B. Faisal, Siwi Widia Dara, St. Ika Noerwulan Fraja, Zubairi Zubairi
Parking organizers often do not want to replace lost vehicles as written on the ticket. Even though Article 102 of PP 79/2013 stipulates that the parking organizer must replace, but is not equipped with clear sanctions. The problem formulations of this research are the parking control system and the parking manager's responsibility for the parked vehicles loss. The research purpose are to analyze the parking control system and the parking manager's responsibility for the parked vehicles loss. This research is legal research with primary sources, secondary sources, and tertiary sources collected by the literature study method and analyzed by prescriptive methods. The parking control system aims to support the parking work system to make it more effective, efficient and safe. The existence of parking lots, provision of facilities, and security guarantees are a unified system. If there is a parked vehicle missing, the parking organizer must replace it as stipulated in Article 102 PP 79/2013, but the sanctions are not clearly regulated. The inclusion of writing in the parking location that contains a statement that is not responsible for loss is known as a standard clause that contradicts Article 18 of Law 8/1999, and can be sued civilly for illegal acts and defaults based on Article 1694, Article 1234, Article 1239, Article 1365 , 1366, and 1367 BW. So parking organizers must maintain security and replace losses.
{"title":"PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLA PARKIR ATAS KEHILANGAN KENDARAAN DI TEMPAT PARKIR","authors":"B. Faisal, Siwi Widia Dara, St. Ika Noerwulan Fraja, Zubairi Zubairi","doi":"10.21107/RI.V15I2.5142","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I2.5142","url":null,"abstract":"Parking organizers often do not want to replace lost vehicles as written on the ticket. Even though Article 102 of PP 79/2013 stipulates that the parking organizer must replace, but is not equipped with clear sanctions. The problem formulations of this research are the parking control system and the parking manager's responsibility for the parked vehicles loss. The research purpose are to analyze the parking control system and the parking manager's responsibility for the parked vehicles loss. This research is legal research with primary sources, secondary sources, and tertiary sources collected by the literature study method and analyzed by prescriptive methods. The parking control system aims to support the parking work system to make it more effective, efficient and safe. The existence of parking lots, provision of facilities, and security guarantees are a unified system. If there is a parked vehicle missing, the parking organizer must replace it as stipulated in Article 102 PP 79/2013, but the sanctions are not clearly regulated. The inclusion of writing in the parking location that contains a statement that is not responsible for loss is known as a standard clause that contradicts Article 18 of Law 8/1999, and can be sued civilly for illegal acts and defaults based on Article 1694, Article 1234, Article 1239, Article 1365 , 1366, and 1367 BW. So parking organizers must maintain security and replace losses.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45757831","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pembahasan dan pengkajian secara teoretis normatif mengenai pembaruan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana berkaitan dengan pembaruan dalam subsistem substansi dari hukum pidana, serta merupakan pembangunan dalam sistem hukum Indonesia yang berorientasi pada perlindungan terhadap masyarakat. Salah satu usaha rasional yang digunakan untuk menanggulangi aktivitas prostitusi online adalah dengan pendekatan kebijakan hukum pidana melalui formulasi sanksi pidana sebagai wujud konkret pertanggungjawaban pidana pada pelaku prostitusi online. Belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana kepada para pengguna jasa dalam kasus prostitusi online menyebabkan tidak maksimalnya penanggulangan prostitusi online itu sendiri. Apabila tidak ada pengaturan nasional yang mengatur tentang hal tersbut, maka para pengguna jasa prostitusi online akan merasa aman dan tetap leluasa membeli jasa untuk kepuasan mereka semata dan termasuk perempuan yang memberikan jasa layanan seks komersil (PSK), sementara hal tersebut bertentangan dengan berbagai aspek norma terutama norma kesusilaan dalam masyarakat sebagai salah satu pengejewantahan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu diperlukan pembaruan hukum pidana, berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana baik itu bagi para pengguna jasa prostitusi online maupun perempuan yang memberikan jasa layanan seks komersil (PSK). Dengan demikian, tulisan ini mengkaji mengenai aktualisasi nilai-nilai pancasila melalui reformulasi pertanggungjawaban pidana dalam kasus prostitusi online.
{"title":"AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA MELALUI REFORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS PROSTITUSI ONLINE","authors":"Deni Setya Bagus Yuherawan, Subaidah Ratna Juita","doi":"10.21107/RI.V15I2.9141","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I2.9141","url":null,"abstract":"Pembahasan dan pengkajian secara teoretis normatif mengenai pembaruan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana berkaitan dengan pembaruan dalam subsistem substansi dari hukum pidana, serta merupakan pembangunan dalam sistem hukum Indonesia yang berorientasi pada perlindungan terhadap masyarakat. Salah satu usaha rasional yang digunakan untuk menanggulangi aktivitas prostitusi online adalah dengan pendekatan kebijakan hukum pidana melalui formulasi sanksi pidana sebagai wujud konkret pertanggungjawaban pidana pada pelaku prostitusi online. Belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana kepada para pengguna jasa dalam kasus prostitusi online menyebabkan tidak maksimalnya penanggulangan prostitusi online itu sendiri. Apabila tidak ada pengaturan nasional yang mengatur tentang hal tersbut, maka para pengguna jasa prostitusi online akan merasa aman dan tetap leluasa membeli jasa untuk kepuasan mereka semata dan termasuk perempuan yang memberikan jasa layanan seks komersil (PSK), sementara hal tersebut bertentangan dengan berbagai aspek norma terutama norma kesusilaan dalam masyarakat sebagai salah satu pengejewantahan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu diperlukan pembaruan hukum pidana, berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana baik itu bagi para pengguna jasa prostitusi online maupun perempuan yang memberikan jasa layanan seks komersil (PSK). Dengan demikian, tulisan ini mengkaji mengenai aktualisasi nilai-nilai pancasila melalui reformulasi pertanggungjawaban pidana dalam kasus prostitusi online.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43100714","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Problems that often occur in practice of franchise agreements in Indonesia wich is often the franchise receiver and franchise giver in conducting cooperation agreements do not involve the role of a notary public in making the agreement so that the form of the agreement made is only an underhand agreement, it is very detrimental and creates risks if one party violates the agreement that has been agreed upon. The agreement made by both parties is no exception the franchise agreement which is made is only a limited agreement under the hand so that the protection of the rights of each party in the franchise agreement, especially the franchisee is not enough to protect the rights attached to him, because agreements made only under the hands of the strength of proof are not perfect, unlike agreements made authentically before a notary whose proof of strength is perfect. Therefore, in practice there are still many franchisees whose are harmed by the franchise agreement agreed upon with the franchisor. This research is normative using the statutory approach and the conceptual approach. The source of legal material in this study uses primary legal material sources supported by secondary legal materials and uses legal material collection techniques through library research, the analysis in this study uses content analysis and systematic interpretation. The results showed that legal protection in franchising activities (Franchise) is regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising. The form of this cooperation agreement is outlined in the form of a written agreement that contains several standard and additional clauses that have been discussed previously between the two parties. , this is what limits the franchisee by stating that after the termination of the agreement, the franchisee is limited to not doing business in a similar business to the previous franchise business that has been undertaken for a certain period. To protect the rights of the franchisee, the franchise agreement agreed upon must be in the form of a notary deed (authentic). It aims to ensure justice sbetween the parties and legal certainty of the contents of the franchise agreement more secure.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP FRANCHISEE YANG DI RUGIKAN OLEH FRANCHISOR DALAM PERJANJIAN WARALABA","authors":"DwiLinda Astutik","doi":"10.21107/RI.V15I2.7772","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I2.7772","url":null,"abstract":"Problems that often occur in practice of franchise agreements in Indonesia wich is often the franchise receiver and franchise giver in conducting cooperation agreements do not involve the role of a notary public in making the agreement so that the form of the agreement made is only an underhand agreement, it is very detrimental and creates risks if one party violates the agreement that has been agreed upon. The agreement made by both parties is no exception the franchise agreement which is made is only a limited agreement under the hand so that the protection of the rights of each party in the franchise agreement, especially the franchisee is not enough to protect the rights attached to him, because agreements made only under the hands of the strength of proof are not perfect, unlike agreements made authentically before a notary whose proof of strength is perfect. Therefore, in practice there are still many franchisees whose are harmed by the franchise agreement agreed upon with the franchisor. This research is normative using the statutory approach and the conceptual approach. The source of legal material in this study uses primary legal material sources supported by secondary legal materials and uses legal material collection techniques through library research, the analysis in this study uses content analysis and systematic interpretation. The results showed that legal protection in franchising activities (Franchise) is regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising. The form of this cooperation agreement is outlined in the form of a written agreement that contains several standard and additional clauses that have been discussed previously between the two parties. , this is what limits the franchisee by stating that after the termination of the agreement, the franchisee is limited to not doing business in a similar business to the previous franchise business that has been undertaken for a certain period. To protect the rights of the franchisee, the franchise agreement agreed upon must be in the form of a notary deed (authentic). It aims to ensure justice sbetween the parties and legal certainty of the contents of the franchise agreement more secure.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42046781","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
D. Rahayu, Susilah Ningwahyu, Nunuk Nuswardani, Boedi Mustiko
Migrasi dilakukan pekerja migran Indonesia (PMI) karena minimnya lapangan pekerja di desa dan upah yang rendah, sementara untuk jenis pekerjan yang sama di luar negeri mendapatkan upah yang lebih tinggi. Mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik menjadi alasan melakukan migrasi. Proses migrasi PMI tak pernah lepas dari permasalahan yang terjadi sejak proses pra penempatan, saat bekerja dan purna penempatan. Terdapat kasus hukuman mati PMI asal Bangkalan, yaitu Siti Zaenab dan Zainal Misli serta persoalan deportasi. Penulisan ini berfokus pada pelaksanaan perlindungan pekerja migran Indonesia di Kabupaten Bangkalan dan upaya yang di lakukan oleh pemerintah Kabupaten Bangkalan terhadap kasus-kasus yang menimpa pekerja migran. Metode penelitian yang digunakan adalah empiris dengan menggunakan pendekatan fakta dan kasus. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kemudian dijelaskan secara dekriptif. Pelaksanaan perlindungan pekerja migran Indonesia di Kabupaten Bangkalan terdapat 3 bentuk yaitu perlindungan sebelum bekerja dengan melakukan penyuluhan, selama bekerja dengan meakukan koordinasi dengan instansi terkait, dan sesudah bekerja dengan melakukan pelatihan kerja. Upaya yang dilakukan persoalan deportasi dengan mencegah PMI berangkat secara non procedural, terhadap kasus-kasus meninggal ditempat kerja dan hukuman mati dilakukan dengan berkoordinasi dengan LP3TKI Surabaya.
{"title":"MENAKAR PERAN DAN TANTANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERLINDUNGAN HUKUM PADA PEKERJA MIGRAN INDONESIA, SEBUAH STUDI DI KABUPATEN BANGKALAN MADURA","authors":"D. Rahayu, Susilah Ningwahyu, Nunuk Nuswardani, Boedi Mustiko","doi":"10.21107/RI.V15I2.8520","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I2.8520","url":null,"abstract":"Migrasi dilakukan pekerja migran Indonesia (PMI) karena minimnya lapangan pekerja di desa dan upah yang rendah, sementara untuk jenis pekerjan yang sama di luar negeri mendapatkan upah yang lebih tinggi. Mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik menjadi alasan melakukan migrasi. Proses migrasi PMI tak pernah lepas dari permasalahan yang terjadi sejak proses pra penempatan, saat bekerja dan purna penempatan. Terdapat kasus hukuman mati PMI asal Bangkalan, yaitu Siti Zaenab dan Zainal Misli serta persoalan deportasi. Penulisan ini berfokus pada pelaksanaan perlindungan pekerja migran Indonesia di Kabupaten Bangkalan dan upaya yang di lakukan oleh pemerintah Kabupaten Bangkalan terhadap kasus-kasus yang menimpa pekerja migran. Metode penelitian yang digunakan adalah empiris dengan menggunakan pendekatan fakta dan kasus. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kemudian dijelaskan secara dekriptif. Pelaksanaan perlindungan pekerja migran Indonesia di Kabupaten Bangkalan terdapat 3 bentuk yaitu perlindungan sebelum bekerja dengan melakukan penyuluhan, selama bekerja dengan meakukan koordinasi dengan instansi terkait, dan sesudah bekerja dengan melakukan pelatihan kerja. Upaya yang dilakukan persoalan deportasi dengan mencegah PMI berangkat secara non procedural, terhadap kasus-kasus meninggal ditempat kerja dan hukuman mati dilakukan dengan berkoordinasi dengan LP3TKI Surabaya.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46626979","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Instrumen hukum internasional telah mengatur ketentuan mengenai pertahanan yang terkait dengan permasalahan perang yang disebut dengan Hukum Humaniter Internasional. Indonesia sendiri telah berupaya menangani persoalan survival bangsa ini secara komprehensif. Upaya tersebut diimbangi dengan upaya membangun rasa kebangsaan, sistem sosial, politik dan ekonomi untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Dalam membangun national security, bangsa ini telah mengembangkan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), Wawasan Nusantara (Wanus) dan Ketahanan Nasional. Perlindungan hukum bagi penduduk sipil (Civilian) pada saat konflik bersenjata dalam instrumen hukum internasional diatur dalam ketentuan yang disebut Hukum Humaniter Internasional. Hukum humaniter tersebut dikodifikasi ke dalam : Pertama, Hukum Den Haag. Kedua, Hukum Jenewa. Perlindungan penduduk sipil diatur tersendiri dalam Konvensi IV Jenewa. Dan ketiga, Instrumen Hukum Internasional lainnya yakni ketentuan hukum humaniter diluar dari ketentuan Hukum Den Haag maupun Hukum Jenewa. Sedangkan, perlindungan hukum bagi penduduk sipil (Civilian) pada saat konflik bersenjata berdasarkan Sistem Pertahanan Negara di Indonesia mengacu kepada ketentuan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) secara umum. Hal tersebut terlihat pada pengaturan di dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945, maupun Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
{"title":"PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL PADA SAAT TERJADI KONFLIK BERSENJATA BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HUKUM PERTAHANAN INDONESIA","authors":"Herman Suryokumoro, Ikaningtyas Ikaningtyas","doi":"10.21107/RI.V15I2.8576","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I2.8576","url":null,"abstract":"Instrumen hukum internasional telah mengatur ketentuan mengenai pertahanan yang terkait dengan permasalahan perang yang disebut dengan Hukum Humaniter Internasional. Indonesia sendiri telah berupaya menangani persoalan survival bangsa ini secara komprehensif. Upaya tersebut diimbangi dengan upaya membangun rasa kebangsaan, sistem sosial, politik dan ekonomi untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Dalam membangun national security, bangsa ini telah mengembangkan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), Wawasan Nusantara (Wanus) dan Ketahanan Nasional. Perlindungan hukum bagi penduduk sipil (Civilian) pada saat konflik bersenjata dalam instrumen hukum internasional diatur dalam ketentuan yang disebut Hukum Humaniter Internasional. Hukum humaniter tersebut dikodifikasi ke dalam : Pertama, Hukum Den Haag. Kedua, Hukum Jenewa. Perlindungan penduduk sipil diatur tersendiri dalam Konvensi IV Jenewa. Dan ketiga, Instrumen Hukum Internasional lainnya yakni ketentuan hukum humaniter diluar dari ketentuan Hukum Den Haag maupun Hukum Jenewa. Sedangkan, perlindungan hukum bagi penduduk sipil (Civilian) pada saat konflik bersenjata berdasarkan Sistem Pertahanan Negara di Indonesia mengacu kepada ketentuan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) secara umum. Hal tersebut terlihat pada pengaturan di dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945, maupun Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46446938","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Prawitra Thalib, Faizal Kurniawan, Mohamad Nur Kholiq
The understanding of Islamic law can not be separated from the interpretation sourced from the Quran, Sunnah and Ijtihad, which later evolved into a flexible and dynamic source of Islamic law following the demands of the times. Although it has flexible and dynamic properties but the interpretation must still maintain the basic principles that remain will never change. This is very important because misunderstand the intent expressed in the Quran and Sunnah will affect the error of understanding the Islamic law itself, therefore it is important to realize that the effort of understanding is not separated from The true interpretation of the will of Allah and the Prophet Muhammad that is contained in the Quran and Sunnah. This paper seeks to introduce the foundation of the pursuits that come from the Quran, Sunnah and Ijtihad, which is done using the method of normative assessment of various references discussing the source of Islamic law. Therefore, it is expected to find the meeting point between the understanding of the Qur'an, Sunnah and Ijtihad with the effort to interpret the source of Islamic law aimed at realizing the benefit of the people.
{"title":"THE APPLICATION OF QURANIC INTERPRETATION, THE SUNNA AND IJTIHAD AS THE SOURCE OF ISLAMIC LAW","authors":"Prawitra Thalib, Faizal Kurniawan, Mohamad Nur Kholiq","doi":"10.21107/RI.V15I2.7261","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I2.7261","url":null,"abstract":"The understanding of Islamic law can not be separated from the interpretation sourced from the Quran, Sunnah and Ijtihad, which later evolved into a flexible and dynamic source of Islamic law following the demands of the times. Although it has flexible and dynamic properties but the interpretation must still maintain the basic principles that remain will never change. This is very important because misunderstand the intent expressed in the Quran and Sunnah will affect the error of understanding the Islamic law itself, therefore it is important to realize that the effort of understanding is not separated from The true interpretation of the will of Allah and the Prophet Muhammad that is contained in the Quran and Sunnah. This paper seeks to introduce the foundation of the pursuits that come from the Quran, Sunnah and Ijtihad, which is done using the method of normative assessment of various references discussing the source of Islamic law. Therefore, it is expected to find the meeting point between the understanding of the Qur'an, Sunnah and Ijtihad with the effort to interpret the source of Islamic law aimed at realizing the benefit of the people.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43140212","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ika Citra Dewi, Miranda Risang Ayu Palar, Muhammad Amirulloh
Artikel ini menganalisis tentang harmonisasi hukum terkait perlindungan logo sebagai suatu karya intelektual menurut hukum merek dan hak cipta dalam perspektif perbandingan dengan hukum di thailand. Banyaknya kesalahpahaman terhadap tumpang tindih terkait pengaturan logo dalam perspektif rezim hukum merek dan hak cipta di Indonesia dan Thailand sehingga diperlukan penelitian mendalam yang mengkaji bagaimana pengaturan logo dalam perspektif hukum merek dan hak cipta di negara Indonesia dan Thailand serta bagaimana pengaturan kasus logo “MIFFY” di Thailand dalam perspektif hukum di Indonesia sebagai salah satu representasi dari kasus logo/lukisan hak cipta yang dicatatkan atas dasar tiruan/jiplakan dari lukisan yang dilindungi dalam merek dagang. Dalam penelitian ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang didasarkan pada data pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Data yang akan diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif-kualitatif. Dari contoh kasus-kasus merek dalam penelitian ini, benang merah atas pengaturan perlindungan logo ditinjau dari hukum merek dan hak cipta di Indonesia dan Thailand adalah, dapat dilindungi oleh hukum hak merek dan hak cipta di masing-masing negara. Namun, masih memerlukan adanya harmonisasi pengaturan yang lebih jelas mengenai batasan makna logo dalam kedua rezim hukum tersebut.
{"title":"HARMONISASI PENGATURAN PERLINDUNGAN LOGO MENURUT HUKUM MEREK DAN HAK CIPTA DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN DI INDONESIA DAN THAILAND","authors":"Ika Citra Dewi, Miranda Risang Ayu Palar, Muhammad Amirulloh","doi":"10.21107/RI.V15I2.8257","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I2.8257","url":null,"abstract":"Artikel ini menganalisis tentang harmonisasi hukum terkait perlindungan logo sebagai suatu karya intelektual menurut hukum merek dan hak cipta dalam perspektif perbandingan dengan hukum di thailand. Banyaknya kesalahpahaman terhadap tumpang tindih terkait pengaturan logo dalam perspektif rezim hukum merek dan hak cipta di Indonesia dan Thailand sehingga diperlukan penelitian mendalam yang mengkaji bagaimana pengaturan logo dalam perspektif hukum merek dan hak cipta di negara Indonesia dan Thailand serta bagaimana pengaturan kasus logo “MIFFY” di Thailand dalam perspektif hukum di Indonesia sebagai salah satu representasi dari kasus logo/lukisan hak cipta yang dicatatkan atas dasar tiruan/jiplakan dari lukisan yang dilindungi dalam merek dagang. Dalam penelitian ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang didasarkan pada data pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Data yang akan diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif-kualitatif. Dari contoh kasus-kasus merek dalam penelitian ini, benang merah atas pengaturan perlindungan logo ditinjau dari hukum merek dan hak cipta di Indonesia dan Thailand adalah, dapat dilindungi oleh hukum hak merek dan hak cipta di masing-masing negara. Namun, masih memerlukan adanya harmonisasi pengaturan yang lebih jelas mengenai batasan makna logo dalam kedua rezim hukum tersebut.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46948985","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet dapat dioperasikan dengan menggunakan media elektronik seperti komputer. Teknologi juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemahaman mengenai kejahatan terutama terhadap aliran-aliran dalam kriminologi yang menitikberatkan pada factor manusia, baik secara lahir maupun psikologis. Salah satu kejahatan yang dilakukandengan meyalahgunakan kecanggihan teknologi elektronik dan komputer adalahkasus pencemaran nama baik melalui mediasosial. Kebebasan berpendapat di Indonesia dapat dilihat di Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28(1). Akan tetapi terdapat pula pembatasan agar tidak menjadi pencemaran nama baik.Pengaturan pembatasan tersebut terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terdapat pula beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana pencemaran nama baik. Selain yang diatur secara lex generalis dalam KUHP, terdapat juga yang diatur secara lex specialis dalam undang-undang di luar KUHP yaitu dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), dan UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
{"title":"TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-PERUNDANGAN","authors":"Wahyu Erfandy Kurnia Rachman, Muhammad Syarief Simatupang, Yessy Kurnia, Rela Putri","doi":"10.21107/RI.V15I1.6484","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I1.6484","url":null,"abstract":"Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet dapat dioperasikan dengan menggunakan media elektronik seperti komputer. Teknologi juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemahaman mengenai kejahatan terutama terhadap aliran-aliran dalam kriminologi yang menitikberatkan pada factor manusia, baik secara lahir maupun psikologis. Salah satu kejahatan yang dilakukandengan meyalahgunakan kecanggihan teknologi elektronik dan komputer adalahkasus pencemaran nama baik melalui mediasosial. Kebebasan berpendapat di Indonesia dapat dilihat di Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28(1). Akan tetapi terdapat pula pembatasan agar tidak menjadi pencemaran nama baik.Pengaturan pembatasan tersebut terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terdapat pula beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana pencemaran nama baik. Selain yang diatur secara lex generalis dalam KUHP, terdapat juga yang diatur secara lex specialis dalam undang-undang di luar KUHP yaitu dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), dan UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran (UU Penyiaran).","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-06-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49256831","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
W. Setiyawan, Erifendi Churniawan, Rudatyo Rudatyo
Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi telah memberikan kontribusi yang besar bagi pemenuhan kebutuhan manusia, salah satunya di bidang perdagangan online atau yang lebih sering disebut dengan e-commerce. E-commerce memberikan banyak kelebihan bagi masyarakat, salah satunya adalah masyarakat dapat melakukan transaksi tanpa harus bertemu. Kompleksnya aktivitas dalam e-commerce tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa e-commerce akan menimbulkan berbagai macam sengketa. Oleh sebab itu, diperlukanlah model penyelesaian sengketa yang cepat dan aman yang melindungi kepentingan para pihak.Penelitian ini termasuk penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce ini diperlukan suatu model penyelesaian sengketa yang cepat. Hal ini disebabkan apabila sengketa bisnis terlalu lama untuk dibiarkan maka akan menimbulkan menurunkan produktivitas serta menyebabkan terhambatnya kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Oleh sebab itu, gagasan untuk menggunakan sistem online dispute resolution (ODR) sebagai upaya penyelesaian sengketa yang cepat dan melindungi kepentingan para pihak yang bersengketa dalam transaksi e-commerce.
{"title":"ONLINE DISPUTE RESOLUTION SEBAGAI MODEL PERLINDUNGAN HUKUM PELAKU BISNIS","authors":"W. Setiyawan, Erifendi Churniawan, Rudatyo Rudatyo","doi":"10.21107/RI.V15I1.7703","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/RI.V15I1.7703","url":null,"abstract":"Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi telah memberikan kontribusi yang besar bagi pemenuhan kebutuhan manusia, salah satunya di bidang perdagangan online atau yang lebih sering disebut dengan e-commerce. E-commerce memberikan banyak kelebihan bagi masyarakat, salah satunya adalah masyarakat dapat melakukan transaksi tanpa harus bertemu. Kompleksnya aktivitas dalam e-commerce tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa e-commerce akan menimbulkan berbagai macam sengketa. Oleh sebab itu, diperlukanlah model penyelesaian sengketa yang cepat dan aman yang melindungi kepentingan para pihak.Penelitian ini termasuk penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce ini diperlukan suatu model penyelesaian sengketa yang cepat. Hal ini disebabkan apabila sengketa bisnis terlalu lama untuk dibiarkan maka akan menimbulkan menurunkan produktivitas serta menyebabkan terhambatnya kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Oleh sebab itu, gagasan untuk menggunakan sistem online dispute resolution (ODR) sebagai upaya penyelesaian sengketa yang cepat dan melindungi kepentingan para pihak yang bersengketa dalam transaksi e-commerce.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-06-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45607934","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Keanekaragaman harus menjadi kekayaan dan bukan hanya sekedar beda yang satu. Tulisan ini mencoba menjelaskan problem doktrin hukum formal Negara (Konstitusi) yang mengatur tentang hubungan antara Ras (Keturunan atau Etnik) yang ada di Indonesia. Hukum tentang pengaturan Ras (Keturunan atau Etnik) di Indonesia, tidak bisa dilihat dari perspektif baik dan buruk saja, tetapi hukum pengaturan Ras (Keturunan atau Etnik) di Indonesia harus dilihat dalam perspektif benar dan salah. Antara ketentuan satu dengan yang lainnya masih saling bertentangan yang menjadi penyebab problem konstitusional ketidakteraturan hukum yang mengatur jaminan hak dan kewajiban bagi WNI ras dan etnis China secara sejajar dengan WNI asli. Pembedaan WNI asli dan tidak asli menjadi bukti problem ketidakteraturan hukum yang menjustifikasi Rasisme di Indonesia. Hal ini mengakibatkan perbedaan perlakuan dari penyelenggara Negara terhadap WNI tidak asli dari ras dan etnis China dalam bidang sosial, budaya, agama, kependudukan dan keimigrasian.
{"title":"PROBLEM DOKTRIN RASISME ETNIS CHINA SEBAGAI WNI (STATUS KEWARGANEGARAAN ETNIS CHINA)","authors":"Sidik Sunaryo, S. Purnamawati","doi":"10.21107/ri.v15i1.7278","DOIUrl":"https://doi.org/10.21107/ri.v15i1.7278","url":null,"abstract":"Keanekaragaman harus menjadi kekayaan dan bukan hanya sekedar beda yang satu. Tulisan ini mencoba menjelaskan problem doktrin hukum formal Negara (Konstitusi) yang mengatur tentang hubungan antara Ras (Keturunan atau Etnik) yang ada di Indonesia. Hukum tentang pengaturan Ras (Keturunan atau Etnik) di Indonesia, tidak bisa dilihat dari perspektif baik dan buruk saja, tetapi hukum pengaturan Ras (Keturunan atau Etnik) di Indonesia harus dilihat dalam perspektif benar dan salah. Antara ketentuan satu dengan yang lainnya masih saling bertentangan yang menjadi penyebab problem konstitusional ketidakteraturan hukum yang mengatur jaminan hak dan kewajiban bagi WNI ras dan etnis China secara sejajar dengan WNI asli. Pembedaan WNI asli dan tidak asli menjadi bukti problem ketidakteraturan hukum yang menjustifikasi Rasisme di Indonesia. Hal ini mengakibatkan perbedaan perlakuan dari penyelenggara Negara terhadap WNI tidak asli dari ras dan etnis China dalam bidang sosial, budaya, agama, kependudukan dan keimigrasian.","PeriodicalId":31500,"journal":{"name":"RechtIdee","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-06-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42342802","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}