berbuat sesuatu apapun di tengah-tengah umat Tuhan, khususnya bangsa Israel, sementara pada masa tersebut bangsa Israel berkali-kali mengalami penjajahan baik dari Persia, Yunani ataupun Romawi. Dengan menggunakan metode deskriptif dan analisis historis, pemba-hasan ini akan memberikan pandangan tentang kesetiaan Allah dengan perjanjianNya kepada umat, serta bagaimana konsep keselamatan itu tidak mengalami pergeseran sekalipun dalam keadaan 400 tahun Tuhan tidak berbicara kepada umatNya. Memahami konsistensi konsep keselamatan adalah anugerah dalam masa intertestamental akan membukakan pemahaman baru tentang kekuatan Allah dalam memelihara perjanjian dan FirmanNya.","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"7 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116909136","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Oneness Pentecostalism's theological position in the orthodoxy faith is arguable. Even though the general position has put the stream of pentecostal movement into heretical teaching, but their presence among mainstream denominations are common. Meaning, the oneness of people is mixed into the other denominations, and among local churches, they have treated just like the other denomination traditions. This article argues that Oneness is indeed a heretical sect. To support this thesis, the historical background for both the origin of the movement and the review of the current case of Joshua B. Tewuh and Bethel Church of Indonesia will be provided. This article's findings in the possible misinterpretation of W.H. Offiler position in Oneness will be described as important evidence between GBI and Bethel Temple traditions. The theological position of the Oneness, in addition, will be surveyed in detail to provide a framework of thought of its core doctrines. The survey will be focused on Christology position includes the similarity with other heretic teachings of modalism and Sebelius. In conclusion, this article will present the influence of historical and theological understanding of Oneness in pentecostal-affiliated Indonesian Churches.AbstrakPosisi teologis Oneness Pentecostalism dalam iman ortodoks menjadi perdebatan. Meskipun posisi umum ada yang menyatakan bahwa salah satu aliran pergerakan Pentakosta ini termasuk heretik (bidat), tapi kehadiran mereka di antara denominasi-denominasi arus utama tidak asing. Artinya, pengikut Oneness bercampur dengan denominasi lain, dan di antara gereja-gereja lokal mereka diperlakukan sebagai tradisi denominasi yang lain, seperti tidak ada bedanya. Artikel ini berargumen bahwa Oneness adalah sekte heretik. Untuk mendukung tesis ini, latar belakang sejarah dari asal pergerakan, dan kajian dari kasus terkini Joshua B. Tewuh dan Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) mengenai isu ini akan dibicarakan. Penemuan-penemuan tentang ke-mungkinan misinterpretasi dari posisi W. H. Offiler akan ditunjukkan sebagai bukti-bukti yang menghubung-kan tradisi-tradisi antara GBI dan Bethel Temple. Posisi teologis dari Oneness akan diselidiki secara menyeluruh untuk memperlihatkan kerangka pemikiran dari doktrin-doktrin inti yang dipercaya. Penelitian juga melingkupi kesamaan Oneness dengan pemikiran heretik yang lain: modalisme dan sabelianisme. Sebagai kesimpulan, artikel ini menunjukkan pengaruh dari sejarah dan pengertian teologis tentang Oneness kepada gereja-gereja di Indonesia yang ber-afiliasi dengan aliran Pentakosta.
五旬节派在正统信仰中的神学地位是有争议的。尽管一般的立场已经把五旬节派运动流归入异端教义,但他们的存在在主流教派中是常见的。意思是,人们的统一性被混合到其他教派中,在地方教会中,他们被当作其他教派的传统来对待。本文认为独一论确实是一个异端教派。为了支持这一论点,本文将提供该运动起源的历史背景,以及对Joshua B. Tewuh和印尼伯特利教会(Bethel Church of Indonesia)当前案例的回顾。本文的发现可能误解了W.H. Offiler在合一中的立场,将被描述为GBI和伯特利圣殿传统之间的重要证据。此外,合一的神学立场将被详细调查,以提供其核心教义的思想框架。调查将集中在基督论的立场,包括与其他异端教义的相似之处形态论和西贝利厄斯。最后,本文将呈现五旬节派印尼教会对合一的历史和神学理解的影响。【摘要】神一论的神学,五旬节派的神学,在神学上的神学,在神学上的神学,在神学上的神学。Meskipun posisi umum ada ada menyatakan bahwa salah satu aliran pergerakan Pentakosta ini termasuk heretik (bidat), tapi kehadiran mereka di antara denominasi-denominasi arus utama tidak asing。阿蒂尼亚,彭吉库特,合一bercampur dengan denominasi lain, dan di antara gereja-gereja local mereka diperlakukan sebagai tradisi denominasi yang lain, seperti tidak ada bedanya。Artikel ini berargon说,“合一”是指在这里。Untuk mendukung tesis ini, latar belakang sejarah dari asal pergerakan, dankajian dari kasus terkini Joshua B. Tewuh dan Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) menmenai isu ini akan dibicarakan。Penemuan-penemuan tentang - ke-mungkinan误解了dari posisi W. H. Offiler akan ditunjukkan sebagai bukti-bukti yang menghuung -kan tradisi-tradisi antara GBI dan Bethel Temple。我的意思是,我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思。Penelitian juga melingkupi kesamaan统一性dengan pemikiran hetik yang lain:形态主义与形态主义。印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚。
{"title":"Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus","authors":"Hanny Setiawan, Joseph Christ Santo","doi":"10.52220/MAGNUM.V2I1.68","DOIUrl":"https://doi.org/10.52220/MAGNUM.V2I1.68","url":null,"abstract":"Oneness Pentecostalism's theological position in the orthodoxy faith is arguable. Even though the general position has put the stream of pentecostal movement into heretical teaching, but their presence among mainstream denominations are common. Meaning, the oneness of people is mixed into the other denominations, and among local churches, they have treated just like the other denomination traditions. This article argues that Oneness is indeed a heretical sect. To support this thesis, the historical background for both the origin of the movement and the review of the current case of Joshua B. Tewuh and Bethel Church of Indonesia will be provided. This article's findings in the possible misinterpretation of W.H. Offiler position in Oneness will be described as important evidence between GBI and Bethel Temple traditions. The theological position of the Oneness, in addition, will be surveyed in detail to provide a framework of thought of its core doctrines. The survey will be focused on Christology position includes the similarity with other heretic teachings of modalism and Sebelius. In conclusion, this article will present the influence of historical and theological understanding of Oneness in pentecostal-affiliated Indonesian Churches.AbstrakPosisi teologis Oneness Pentecostalism dalam iman ortodoks menjadi perdebatan. Meskipun posisi umum ada yang menyatakan bahwa salah satu aliran pergerakan Pentakosta ini termasuk heretik (bidat), tapi kehadiran mereka di antara denominasi-denominasi arus utama tidak asing. Artinya, pengikut Oneness bercampur dengan denominasi lain, dan di antara gereja-gereja lokal mereka diperlakukan sebagai tradisi denominasi yang lain, seperti tidak ada bedanya. Artikel ini berargumen bahwa Oneness adalah sekte heretik. Untuk mendukung tesis ini, latar belakang sejarah dari asal pergerakan, dan kajian dari kasus terkini Joshua B. Tewuh dan Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) mengenai isu ini akan dibicarakan. Penemuan-penemuan tentang ke-mungkinan misinterpretasi dari posisi W. H. Offiler akan ditunjukkan sebagai bukti-bukti yang menghubung-kan tradisi-tradisi antara GBI dan Bethel Temple. Posisi teologis dari Oneness akan diselidiki secara menyeluruh untuk memperlihatkan kerangka pemikiran dari doktrin-doktrin inti yang dipercaya. Penelitian juga melingkupi kesamaan Oneness dengan pemikiran heretik yang lain: modalisme dan sabelianisme. Sebagai kesimpulan, artikel ini menunjukkan pengaruh dari sejarah dan pengertian teologis tentang Oneness kepada gereja-gereja di Indonesia yang ber-afiliasi dengan aliran Pentakosta.","PeriodicalId":233729,"journal":{"name":"MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen","volume":"51 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134539760","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}