Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia terus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan ini dapat dibuktikan dari pengesahan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 terkait perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain oleh undang-undang tersebut, perkembangan sistem Peradilan Tata Usaha Negara juga dipengaruhi oleh UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Adapun salah satu perkembangan yang paling terlihat adalah adanya perluasan subjek dan objek dalam sengketa tata usaha negara. Pengertian Keputusan Administrasi Pemerintahan/Keputusan Tata Usaha Negara menurut UU No. 30 Tahun 2014 berbeda dengan pengertian menurut UU No. 5 Tahun 1986. Hal yang membedakan adalah dalam UU No. 5 Tahun 1986, keputusan harus bersifat konkrit, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata. Sementara, menurut UU No. 30 Tahun 2014 hal tersebut tidak disyaratkan. Dengan adanya perluasan ini, maka kewenangan PTUN dalam mengadili suatu KTUN semakin meluas. Salah satu contoh penerapan dari perluasan objek sengketa ini adalah dengan adanya Putusan PTUN No. 35/G/2019/PTUN.SRG yang mengabulkan gugatan 6 mahasiswa kepada Direktur PKN STAN atas objek sengketa berupa surat keputusan yang menyatakan bahwa 6 mahasiswa ini tidak lulus dalam ujian. Majelis Hakim dalam amar putusannya memutuskan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dengan pertimbangan bahwa Keputusan tersebut dibentuk tanpa memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu asas kecermatan dan asas penyelenggaraan tertib penyelenggaraan negara.
{"title":"Analysis of the Development of the State Administrative Court System (Case Study of Decision No. 35/G/2019/PTUN.SRG)","authors":"Tiara Bastari Putri, Nadhira Zahra Farida, Alfatesya Haifa, Santi Hapsari Dewi Adikancana","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.57727","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.57727","url":null,"abstract":"Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia terus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan ini dapat dibuktikan dari pengesahan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 terkait perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain oleh undang-undang tersebut, perkembangan sistem Peradilan Tata Usaha Negara juga dipengaruhi oleh UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Adapun salah satu perkembangan yang paling terlihat adalah adanya perluasan subjek dan objek dalam sengketa tata usaha negara. Pengertian Keputusan Administrasi Pemerintahan/Keputusan Tata Usaha Negara menurut UU No. 30 Tahun 2014 berbeda dengan pengertian menurut UU No. 5 Tahun 1986. Hal yang membedakan adalah dalam UU No. 5 Tahun 1986, keputusan harus bersifat konkrit, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata. Sementara, menurut UU No. 30 Tahun 2014 hal tersebut tidak disyaratkan. Dengan adanya perluasan ini, maka kewenangan PTUN dalam mengadili suatu KTUN semakin meluas. Salah satu contoh penerapan dari perluasan objek sengketa ini adalah dengan adanya Putusan PTUN No. 35/G/2019/PTUN.SRG yang mengabulkan gugatan 6 mahasiswa kepada Direktur PKN STAN atas objek sengketa berupa surat keputusan yang menyatakan bahwa 6 mahasiswa ini tidak lulus dalam ujian. Majelis Hakim dalam amar putusannya memutuskan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dengan pertimbangan bahwa Keputusan tersebut dibentuk tanpa memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu asas kecermatan dan asas penyelenggaraan tertib penyelenggaraan negara.","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"2021 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135400543","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tren investasi justru mengalami peningkatan saat kondisi ekonomi menurun akibat pandemi Covid-19. Kenaikan jumlah investor ritel secara signifikan ternyata tidak dibarengi dengan kemampuan analisis dan faktor psikologi yang memadahi, sehingga hal itu menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pelaku fenomena pompom saham untuk melakukan aksinya yaitu memberikan kepada para investor ritel agar membeli saham yang telah dipastikannya. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui regulasi pasar modal saat ini serta upaya untuk mencegah dan memberantas fenomena pompom saham yang semakin merebak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dengan menelaah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tidak diatur secara eksplisit keberadaan pompom saham, namun secara implisit fenomena pompom masuk ke dalam pengaturan pada Bab XI Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengatur mengenai bagaimana saham pasar, dan perdagangan orang dalam, yang secara spesifik diatur pada Pasa;90 ayat (3). Kemudian, diperlukan upaya untuk melakukan perubahan terhadap UUPM terkait dengan pengaturan sanksi pidana dan administratif melalui pendekatansistem double track sebagai penyesuaian dengan perkembangan zaman serta optimalisasi kelembagaan di pasar modal.
{"title":"Law Enforcement Procedure Against the Third Liner Stock Pompom Phenomenon as a Legal Protection Effort for Retail Investors","authors":"Luthfi Hafidz Rafsanjani, Maulana Ramaditya Bahri, Novita Renawati","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.55180","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.55180","url":null,"abstract":"Tren investasi justru mengalami peningkatan saat kondisi ekonomi menurun akibat pandemi Covid-19. Kenaikan jumlah investor ritel secara signifikan ternyata tidak dibarengi dengan kemampuan analisis dan faktor psikologi yang memadahi, sehingga hal itu menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pelaku fenomena pompom saham untuk melakukan aksinya yaitu memberikan kepada para investor ritel agar membeli saham yang telah dipastikannya. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui regulasi pasar modal saat ini serta upaya untuk mencegah dan memberantas fenomena pompom saham yang semakin merebak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dengan menelaah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tidak diatur secara eksplisit keberadaan pompom saham, namun secara implisit fenomena pompom masuk ke dalam pengaturan pada Bab XI Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengatur mengenai bagaimana saham pasar, dan perdagangan orang dalam, yang secara spesifik diatur pada Pasa;90 ayat (3). Kemudian, diperlukan upaya untuk melakukan perubahan terhadap UUPM terkait dengan pengaturan sanksi pidana dan administratif melalui pendekatansistem double track sebagai penyesuaian dengan perkembangan zaman serta optimalisasi kelembagaan di pasar modal.","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"38 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135401409","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-01DOI: 10.15294/ipmhi.v3i1.57547
Dilla Pyarrani, Tiara Puspita Sari, Wina Karlina
The condition of people who are experiencing difficulties in the economic field, credit with collateral is needed by community and is the right choice by the community in meeting their needs as an addition to business capital and to meet their daily needs. The purpose of this study to explain the phenomena that occur in debt-receivable agreements with pledged guarantees, the phenomenon that is the existence of customers who are in default. Customers also need to know the responsibilities of a creditor. Research approach with normative juridical analysis. The legal basis for a pawn agreement is regulated by Article 1150 of the Civil Code (Burgelijjk Weetboek). A pawn agreement arises by a legal relationship between debts that are guaranteed to be repaid with movable objects, so that the pawned goods are in the hands of the creditor. Regarding this matter, the creditor must maintain the collateral that was pawn by the debtor. While the debtor is obliged to pay debts to creditors. If one of the parties does not fulfil its obligations, then parties has failed to comply with the agreement. The results from the study show that the legal consequence of debtors who have defaulted are cancellation of agreements and risk transfer. While the responsibility carried out due to the negligence of the creditor on the pawned object is by same item, repair the object and etc in accordance with the negligence that occurred.
{"title":"Settlement of Default by the Debtor and Liability of the Creditor in the Pledge Agreement","authors":"Dilla Pyarrani, Tiara Puspita Sari, Wina Karlina","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.57547","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.57547","url":null,"abstract":"The condition of people who are experiencing difficulties in the economic field, credit with collateral is needed by community and is the right choice by the community in meeting their needs as an addition to business capital and to meet their daily needs. The purpose of this study to explain the phenomena that occur in debt-receivable agreements with pledged guarantees, the phenomenon that is the existence of customers who are in default. Customers also need to know the responsibilities of a creditor. Research approach with normative juridical analysis. The legal basis for a pawn agreement is regulated by Article 1150 of the Civil Code (Burgelijjk Weetboek). A pawn agreement arises by a legal relationship between debts that are guaranteed to be repaid with movable objects, so that the pawned goods are in the hands of the creditor. Regarding this matter, the creditor must maintain the collateral that was pawn by the debtor. While the debtor is obliged to pay debts to creditors. If one of the parties does not fulfil its obligations, then parties has failed to comply with the agreement. The results from the study show that the legal consequence of debtors who have defaulted are cancellation of agreements and risk transfer. While the responsibility carried out due to the negligence of the creditor on the pawned object is by same item, repair the object and etc in accordance with the negligence that occurred. 
","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"7 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135358652","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis praktik dan arah politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini maupun ke depan berdasarkan basis penanganan krisis iklim. Metode penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan dasar data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan: (1) politik hukum pembentukan undang-undang Indonesia saat ini pasca pengesahan Paris Agreement cenderung kontraproduktif dan tidak sejalan aksi serta mitigasi krisis iklim. (2) terdapat potensi kontraproduktif atas kesepakatan dalam Glasgow Climate Pact dengan disahkannya beberapa undang-undang terkait dan rancangan undang-undang ke depan. Sehingga perlu diimplementasikan secara lebih nyata paradigma, komitmen serta aksi nyata yang teringerasi dalam pembentukan undang-undang ke depan untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap krisis iklim secara berkelanjutan.
{"title":"Legal Politics Formation of Legislation Based on Climate Crisis Handling in Indonesia","authors":"Yustika Ardhany, Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.58944","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.58944","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis praktik dan arah politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini maupun ke depan berdasarkan basis penanganan krisis iklim. Metode penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan dasar data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan: (1) politik hukum pembentukan undang-undang Indonesia saat ini pasca pengesahan Paris Agreement cenderung kontraproduktif dan tidak sejalan aksi serta mitigasi krisis iklim. (2) terdapat potensi kontraproduktif atas kesepakatan dalam Glasgow Climate Pact dengan disahkannya beberapa undang-undang terkait dan rancangan undang-undang ke depan. Sehingga perlu diimplementasikan secara lebih nyata paradigma, komitmen serta aksi nyata yang teringerasi dalam pembentukan undang-undang ke depan untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap krisis iklim secara berkelanjutan.","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"54 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135401730","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-01DOI: 10.15294/ipmhi.v3i1.57893
Kurniawan Sutrisno Hadi
In the digital era, the payment system has experienced transformations. Currently, transferring money or payment can be conducted through online and online methods. A digital wallet offers a financial service through online methods. However, there is no designated law or act that regulates digital wallet services in Indonesia. Indonesia has regulated digital wallet services under the Bank Indonesian Regulation (central bank) and Financial Services Authority (OJK) Regulation. This study aims to examine and analyze the urgency for enacting digital wallet regulation in Indonesia and provide a precise regulation about digital wallets from South Korean regulations. This type of research is normative research using a statutory approach to examine the urgency of enacting digital wallet regulation in Indonesia and using a comparative approach to provide a precise regulation about digital wallets from the study of South Korean regulations. The results of this study indicate that regulation at the law or act level concerning digital wallets is needed. There are several elements that must be governed in the digital wallet regulation, such as general provision; consumer protection; registration and license; supervision; obligations and prohibitions; and penalty provisions.
{"title":"The Urgency for Enactment of Digital Wallet Regulation (Study Case on South Korea Regulation)","authors":"Kurniawan Sutrisno Hadi","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.57893","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.57893","url":null,"abstract":"In the digital era, the payment system has experienced transformations. Currently, transferring money or payment can be conducted through online and online methods. A digital wallet offers a financial service through online methods. However, there is no designated law or act that regulates digital wallet services in Indonesia. Indonesia has regulated digital wallet services under the Bank Indonesian Regulation (central bank) and Financial Services Authority (OJK) Regulation. This study aims to examine and analyze the urgency for enacting digital wallet regulation in Indonesia and provide a precise regulation about digital wallets from South Korean regulations. This type of research is normative research using a statutory approach to examine the urgency of enacting digital wallet regulation in Indonesia and using a comparative approach to provide a precise regulation about digital wallets from the study of South Korean regulations. The results of this study indicate that regulation at the law or act level concerning digital wallets is needed. There are several elements that must be governed in the digital wallet regulation, such as general provision; consumer protection; registration and license; supervision; obligations and prohibitions; and penalty provisions.","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"80 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135400050","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-01DOI: 10.15294/ipmhi.v3i1.58069
Abel Parvez, Reyhana Nabila Ismail, Sifa Alfyyah Asathin, Agus Saputra
Energi merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam kehidupan manusia. Salah satu kategori energi yang banyak digunakan adalah energi fosil, dimana energi tersebut telah mendominasi pemakaian energi negara Indonesia begitupula negara negara lain di dunia. Ketergantungan terhadap energi fosil ini terjadi dikarenakan biaya yang dikeluarkan murah dan proses pengelolaanya mudah. Terlepas energi fosil ini telah terbukti nyata tidak ramah lingkungan, tetapi energi tak terbarukan tetap kokoh eksistensinya dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Hal tersebut sejatinya telah bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan awalnya yaitu memerangi climate change yang mengakibatkan beragam permasalahan lingkungan. Berdasarkan problematika diatas, perlu diadakannya perbaikan ius constituendum yang ramah lingkungan selaras dengan hakikat dari konsep green legislation. Penelitian ini bertujuan untuk memahami problematika energi baru dalam RUU EBT dan mencari reformulasi yang tepat sesuai green legislation guna menghadapi climate change. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakselarasan antara landasan filosofis dari RUU EBT dengan materi muatannya diakibatkan atas orientasinya yang masih berkutat pada energi tak terbarukan termasuk dalam bentuk energi baru. Maka dari itu, perlu digagasnya suatu reformulasi terhadap rancangan undang-undang yang ramah lingkungan seperti konsep dalam green legislation.
{"title":"Reformulation Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan for Transition to Eco-Friendly Energy Based by Green Legislation","authors":"Abel Parvez, Reyhana Nabila Ismail, Sifa Alfyyah Asathin, Agus Saputra","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.58069","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.58069","url":null,"abstract":"Energi merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam kehidupan manusia. Salah satu kategori energi yang banyak digunakan adalah energi fosil, dimana energi tersebut telah mendominasi pemakaian energi negara Indonesia begitupula negara negara lain di dunia. Ketergantungan terhadap energi fosil ini terjadi dikarenakan biaya yang dikeluarkan murah dan proses pengelolaanya mudah. Terlepas energi fosil ini telah terbukti nyata tidak ramah lingkungan, tetapi energi tak terbarukan tetap kokoh eksistensinya dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Hal tersebut sejatinya telah bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan awalnya yaitu memerangi climate change yang mengakibatkan beragam permasalahan lingkungan. Berdasarkan problematika diatas, perlu diadakannya perbaikan ius constituendum yang ramah lingkungan selaras dengan hakikat dari konsep green legislation. Penelitian ini bertujuan untuk memahami problematika energi baru dalam RUU EBT dan mencari reformulasi yang tepat sesuai green legislation guna menghadapi climate change. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakselarasan antara landasan filosofis dari RUU EBT dengan materi muatannya diakibatkan atas orientasinya yang masih berkutat pada energi tak terbarukan termasuk dalam bentuk energi baru. Maka dari itu, perlu digagasnya suatu reformulasi terhadap rancangan undang-undang yang ramah lingkungan seperti konsep dalam green legislation.","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135401420","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-01DOI: 10.15294/ipmhi.v3i1.55123
Esther Evelyn Simamora, Alfin Junuudhizbulloh
ndonesia already has Law No. 18 of 2008 on Waste Management and its derivative regulations. However, the condition and need for waste management regulations continues to grow so the regulation is currently not in accordance with the development of waste management needs in Indonesia. In various Final Processing Sites (Tempat Pemrosesan Akhir), there has been some erosion due to being unable to accommodate existing garbage. The purpose of this research is to analyze the shortcomings of existing regulations and provide revised suggestions to the regulations. This research method uses normative research methods. The result of the analysis is that the regulation on waste management that currently exists is not comprehensive enough to regulate waste management. Waste management guidelines are technically submitted to the Regional Regulations causing uneven regulations and the implementation of these regulations is also inadequate. In Singapore, the waste management process is handled by the National Environment Agency and has the full support from the Government. The waste management process in Singapore is done by collecting waste with a special truck and then recycling and burning with an integrated system. Based on those problems, the laws and regulations related to waste management must be changed. In the preparation of the revision, Indonesia needs to learn from various other countries that already have a good system, such as Singapore. This is because the existing rules have not been able to regulate the entire waste management process. This rule needs to be prepared starting from the smallest scope, namely the scope of households, then from garbage carriers in the village scope, to the management at the Final Processing Site (TPA). The existence of regional autonomy to set their own waste management rules is not wrong. However, it is necessary to add compelling rules in the management that apply nationally.
{"title":"The Urgency of Regulations on Waste Management in Indonesia","authors":"Esther Evelyn Simamora, Alfin Junuudhizbulloh","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.55123","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.55123","url":null,"abstract":"ndonesia already has Law No. 18 of 2008 on Waste Management and its derivative regulations. However, the condition and need for waste management regulations continues to grow so the regulation is currently not in accordance with the development of waste management needs in Indonesia. In various Final Processing Sites (Tempat Pemrosesan Akhir), there has been some erosion due to being unable to accommodate existing garbage. The purpose of this research is to analyze the shortcomings of existing regulations and provide revised suggestions to the regulations. This research method uses normative research methods. The result of the analysis is that the regulation on waste management that currently exists is not comprehensive enough to regulate waste management. Waste management guidelines are technically submitted to the Regional Regulations causing uneven regulations and the implementation of these regulations is also inadequate. In Singapore, the waste management process is handled by the National Environment Agency and has the full support from the Government. The waste management process in Singapore is done by collecting waste with a special truck and then recycling and burning with an integrated system. Based on those problems, the laws and regulations related to waste management must be changed. In the preparation of the revision, Indonesia needs to learn from various other countries that already have a good system, such as Singapore. This is because the existing rules have not been able to regulate the entire waste management process. This rule needs to be prepared starting from the smallest scope, namely the scope of households, then from garbage carriers in the village scope, to the management at the Final Processing Site (TPA). The existence of regional autonomy to set their own waste management rules is not wrong. However, it is necessary to add compelling rules in the management that apply nationally.","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135401424","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-01DOI: 10.15294/ipmhi.v3i1.57713
Gazhy Diemas Prahadi, Muhammad Yazeed Rayhan, Rhino Nazi Ataturk, Santi Hapsari Dewi Adikencana
Pada awal tahun 2022 ini, muncul isu bahwa Ibukota Negara akan pindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan karena satu dan lain halnya. Ibukota Nusantara yang terletak di Kalimantan ini akan dipimpin oleh seorang Ketua Otorita. Perpindahan Ibukota Negara ini tentunya bukan semata-mata hanya untuk memindah pusatnya pembangunan agar tidak terjadi di Jakarta saja, namun tentunya karena banyak hal antara lain adanya ancaman seperti banjir, gempa, krisis air bersih dan lain-lain di Jakarta. Pindahnya Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan ini tentunya mendorong pemerintah harus membuat Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Nusantara. Di dalam Undang-Undang ini, ada salah satu Pasal yang mengatakan bahwa Ketua Otorita akan dipilih oleh Presiden, hal ini dianggap sebagai mencederai demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mengangkat Isu ini berharap agar para pembaca dapat mengetahui jelasnya tentang masalah ini dan juga untuk mengetahui hak-hak pembaca sebagai seorang Warga Negara Indonesia.
{"title":"Defects of Democracy In The Laws of The Capital of Nusantara","authors":"Gazhy Diemas Prahadi, Muhammad Yazeed Rayhan, Rhino Nazi Ataturk, Santi Hapsari Dewi Adikencana","doi":"10.15294/ipmhi.v3i1.57713","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/ipmhi.v3i1.57713","url":null,"abstract":"Pada awal tahun 2022 ini, muncul isu bahwa Ibukota Negara akan pindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan karena satu dan lain halnya. Ibukota Nusantara yang terletak di Kalimantan ini akan dipimpin oleh seorang Ketua Otorita. Perpindahan Ibukota Negara ini tentunya bukan semata-mata hanya untuk memindah pusatnya pembangunan agar tidak terjadi di Jakarta saja, namun tentunya karena banyak hal antara lain adanya ancaman seperti banjir, gempa, krisis air bersih dan lain-lain di Jakarta. Pindahnya Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan ini tentunya mendorong pemerintah harus membuat Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Nusantara. Di dalam Undang-Undang ini, ada salah satu Pasal yang mengatakan bahwa Ketua Otorita akan dipilih oleh Presiden, hal ini dianggap sebagai mencederai demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mengangkat Isu ini berharap agar para pembaca dapat mengetahui jelasnya tentang masalah ini dan juga untuk mengetahui hak-hak pembaca sebagai seorang Warga Negara Indonesia.","PeriodicalId":495918,"journal":{"name":"Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal","volume":"7 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135358660","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}