Pub Date : 2021-11-25DOI: 10.21154/justicia.v18i2.3156
Dwi Aprilianto, Farida Ulvi Na'imah
Prisons have contributed significantly to the deradicalization process and served as a machine for positive changes for terrorist convicts. On the other hand, instead of isolating and making terrorist convicts repent, public prison is ideal for spreading radicalism understanding. Public prisons cannot prevent terrorist convicts from disseminating their extreme views. This research answered the pros and cons of placing terrorist convicts in public prisons or special prisons containing kindness, maslahah, and target. This empirical research was processed descriptively. Data collection was conducted through field research in Class I Prison in Surabaya and Class II Prison B in Lamongan through a phenomenological approach, interpretive paradigm, and analysis of Tarjih maqasidiy. This study concluded that the placement of terrorist convicts alongside non-terrorist convicts in public prisons caused more substantial damage (mafsadah arjah) than gathering terrorist convicts in one particular prison by taking the lighter one out of two mafsadah, mafsadah of radical doctrine, recruitment networks, and mafsadah of giving a chance for consolidation to terrorist convicts. This research answered the problem of placing terrorism convicts and formulated an efficient, effective and targeted policy basis for terrorism convicts.Lembaga pemasyarakatan(Lapas) telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses deradikalisasi dan mesin perubahan positif bagi narapidana teroris. Di sisi lain, alih-alih mengisolasi dan membuat narapidana teroris bertobat, penjara umum justru menjadi lokasi ideal untuk menyebarkan paham radikal. penjara umum belum bias menjadi penghalang bagi teroris untuk menyebarkan paham ekstemisme. Penelitian ini akan menjawab tentang pro kontra penempatan narapidana teroris di lapas umum atau lapas khusus yang mengandung maslahah , kebaikan serta tepat sasaran. Penelitian empiris ini diolah secara deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan di Lapas Kelas I Surabaya dan Lapas Kelas II B Lamongan melalui pendekatan fenomenologis, paradigma interpretif, dan analisis Tarjih{ maqa@s}idiy. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penempatan narapidana teroris bersama narapidana non-terorisme di Lapas Umum mengandung mafsadah (arjah) yang lebih kuat daripada mengumpulkan narapidana teroris di satu Lapas tertentu dengan mengambil mafsadah antara dua mafsadah, mafsadah doktrin radikal dan jaringan rekrutmen, dan konsolidasi mafsadah antar terpidana terorisme. Penelitian ini menjawab problem penempatan narapidana terorisme dan merumuskan dasar kebijakan yang efisien, efektif dan tepat sasaran bagi narapidana terorisme.
监狱对去极端化进程做出了重大贡献,并成为恐怖分子罪犯积极变革的机器。另一方面,公共监狱不是孤立和让恐怖分子罪犯忏悔,而是传播激进主义理解的理想场所。公共监狱无法阻止恐怖主义罪犯传播他们的极端观点。这项研究回答了将恐怖分子罪犯关押在包含善良、maslahah和目标的公共监狱或特殊监狱的利弊。这项实证研究是描述性的。通过现象学方法、解释范式和对Tarjih maqasidiy的分析,在泗水一级监狱和拉蒙甘二级监狱B进行了实地研究,收集了数据。这项研究得出的结论是,将恐怖分子罪犯与非恐怖分子罪犯一起安置在公共监狱中,比将恐怖分子囚犯集中在一个特定的监狱造成更大的损害(mafsadah-arjah),因为从两个mafsadah中选择了较轻的一个mafsada,激进主义的mafsdah,招募网络,以及为恐怖分子罪犯提供巩固机会的mafsada。这项研究回答了恐怖主义罪犯的安置问题,为恐怖主义罪犯制定了高效、有效和有针对性的政策基础。阴谋塔为去政治化进程和恐怖分子囚犯的积极变革机器做出了重大贡献。另一方面,普通监狱不是孤立和让恐怖分子囚犯忏悔,而是传播激进理解的理想场所。公共监狱不习惯于防止恐怖分子传播极端主义。这项研究将回答关于支持在一般或特殊层面部署恐怖分子囚犯的问题,包括问题、良好和精确的目标。本文介绍了这项实证研究。数据收集是通过现象学方法、解释范式和Tarjih分析在Lapas Class I Surabaya和Lapas Class II B Page进行的实地研究进行的。maqa@s来吧这项研究得出的结论是,将恐怖分子囚犯与非恐怖分子囚犯一起安置在General Lap比在特定Lap聚集恐怖分子囚犯包含了一个更强大的公式,通过区分两个黑手党,即激进主义和招募网络,以及将黑手党巩固在培育的恐怖主义之间。这项研究回应了安置恐怖分子囚犯的问题,破坏了针对恐怖分子囚犯有效、有效和有针对性的政策。
{"title":"Tarjih Maqasidiy For The Placement of Terrorist Convicts in East Java","authors":"Dwi Aprilianto, Farida Ulvi Na'imah","doi":"10.21154/justicia.v18i2.3156","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i2.3156","url":null,"abstract":"Prisons have contributed significantly to the deradicalization process and served as a machine for positive changes for terrorist convicts. On the other hand, instead of isolating and making terrorist convicts repent, public prison is ideal for spreading radicalism understanding. Public prisons cannot prevent terrorist convicts from disseminating their extreme views. This research answered the pros and cons of placing terrorist convicts in public prisons or special prisons containing kindness, maslahah, and target. This empirical research was processed descriptively. Data collection was conducted through field research in Class I Prison in Surabaya and Class II Prison B in Lamongan through a phenomenological approach, interpretive paradigm, and analysis of Tarjih maqasidiy. This study concluded that the placement of terrorist convicts alongside non-terrorist convicts in public prisons caused more substantial damage (mafsadah arjah) than gathering terrorist convicts in one particular prison by taking the lighter one out of two mafsadah, mafsadah of radical doctrine, recruitment networks, and mafsadah of giving a chance for consolidation to terrorist convicts. This research answered the problem of placing terrorism convicts and formulated an efficient, effective and targeted policy basis for terrorism convicts.Lembaga pemasyarakatan(Lapas) telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses deradikalisasi dan mesin perubahan positif bagi narapidana teroris. Di sisi lain, alih-alih mengisolasi dan membuat narapidana teroris bertobat, penjara umum justru menjadi lokasi ideal untuk menyebarkan paham radikal. penjara umum belum bias menjadi penghalang bagi teroris untuk menyebarkan paham ekstemisme. Penelitian ini akan menjawab tentang pro kontra penempatan narapidana teroris di lapas umum atau lapas khusus yang mengandung maslahah , kebaikan serta tepat sasaran. Penelitian empiris ini diolah secara deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan di Lapas Kelas I Surabaya dan Lapas Kelas II B Lamongan melalui pendekatan fenomenologis, paradigma interpretif, dan analisis Tarjih{ maqa@s}idiy. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penempatan narapidana teroris bersama narapidana non-terorisme di Lapas Umum mengandung mafsadah (arjah) yang lebih kuat daripada mengumpulkan narapidana teroris di satu Lapas tertentu dengan mengambil mafsadah antara dua mafsadah, mafsadah doktrin radikal dan jaringan rekrutmen, dan konsolidasi mafsadah antar terpidana terorisme. Penelitian ini menjawab problem penempatan narapidana terorisme dan merumuskan dasar kebijakan yang efisien, efektif dan tepat sasaran bagi narapidana terorisme.","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42860857","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-25DOI: 10.21154/justicia.v18i2.3163
Luhur Prasetiyo, Khusniati Rofiah
The current measurement of the performance of Islamic banks is more on financial performance. Islamic banks have two significant roles different from conventional banks, namely business and social roles. Financial performance evaluates more the business role of Islamic banks. Meanwhile, the social role of Islamic banks has not yet received an equal portion of the measurement. This article aims to formulate an Islamic bank performance measurement system based on sharia economic goals. This formulation is necessary to adjust the performance assessment of Islamic banks based on the Islamic economic goals. By using content analysis, this research used the contemporary maqasid al-shariaapproach. To formulate a measurement of the Islamic bank performance based on the roles and objectives of Islamic economics, contemporary maqasid al-shariawas employed as the construction basis. Based on the contemporary maqasid al-sharia, the Islamic bank's performance formulation can be broken down. Then, factors in the assessment of Islamic bank performance can be determined on financial and social aspects. Thus, Islamic banks are in line with the goals of Islamic economics fighting for justice and the welfare of the community (fala>h}), the objectives of sharia (maqasid al-sharia), and the primary goal of Islamic law (mas}a>lih} al- 'iba>d).Penilaian kinerja bank syariah saat ini lebih bersifat penilaian terhadap kinerja finansial. Padahal, bank syariah memiliki dua peran penting yang berbeda dibandingkan bank konvensional. Dua peran tersebut adalah peran bisnis dan peran sosial. Kinerja finansial lebih menilai peran bisnis bank syariah. Sementara, peran sosial bank syariah belum mendapatkan porsi penilaian yang proporsional. Artikel ini bertujuan untuk menawarkan formulasi sistem penilaian kinerja bank syariah yang sesuai dengan tujuan ekonomi syariah. Formulasi ini penting untuk dilakukan agar penilaian kinerja bank Syariah sesuai dengan tujuan ekonomi Syariah. Dengan menggunakan content analysis, penelitian ini menggunakan pendekatan maqasid al-shariakontemporer. Untuk membuat formulasi penilaian kinerja bank syariah yang sesuai dengan peran dan tujuan ekonomi Islam, maqasid al-shariakontemporer bisa digunakan sebagai dasar konstruksinya. Dengan berdasarkan pada maqasid al-shariakontemporer, formulasi kinerja bank Syariah dibreak down dari maqasid al-shariakontemporer menjadi dimensi penilaian kinerja bank Syariah pada aspek finansial dan sosial. Selanjutnya, penilaian kinerja bank Syariah dapat ditentukan berdasarkan aspek finansial dan sosial tersebut. Dengan demikian, kinerja bank syariah selaras dengan tujuan ekonomi Islam yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta sesuai dengan tujuan diturunkannya syariah (maqasid al-sharia) dan kemaslahatan umat
目前衡量伊斯兰银行业绩的标准更多地是财务业绩。伊斯兰银行具有与传统银行不同的两个重要角色,即商业角色和社会角色。财务业绩更多地评价伊斯兰银行的业务作用。与此同时,伊斯兰银行的社会作用尚未得到同等比例的衡量。本文旨在建立一个基于伊斯兰教经济目标的伊斯兰银行绩效评估体系。这一提法对于根据伊斯兰经济目标调整伊斯兰银行绩效考核是必要的。本研究采用内容分析法,采用当代马卡西德·阿尔-沙里亚方法。为构建基于伊斯兰经济学作用与目标的伊斯兰银行绩效衡量体系,本文以当代伊斯兰经济学为构建基础。基于当代伊斯兰教法,可以对伊斯兰银行的绩效表述进行分解。然后,评估伊斯兰银行绩效的因素可以从财务和社会方面确定。因此,伊斯兰银行符合为正义和社会福利而战的伊斯兰经济学的目标(fala bbbbh})、伊斯兰教法的目标(maqasid al-sharia)和伊斯兰法律的主要目标(mas}a>lih} al- 'iba>d)。巴勒斯坦金纳贾银行的伊斯兰教徒说,这是巴勒斯坦金纳贾金融公司的主要业务。帕达哈尔说,银行伊斯兰教的成员都是巴基斯坦人。人是天生的,但人是天生的,是天生的。基尼亚金融银行是一个拥有伊斯兰教的国家银行。Sementara, peran社会银行,peran社会银行,peran社会银行。Artikel ini bertujuan untuk menawarkan公式体系,penian kinerja银行伊斯兰教,yang sessuan dungan turjuan经济伊斯兰教。公式ini penting untuk dilakukan agar penilaian kinerja bank Syariah sesuai dengan tujuan ekonomia Syariah。登安蒙古纳坎含量分析,penelitian ini蒙古纳坎pendekatan maqasid al- shariakontemtemrer。阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国阿拉伯联合酋长国。这个短语的意思是:伊斯兰教银行,伊斯兰教银行,伊斯兰教银行,伊斯兰教银行。Selanjutnya,巴勒斯坦阿拉伯联合酋长国银行(bank of arabia)称其为“金融和社会”。丹根德米克安,吉纳贾银行伊斯兰教法selaras,丹根图胡安经济学家伊斯兰教杨成员,丹麦keadilan dan kesejahteraan masyarakat, serta,丹根图胡安迪图伦肯亚伊斯兰教法(maqasid al-sharia) dan kemaslahatan umat
{"title":"The Formulation of Islamic Bank Performance Based on Contemporary Maqasid al-Sharia","authors":"Luhur Prasetiyo, Khusniati Rofiah","doi":"10.21154/justicia.v18i2.3163","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i2.3163","url":null,"abstract":"The current measurement of the performance of Islamic banks is more on financial performance. Islamic banks have two significant roles different from conventional banks, namely business and social roles. Financial performance evaluates more the business role of Islamic banks. Meanwhile, the social role of Islamic banks has not yet received an equal portion of the measurement. This article aims to formulate an Islamic bank performance measurement system based on sharia economic goals. This formulation is necessary to adjust the performance assessment of Islamic banks based on the Islamic economic goals. By using content analysis, this research used the contemporary maqasid al-shariaapproach. To formulate a measurement of the Islamic bank performance based on the roles and objectives of Islamic economics, contemporary maqasid al-shariawas employed as the construction basis. Based on the contemporary maqasid al-sharia, the Islamic bank's performance formulation can be broken down. Then, factors in the assessment of Islamic bank performance can be determined on financial and social aspects. Thus, Islamic banks are in line with the goals of Islamic economics fighting for justice and the welfare of the community (fala>h}), the objectives of sharia (maqasid al-sharia), and the primary goal of Islamic law (mas}a>lih} al- 'iba>d).Penilaian kinerja bank syariah saat ini lebih bersifat penilaian terhadap kinerja finansial. Padahal, bank syariah memiliki dua peran penting yang berbeda dibandingkan bank konvensional. Dua peran tersebut adalah peran bisnis dan peran sosial. Kinerja finansial lebih menilai peran bisnis bank syariah. Sementara, peran sosial bank syariah belum mendapatkan porsi penilaian yang proporsional. Artikel ini bertujuan untuk menawarkan formulasi sistem penilaian kinerja bank syariah yang sesuai dengan tujuan ekonomi syariah. Formulasi ini penting untuk dilakukan agar penilaian kinerja bank Syariah sesuai dengan tujuan ekonomi Syariah. Dengan menggunakan content analysis, penelitian ini menggunakan pendekatan maqasid al-shariakontemporer. Untuk membuat formulasi penilaian kinerja bank syariah yang sesuai dengan peran dan tujuan ekonomi Islam, maqasid al-shariakontemporer bisa digunakan sebagai dasar konstruksinya. Dengan berdasarkan pada maqasid al-shariakontemporer, formulasi kinerja bank Syariah dibreak down dari maqasid al-shariakontemporer menjadi dimensi penilaian kinerja bank Syariah pada aspek finansial dan sosial. Selanjutnya, penilaian kinerja bank Syariah dapat ditentukan berdasarkan aspek finansial dan sosial tersebut. Dengan demikian, kinerja bank syariah selaras dengan tujuan ekonomi Islam yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta sesuai dengan tujuan diturunkannya syariah (maqasid al-sharia) dan kemaslahatan umat","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48865515","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-19DOI: 10.21154/justicia.v18i2.2711
S. Sudarti, Ainun Najib
Amid the hectic new social space (virtual space), mediated reality, and an era of disruption, the truth of information spread via media is hard to determine, especially with the outbreak of hoaxes that have become a trending issue the past few decades. Hoaxes are a virtual crime, an act committed via the spread of false stories. Hoaxes can be in the form of accusations of another person committing an immoral act and defamation (assassination character), in this case, accusing another person doing adultery. The author argues that the issue of the criminal act of accusing adultery (qadzaf) in positive Indonesian law is significant to be studied since provisions of positive Indonesian law, as stated in Criminal Code, do not specifically discuss the criminal act of accusing adultery (qadzaf). This study aimed to analyze the problem of the criminal act of accusing adultery (qadzaf) in positive law by using maqa>s{id al-Sharia. The study is library research conducted by examining materials from the main book relating to problems and other supporting qualitative research studies. This research employed a descriptive-analytical method by describing the legal materials obtained, and then they were analyzed using maqa>s{id al-Sharia. The research results showed that punishment for the perpetrator of a criminal act of accusing adultery (qadzaf) as regulated in Article 310 paragraph (1) of the Criminal Code is a maximum imprisonment of nine months and or a maximum fine of four thousand and five hundred rupiahs. The aspect of d{arūriyyāt about punishment for perpetrators of accusing adultery (qadzaf) is the protection of honor (ḥifz{ al-‘ir{{d). This aspect relates to everyone’s honor that must be protected. Through the legislative institution, a country needs to reconstruct the Criminal Code into a better law, such as revising a particular chapter that has not fulfilled a sense of justice in eradicating crime very disturbing society since a policy must righteously be able to settle the problems in society. Based on the changes in law, following the development of social life and technology today is inevitable.Di tengah riuhnya ruang sosial baru (ruang virtual), realitas yang termediasi, era disrupsi, kebenaran informasi yang tersebar via media sangat sulit ditentukan, apalagi dengan menyeruaknya hoax yang sejak beberapa dekade belakangan menjadi tren isu. Hoax menjadi bentuk kejahatan virtual; suatu tindakan yang dilakukan via penyebaran cerita palsu, dapat berupa tuduhan orang lain melakukan tindakan buruk, dan pencemaran nama baik (assassination character); dalam hal ini menuduh orang lain berbuat zina. Penulis berpendapat bahwa persoalan tindak pidana menuduh zina (qadzaf) dalam hukum positif Indonesia penting dikaji mengingat dalam ketentuan hukum positif Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam KUHP tidak membahas secara khusus mengenai tindak pidana menuduh zina (qadzaf). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persoalan tindak pidana menuduh zina
在纷乱的新社会空间(虚拟空间)、中介现实和颠覆时代,通过媒体传播的信息的真实性很难确定,特别是在过去几十年成为趋势问题的恶作剧爆发的情况下。恶作剧是一种虚拟犯罪,是通过传播虚假故事而实施的行为。恶作剧的形式可以是指控另一个人犯下不道德的行为和诽谤(暗杀角色),在这种情况下,指控另一个人通奸。作者认为,印度尼西亚实在法中的指控通奸犯罪行为(qadzaf)问题值得研究,因为印度尼西亚实在法的规定,如《刑法》所述,并没有具体讨论指控通奸犯罪行为(qadzaf)。本研究旨在运用maqa bbbba al-Sharia分析成文法中指控通奸(qadzaf)犯罪行为的问题。该研究是通过检查与问题相关的主要书籍和其他支持性定性研究的材料进行的图书馆研究。本研究采用描述性分析方法,对获得的法律材料进行描述,然后使用maqa>s{id al-Sharia进行分析。研究结果表明,根据《刑法》第310条第(1)款的规定,对指控通奸(qadzaf)犯罪行为的行为人的惩罚是最高9个月的监禁和或最高4,500卢比的罚款。d{arūriyyāt关于指控通奸(qadzaf)的犯罪者的惩罚方面是对荣誉的保护(ḥifz{al- ' ir{{d)。这个相位关系到每个人的荣誉,必须得到保护。通过立法机构,一个国家需要将《刑法》重构为更好的法律,例如修改在消除非常困扰社会的犯罪方面没有实现正义感的特定章节,因为一项政策必须能够正确地解决社会问题。基于法律的变化,是当今社会生活和科技发展的必然。ditengah riuhnya huang social baru(黄虚拟),realitas yang termediasi, era disrupsi, kebenaran informasi yang tersebar via media sangat sulit ditentukan, apalagi denan menyeruaknya hoax yang sejak beberapa dekade belakanan menjadi treisu。恶作剧menjadi bentuk kejahatan虚拟;Suatu tindakan Yang dilakukan via penyebaran cerita palsu, dapat berupa tuduhan oranglain melakukan tindakan buruk, Dan pencemaran nama baik(暗杀人物);达拉姆·哈尔尼菜单上的橙汁是吉娜的。Penulis berpendapat bahwa persoalan tindak pidana menuduh zina (qadzaf) dalam hukum posix印度尼西亚penting dikaji mengingat dalam ketentuan hukum posix印度尼西亚sebagaimana yang terdapat dalam KUHP tidhak成员bahas secara khusus mengenai tindak pidana menuduh zina (qadzaf)。Penelitian, ini bertujuan untuk menganakan,个人,tindak pidana menududah (qadzaf), dalam hukum,积极的dengan, menggunakan, maqa bbb . al-Sharia。Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka, yitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah bahan-bahan dari buku utama yang berkaitan dengan masalah danbuku penunjang lainnya yang berkaitan dengan kajian penelitian yang bersifat kalitati。方法penpentitian yang digunakan bersisiks deskptititiks分析dengan cara menguraikan bahan hukum yang diperoleh, selanjutnya menganalis dengan menggunakan pisau分析maqa bba . [id al-Sharia]。哈西尔penelitian menunjukkan bahwa sanksi bagi pelaku tindak pidana menuduh zina (qadzaf) sebagaimana diatur dalam paal 310 ayat (1) KUHP adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan danau dena paling banyak empat ribu lima ratus rupiah。Aspek d{arūriyyāt yang berkenaan dengan hukuman bagi pelaku menuduh zina (qadzaf) adalah aspelindungan terhadap kehormatan (ḥifz{al- ' ir{{d)。阿斯匹克语是一种很好的语言,它可以用来表达一个人的情绪。国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员:国会议员。我爱你,我爱你,我爱你,我爱你,我爱你,我爱你。
{"title":"Punishment of Criminal Act of Accusing Adultery (Qadzaf) in Indonesian Positive Law: Perspective of Maqasid al-Sharia","authors":"S. Sudarti, Ainun Najib","doi":"10.21154/justicia.v18i2.2711","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i2.2711","url":null,"abstract":"Amid the hectic new social space (virtual space), mediated reality, and an era of disruption, the truth of information spread via media is hard to determine, especially with the outbreak of hoaxes that have become a trending issue the past few decades. Hoaxes are a virtual crime, an act committed via the spread of false stories. Hoaxes can be in the form of accusations of another person committing an immoral act and defamation (assassination character), in this case, accusing another person doing adultery. The author argues that the issue of the criminal act of accusing adultery (qadzaf) in positive Indonesian law is significant to be studied since provisions of positive Indonesian law, as stated in Criminal Code, do not specifically discuss the criminal act of accusing adultery (qadzaf). This study aimed to analyze the problem of the criminal act of accusing adultery (qadzaf) in positive law by using maqa>s{id al-Sharia. The study is library research conducted by examining materials from the main book relating to problems and other supporting qualitative research studies. This research employed a descriptive-analytical method by describing the legal materials obtained, and then they were analyzed using maqa>s{id al-Sharia. The research results showed that punishment for the perpetrator of a criminal act of accusing adultery (qadzaf) as regulated in Article 310 paragraph (1) of the Criminal Code is a maximum imprisonment of nine months and or a maximum fine of four thousand and five hundred rupiahs. The aspect of d{arūriyyāt about punishment for perpetrators of accusing adultery (qadzaf) is the protection of honor (ḥifz{ al-‘ir{{d). This aspect relates to everyone’s honor that must be protected. Through the legislative institution, a country needs to reconstruct the Criminal Code into a better law, such as revising a particular chapter that has not fulfilled a sense of justice in eradicating crime very disturbing society since a policy must righteously be able to settle the problems in society. Based on the changes in law, following the development of social life and technology today is inevitable.Di tengah riuhnya ruang sosial baru (ruang virtual), realitas yang termediasi, era disrupsi, kebenaran informasi yang tersebar via media sangat sulit ditentukan, apalagi dengan menyeruaknya hoax yang sejak beberapa dekade belakangan menjadi tren isu. Hoax menjadi bentuk kejahatan virtual; suatu tindakan yang dilakukan via penyebaran cerita palsu, dapat berupa tuduhan orang lain melakukan tindakan buruk, dan pencemaran nama baik (assassination character); dalam hal ini menuduh orang lain berbuat zina. Penulis berpendapat bahwa persoalan tindak pidana menuduh zina (qadzaf) dalam hukum positif Indonesia penting dikaji mengingat dalam ketentuan hukum positif Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam KUHP tidak membahas secara khusus mengenai tindak pidana menuduh zina (qadzaf). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persoalan tindak pidana menuduh zina","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42529835","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-19DOI: 10.21154/justicia.v18i2.2887
Iza Hanifuddin, M. Fauzi
Public notary officials are authorized to make authentic deeds. The notary’s deeds are very significant for business activities, including sharia contracts in Sharia banking. The notary paradigm derived from conventional concepts is undoubtedly different from the concept of sharia banking based on sharia principles. Thus notaries often do not know these principles unless they only concern the contract's validity, which is still conventional. This research aimed to answer the void of sharia notary law. Islam has the concept of al-Muwaththiq, similar to a notary mainly requiring personality and expertise, especially related to Islamic law. On the other hand, Law Number 2 of 2014 concerning Notary Official Changes also becomes a notary basis in every operation, including contracts in Sharia banking. This research employed library study approaches to explore the notaries’ competence in the concept of al-Muwaththiq. The results and discussions showed that notaries making authentic deeds in Sharia banking must have sharia competence as excavated from the concept of al-Muwaththiq since their incompetence will impact the Islamic law validity. Moreover, Notaries must also follow the applied positive rule of law because Sharia banking as a sub-system of national banking is also subject to state-regulated regulations.Notaris memiliki otoritas independen untuk membuat dokumen otentik. Kerja-kerja notaris sangat penting dan diperlukan untuk aktivitas bisnis, terutama kontrak syariah pada perbankan syariah. Paradigma notaris yang lahir dari konsep konvensional tentu berbeda dengan konsep perbankan syariah yang berlandaskan pada prinsip syariah. Problem yang muncul ialah notaris seringkali tidak mengetahui prinsip-prinsip tersebut kecuali hanya menyangkut validitas kontrak yang sesungguhnya masih konvensioanl. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab kekosongan hukum kenotariatan syariah. Di mana Islam sebenarnya memiliki konsep al-Muwaththiq yang berperan sebagaimana notaris, yang menempatkan kepribadian dan keahlian sebagai syarat utama yang harus dimiliki, khususnya terkait hukum Islam. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (Perubahan) menjelaskan bahwa notaris bekerja untuk semua kontrak, termasuk kontrak syariah. Metode dan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan studi pustaka guna menggali kompetensi notaris dalam konsep al-Muwaththiq. Hasil dan pembahasan pada penelitian ini menunjukkan bahwa dalam konsep al-Muwaththiq seorang notaris mesti memiliki kompentensi kesyariahan karena ketiadaan kompetensi syariah dan hukum Islam akan berimplikasi pada validitasnya. Selain itu, seorang notaris juga harus menguasai hukum positif karena kontrak syariah saat ini sudah menjadi bagian dari regulasi nasional hampir di negara-negara dunia.
{"title":"A Concept of Islamic Notary as Registrar on Sharia Contract: al-Muwaththiq Perspective","authors":"Iza Hanifuddin, M. Fauzi","doi":"10.21154/justicia.v18i2.2887","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i2.2887","url":null,"abstract":"Public notary officials are authorized to make authentic deeds. The notary’s deeds are very significant for business activities, including sharia contracts in Sharia banking. The notary paradigm derived from conventional concepts is undoubtedly different from the concept of sharia banking based on sharia principles. Thus notaries often do not know these principles unless they only concern the contract's validity, which is still conventional. This research aimed to answer the void of sharia notary law. Islam has the concept of al-Muwaththiq, similar to a notary mainly requiring personality and expertise, especially related to Islamic law. On the other hand, Law Number 2 of 2014 concerning Notary Official Changes also becomes a notary basis in every operation, including contracts in Sharia banking. This research employed library study approaches to explore the notaries’ competence in the concept of al-Muwaththiq. The results and discussions showed that notaries making authentic deeds in Sharia banking must have sharia competence as excavated from the concept of al-Muwaththiq since their incompetence will impact the Islamic law validity. Moreover, Notaries must also follow the applied positive rule of law because Sharia banking as a sub-system of national banking is also subject to state-regulated regulations.Notaris memiliki otoritas independen untuk membuat dokumen otentik. Kerja-kerja notaris sangat penting dan diperlukan untuk aktivitas bisnis, terutama kontrak syariah pada perbankan syariah. Paradigma notaris yang lahir dari konsep konvensional tentu berbeda dengan konsep perbankan syariah yang berlandaskan pada prinsip syariah. Problem yang muncul ialah notaris seringkali tidak mengetahui prinsip-prinsip tersebut kecuali hanya menyangkut validitas kontrak yang sesungguhnya masih konvensioanl. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab kekosongan hukum kenotariatan syariah. Di mana Islam sebenarnya memiliki konsep al-Muwaththiq yang berperan sebagaimana notaris, yang menempatkan kepribadian dan keahlian sebagai syarat utama yang harus dimiliki, khususnya terkait hukum Islam. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (Perubahan) menjelaskan bahwa notaris bekerja untuk semua kontrak, termasuk kontrak syariah. Metode dan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan studi pustaka guna menggali kompetensi notaris dalam konsep al-Muwaththiq. Hasil dan pembahasan pada penelitian ini menunjukkan bahwa dalam konsep al-Muwaththiq seorang notaris mesti memiliki kompentensi kesyariahan karena ketiadaan kompetensi syariah dan hukum Islam akan berimplikasi pada validitasnya. Selain itu, seorang notaris juga harus menguasai hukum positif karena kontrak syariah saat ini sudah menjadi bagian dari regulasi nasional hampir di negara-negara dunia.","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45019647","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-19DOI: 10.21154/justicia.v18i2.2772
M. Harisudin
This article discusses the Australian government policies from the perspective of Maqasid al-Shari’a. The performance of policies focusing on the study is traffic laws, taxes, the environment, and anti-domestic violence. In several literature pieces, Maqasid al-Shari’a is defined as the purpose, objective, and secret set by Allah SWT in every Sharia law. Maqasid al-Shari’a is also defined as “something that is the goal (Shari) of Allah in making law.” In addition to being ‘ammah (general), khassah (unique), and juz’iyah (parts), in Islam, Maqasid al-Shari’a is based on five main points as follows: protecting religion, protecting the soul, protecting reason, protecting property, and protecting descendants. After conducting in-depth interviews with several informants, books, journals and tracing the laws on traffic, tax, environment, and anti-domestic violence in Australia, the conclusion is that the Australian government policies are based on Maqasid al-Shari’a in one part. However, it is not a country based on religion or Sharia in the other part. Australia is a liberal country providing freedom for its citizens to have faith or no belief. However, in several other respects, it appears that the Australian government’s policies are against the Maqasid al-Shari’a, such as the ability to drink heavily in limited spaces, the life of same-sex marriages, and so on. This article is critical in developing policy studies of the non-Islamic countries on Maqasid al-Shari’a perspective.Artikel ini membahas tentang kebijakan pemerintah Australia dalam perspektif Maqashid Syariah. Kebijakan yang menjadi fokus dalam penelitian dimaksud adalah undang-undang lalu lintas, pajak, lingkungan hidup dan anti kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sejumlah literatur, Maqashid Sharia sendiri diartikan sebagai maksud, tujuan dan rahasia yang ditetapkan oleh Allah SWT pada setiap hukum Syariah. Maqashid Syariah juga didefinisikan sebagai "sesuatu yang menjadi tujuan (Syari) Allah dalam mensyariatkan hukum”. Selain ada yang bersifat ‘ammah (umum), khassah (khusus) dan juz’iyah (bagian-bagian), dalam Islam Maqashid Syariah didasarkan pada lima hal pokok utama sebagaimana berikut; menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, dan menjaga keturunan. Setelah melakukan wawancara yang mendalam pada sejumlah informan, penelusuran pada buku, jurnal dan undang-undang lalu lintas, pajak, lingkungan hidup dan anti kekerasan dalam rumah tangga di Australia, maka diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah Australia secara nyata sebagian telah didasarkan pada maqashid syariah, namun pada sebagian yang lain masih belum sesuau maqasyid syariah. Australia adalah negara liberal yang memberikan kebebasan bagi warganya untuk beragama atau tidak beragama. Namun demikian, dalam beberapa hal yang lain, terlihat kebijakan pemerintah Australia yang bertentangan dengan maqasyid sharia seperti kebolehan minumuan keras pada ruang terbatas, hidupnya perkawinan sejenis, dan sebagainya. Ar
{"title":"The Study of Australian Government Policies on Maqasid al-Sharia Perspective","authors":"M. Harisudin","doi":"10.21154/justicia.v18i2.2772","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i2.2772","url":null,"abstract":"This article discusses the Australian government policies from the perspective of Maqasid al-Shari’a. The performance of policies focusing on the study is traffic laws, taxes, the environment, and anti-domestic violence. In several literature pieces, Maqasid al-Shari’a is defined as the purpose, objective, and secret set by Allah SWT in every Sharia law. Maqasid al-Shari’a is also defined as “something that is the goal (Shari) of Allah in making law.” In addition to being ‘ammah (general), khassah (unique), and juz’iyah (parts), in Islam, Maqasid al-Shari’a is based on five main points as follows: protecting religion, protecting the soul, protecting reason, protecting property, and protecting descendants. After conducting in-depth interviews with several informants, books, journals and tracing the laws on traffic, tax, environment, and anti-domestic violence in Australia, the conclusion is that the Australian government policies are based on Maqasid al-Shari’a in one part. However, it is not a country based on religion or Sharia in the other part. Australia is a liberal country providing freedom for its citizens to have faith or no belief. However, in several other respects, it appears that the Australian government’s policies are against the Maqasid al-Shari’a, such as the ability to drink heavily in limited spaces, the life of same-sex marriages, and so on. This article is critical in developing policy studies of the non-Islamic countries on Maqasid al-Shari’a perspective.Artikel ini membahas tentang kebijakan pemerintah Australia dalam perspektif Maqashid Syariah. Kebijakan yang menjadi fokus dalam penelitian dimaksud adalah undang-undang lalu lintas, pajak, lingkungan hidup dan anti kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sejumlah literatur, Maqashid Sharia sendiri diartikan sebagai maksud, tujuan dan rahasia yang ditetapkan oleh Allah SWT pada setiap hukum Syariah. Maqashid Syariah juga didefinisikan sebagai \"sesuatu yang menjadi tujuan (Syari) Allah dalam mensyariatkan hukum”. Selain ada yang bersifat ‘ammah (umum), khassah (khusus) dan juz’iyah (bagian-bagian), dalam Islam Maqashid Syariah didasarkan pada lima hal pokok utama sebagaimana berikut; menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, dan menjaga keturunan. Setelah melakukan wawancara yang mendalam pada sejumlah informan, penelusuran pada buku, jurnal dan undang-undang lalu lintas, pajak, lingkungan hidup dan anti kekerasan dalam rumah tangga di Australia, maka diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah Australia secara nyata sebagian telah didasarkan pada maqashid syariah, namun pada sebagian yang lain masih belum sesuau maqasyid syariah. Australia adalah negara liberal yang memberikan kebebasan bagi warganya untuk beragama atau tidak beragama. Namun demikian, dalam beberapa hal yang lain, terlihat kebijakan pemerintah Australia yang bertentangan dengan maqasyid sharia seperti kebolehan minumuan keras pada ruang terbatas, hidupnya perkawinan sejenis, dan sebagainya. Ar","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49283899","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-19DOI: 10.21154/justicia.v18i2.3126
Fitri Rafianti, Arik Dwijayanto, Azharuddin Mohd Dali
In Malaysia, customary law, especially marriage, should follow Islamic laws. Customary law should not conflict with Islamic law. On the contrary, the Muslim community of Javanese descent in Malaysia can combine customary and Islamic laws balanced. They maintain Javanese marriage traditions by harmonizing Malay customs and Islamic marriage laws, such as rewang (helping each other), slametan (praying together), tunangan (engagement), ijaban (wedding), and nyumbang (donating). To contribute to previous studies, this article aims to critically examine the dialectic between customary and Islamic laws regarding the marriage tradition of the Javanese Muslim community in Selangor and Johor, Malaysia. The analysis results show that the dialectic of customary and Islamic laws concerning the concept of marriage for the Javanese Muslim community in Malaysia encourages negotiations so that customs in harmony with the Islamic law can be maintained, and conflicting traditions can be abandoned. The dialectic between customary and Islamic laws in the marriages of Javanese Muslim communities in Malaysia is closely related to social, economic, and traditional symbols of carrying out religious teachings, strengthening solidarity, and preserving tradition.Di Malaysia, keberadaan hukum adat harus mengikuti hukum Islam khususnya dalam tradisi perkawinan sehingga hukum adat tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Berbeda dengan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Malaysia yang mampu memadukan hukum adat dan hukum Islam secara seimbang. Mereka mempertahankan tradisi perkawinan Jawa dengan memadukan adat Melayu dan hukum perkawinan Islam seperti rewang, slametan, tunangan, ijaban, dan nyumbang. Untuk berkontribusi pada kajian terdahulu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis dialektika antara hukum adat dan hukum Islam dalam tradisi perkawinan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Selangor dan Johor, Malaysia. Kajian dalam artikel ini menunjukkan bahwa dialektika hukum adat dan hukum Islam dalam konsep perkawinan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Malaysia mendorong terjadinya negosiasi sehingga adat yang selaras dengan hukum Islam tetap dipertahankan dan tradisi yang bertentangan ditinggalkan. Dialektika antara hukum adat dan hukum Islam dalam perkawinan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Malaysia sangat terkait erat dengan simbol sosial, ekonomi dan tradisi sebagai bagian dari menjalankan ajaran agama, memperkuat solidaritas dan melestarikan adat
在马来西亚,习惯法,尤其是婚姻法,应该遵循伊斯兰教法。习惯法不应与伊斯兰法相冲突。相反,马来西亚爪哇后裔的穆斯林社区可以将习惯法和伊斯兰法平衡地结合起来。他们通过协调马来习俗和伊斯兰婚姻法来保持爪哇人的婚姻传统,例如rewang(互相帮助),slametan(一起祈祷),tunangan(订婚),ijaban(婚礼)和nyumbang(捐赠)。为了对之前的研究有所贡献,本文旨在批判性地考察关于马来西亚雪兰莪和柔佛爪哇穆斯林社区婚姻传统的习惯法和伊斯兰法律之间的辩证关系。分析结果表明,马来西亚爪哇穆斯林社区婚姻观的习惯法与伊斯兰教法的辩证关系促使双方进行协商,从而保持与伊斯兰教法相协调的习俗,摒弃相互冲突的传统。马来西亚爪哇穆斯林社区婚姻法习惯法与伊斯兰教法之间的辩证关系,与社会、经济和执行宗教教义、加强团结、维护传统的传统象征密切相关。我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人。马来西亚的穆斯林,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人,我是马来西亚人。Mereka mempertahankan tradisi perkawinan Jawa dengan memadukan adat Melayu dan hukum perkawinan Islam seperti rewang, slametan, tunangan, ijaban, dannyumbang。马来西亚,雪兰莪州,柔佛,马来西亚。Kajian dalam artikel ini menunjukkan bahwa dialektika hukum adat丹hukum伊斯兰dalam konsep perkawinan步伐穆斯林Keturunan Jawa di马来西亚mendorong terjadinya negosiasi sehingga adat杨selaras dengan hukum伊斯兰tetap dipertahankan丹杨tradisi bertentangan ditinggalkan。马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语:马来语
{"title":"The Dialectics of Islamic Law and Customary Law on Marriage Concept of Javanese Muslim in Malaysia","authors":"Fitri Rafianti, Arik Dwijayanto, Azharuddin Mohd Dali","doi":"10.21154/justicia.v18i2.3126","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i2.3126","url":null,"abstract":"In Malaysia, customary law, especially marriage, should follow Islamic laws. Customary law should not conflict with Islamic law. On the contrary, the Muslim community of Javanese descent in Malaysia can combine customary and Islamic laws balanced. They maintain Javanese marriage traditions by harmonizing Malay customs and Islamic marriage laws, such as rewang (helping each other), slametan (praying together), tunangan (engagement), ijaban (wedding), and nyumbang (donating). To contribute to previous studies, this article aims to critically examine the dialectic between customary and Islamic laws regarding the marriage tradition of the Javanese Muslim community in Selangor and Johor, Malaysia. The analysis results show that the dialectic of customary and Islamic laws concerning the concept of marriage for the Javanese Muslim community in Malaysia encourages negotiations so that customs in harmony with the Islamic law can be maintained, and conflicting traditions can be abandoned. The dialectic between customary and Islamic laws in the marriages of Javanese Muslim communities in Malaysia is closely related to social, economic, and traditional symbols of carrying out religious teachings, strengthening solidarity, and preserving tradition.Di Malaysia, keberadaan hukum adat harus mengikuti hukum Islam khususnya dalam tradisi perkawinan sehingga hukum adat tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Berbeda dengan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Malaysia yang mampu memadukan hukum adat dan hukum Islam secara seimbang. Mereka mempertahankan tradisi perkawinan Jawa dengan memadukan adat Melayu dan hukum perkawinan Islam seperti rewang, slametan, tunangan, ijaban, dan nyumbang. Untuk berkontribusi pada kajian terdahulu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis dialektika antara hukum adat dan hukum Islam dalam tradisi perkawinan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Selangor dan Johor, Malaysia. Kajian dalam artikel ini menunjukkan bahwa dialektika hukum adat dan hukum Islam dalam konsep perkawinan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Malaysia mendorong terjadinya negosiasi sehingga adat yang selaras dengan hukum Islam tetap dipertahankan dan tradisi yang bertentangan ditinggalkan. Dialektika antara hukum adat dan hukum Islam dalam perkawinan masyarakat Muslim Keturunan Jawa di Malaysia sangat terkait erat dengan simbol sosial, ekonomi dan tradisi sebagai bagian dari menjalankan ajaran agama, memperkuat solidaritas dan melestarikan adat","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48737314","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-11DOI: 10.21154/justicia.v18i2.2522
Nawir Yuslem, M. Y. Harahap, Suarni Suarni
This article examines substitute heirs in Islamic and civil code inheritance laws. In Islamic inheritance law, substitute heirs are regulated based on the provisions of the Islamic Law Compilation in article 185, stating that if the heirs die, their inheritance rights are given to their children. In civil code, substitute heirs are regulated based on articles 841-848, with provisions covering the replacement of rights and obligations such as the replaced person’s life. This research relies on two questions: what are the substitute heir concepts according to Islamic and civil code inheritance laws? Moreover, how is the comparison of substitute heir concepts based on Islamic and civil code inheritance laws? This study aims to analyze the existence of substitute heirs in Islamic and civil code inheritance laws. To answer both questions, this research employed a normative juridical method, with an approach to laws, cases, comparisons, and conceptual approaches, including conceptual theories and ideas regarding the substitute heir concept in the perspective of Islamic and civil code inheritance laws. This study finds that Islamic inheritance law is based on the Qur’an and hadith, mentioning that the share of the substitute heirs is not the same as that of the replaced heirs. In contrast, according to civil law, the share of the substitute heirs is similar to that of the replaced heirs. Furthermore, this study contributes significantly to realizing benefit, peace, and justice in the distribution of inheritance.Artikel ini mengkaji tentang ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan KUH Perdata. Dalam hukum kewarisan Islam, ahli waris pengganti diatur berdasarkan ketentuan KHI dalam pasal 185 di mana diberikan hak kepada ahli waris yang meninggal lebih dulu dapat diganti oleh anaknya. Dalam hukum Perdata, ahli waris pengganti diatur berdasarkan pasal 841-848, dengan ketentuan meliputi penggantian hak dan kewajiban seperti hidupnya orang yang diganti. Penelitian ini dilandasi oleh dua pertanyaan. Yaitu bagaimana konsep ahli waris pengganti menurut hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan KUH Perdata? Dan bagaimana perbandingan konsep ahli waris pengganti antara hukum kewarisan Islam dan kewarisan perdata. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan ahli waris pengganti dalam kewarisan Islam dan BW. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan pendekatan Undang-Undang, kasus, perbandingan dan pendekatan konseptual, berupa teori konsep dan ide mengenai konsep ahli waris pengganti dalam perspektif kewarisan Islam dan hukum kewarisan KUH Perdata/BW. Kajian ini menemukan jawaban bahwa hukum kewarisan Islam bersumberkan al-Qur’an dan hadits, dengan ketentuan bagian ahli waris pengganti tidak sama dengan yang diganti, sementara menurut hukum perdata bersumberkan pada Undang-Undang, ketentuan bagiannya sama dengan yang diganti. Selain itu, kajian ini berkontribusi secara signifikan
{"title":"Discourse of Substitute Heirs in The Indonesian Heritage Legal Practice (Comparative Perspective)","authors":"Nawir Yuslem, M. Y. Harahap, Suarni Suarni","doi":"10.21154/justicia.v18i2.2522","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i2.2522","url":null,"abstract":"This article examines substitute heirs in Islamic and civil code inheritance laws. In Islamic inheritance law, substitute heirs are regulated based on the provisions of the Islamic Law Compilation in article 185, stating that if the heirs die, their inheritance rights are given to their children. In civil code, substitute heirs are regulated based on articles 841-848, with provisions covering the replacement of rights and obligations such as the replaced person’s life. This research relies on two questions: what are the substitute heir concepts according to Islamic and civil code inheritance laws? Moreover, how is the comparison of substitute heir concepts based on Islamic and civil code inheritance laws? This study aims to analyze the existence of substitute heirs in Islamic and civil code inheritance laws. To answer both questions, this research employed a normative juridical method, with an approach to laws, cases, comparisons, and conceptual approaches, including conceptual theories and ideas regarding the substitute heir concept in the perspective of Islamic and civil code inheritance laws. This study finds that Islamic inheritance law is based on the Qur’an and hadith, mentioning that the share of the substitute heirs is not the same as that of the replaced heirs. In contrast, according to civil law, the share of the substitute heirs is similar to that of the replaced heirs. Furthermore, this study contributes significantly to realizing benefit, peace, and justice in the distribution of inheritance.Artikel ini mengkaji tentang ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan KUH Perdata. Dalam hukum kewarisan Islam, ahli waris pengganti diatur berdasarkan ketentuan KHI dalam pasal 185 di mana diberikan hak kepada ahli waris yang meninggal lebih dulu dapat diganti oleh anaknya. Dalam hukum Perdata, ahli waris pengganti diatur berdasarkan pasal 841-848, dengan ketentuan meliputi penggantian hak dan kewajiban seperti hidupnya orang yang diganti. Penelitian ini dilandasi oleh dua pertanyaan. Yaitu bagaimana konsep ahli waris pengganti menurut hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan KUH Perdata? Dan bagaimana perbandingan konsep ahli waris pengganti antara hukum kewarisan Islam dan kewarisan perdata. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan ahli waris pengganti dalam kewarisan Islam dan BW. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan pendekatan Undang-Undang, kasus, perbandingan dan pendekatan konseptual, berupa teori konsep dan ide mengenai konsep ahli waris pengganti dalam perspektif kewarisan Islam dan hukum kewarisan KUH Perdata/BW. Kajian ini menemukan jawaban bahwa hukum kewarisan Islam bersumberkan al-Qur’an dan hadits, dengan ketentuan bagian ahli waris pengganti tidak sama dengan yang diganti, sementara menurut hukum perdata bersumberkan pada Undang-Undang, ketentuan bagiannya sama dengan yang diganti. Selain itu, kajian ini berkontribusi secara signifikan ","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49320915","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-06-04DOI: 10.21154/justicia.v18i1.2139
A. Taufik
Mediation of divorce is expected to be able to suppress the settlement of the case peacefully. In principle, based on the Elucidation of Law Number 1 of 19 74 concerning Marriage, the purpose of marriage is to form a happy and eternal family. Therefore it is urgent to find mediation pillars in settlement of divorce cases. To find the idea in response to these problems, three approaches: 1) laws and regulations, by examining them that relate with divorce settlement through mediation in religious courts; Supreme Court Regulation Numb. 1 of 2016, Civil Procedure Code. 2) Conceptual approach, from the view of experts/scholars, is used to find ideas by building concepts and arguments according to the issues to be examined to find the efficiency in the implementation of mediation. 3) Philosophy, studying literacy related to the theme of the study to capture philosophical content in finding the pillars of mediation in the study of Islamic civil law. The findings in this study are the pillars of mediation whose relevance to divorce disputes should be stated are: 1) Essence of Deliberation, to reach an agreement. 2) The essence of mutual forgiveness, to end the dispute. 3) The essence of respecting the rights of others, of avoiding the nature of egoism. 4) The essence of justice, giving equal opportunity to speak to each other so that both parties get the same rights. While the efficiency of the mediation implementation in settlement of divorce can be done by mediating: 1) Regarding the care and education of children, 2) cost of living of ex-wife, 3) guarantee for the maintenance of the joint property after the termination of a marriage.Mediasi diharapkan mampu menekan penyelesaian perkara penyelesaian secara damai. Pada prinsipnya berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 tahun 19 74 tentang Perkawinan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Penurunan tingkat perceraian perlu ditekan, maka dari itu sangat mendesak untuk mencari pilar-pilar mediasi dalam penyelesaian perkara perceraian. Untuk menemukan ide dalam menanggapi permasalahan tersebut digunakan tiga pendekatan: 1) Peraturan perundang undangan, yang berhubungan dengan penyelesaian perceraian melalui mediasi di pengadilan agama; Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016, Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata. 2) Pendekatan konseptual, dari pandangan para ahli / ulama digunakan untuk menemukan ide dengan membangun konsep dan argumen sesuai dengan masalah yang akan dikaji sehingga dapat ditemukan efektifitas dalam pelaksanaan mediasi 3) Filsafat, mempelajari literasi yang berkaitan dengan tema kajian untuk menangkap muatan filosofis dalam menemukan pilar-pilar mediasi dalam kajian hukum perdata Islam. Temuan dalam penelitian ini adalah pilar-pilar mediasi yang relevansinya dengan perselisihan perceraian yang harus dikemukakan adalah: 1) Inti Musyawarah, untuk mencapai kesepakatan. 2) Inti saling memaafkan, untuk mengakhiri perselisihan. 3) Esensi menghargai hak
{"title":"The Settlement Principles and Effectiveness of Divorce by Mediation of Islamic Civil Perspective: A Critical Review of The Supreme Court Regulation","authors":"A. Taufik","doi":"10.21154/justicia.v18i1.2139","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i1.2139","url":null,"abstract":"Mediation of divorce is expected to be able to suppress the settlement of the case peacefully. In principle, based on the Elucidation of Law Number 1 of 19 74 concerning Marriage, the purpose of marriage is to form a happy and eternal family. Therefore it is urgent to find mediation pillars in settlement of divorce cases. To find the idea in response to these problems, three approaches: 1) laws and regulations, by examining them that relate with divorce settlement through mediation in religious courts; Supreme Court Regulation Numb. 1 of 2016, Civil Procedure Code. 2) Conceptual approach, from the view of experts/scholars, is used to find ideas by building concepts and arguments according to the issues to be examined to find the efficiency in the implementation of mediation. 3) Philosophy, studying literacy related to the theme of the study to capture philosophical content in finding the pillars of mediation in the study of Islamic civil law. The findings in this study are the pillars of mediation whose relevance to divorce disputes should be stated are: 1) Essence of Deliberation, to reach an agreement. 2) The essence of mutual forgiveness, to end the dispute. 3) The essence of respecting the rights of others, of avoiding the nature of egoism. 4) The essence of justice, giving equal opportunity to speak to each other so that both parties get the same rights. While the efficiency of the mediation implementation in settlement of divorce can be done by mediating: 1) Regarding the care and education of children, 2) cost of living of ex-wife, 3) guarantee for the maintenance of the joint property after the termination of a marriage.Mediasi diharapkan mampu menekan penyelesaian perkara penyelesaian secara damai. Pada prinsipnya berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 tahun 19 74 tentang Perkawinan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Penurunan tingkat perceraian perlu ditekan, maka dari itu sangat mendesak untuk mencari pilar-pilar mediasi dalam penyelesaian perkara perceraian. Untuk menemukan ide dalam menanggapi permasalahan tersebut digunakan tiga pendekatan: 1) Peraturan perundang undangan, yang berhubungan dengan penyelesaian perceraian melalui mediasi di pengadilan agama; Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016, Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata. 2) Pendekatan konseptual, dari pandangan para ahli / ulama digunakan untuk menemukan ide dengan membangun konsep dan argumen sesuai dengan masalah yang akan dikaji sehingga dapat ditemukan efektifitas dalam pelaksanaan mediasi 3) Filsafat, mempelajari literasi yang berkaitan dengan tema kajian untuk menangkap muatan filosofis dalam menemukan pilar-pilar mediasi dalam kajian hukum perdata Islam. Temuan dalam penelitian ini adalah pilar-pilar mediasi yang relevansinya dengan perselisihan perceraian yang harus dikemukakan adalah: 1) Inti Musyawarah, untuk mencapai kesepakatan. 2) Inti saling memaafkan, untuk mengakhiri perselisihan. 3) Esensi menghargai hak","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":"34 9","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41308828","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-06-04DOI: 10.21154/justicia.v18i1.1841
Rohmah Maulidia
This paper examines universities' role in achieving Sustainable Development Goals (SDGs) targets by conducting field research and using a policy theory approach. Theoretically, the successful policy implementation depends on several aspects such as communication, the availability of resources, the disposition, and the character of the bureaucracy. This study found that the State Institute for Islamic Studies (IAIN) Ponorogo contributed to implementing SDGs, especially in quality education and strengthening gender equality. However, the institution did not explicitly formulate other SDGs goals. Communication between the Institute for Research and Community Service (LPPM) as the leading sector for gender mainstreaming and leadership is manifested in the strategic plan and formal and informal meetings. Resources owned by IAIN Ponorogo in human resources and social capital are sufficient, which can be found from the active involvement of mass organizations of Fatayat, Muslimat, and Aisiyah in gender strengthening activities. The rector of IAIN Ponorogo is collaborating with the Ministry of Women and Child Protection (KemenPPPA) in realizing gender equality implementation agendas. Meanwhile, the bureaucratic structure that has been developed so far tends to be egalitarian and democratic. In preparing the Strategic Plan and the Master Plan (RIP), IAIN held a hearing with IAIN Ponorogo stakeholders, including the Academic Senate, which provides considerations for higher education policies. The problem is that the IAIN Ponorogo leader has not intensively monitored the targets for achieving gender equality, especially the other targets for achieving the SDGs.Tulisan ini mengkaji lebih dalam bagaimana peran perguruan tinggi dalam pencapaian target SDGs, dengan cara melakukan field research dan menggunakan pendekatan teori kebijakan. Secara teoritik kesuksesan kebijakan sangat tergantung pada beberapa aspek seperti komunikasi, adanya sumber daya, disposisi dan watak birokrasi. Kajian ini menemukan bahwa IAIN Ponorogo turut berkontribusi melaksanakan pembangunan berkelanjutan, khususnya pada pendidikan berkualitas dan penguatan kesetaraan gender, tetapi belum secara eksplisit merumuskan tujuan SDGs yang lain. Komunikasi antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) sebagai leading sector pengarusutamaan gender dengan pimpinan diwujudkan dalam renstra, juga dalam rapat formal maupun informal. Sumber daya yang dimiliki IAIN berupa sumber daya manusia maupun sumber daya sosial (social capital) sangat cukup. Terlihat dari keterlibatan aktif ormas Fatayat, Muslimat, Aisiyah dalam kegiatan gender di kampus. Adapun disposisi dalam arti komitmen dapat dilihat dari LPPM dan pimpinan IAIN menggandeng Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) dalam mewujudkan agenda-agenda implementasi kesetaraan gender. Sedangkan struktur birokrasi yang dikembangkan selama ini cenderung egaliter dan demokratis. Dalam penyusunan renstra dan Rencana Induk Peng
本文通过实地研究和使用政策理论方法,探讨了大学在实现可持续发展目标(sdg)目标中的作用。从理论上讲,政策的成功实施取决于几个方面,如沟通、资源的可用性、配置和官僚机构的性质。该研究发现,波诺罗戈国立伊斯兰研究所(IAIN)为实现可持续发展目标做出了贡献,特别是在优质教育和加强性别平等方面。然而,该机构并未明确制定其他可持续发展目标。作为性别主流化和领导的主要部门的研究和社区服务研究所之间的沟通体现在战略计划和正式和非正式会议上。IAIN Ponorogo在人力资源和社会资本方面拥有充足的资源,这可以从Fatayat、muslim和Aisiyah的群众组织积极参与性别加强活动中找到。IAIN Ponorogo的校长正在与妇女和儿童保护部(KemenPPPA)合作,以实现性别平等的实施议程。与此同时,迄今为止发展起来的官僚结构倾向于平等主义和民主。在制定战略计划和总体规划(RIP)的过程中,IAIN与IAIN Ponorogo的利益相关者举行了听证会,包括学术参议院,为高等教育政策提供了考虑。问题在于,波诺罗戈领导人没有密切监测实现性别平等的目标,特别是实现可持续发展目标的其他目标。Tulisan ini mengkaji lebih dalam bagaimana peran perguran tinggi dalam pencapaian目标可持续发展目标,dunan cara melakukan实地研究dan menggunakan pendekatan teori kebijakan。Secara teoritik kesuksesan kebijakan sangat tergantung pada beberapa说的是独立的komunikasi, adanya sumddaya, disisi dan watak birokrasi。Kajian ini menemukan bahwa IAIN Ponorogo turut berkontribusi melaksanakan berkelanjutan, khususnya padpendidikan berkualitas dan penguatan kesetaraan gender, tetapi belum secara eksplisit merumuskan tujuan SDGs yang lain。Komunikasi antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) sebagai领导部门pengarusutamaan性别dengan piimpinan diwujudkan dalam renstra, juga dalam rapat正式的,非正式的。Sumber daya yang dimiliki IAIN berupa Sumber daya manusia maupun Sumber daya social(社会资本)sangat cuup。Terlihat dari keterlibatan aktif ormas Fatayat,穆斯林,aiisiyah dalam kegiatan gender di kampus。Adapun disposisi dalam arti komitmen dapat dilihat达里语LPPM丹pimpinan IAIN menggandeng Kementerian Perlindungan Perempuan丹赶出亚衲族(KemenPPPA) dalam mewujudkan agenda-agenda implementasi kesetaraan性别。Sedangkan罢工,birokrasi yang dikembangkan selama是指平等主义者和民主主义者。我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。个人资料显示,中国政府加强了对贫困人口的监测,重点关注贫困人口的性别、贫困人口的性别、贫困人口的可持续发展目标。我们对可持续发展目标的响应是什么
{"title":"The Implementation of Presidential Decree on Gender Mainstreaming: Insight From IAIN Ponorogo","authors":"Rohmah Maulidia","doi":"10.21154/justicia.v18i1.1841","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i1.1841","url":null,"abstract":"This paper examines universities' role in achieving Sustainable Development Goals (SDGs) targets by conducting field research and using a policy theory approach. Theoretically, the successful policy implementation depends on several aspects such as communication, the availability of resources, the disposition, and the character of the bureaucracy. This study found that the State Institute for Islamic Studies (IAIN) Ponorogo contributed to implementing SDGs, especially in quality education and strengthening gender equality. However, the institution did not explicitly formulate other SDGs goals. Communication between the Institute for Research and Community Service (LPPM) as the leading sector for gender mainstreaming and leadership is manifested in the strategic plan and formal and informal meetings. Resources owned by IAIN Ponorogo in human resources and social capital are sufficient, which can be found from the active involvement of mass organizations of Fatayat, Muslimat, and Aisiyah in gender strengthening activities. The rector of IAIN Ponorogo is collaborating with the Ministry of Women and Child Protection (KemenPPPA) in realizing gender equality implementation agendas. Meanwhile, the bureaucratic structure that has been developed so far tends to be egalitarian and democratic. In preparing the Strategic Plan and the Master Plan (RIP), IAIN held a hearing with IAIN Ponorogo stakeholders, including the Academic Senate, which provides considerations for higher education policies. The problem is that the IAIN Ponorogo leader has not intensively monitored the targets for achieving gender equality, especially the other targets for achieving the SDGs.Tulisan ini mengkaji lebih dalam bagaimana peran perguruan tinggi dalam pencapaian target SDGs, dengan cara melakukan field research dan menggunakan pendekatan teori kebijakan. Secara teoritik kesuksesan kebijakan sangat tergantung pada beberapa aspek seperti komunikasi, adanya sumber daya, disposisi dan watak birokrasi. Kajian ini menemukan bahwa IAIN Ponorogo turut berkontribusi melaksanakan pembangunan berkelanjutan, khususnya pada pendidikan berkualitas dan penguatan kesetaraan gender, tetapi belum secara eksplisit merumuskan tujuan SDGs yang lain. Komunikasi antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) sebagai leading sector pengarusutamaan gender dengan pimpinan diwujudkan dalam renstra, juga dalam rapat formal maupun informal. Sumber daya yang dimiliki IAIN berupa sumber daya manusia maupun sumber daya sosial (social capital) sangat cukup. Terlihat dari keterlibatan aktif ormas Fatayat, Muslimat, Aisiyah dalam kegiatan gender di kampus. Adapun disposisi dalam arti komitmen dapat dilihat dari LPPM dan pimpinan IAIN menggandeng Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) dalam mewujudkan agenda-agenda implementasi kesetaraan gender. Sedangkan struktur birokrasi yang dikembangkan selama ini cenderung egaliter dan demokratis. Dalam penyusunan renstra dan Rencana Induk Peng","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45368512","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-04-16DOI: 10.21154/justicia.v18i1.2397
Z. Arifin, Hatoli Hatoli
The background of this research is indications from those who criticize the granting of halal certification on electronic and non-consumption products. At the same time, the critics say that the granting of halal certification is only a religious capitalization, the mode of following the MUI trend, getting fees. Some say that this is the miss-perception. This research was conducted in August 2019. This study analyzes how MUI halal certification is in electronic and non-consumption products and how halal certification in electronic and non-consumption products is in perspective. This type of research is field research with an empirical sociological approach and descriptive qualitative research. Data collection techniques used are literature, interviews, and documentation based on secondary sources obtained from dictionaries, brochures, expert opinions, and religious leaders. Based on the study results, it is concluded that the application of MUI halal certification in electronic products is still voluntary, so there is no mandatory (obligation) from business actors to register their products in obtaining halal certification. The application of MUI halal certification in electronic and non-consumer products, firstly for refusingmudharat must take precedence over taking little benefit. Secondly, for companies or producers, applying for halal certification aims to provide a sense of security and comfort in the community and increase the added value of their products and finally, the existence of halal products even though they are non-consumption besides having benefits for people because they are more confident in the products used also giving benefit to the company and fulfilling the provisions in the Act.Theoretically, this research's benefits are expected to provide reading sources and guidelines for the development of science, especially in Islamic law related to halal certification by the Indonesian Ulema Council on electronic and non-consumer products. Practically, the results of this study are expected to provide clear information to the public regarding the application of halal certification by the Indonesian Ulema Council on electronic and non-consumption products.Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi dari pihak yang mengkritisi pemberian sertifikasi halal pada produk elektronik dan non konsumsi, sedangkan yang mengkritik pemberian sertifikasi halal hanya sebagai kapitalisasi agama, modus mengikuti trend MUI, mendapat iuran dan ada yang bilang kaprah ini salah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana sertifikasi halal MUI pada produk elektronik dan non konsumsi serta bagaimana penerapan sertifikasi halal pada produk elektronik dan non konsumsi. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan pendekatan sosiologis empiris, penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, dan dokumentasi berdasarkan su
这项研究的背景是那些批评授予电子和非消费产品清真认证的人的迹象。同时,也有批评人士认为,发放清真认证只是一种宗教资本化、跟风MUI、收取费用的模式。有人说这是误解。这项研究是在2019年8月进行的。本研究分析了MUI清真认证如何在电子和非消费产品中进行,以及如何在电子和非消费产品中进行清真认证。这种类型的研究是采用实证社会学方法和描述性定性研究的实地研究。使用的数据收集技术是文献、访谈和基于从字典、小册子、专家意见和宗教领袖获得的二手资料的文件。根据研究结果,得出的结论是MUI清真认证在电子产品中的应用仍然是自愿的,因此商业行为者没有强制性(义务)注册其产品以获得清真认证。在电子产品和非消费产品中应用MUI清真认证,首先要以拒绝mudharat为优先,而非取小利。其次,对于公司或生产者来说,申请清真认证的目的是在社区中提供一种安全感和舒适感,增加产品的附加值,最后,清真产品的存在,即使它们是非消费产品,除了对人们有好处之外,因为他们对所使用的产品更有信心,也给公司带来好处,并履行法案的规定。从理论上讲,这项研究的好处有望为科学的发展提供阅读来源和指导方针,特别是在印度尼西亚乌里玛委员会对电子和非消费品进行清真认证的伊斯兰法律方面。实际上,这项研究的结果有望为公众提供关于印度尼西亚乌里玛委员会在电子和非消费产品上应用清真认证的明确信息。Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi dari pihak yang mengkritik pemberian sertifikasi清真帕达产品电子和非电子产品,sedangkan yang mengkritik pemberian sertifikasi清真帕达产品,mous mengikuti趋势MUI, mendapat iuran danada yang bilang kaprah ini salah。Penelitian ini dilakukan pada bulan august 2019。Penelitian ini bertujuan untuk menganalis bagaimana sertifikasi清真帕达产品电子产品和非konsumi serta bagaimana penerapan sertifikasi清真帕达产品电子产品和非konsumi。penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan pendekatan生理学经验,penelitian质量描述。Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, dan dokumentasi berdasarkan sumber sekunder yang diperoleh dari kamus, brosur, pendapat ahli, dan pemuka agama。Berdasarkan hasil penelitian dispulkkan bahwa penerapan sertifikasi清真MUI帕达产品电子产品masih bersifat sukarela, sehinga belumada keharusan (kewajiban) dari pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya untuk memperoleh sertifikasi清真。日本清真清真美帕达产品电子有限公司,非消费洋pertama menolak mudharat harus diutamakan daripada mengambil manfaat yang kecil。Kedua bagi perusahaan atatusaken, pengajuan sertifikasi清真bertujuan untuk memberikan rasa aman dannyaman padmasyarakat serta meningkatkan nilai tambah produkya danakhirnya keberadaan proal meskipun tidak dikonsumsi, selain bermanfaat bagi masyarakat。karena mereka lebih yakin产品yang digunakan juga menguntunkan perusahaan, serta memenuhi ketentuan di UU。印尼国家安全委员会,印尼国家安全委员会,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员,印尼国家安全委员会成员。印尼电子产品和消费电子产品协会(indonesian product electronics and non konsumsi)是印尼电子产品和消费电子协会的会员。
{"title":"Application of Halal Certification by Indonesian Ulema Council on Electronic and Non-Consumption Products: Maslahah Perspective","authors":"Z. Arifin, Hatoli Hatoli","doi":"10.21154/justicia.v18i1.2397","DOIUrl":"https://doi.org/10.21154/justicia.v18i1.2397","url":null,"abstract":"The background of this research is indications from those who criticize the granting of halal certification on electronic and non-consumption products. At the same time, the critics say that the granting of halal certification is only a religious capitalization, the mode of following the MUI trend, getting fees. Some say that this is the miss-perception. This research was conducted in August 2019. This study analyzes how MUI halal certification is in electronic and non-consumption products and how halal certification in electronic and non-consumption products is in perspective. This type of research is field research with an empirical sociological approach and descriptive qualitative research. Data collection techniques used are literature, interviews, and documentation based on secondary sources obtained from dictionaries, brochures, expert opinions, and religious leaders. Based on the study results, it is concluded that the application of MUI halal certification in electronic products is still voluntary, so there is no mandatory (obligation) from business actors to register their products in obtaining halal certification. The application of MUI halal certification in electronic and non-consumer products, firstly for refusingmudharat must take precedence over taking little benefit. Secondly, for companies or producers, applying for halal certification aims to provide a sense of security and comfort in the community and increase the added value of their products and finally, the existence of halal products even though they are non-consumption besides having benefits for people because they are more confident in the products used also giving benefit to the company and fulfilling the provisions in the Act.Theoretically, this research's benefits are expected to provide reading sources and guidelines for the development of science, especially in Islamic law related to halal certification by the Indonesian Ulema Council on electronic and non-consumer products. Practically, the results of this study are expected to provide clear information to the public regarding the application of halal certification by the Indonesian Ulema Council on electronic and non-consumption products.Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi dari pihak yang mengkritisi pemberian sertifikasi halal pada produk elektronik dan non konsumsi, sedangkan yang mengkritik pemberian sertifikasi halal hanya sebagai kapitalisasi agama, modus mengikuti trend MUI, mendapat iuran dan ada yang bilang kaprah ini salah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana sertifikasi halal MUI pada produk elektronik dan non konsumsi serta bagaimana penerapan sertifikasi halal pada produk elektronik dan non konsumsi. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan pendekatan sosiologis empiris, penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, dan dokumentasi berdasarkan su","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-04-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48644164","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}