Pub Date : 2020-05-17DOI: 10.30598/belobelovol5issue2page1-20
Leonie Lokollo, Y. B. Salamor, Erwin Ubwarin
Abstrak Ganja merupakan jenis narkotika terlarang di Indonesia, hal ini diatur dalam Lampran I Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja merupakan narkotika Golongan I yang tidak bisa digunakan untuk keperluan medis. Bahkan ada beberapa orang yang menggunakan sebagai bahan medis untuk menangani penyakit mereka padahal belum legal di Indonesia. Penulisan ini memakai metode yuridis normatif dengan tujuan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Republik Indonesia maupun Dewan Perwakilan Rakyat tentang pentingnya ganja sebagai bahan medis. Pembahasan penulisan ini menemukan bahwa ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa ganja berkhasiat menjadi obat untuk para pasien dan terbukti sembuh contohnya penyakit Alzheimer, Kanker, HIV/AIDS, epilepsy, Parkinson disease, Hepatitis C dan glaukoma, bahkan di Kota Ambon, perna menggunakan ganja sebagai obat herbal untuk beberapa penyakit ganja sudah diakui khasiatnya dan legal dibeberapa Negara. Untuk itu ganja perlu dimasukan kedalam Narkotika Golongan II atau Golongan III supaya dapat digunakan sebagai bahan medis.
{"title":"Kebijakan Formulasi Undang-undang Narkotika Dalam Legalisasi Penggunaan Ganja Sebagai Bahan Pengobatan di Indonesia","authors":"Leonie Lokollo, Y. B. Salamor, Erwin Ubwarin","doi":"10.30598/belobelovol5issue2page1-20","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belobelovol5issue2page1-20","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Ganja merupakan jenis narkotika terlarang di Indonesia, hal ini diatur dalam Lampran I Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja merupakan narkotika Golongan I yang tidak bisa digunakan untuk keperluan medis. Bahkan ada beberapa orang yang menggunakan sebagai bahan medis untuk menangani penyakit mereka padahal belum legal di Indonesia. Penulisan ini memakai metode yuridis normatif dengan tujuan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Republik Indonesia maupun Dewan Perwakilan Rakyat tentang pentingnya ganja sebagai bahan medis. Pembahasan penulisan ini menemukan bahwa ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa ganja berkhasiat menjadi obat untuk para pasien dan terbukti sembuh contohnya penyakit Alzheimer, Kanker, HIV/AIDS, epilepsy, Parkinson disease, Hepatitis C dan glaukoma, bahkan di Kota Ambon, perna menggunakan ganja sebagai obat herbal untuk beberapa penyakit ganja sudah diakui khasiatnya dan legal dibeberapa Negara. Untuk itu ganja perlu dimasukan kedalam Narkotika Golongan II atau Golongan III supaya dapat digunakan sebagai bahan medis. \u0000 ","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49426665","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-25DOI: 10.30598/belovol5issue1page110-122
Patrick Corputty
Kampanye adalah suatu saluran atau program yang esensial dalam mendukung pesta pemilihan umum, kampanye adalah suatu cara untuk memperkenalkan diri serta memaparkan sebuah visi dan misi. Kampanye pada era modern telah merambah mengikuti kemajuan teknologi. Media sosial menjadi salah satu wujud perkembangan tersebut, sekarang banya calon wakil rakyat yang berkampanye melalui media sosial, kampanye yang dilakukan cendeung melampaui batasan-batasan yang telah ditentukan, batasan yang dimaksudkan ialah masa tenang, kampanye yang dilakukan melalui media sosial tidak lagi menghiraukan masa tenang, padahal Undang-Undang secara tegas telah menetapkan ketentuan pidana bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran termasuk melakukan kampanye pada masa tenang.
{"title":"MASA TENANG KAMPANYE POLITIK PADA MEDIA SOSIAL DAN KETENTUAN PEMIDANAANYA","authors":"Patrick Corputty","doi":"10.30598/belovol5issue1page110-122","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belovol5issue1page110-122","url":null,"abstract":"Kampanye adalah suatu saluran atau program yang esensial dalam mendukung pesta pemilihan umum, kampanye adalah suatu cara untuk memperkenalkan diri serta memaparkan sebuah visi dan misi. Kampanye pada era modern telah merambah mengikuti kemajuan teknologi. Media sosial menjadi salah satu wujud perkembangan tersebut, sekarang banya calon wakil rakyat yang berkampanye melalui media sosial, kampanye yang dilakukan cendeung melampaui batasan-batasan yang telah ditentukan, batasan yang dimaksudkan ialah masa tenang, kampanye yang dilakukan melalui media sosial tidak lagi menghiraukan masa tenang, padahal Undang-Undang secara tegas telah menetapkan ketentuan pidana bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran termasuk melakukan kampanye pada masa tenang.","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48195711","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-07DOI: 10.30598/belobelovol5issue1page101-109
Yonna Betrix Salamor
Cyberslacking atau biasa disebut cyberloafing merupakan salah satu perilaku menyimpang di tempat kerja yang menggunakan ‘status pegawainya’ untuk mengakses internet dan email selama jam kerja untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Di Indonesia, dengan semakin meningkatnya pengguna facebook yang salah satunya adalah pegawai negeri sipil membuat beberapa PNS di berbagai instansi di wilayah Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengutamakan facebook daripada tugas kerja. Penulisan ini menggunakan metode yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan ada 3 faktor yang menyebabkan perilaku cyberslacking oleh pegawai negeri sipil yang mengakses situs porno yaitu faktor inividu, factor organisasi dan factor situasional.
{"title":"ASPEK KRIMINOLOGIS CYBERSLACKING TERHADAP AKSES SITUS PORNO OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL Oleh","authors":"Yonna Betrix Salamor","doi":"10.30598/belobelovol5issue1page101-109","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belobelovol5issue1page101-109","url":null,"abstract":"Cyberslacking atau biasa disebut cyberloafing merupakan salah satu perilaku menyimpang di tempat kerja yang menggunakan ‘status pegawainya’ untuk mengakses internet dan email selama jam kerja untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Di Indonesia, dengan semakin meningkatnya pengguna facebook yang salah satunya adalah pegawai negeri sipil membuat beberapa PNS di berbagai instansi di wilayah Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengutamakan facebook daripada tugas kerja. Penulisan ini menggunakan metode yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan ada 3 faktor yang menyebabkan perilaku cyberslacking oleh pegawai negeri sipil yang mengakses situs porno yaitu faktor inividu, factor organisasi dan factor situasional.","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48179460","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-09-17DOI: 10.30598/belobelovol5issue1page86-100
Astuti Nur Fadillah
Perundungan adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti secara fisik, verbal, psikologis oleh seseorang terhadap seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya. Anak yang menjadi korban perundungan harus mendapat perlindungan hukum. Perlindungan anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah, orang tua, wali, masyarakat dan pihak sekolah memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan karakter dan menanamkan budi perkerti terhadap anak untuk mencegah terjadinya perundungan.
{"title":"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN AKSI PERUNDUNGAN","authors":"Astuti Nur Fadillah","doi":"10.30598/belobelovol5issue1page86-100","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belobelovol5issue1page86-100","url":null,"abstract":"Perundungan adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti secara fisik, verbal, psikologis oleh seseorang terhadap seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya. Anak yang menjadi korban perundungan harus mendapat perlindungan hukum. Perlindungan anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah, orang tua, wali, masyarakat dan pihak sekolah memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan karakter dan menanamkan budi perkerti terhadap anak untuk mencegah terjadinya perundungan.","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":"117 35","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41251414","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-09-05DOI: 10.30598/belovol5issue1page67-85
Denny Latumaerissa
Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan merupakan perbuatan yang dilarang dan memiliki konsekuensi yuridis apabila dilanggar yang tertuang didalam pasal 111 – 116 UU Narkotika, dan sanksi pidana minimum khusus didalam masing-masing pasal tersebut bervariasi yaitu 3-6 tahun. Pidana Minimum Khusus adalah sanksi pidana paling singkat yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa yang diatur oleh Undang-Undang khusus (Undang-Undang di luar KUHP).Dalam Putusan Pengadilan Nomor 111/ Pid.Sus/PN Sag, terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum. Dari segi kepastian hukum, penerapan sanksi pidana yang dijatuhkan hakim tidak sesuai dengan pidana minimum khusus yang diatur didalam rumusan pasal 116 ayat (1). Dari segi keadilan, penggunaan Narkotika Golongan I dalam hal ini ganja pada perkara ini tidak dilakukan untuk keuntungan diri si terdakwa, maupun untuk di edarkan tetapi untuk pengobatan istrinya (kepentingan kemanusiaan). Sehingga hakim putusan hakim adalah putusan yang progresif dengan menerobos pidana minimum khusus yang tertera pada pasal 116 ayat (1).
{"title":"Penerapan Sanksi Pidana Minimum Khusus Pada Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN Sag)","authors":"Denny Latumaerissa","doi":"10.30598/belovol5issue1page67-85","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belovol5issue1page67-85","url":null,"abstract":"Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan merupakan perbuatan yang dilarang dan memiliki konsekuensi yuridis apabila dilanggar yang tertuang didalam pasal 111 – 116 UU Narkotika, dan sanksi pidana minimum khusus didalam masing-masing pasal tersebut bervariasi yaitu 3-6 tahun. Pidana Minimum Khusus adalah sanksi pidana paling singkat yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa yang diatur oleh Undang-Undang khusus (Undang-Undang di luar KUHP).Dalam Putusan Pengadilan Nomor 111/ Pid.Sus/PN Sag, terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum. Dari segi kepastian hukum, penerapan sanksi pidana yang dijatuhkan hakim tidak sesuai dengan pidana minimum khusus yang diatur didalam rumusan pasal 116 ayat (1). Dari segi keadilan, penggunaan Narkotika Golongan I dalam hal ini ganja pada perkara ini tidak dilakukan untuk keuntungan diri si terdakwa, maupun untuk di edarkan tetapi untuk pengobatan istrinya (kepentingan kemanusiaan). Sehingga hakim putusan hakim adalah putusan yang progresif dengan menerobos pidana minimum khusus yang tertera pada pasal 116 ayat (1).","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44850092","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-09-03DOI: 10.30598/belovol5issue1page46-66
M. Y. Anakotta
Penagakan hukum adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggerakan sistem penegakan hukum. Terorisme sebagai kejahatan luar biasa ditanggulangi oleh Indonesia menggunakan berbagai pendekatan, baik soft approach maupun hard approach. Penggunaan pendekatan keras terlihat dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai leading sector pemberantasan terorisme di Indonesia. Dalam sistem penegakan hukum sendiri terdapat sub-sistem yang terdiri dari struktur, substansi dan kultur. Tulisan ini ingin mellihat bagaimana kemudian kebijakan sistem penegakan hukum terhadap penaggulangan tindak pidana terorisme melalui pendekatan intergral, dimana dengan menggunakan pendekatan integral tersebut maka seluruh komponen sub-sistem harus mengambil perannya masing-masing. Salah satu yang menjadi perhatian adalah peran Fakultas Hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menjadi tempat membangun kultur hukum itu sendiri. Kultur hukum yang dimaksud yaitu melalui peneilitian-penelitian yang menghasilkan kajian-kajian hukum terbaru dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme. Hasil penelitian itu kemudian dapat menjadi sumber atau bahan hukum yang dapat dipergunakan dalam proses penegakan hukum tindak pidana terorisme di Indonesia.
{"title":"KEBIJAKAN SISTEM PENEGAKAN HUKUMTERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISMEMELALUI PENDEKATAN INTEGRAL","authors":"M. Y. Anakotta","doi":"10.30598/belovol5issue1page46-66","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belovol5issue1page46-66","url":null,"abstract":"Penagakan hukum adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggerakan sistem penegakan hukum. Terorisme sebagai kejahatan luar biasa ditanggulangi oleh Indonesia menggunakan berbagai pendekatan, baik soft approach maupun hard approach. Penggunaan pendekatan keras terlihat dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai leading sector pemberantasan terorisme di Indonesia. Dalam sistem penegakan hukum sendiri terdapat sub-sistem yang terdiri dari struktur, substansi dan kultur. Tulisan ini ingin mellihat bagaimana kemudian kebijakan sistem penegakan hukum terhadap penaggulangan tindak pidana terorisme melalui pendekatan intergral, dimana dengan menggunakan pendekatan integral tersebut maka seluruh komponen sub-sistem harus mengambil perannya masing-masing. Salah satu yang menjadi perhatian adalah peran Fakultas Hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menjadi tempat membangun kultur hukum itu sendiri. Kultur hukum yang dimaksud yaitu melalui peneilitian-penelitian yang menghasilkan kajian-kajian hukum terbaru dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme. Hasil penelitian itu kemudian dapat menjadi sumber atau bahan hukum yang dapat dipergunakan dalam proses penegakan hukum tindak pidana terorisme di Indonesia.","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41834212","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-09-02DOI: 10.30598/belobelovol5issue1page32-45
A. Salamor
Hubungan tanpa ikatan pernikahan kadang mengahasilkan bayi yang tidak diinginkan, bayi akan hadir kedunia ini akhirnya dilakukan upaya abortus provocatus tentunya mempunyai dampak kesehatan maupun dampak hukum. Pelayanan kesehatan terhadap kasus abortus provocatus karena pemerkosaan harus dilakukan oleh tenaga professional yang mendapatkan izin dan wewenang dari instansi terkait sesuai dengan Undang-Undang Nomo 36 tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang berlaku. Selain itu aborsi yang dilakukan oleh korban pemerkosaan dapat dibenarkan sebab pada umumnya korban pemerkosaan rentan mengalami tekanan psikis yang akhirnya bisa membahayakan pada kondisi jiwanya.
{"title":"TINJAUAN YURIDIS PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP KORBAN ABORTUS PROVOCATUS KARENA PEMERKOSAAN","authors":"A. Salamor","doi":"10.30598/belobelovol5issue1page32-45","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belobelovol5issue1page32-45","url":null,"abstract":"Hubungan tanpa ikatan pernikahan kadang mengahasilkan bayi yang tidak diinginkan, bayi akan hadir kedunia ini akhirnya dilakukan upaya abortus provocatus tentunya mempunyai dampak kesehatan maupun dampak hukum. Pelayanan kesehatan terhadap kasus abortus provocatus karena pemerkosaan harus dilakukan oleh tenaga professional yang mendapatkan izin dan wewenang dari instansi terkait sesuai dengan Undang-Undang Nomo 36 tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang berlaku. Selain itu aborsi yang dilakukan oleh korban pemerkosaan dapat dibenarkan sebab pada umumnya korban pemerkosaan rentan mengalami tekanan psikis yang akhirnya bisa membahayakan pada kondisi jiwanya.","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46075882","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-09-02DOI: 10.30598/belovol5issue1page10-31
Fikry Latukau
Korupsi merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah pelik yang sulit untuk diberantas, hal ini tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata, melainkan juga terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan dan penegakkan hukum. salah satunya dalam penegakkan hukum tindak pidana korupsi yang hasil dari korupsinya dibawa ke luar negeri, pengembalian aset hasil korupsi ini sangat penting mengingat mengembalikan hasil dari korupsi adalah tujuan utama dalam meberantas tindak pidana korupsi tersebut. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, karena penulis tidak melakukan studi lapangan.
{"title":"PENGADOPSIAN UNCAC MENGENAI PENGEMBALIAN ASET HASIL KORUPSI YANG DIBAWA ATAU DISIMPAN KE LUAR NEGERI DALAM PENEGAKAN HUKUM INDONESIA","authors":"Fikry Latukau","doi":"10.30598/belovol5issue1page10-31","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belovol5issue1page10-31","url":null,"abstract":"Korupsi merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah pelik yang sulit untuk diberantas, hal ini tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata, melainkan juga terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan dan penegakkan hukum. salah satunya dalam penegakkan hukum tindak pidana korupsi yang hasil dari korupsinya dibawa ke luar negeri, pengembalian aset hasil korupsi ini sangat penting mengingat mengembalikan hasil dari korupsi adalah tujuan utama dalam meberantas tindak pidana korupsi tersebut. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, karena penulis tidak melakukan studi lapangan.","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49154220","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-09-01DOI: 10.30598/belovol5issue1page1-9
Jetty Martje Patty
ABSTRAK Pemilu adalah proses pergantian kekuasaan secara damai, salah satunya adalah memilih legislator. Pelarangan mantan terpidana untuk menjadi calon legislator menimbulkan polemik dengan gugatan ke Mahkamah Agung karena dikeluarkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Disatu sisi ada pendapat pelarangan melanggar hak asasi manusia, tidak sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan namun yang berpendapat bahwa hal ini dapat menimbulkan efek jera baik secara general preventie dan specialle preventive. Korupsi merusak bangsa untuk itu demi kepentingan bangsa, maka pelarangan terhadap mantan terpidana korupsi harus dilakukan. Menurut penulis Peraturan Komisi Pemilihan Umum harus juga dikeluarkan untuk calon Gubernur, Bupati dan Walikota namun pasti akan digugat ke Mahkamah Agung, untuk itu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 harus direvisi dan hakim Pegadilan Tindak Pidana Korupsi harus menjatuhkan pidana pencabutan hak menjadi pejabat Negara, legislator, dan kepala daerah minimal 10 tahun agar menimbulkan efek jera. Kata Kunci : Korupsi, Efek Jera, Narapidana
{"title":"jmp Pelarangan Mantan Terpidana Korupsi Menjadi Calon Kepala Daerah Agar Menimbulkan Efek Jera","authors":"Jetty Martje Patty","doi":"10.30598/belovol5issue1page1-9","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belovol5issue1page1-9","url":null,"abstract":"ABSTRAK \u0000Pemilu adalah proses pergantian kekuasaan secara damai, salah satunya adalah memilih legislator. Pelarangan mantan terpidana untuk menjadi calon legislator menimbulkan polemik dengan gugatan ke Mahkamah Agung karena dikeluarkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Disatu sisi ada pendapat pelarangan melanggar hak asasi manusia, tidak sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan namun yang berpendapat bahwa hal ini dapat menimbulkan efek jera baik secara general preventie dan specialle preventive. Korupsi merusak bangsa untuk itu demi kepentingan bangsa, maka pelarangan terhadap mantan terpidana korupsi harus dilakukan. Menurut penulis Peraturan Komisi Pemilihan Umum harus juga dikeluarkan untuk calon Gubernur, Bupati dan Walikota namun pasti akan digugat ke Mahkamah Agung, untuk itu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 harus direvisi dan hakim Pegadilan Tindak Pidana Korupsi harus menjatuhkan pidana pencabutan hak menjadi pejabat Negara, legislator, dan kepala daerah minimal 10 tahun agar menimbulkan efek jera. \u0000Kata Kunci : Korupsi, Efek Jera, Narapidana","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42381135","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-28DOI: 10.30598/belovol4issue2page145-157
J. A. S. Titahelu
Over the past few years these crimes have been growing more rapidly and disturbing the public. In the criminal acts of terrorism have become increasingly destructive form of crime with global scope. The Government has issued Government Regulation (decree) No. 1 of 2002 on Combating Criminal Acts of Terrorism. Then on April 4, 2003 decree that legalized as Law No. 15 Year 2003 on Eradication of Terrorism. But in reality proving criminal acts of terrorism is still a lot that is not in accordance with the existing rules, which means that there are many deviations that occur in the process of proving the criminal act of terrorism. Proving that in many criminal acts of terrorism against the rules of the higher law (Criminal Procedure Code) in comparison with the criminal act of terrorism law itself (Law No.15 of 2003). So that there are obstacles in proving the crime of terrorism is one of the Human Rights in value has been violating basic human
{"title":"Pelaksanaan Pembuktian Dalam Tindak Pidana Terorisme","authors":"J. A. S. Titahelu","doi":"10.30598/belovol4issue2page145-157","DOIUrl":"https://doi.org/10.30598/belovol4issue2page145-157","url":null,"abstract":"Over the past few years these crimes have been growing more rapidly and disturbing the public. In the criminal acts of terrorism have become increasingly destructive form of crime with global scope. The Government has issued Government Regulation (decree) No. 1 of 2002 on Combating Criminal Acts of Terrorism. Then on April 4, 2003 decree that legalized as Law No. 15 Year 2003 on Eradication of Terrorism. But in reality proving criminal acts of terrorism is still a lot that is not in accordance with the existing rules, which means that there are many deviations that occur in the process of proving the criminal act of terrorism. Proving that in many criminal acts of terrorism against the rules of the higher law (Criminal Procedure Code) in comparison with the criminal act of terrorism law itself (Law No.15 of 2003). So that there are obstacles in proving the crime of terrorism is one of the Human Rights in value has been violating basic human","PeriodicalId":34077,"journal":{"name":"Jurnal Belo","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46307818","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}