Ecumenism in the life of mature churches has become an important aspect and priority in efforts to strengthen the state of the church that is full of unity and respect for dogmatic diversity in the discourse of contemporary Christian theology. Local churches play an essential role in achieving the goal of a united church. This study examines the relationship between ecumenism and practical actions for local churches to build and maintain unity and diversity within church denominations. Using a descriptive qualitative method with a literature study approach, it can be concluded that the importance of collaboration between local churches is in deepening the experience of Christian faith amid the complexity of today's world. So, the critical role of local churches in strengthening unity and respecting diversity in the Christian community must be a top priority in building unity and diversity in Christian theology. Christianity needs to open a paradigm towards the study of ecumenism in a biblical perspective that brings Christianity to realize the role of the local church in building unity and of course the practical actions of local churches in synergy to build diversity. Abstrak Ekumenisme dalam kehidupan gereja-gereja dewasa telah menjadi aspek penting dan prioritas dalam upaya memperkuat keadaan gereja yang penuh dengan persatuan dan menghormati keberagaman dogmatis dalam wacana teologi Kristen kontemporer. Gereja lokal memang memainkan peran penting dalam mencapai tujuan yaitu keregaman yang dipersatukan, Penelitian ini mengkaji hubungan antara ekumenisme dan tindakan praktis bagi gereja-gereja lokal dalam mengupayakan untuk membangun dan memelihara persatuan dan keberagaman dalm denominasi gereja-gereja. Menggunakan metode kualitatif deskritif dengan pendekatan studi pustaka maka dapat disimpulkan bahwa pentingnya kolaborasi antar gereja local dalam memperdalam pengalaman iman Kristen di tengah kompleksitas dunia saat ini. Sehingga peran penting gereja lokal dalam memperkuat persatuan dan menghormati keberagaman dalam komunitas Kristen harus menjadi prioritas utama membangun kesatuan dan keragaman dalam teologis Kristen. Di mana kekristenan perlu membuka paradigma terhadap kajian ekumenisme dalam perspektif Alkitabiah yang hal itu membawa kekristenan mewujudkan peran gereja lokal dalam membangun kesatuandan tentunya adanya tindakan praktik gereja lokal bersenergi membangun keragaman.
{"title":"Ekumenisme dan Praksis Gereja Lokal: Memperkuat Kesatuan dan Keragaman dalam Bingkai Teologi Kristen","authors":"Hamonangan Sidabutar","doi":"10.47131/jtb.v6i2.126","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v6i2.126","url":null,"abstract":"Ecumenism in the life of mature churches has become an important aspect and priority in efforts to strengthen the state of the church that is full of unity and respect for dogmatic diversity in the discourse of contemporary Christian theology. Local churches play an essential role in achieving the goal of a united church. This study examines the relationship between ecumenism and practical actions for local churches to build and maintain unity and diversity within church denominations. Using a descriptive qualitative method with a literature study approach, it can be concluded that the importance of collaboration between local churches is in deepening the experience of Christian faith amid the complexity of today's world. So, the critical role of local churches in strengthening unity and respecting diversity in the Christian community must be a top priority in building unity and diversity in Christian theology. Christianity needs to open a paradigm towards the study of ecumenism in a biblical perspective that brings Christianity to realize the role of the local church in building unity and of course the practical actions of local churches in synergy to build diversity. \u0000 \u0000 \u0000Abstrak \u0000Ekumenisme dalam kehidupan gereja-gereja dewasa telah menjadi aspek penting dan prioritas dalam upaya memperkuat keadaan gereja yang penuh dengan persatuan dan menghormati keberagaman dogmatis dalam wacana teologi Kristen kontemporer. Gereja lokal memang memainkan peran penting dalam mencapai tujuan yaitu keregaman yang dipersatukan, Penelitian ini mengkaji hubungan antara ekumenisme dan tindakan praktis bagi gereja-gereja lokal dalam mengupayakan untuk membangun dan memelihara persatuan dan keberagaman dalm denominasi gereja-gereja. Menggunakan metode kualitatif deskritif dengan pendekatan studi pustaka maka dapat disimpulkan bahwa pentingnya kolaborasi antar gereja local dalam memperdalam pengalaman iman Kristen di tengah kompleksitas dunia saat ini. Sehingga peran penting gereja lokal dalam memperkuat persatuan dan menghormati keberagaman dalam komunitas Kristen harus menjadi prioritas utama membangun kesatuan dan keragaman dalam teologis Kristen. Di mana kekristenan perlu membuka paradigma terhadap kajian ekumenisme dalam perspektif Alkitabiah yang hal itu membawa kekristenan mewujudkan peran gereja lokal dalam membangun kesatuandan tentunya adanya tindakan praktik gereja lokal bersenergi membangun keragaman.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"30 7","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140267563","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The research in this article study explores the efforts of churches and Christianity to integrate Christian values in the learning process as a holistic approach to reduce radicalism. Utilizing a holistic approach, the church not only focuses on aspects of religious doctrine but also considers character development and good values and morals. A deep understanding of Christian values and morality by knowing the nature of Christian values so that there is a role for learning as an integration of teachings to be applied by the church in facing its challenges, namely radicalism. Using a qualitative research method with a literature study approach, it can be concluded that the church has implemented the value of Christianity in the context of reducing violent attitudes. Must be aligned with a holistic approach in Christian education. Christian education effectively forms a deeper understanding of Christian values, strengthens self-identity as a person who loves God and others, and reduces the potential for radicalism in the community. Abstrak Penelitian dalam kajian artiel ini mengeksplorasi upaya gereja dan kekristenan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Kristen dalam proses pembelajaran sebagai pendekatan holistik untuk mereduksi radikalisme. Dengan memanfaatkan pendekatan holistik, gereja tidak hanya fokus pada aspek doktrin agama, tetapi juga mempertimbangkan pengembangan karakter dan nilai serta moral yang baik. Pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai dan moralitas Kristen dengan mengetahui Hakikat Nilai-nilai kekristenan, sehingga adanya peran Pembelajaran sebagai Integrasi Ajaran untuk diterapkan gereja dalam menghadapi tantangannya yaitu radikalisme. Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi literature maka dapat disimpulkana bahwa nilai kekristenan yang telah diimplementasikan oleh gereja dalam konteks mereduksi sikap kekerasan. Harus selaras dengan pendekatan holistik dalam pendidikan Kristen. Dimana pendidikan Kristen efektif dalam membentuk pemahaman yang lebih dalam terhadap nilai-nilai Kristen, sehingga dapat memperkuat identitas diri sebagai seorang yang mengasihi Tuhan dan sesama, serta mengurangi potensi radikalisme di kalangan masyarakat.
{"title":"Mengintegrasikan Nilai-Nilai Kristen dalam Proses Pembelajaran: Upaya Gereja dalam Pendekatan Holistik Mereduksi Radikalisme","authors":"Elintaria Pasaribu","doi":"10.47131/jtb.v6i2.129","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v6i2.129","url":null,"abstract":"The research in this article study explores the efforts of churches and Christianity to integrate Christian values in the learning process as a holistic approach to reduce radicalism. Utilizing a holistic approach, the church not only focuses on aspects of religious doctrine but also considers character development and good values and morals. A deep understanding of Christian values and morality by knowing the nature of Christian values so that there is a role for learning as an integration of teachings to be applied by the church in facing its challenges, namely radicalism. Using a qualitative research method with a literature study approach, it can be concluded that the church has implemented the value of Christianity in the context of reducing violent attitudes. Must be aligned with a holistic approach in Christian education. Christian education effectively forms a deeper understanding of Christian values, strengthens self-identity as a person who loves God and others, and reduces the potential for radicalism in the community. \u0000 \u0000 \u0000Abstrak \u0000Penelitian dalam kajian artiel ini mengeksplorasi upaya gereja dan kekristenan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Kristen dalam proses pembelajaran sebagai pendekatan holistik untuk mereduksi radikalisme. Dengan memanfaatkan pendekatan holistik, gereja tidak hanya fokus pada aspek doktrin agama, tetapi juga mempertimbangkan pengembangan karakter dan nilai serta moral yang baik. Pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai dan moralitas Kristen dengan mengetahui Hakikat Nilai-nilai kekristenan, sehingga adanya peran Pembelajaran sebagai Integrasi Ajaran untuk diterapkan gereja dalam menghadapi tantangannya yaitu radikalisme. Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi literature maka dapat disimpulkana bahwa nilai kekristenan yang telah diimplementasikan oleh gereja dalam konteks mereduksi sikap kekerasan. Harus selaras dengan pendekatan holistik dalam pendidikan Kristen. Dimana pendidikan Kristen efektif dalam membentuk pemahaman yang lebih dalam terhadap nilai-nilai Kristen, sehingga dapat memperkuat identitas diri sebagai seorang yang mengasihi Tuhan dan sesama, serta mengurangi potensi radikalisme di kalangan masyarakat.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"13 10","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140267912","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Generasi Alpha adalah kelompok demografi yang mengikuti generasi Z, generasi yang (lahir 2010-seterusnya) tumbuh besar dalam dunia serba digital dan menghadapi tantangan besar dalam pembentukan karakter. Fenomena kecanduan gadget dan kurangnya interaksi sosial pada anak menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya perkembangan emosi dan spiritual mereka. Agama dan perkembangan teknologi digital memiliki peran penting dalam membentuk karakter Generasi Alpha. Era digital membawa dampak signifikan terhadap cara Generasi Alpha memahami nilai, etika, dan interaksi sosial. Agama, sebagai filter moral dan etika, turut memengaruhi pembentukan karakter generasi ini. Tulisan ini bertujuan menguraikan peran agama dalam dalam membentuk karakter anak generasi alpha untuk mengendalikan kecanduan digital dan menguatkan kecerdasan sosial-emosi mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan literature review. Dimana peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi mengenai pembentukan karakter di era postdigital pada anak usia dini yang bersumber dari berbagai jurnal penelitian baik nasional maupun internasional, majalah, berbagai buku penunjang maupun surat kabar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendidikan agama berperan penting membentuk karakter anak generasi digital melalui penanaman nilai empati, kepedulian, dan tanggung jawab sebagai filter digital yang bijak, cerdas, dan beretika.
{"title":"Agama dan Pembentukan Karakter Generasi Alfa di Era Postdigital","authors":"Siskawaty Sakoan","doi":"10.47131/jtb.v6i2.201","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v6i2.201","url":null,"abstract":"Generasi Alpha adalah kelompok demografi yang mengikuti generasi Z, generasi yang (lahir 2010-seterusnya) tumbuh besar dalam dunia serba digital dan menghadapi tantangan besar dalam pembentukan karakter. Fenomena kecanduan gadget dan kurangnya interaksi sosial pada anak menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya perkembangan emosi dan spiritual mereka. Agama dan perkembangan teknologi digital memiliki peran penting dalam membentuk karakter Generasi Alpha. Era digital membawa dampak signifikan terhadap cara Generasi Alpha memahami nilai, etika, dan interaksi sosial. Agama, sebagai filter moral dan etika, turut memengaruhi pembentukan karakter generasi ini. Tulisan ini bertujuan menguraikan peran agama dalam dalam membentuk karakter anak generasi alpha untuk mengendalikan kecanduan digital dan menguatkan kecerdasan sosial-emosi mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan literature review. Dimana peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi mengenai pembentukan karakter di era postdigital pada anak usia dini yang bersumber dari berbagai jurnal penelitian baik nasional maupun internasional, majalah, berbagai buku penunjang maupun surat kabar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendidikan agama berperan penting membentuk karakter anak generasi digital melalui penanaman nilai empati, kepedulian, dan tanggung jawab sebagai filter digital yang bijak, cerdas, dan beretika.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"54 4","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140267377","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan menguraikan strategi-strategi yang tepat dan relavan serta mengikuti kaidah-kaidah yang tepat dalam membangun integritas dari guru agama Kristen sebagai pengajar dan pewarta Kerajaan Allah. Penelitian ini berawal dari fenomena terjadinya erosi integritas guru dalam tugas profesi. Jadi, masalah utama penelitian adalah tentang kemerosotan integritas guru agama Kristen dalam melakukan pekerjaan. Penelitian menggunakan data-data literatur dan data lapangan. Penelitian ini adalah kualitatif-fenomenologi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan model semiterstruktur kepada informan-informan penelitian yang sudah ditentukan. Mereka adalah orang-orang yang dianggap paling paham dan memiliki banyak informasi seputar integritas guru. Kesimpulan penelitian bahwa guru agama Kristen harus konsisten mengembangkan integritas diri dan berkelanjutan. Peningkatan self-integrity dapat dilakukan dengan lima strategi, yaitu: (1) memahami urgensi dan kepentingan membangun integritas diri guru agama Kristen, (2) mengikuti dan menetapkan kaidah-kaidah dalam membangun integritas diri, (3) memiliki modal pokok atau kemampuan dalam membangun integritas diri, dan (4) meningkatkan pengetahuan hard skill dan soft skill secara kontinyu sehingga ahli dalam kompetensi keilmuannya. Selanjutnya, (5) perlu membangun jejaring dengan orang-orang yang seprofesi.
{"title":"Strategi Membangun Integritas Guru Pendidikan Agama Kristen: Sebuah Studi Persepsi Dosen STT Bethel Indonesia, Jakarta","authors":"Jannes Eduard Sirait","doi":"10.47131/jtb.v6i2.199","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v6i2.199","url":null,"abstract":"Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan menguraikan strategi-strategi yang tepat dan relavan serta mengikuti kaidah-kaidah yang tepat dalam membangun integritas dari guru agama Kristen sebagai pengajar dan pewarta Kerajaan Allah. Penelitian ini berawal dari fenomena terjadinya erosi integritas guru dalam tugas profesi. Jadi, masalah utama penelitian adalah tentang kemerosotan integritas guru agama Kristen dalam melakukan pekerjaan. Penelitian menggunakan data-data literatur dan data lapangan. Penelitian ini adalah kualitatif-fenomenologi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan model semiterstruktur kepada informan-informan penelitian yang sudah ditentukan. Mereka adalah orang-orang yang dianggap paling paham dan memiliki banyak informasi seputar integritas guru. Kesimpulan penelitian bahwa guru agama Kristen harus konsisten mengembangkan integritas diri dan berkelanjutan. Peningkatan self-integrity dapat dilakukan dengan lima strategi, yaitu: (1) memahami urgensi dan kepentingan membangun integritas diri guru agama Kristen, (2) mengikuti dan menetapkan kaidah-kaidah dalam membangun integritas diri, (3) memiliki modal pokok atau kemampuan dalam membangun integritas diri, dan (4) meningkatkan pengetahuan hard skill dan soft skill secara kontinyu sehingga ahli dalam kompetensi keilmuannya. Selanjutnya, (5) perlu membangun jejaring dengan orang-orang yang seprofesi.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"50 5","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140267521","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Wignyo Tanto, Erastus Sabdono, Albertus Daniel, William Takain, Stephanie Erastus
Pemuda yang bereksistensi dan memaknai relasinya secara horizontal, sangat perlu memahami makna dari relasinya, tentu dalam persahabatannya. Permasalahan mendasarnya adalah pemuda lebih memprioritaskan resiprositas di dalam relasi persahabatannya, ketimbang nilai “Kebaikan”. Persahabatan dalam pandangan Platon dapat diibaratkan sebagai suatu segitiga, di mana tingkat resiprositas antar pelaku memiliki sifat yang relatif, bukan yang utama. Untuk mengetahui permasalah yang samar-samar, peneliti menggunakan Metode Gap dan pendekatan studi kepustakaan. Hasil dari pembahasan ini, pemuda Kristen yang memaknai eksistensinya dalam berelasi, ia tidak terbelenggu dalam relasi horizontal semata, melainkan mereka bersama-sama mengejar relasi vertikal “Tuhan”. Pemuda Kristen yang melibatkan Tuhan di dalam relasi persahabatannya akan melampaui relasi epithumia dan thumos, relasi mereka akan berada pada level logistikon.
{"title":"Persahabatan dalam Perspektif Platonis: Sebuah Refleksi bagi Pemuda Kristiani","authors":"Wignyo Tanto, Erastus Sabdono, Albertus Daniel, William Takain, Stephanie Erastus","doi":"10.47131/jtb.v6i2.202","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v6i2.202","url":null,"abstract":"Pemuda yang bereksistensi dan memaknai relasinya secara horizontal, sangat perlu memahami makna dari relasinya, tentu dalam persahabatannya. Permasalahan mendasarnya adalah pemuda lebih memprioritaskan resiprositas di dalam relasi persahabatannya, ketimbang nilai “Kebaikan”. Persahabatan dalam pandangan Platon dapat diibaratkan sebagai suatu segitiga, di mana tingkat resiprositas antar pelaku memiliki sifat yang relatif, bukan yang utama. Untuk mengetahui permasalah yang samar-samar, peneliti menggunakan Metode Gap dan pendekatan studi kepustakaan. Hasil dari pembahasan ini, pemuda Kristen yang memaknai eksistensinya dalam berelasi, ia tidak terbelenggu dalam relasi horizontal semata, melainkan mereka bersama-sama mengejar relasi vertikal “Tuhan”. Pemuda Kristen yang melibatkan Tuhan di dalam relasi persahabatannya akan melampaui relasi epithumia dan thumos, relasi mereka akan berada pada level logistikon.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"39 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140267552","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Media sosial merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia. Penggunaan media sosial membawa begitu banyak kemudahan bagi penggunanya. Dengan segala fasilitas yang disediakan oleh media sosial. Namun dibalik kemudahan tersebut kehadiran media sosial juga membawa sisi buruk bagi perilaku penggunannya. Dampak yang paling nyata dan merusak adalah dengan media sosial penggunanya dapat langgsung mengakses konten-konten asusila yang tak bermoral yang dengan mudah dapat diakses dengan melalui internet. Sehingga Pengaruh Media Sosial pada saat ini sangat luar biasa khususnya bagi kalangan anak remaja. Kehadiran media sosial anak remaja tidak mampu mengontrol dirinya dalam penggunaan media sosial sehingga mengakibatkan kesalahan dalam proses pertumbahanya. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengkaji pengaruh media sosial sebagai pembentukan karakter remaja dalam perspektif budaya batak toba. Dengan menggunakan metode penelitian yaitu pendekatan kuantitatif karena data yang diolah bersifat sistematis, dan diharapkan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul pada objek penelitian.
{"title":"Pendidikan Kristiani Sebagai Core Value Dalam Pembentukan Karakter Remaja Generasi Z","authors":"Tio Nursarida Nainggolan","doi":"10.47131/jtb.v6i2.200","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v6i2.200","url":null,"abstract":"Media sosial merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia. Penggunaan media sosial membawa begitu banyak kemudahan bagi penggunanya. Dengan segala fasilitas yang disediakan oleh media sosial. Namun dibalik kemudahan tersebut kehadiran media sosial juga membawa sisi buruk bagi perilaku penggunannya. Dampak yang paling nyata dan merusak adalah dengan media sosial penggunanya dapat langgsung mengakses konten-konten asusila yang tak bermoral yang dengan mudah dapat diakses dengan melalui internet. Sehingga Pengaruh Media Sosial pada saat ini sangat luar biasa khususnya bagi kalangan anak remaja. Kehadiran media sosial anak remaja tidak mampu mengontrol dirinya dalam penggunaan media sosial sehingga mengakibatkan kesalahan dalam proses pertumbahanya. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengkaji pengaruh media sosial sebagai pembentukan karakter remaja dalam perspektif budaya batak toba. Dengan menggunakan metode penelitian yaitu pendekatan kuantitatif karena data yang diolah bersifat sistematis, dan diharapkan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul pada objek penelitian.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"14 8","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-03-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140267790","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jimmy Lizardo, Lenny H. S. Chendralisan, Nicolien Meggy Sumakul
Synergistic leadership is one of the keys to success in building an organization. Despite the reality on the ground, a leader is generally still often associated with seniority or gender status. Still, in the current era of disruption, the stigma of leadership based on seniority and gender must be eliminated because today's leaders place more emphasis on personal competence. To achieve remarkable goals, church leaders must build leadership that synergizes with subordinates, such as church ministers. The synergy referred to here is the collaboration of leadership teams between generations and genders. This study aims to explore the benefits of leadership synergy in an organization and provide direction for leaders on building optimal leadership synergy. Use literature reviews (books and journals) to analyze leadership synergies, transformative leaders, and technological disruption. The author proposes several steps to build leadership synergy to be optimal, including shepherds, creating a clear framework regarding the duties and responsibilities of each leader; generations of leaders respect each other's roles and authorities, strengthen communication in an attitude of mutual respect, and respect; establish a shared vision, mission, and goals; Develop a culture of collaborative work between leaders. Abstrak Kepemimpinan yang sinergis merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun suatu organisasi. Sekalipun realita di lapangan, pada umumnya seorang pemimpin masih sering dikaitkan dengan status senioritas atau gender, namun di era disrupsi saat ini stigma kepemimpinan berdasarkan senioritas dan gender harus dihilangkan, karena soal pemimpin masa kini lebih ditekankan pada kompetensi pribadi. Untuk mencapai tujuan yang besar, pemimpin gereja perlu membangun kepemimpinan yang bersinergi dengan bawahannya dalam hal ini pelayan-pelayan gereja. Bersinergi yang dimaksud di sini adalah kolaborasi tim kepemimpinan antargenerasi; dan antargender. Penelitian ini bertujuan menggali manfaat sinergitas kepemimpinan dalam sebuah organisasi dan memberi arah bagi pemimpin bagaimana cara membangun sinergitas kepemimpinan yang optimal. Menggunakan kajian literatur (buku dan jurnal) untuk menganalisis sinergitas kepemimpinan, pemimpin transformatif dan disrupsi teknologi. Penulis mengusulkan beberapa langkah membangun sinergitas kepemimpinan agar optimal, di antaranya: gembala membuat kerangka kerja yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing pemimpin; generasi pemimpin saling menghargai peran dan kewenangan masing-masing; memperkuat komunikasi dalam sikap saling menghormati dan menghargai; menetapkan visi, misi dan tujuan bersama; mengembangkan budaya kerja kolaboratif antar pemimpin.
{"title":"Sinergitas Pemimpin Gereja Menuju Kepemimpinan Transformatif di Era Disruptif","authors":"Jimmy Lizardo, Lenny H. S. Chendralisan, Nicolien Meggy Sumakul","doi":"10.47131/jtb.v6i2.155","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v6i2.155","url":null,"abstract":"Synergistic leadership is one of the keys to success in building an organization. Despite the reality on the ground, a leader is generally still often associated with seniority or gender status. Still, in the current era of disruption, the stigma of leadership based on seniority and gender must be eliminated because today's leaders place more emphasis on personal competence. To achieve remarkable goals, church leaders must build leadership that synergizes with subordinates, such as church ministers. The synergy referred to here is the collaboration of leadership teams between generations and genders. This study aims to explore the benefits of leadership synergy in an organization and provide direction for leaders on building optimal leadership synergy. Use literature reviews (books and journals) to analyze leadership synergies, transformative leaders, and technological disruption. The author proposes several steps to build leadership synergy to be optimal, including shepherds, creating a clear framework regarding the duties and responsibilities of each leader; generations of leaders respect each other's roles and authorities, strengthen communication in an attitude of mutual respect, and respect; establish a shared vision, mission, and goals; Develop a culture of collaborative work between leaders. \u0000 \u0000 \u0000Abstrak \u0000Kepemimpinan yang sinergis merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun suatu organisasi. Sekalipun realita di lapangan, pada umumnya seorang pemimpin masih sering dikaitkan dengan status senioritas atau gender, namun di era disrupsi saat ini stigma kepemimpinan berdasarkan senioritas dan gender harus dihilangkan, karena soal pemimpin masa kini lebih ditekankan pada kompetensi pribadi. Untuk mencapai tujuan yang besar, pemimpin gereja perlu membangun kepemimpinan yang bersinergi dengan bawahannya dalam hal ini pelayan-pelayan gereja. Bersinergi yang dimaksud di sini adalah kolaborasi tim kepemimpinan antargenerasi; dan antargender. Penelitian ini bertujuan menggali manfaat sinergitas kepemimpinan dalam sebuah organisasi dan memberi arah bagi pemimpin bagaimana cara membangun sinergitas kepemimpinan yang optimal. Menggunakan kajian literatur (buku dan jurnal) untuk menganalisis sinergitas kepemimpinan, pemimpin transformatif dan disrupsi teknologi. Penulis mengusulkan beberapa langkah membangun sinergitas kepemimpinan agar optimal, di antaranya: gembala membuat kerangka kerja yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing pemimpin; generasi pemimpin saling menghargai peran dan kewenangan masing-masing; memperkuat komunikasi dalam sikap saling menghormati dan menghargai; menetapkan visi, misi dan tujuan bersama; mengembangkan budaya kerja kolaboratif antar pemimpin.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"133 38","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2024-02-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"140423173","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Keilahian Yesus merupakan inti dari iman Kristen. Prinsip ini seringkalidiragukan oleh banyak kalangan. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bukti-buktiyang kuat dan meyakinkan tentang keilahian Yesus menurut pemberitaan keempat Injil;Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Metode penulisan yang digunakan adalah analisisbiblikal terhadap uangkapan Yesus sebagai Allah dengan mendasarkan pada teks di dalamkeempat Injil. Hasil temuan memperlihatkan ada banyak teks dari keempat Injil yangmengindikasikan keilahian Yesus.
{"title":"Bukti Keilahian Yesus Menurut Injil","authors":"Kalis Stevanus","doi":"10.31219/osf.io/5ghf7","DOIUrl":"https://doi.org/10.31219/osf.io/5ghf7","url":null,"abstract":"Keilahian Yesus merupakan inti dari iman Kristen. Prinsip ini seringkalidiragukan oleh banyak kalangan. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bukti-buktiyang kuat dan meyakinkan tentang keilahian Yesus menurut pemberitaan keempat Injil;Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Metode penulisan yang digunakan adalah analisisbiblikal terhadap uangkapan Yesus sebagai Allah dengan mendasarkan pada teks di dalamkeempat Injil. Hasil temuan memperlihatkan ada banyak teks dari keempat Injil yangmengindikasikan keilahian Yesus.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"164 10 Pt 2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-05-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127536637","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Prior to basic education with an age range of 6 or 7, and 8 or 9 years was a vulnerable period of cognitive, psychological, and emotional development. Children need education that can form good character and can reflect Christian values in their lives. The shift in the pattern of parental education as the first educational environment due to busy parents allows the lack of inculcation of character in the family environment. Schools become the foundation of hope for the formation of children's character in preparing generations in the millennial era. In the education process, indicators of success in learning methods are students enthusiastic about the lesson, happy, a change in thinking and attitudes of the learner's own will. Humans have a tendency for self-actualization because humans move forward to perfection or potential. Each individual has the creative ability to solve the problem. Religious humanist education contains two educational concepts that we want to integrate, namely humanist education and religious education. Integrating these two educational concepts with the aim of being able to build an education system that can shape the character of millennial generation through Christian Education. This type of research is an intrinsic case study (Intrinsic case study). Researchers focus on one particular object and are appointed as a case for in-depth study. so as to discover the reality behind the phenomenon. Based on the results of the analysis it is known that religious humanist education in Christian education has linear compounds, so the formation of the character of children, especially in this millennium era will be very tested when the religious humanist approach to Christian education can be actually carried out by educators and or educational institutions (Christian).
在基础教育之前,6岁或7岁,8岁或9岁是认知、心理和情感发展的脆弱时期。孩子们需要教育,以形成良好的品格,并在他们的生活中体现基督教的价值观。由于父母的忙碌,作为第一教育环境的父母教育模式发生了转变,使得家庭环境中缺乏品格的灌输。学校成为千禧年预备世代儿童性格形成的希望基础。在教育过程中,成功的学习方法的指标是学生对课程的热情,快乐,思维和态度的变化学习者自己的意志。人类有自我实现的倾向,因为人类追求完美或潜力。每个人都有解决问题的创造性能力。宗教人文教育包含我们要整合的两个教育理念,即人文教育和宗教教育。结合这两种教育理念,旨在通过基督教教育建立一个能够塑造千禧一代性格的教育体系。这种类型的研究是内在案例研究(intrinsic case study)。研究人员专注于一个特定的对象,并被指定为一个案例进行深入研究。从而发现现象背后的现实。根据分析结果可知,宗教人文主义教育在基督教教育中具有线性复合性,因此,当宗教人文主义的基督教教育方法能够被教育者或教育机构(基督教)实际实施时,儿童性格的形成,特别是在这个千年时代将受到非常大的考验。
{"title":"Pendekatan Humanis-Relegius pada Pendidikan Kristen sebagai Pembentukan Karakter Generasi Milenial","authors":"Petrus Marija, Yudhi Kawangung, Munatar Kause","doi":"10.47131/jtb.v2i1.36","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/jtb.v2i1.36","url":null,"abstract":"Prior to basic education with an age range of 6 or 7, and 8 or 9 years was a vulnerable period of cognitive, psychological, and emotional development. Children need education that can form good character and can reflect Christian values in their lives. The shift in the pattern of parental education as the first educational environment due to busy parents allows the lack of inculcation of character in the family environment. Schools become the foundation of hope for the formation of children's character in preparing generations in the millennial era. In the education process, indicators of success in learning methods are students enthusiastic about the lesson, happy, a change in thinking and attitudes of the learner's own will. Humans have a tendency for self-actualization because humans move forward to perfection or potential. Each individual has the creative ability to solve the problem. Religious humanist education contains two educational concepts that we want to integrate, namely humanist education and religious education. Integrating these two educational concepts with the aim of being able to build an education system that can shape the character of millennial generation through Christian Education. This type of research is an intrinsic case study (Intrinsic case study). Researchers focus on one particular object and are appointed as a case for in-depth study. so as to discover the reality behind the phenomenon. Based on the results of the analysis it is known that religious humanist education in Christian education has linear compounds, so the formation of the character of children, especially in this millennium era will be very tested when the religious humanist approach to Christian education can be actually carried out by educators and or educational institutions (Christian). ","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129563465","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jesus was displeased when His disciples forbid the parents who brought their children to Jesus. Jesus ministry and concerns is a practical application of Moses is command to the people of Israel. Those commands are spiritual education that parents should teach to children so the successor generation of Israel still connects as God people and as a generation that belongs to God and Lord is their God until forever (Deuteronomy 6:1-9). Command clearly for the parents to teach their children perseveringly Moses’s. In reality, in this world, there are children with various condition physically and mentally. There are children who quickly understand but also there are children with special needs such as ADHD children. How to fill the need for spiritual education for these children must be fulfilled through it needs special handling. The value of biblical truth shall be taught before they reach the age of five. Abstrak Yesus pernah menegur murid-murid ketika mereka menghalangi para orang tua yang membawa anak-anaknya datang kepada Yesus. Perhatian dan pelayanan Yesus merupakan penerapan praktis perintah Musa kepada seluruh umat Israel. Perintah itu adalah pendidikan rohani yang harus diajarkan kepada anak-anak supaya generasi penerus Israel tetap terhubung sebagai umat Tuhan, dimana mereka adalah umat kepunyaan Allah dan Tuhan adalah Allah mereka sampai selama-lamanya (Ulangan 6:1-9). Perintah Musa sangat jelas ditujukan kepada para orang tua untuk mengajarkan dengan tekun kepada anak-anak mereka. Pada kenyataanya di dunia ini terdapat anak-anak dengan beragam kondisi fisik maupun jiwanya. Ada anak yang cepat menangkap terhadap semua ajaran yang mereka terima dari orang tuanya dan lingkungannya, namun ada juga anak yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak penyandang Attention Deficit Or Hyperactivity Disorder. Bagaimana pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak penyandang Attention Deficit Or Hyperactivity Disorder, (untuk selanjutnya disebut ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian. Kebutuhan pendidikan rohani anak-anak penyandang ADHD harus tetap dipenuhi sekalipun pada prakteknya perlu penangan secara khusus, agar segala sesuatu yang diajarkan, khususnya nilai-nilai kebenaran yang alkitabiah, dapat diberikan kepada mereka ketika usianya kurang dari lima tahun.
当耶稣的门徒禁止带孩子来见耶稣的父母时,耶稣很不高兴。耶稣的事工和关心是摩西对以色列人命令的实际应用。这些诫命是父母应该教导孩子的属灵教育,这样以色列的后代仍然是神的子民,是属于神的一代,耶和华是他们的神,直到永远(申命记6:1-9)。吩咐父母要恒心教导儿女。在现实中,在这个世界上,有各种身体和精神状况的孩子。有些孩子能很快理解,但也有些孩子有特殊需要,比如多动症儿童。如何满足这些孩子对精神教育的需求,必须通过特殊的处理来实现。《圣经》真理的价值应该在他们五岁之前被教导。【摘要】Yesus pernah menegur murid-murid ketika mereka menghalangi para orang tua membawa anak-anaknya datang kepada Yesus。Perhatian dan pelayanan Yesus merupakan penerapan praktis perintah Musa kepada seluruh umat Israel。Perintah itu adalah pendidikan rohani yang harus diajarkan kepada anak-anak supaya generasi penerus以色列tetap terhubung sebagai umat Tuhan, dimana mereka adalah umat kepunyaan Allah dan Tuhan adalah Allah mereka sampai selama-lamanya (Ulangan 6:1-9)。Perintah Musa sangat jelas ditujukan kepada para orang tua untuk mengajarkan dengan tekun kepada anak-anak mereka。肯尼亚人是肯尼亚人,肯尼亚人是肯尼亚人,肯尼亚人是肯尼亚人。注意缺陷或多动障碍(Attention Deficit Or Hyperactivity Disorder)注意缺陷或多动障碍(Attention Deficit Or Hyperactivity Disorder,简称ADHD)Kebutuhan pendidikan rohani anak-anak penyandang ADHD harus tetap dipenuhi sekalipun pakakteknya perlu penangan secara khusus, agar segala sesuatu yang diajarkan, khususnya nilai-nilai kebenaran yang alkitabiah, dapat diberikan kepaada mereka ketika usianya kurang dari tahun。
{"title":"Menerapkan Pola Pendidikan Rohani Anak Berkebutuhan Khusus (Attention Deficit or Hyperactivity Disorder)","authors":"Antonius Isharjono","doi":"10.47131/JTB.V2I1.35","DOIUrl":"https://doi.org/10.47131/JTB.V2I1.35","url":null,"abstract":"Jesus was displeased when His disciples forbid the parents who brought their children to Jesus. Jesus ministry and concerns is a practical application of Moses is command to the people of Israel. Those commands are spiritual education that parents should teach to children so the successor generation of Israel still connects as God people and as a generation that belongs to God and Lord is their God until forever (Deuteronomy 6:1-9). Command clearly for the parents to teach their children perseveringly Moses’s. In reality, in this world, there are children with various condition physically and mentally. There are children who quickly understand but also there are children with special needs such as ADHD children. How to fill the need for spiritual education for these children must be fulfilled through it needs special handling. The value of biblical truth shall be taught before they reach the age of five. \u0000 \u0000Abstrak \u0000Yesus pernah menegur murid-murid ketika mereka menghalangi para orang tua yang membawa anak-anaknya datang kepada Yesus. Perhatian dan pelayanan Yesus merupakan penerapan praktis perintah Musa kepada seluruh umat Israel. Perintah itu adalah pendidikan rohani yang harus diajarkan kepada anak-anak supaya generasi penerus Israel tetap terhubung sebagai umat Tuhan, dimana mereka adalah umat kepunyaan Allah dan Tuhan adalah Allah mereka sampai selama-lamanya (Ulangan 6:1-9). Perintah Musa sangat jelas ditujukan kepada para orang tua untuk mengajarkan dengan tekun kepada anak-anak mereka. Pada kenyataanya di dunia ini terdapat anak-anak dengan beragam kondisi fisik maupun jiwanya. Ada anak yang cepat menangkap terhadap semua ajaran yang mereka terima dari orang tuanya dan lingkungannya, namun ada juga anak yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak penyandang Attention Deficit Or Hyperactivity Disorder. Bagaimana pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak penyandang Attention Deficit Or Hyperactivity Disorder, (untuk selanjutnya disebut ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian. Kebutuhan pendidikan rohani anak-anak penyandang ADHD harus tetap dipenuhi sekalipun pada prakteknya perlu penangan secara khusus, agar segala sesuatu yang diajarkan, khususnya nilai-nilai kebenaran yang alkitabiah, dapat diberikan kepada mereka ketika usianya kurang dari lima tahun.","PeriodicalId":168861,"journal":{"name":"JURNAL TERUNA BHAKTI","volume":"391 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121786175","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}