Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai dengan hukum Islam. Di Indoneisa pernikahan biasanya dilakukan dengan adat tertentu dan moment sakral, penuh khidmat dan suka cita. Lalu bagaimana jika pernikahan dilakukan secara bersama-sama, dengan menghadiri beberapa pasangan? Umumnya nikah massal hampir ada di setiap daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Kepulauan Bangka Belitung. Tulisan ini melihat pernikahan massal yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung yakni pernikahan massal di Kabupaten Bangka Selatan, tepatnya di Desa Serdang yang dilakukan setiap satu tahun sekali dalam pandangan Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode kualitatif dengan melihat fenomena yang terjadi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa nikah massal di Desa Serdang dilakukan seusai panen hasil kebun, tujuannya merupakan bentuk rasa sukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas apa yang diperoleh. Dalam prosesnya pernikahan ini telah sesuai dengan hukum Islam dan mengikuti aturan yang telah ada, baik secara undang-undang maupun adat istiadat di masyarakat.
{"title":"Nikah Massal Dalam Persfektif Hukum Islam, Studi di Desa Serdang Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung","authors":"M. Nurdin","doi":"10.32923/ifj.v2i02.2011","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i02.2011","url":null,"abstract":"Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai dengan hukum Islam. Di Indoneisa pernikahan biasanya dilakukan dengan adat tertentu dan moment sakral, penuh khidmat dan suka cita. Lalu bagaimana jika pernikahan dilakukan secara bersama-sama, dengan menghadiri beberapa pasangan? Umumnya nikah massal hampir ada di setiap daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Kepulauan Bangka Belitung. Tulisan ini melihat pernikahan massal yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung yakni pernikahan massal di Kabupaten Bangka Selatan, tepatnya di Desa Serdang yang dilakukan setiap satu tahun sekali dalam pandangan Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode kualitatif dengan melihat fenomena yang terjadi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa nikah massal di Desa Serdang dilakukan seusai panen hasil kebun, tujuannya merupakan bentuk rasa sukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas apa yang diperoleh. Dalam prosesnya pernikahan ini telah sesuai dengan hukum Islam dan mengikuti aturan yang telah ada, baik secara undang-undang maupun adat istiadat di masyarakat. ","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114411121","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Persoalan wasiat dan kewarisan dalam Islam merupakan suatu persoalan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Walaupun secara otomatis ketika meninggalnya seseorang berlaku hukum kewarisan di mana keluarga yang ditinggalkan merupakan pewaris dari yang meninggal, namun persoalan kewarisan tersebut tidak secara langsung dapat dilaksanakan. Di samping harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal untuk biaya pengurusan jenazah dan hutang yang ditinggalkannya, di sisi lain apabila yang meninggalkan tersebut meninggalkan wasiat terhadap harta yang ditinggalkannya, maka wasiat tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu baru pembagian harta warisan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, persoalan wasiat yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal tersebut tidak boleh menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ada, baik itu yang diatur dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang ada. Apabila ketentuan hukum yang telah diatur dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang ada dilanggar, maka persoalan wasiat dan kewarisan tersebut bisa dianggap batal demi hukum.
{"title":"IMPLEMENTASI WASIAT DAN KEWARISAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM","authors":"Winarno Winarno","doi":"10.32923/ifj.v2i02.2013","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i02.2013","url":null,"abstract":"Persoalan wasiat dan kewarisan dalam Islam merupakan suatu persoalan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Walaupun secara otomatis ketika meninggalnya seseorang berlaku hukum kewarisan di mana keluarga yang ditinggalkan merupakan pewaris dari yang meninggal, namun persoalan kewarisan tersebut tidak secara langsung dapat dilaksanakan. Di samping harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal untuk biaya pengurusan jenazah dan hutang yang ditinggalkannya, di sisi lain apabila yang meninggalkan tersebut meninggalkan wasiat terhadap harta yang ditinggalkannya, maka wasiat tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu baru pembagian harta warisan dapat dilaksanakan. \u0000Akan tetapi, persoalan wasiat yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal tersebut tidak boleh menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ada, baik itu yang diatur dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang ada. Apabila ketentuan hukum yang telah diatur dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang ada dilanggar, maka persoalan wasiat dan kewarisan tersebut bisa dianggap batal demi hukum.","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"75 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127853683","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VII/2010 menimbulkan polemik hukum, khususnya dalam pemikiran hukum Islam. Berbagai macam dukungan menyeruak ke permukaan, namun tidak sedikit pula kecaman dari kalangan ahli. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut memberikan kritik tajam dengan mengeluarkan fatwa Nomor 12 Tahun 2012 sebagai respon atas putusan tersebut. Hal ini karena Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap membuat hukum syariah sendiri dan melampaui kapasitasnya dengan melegalkan nasab anak yang lahir dari hubungan luar nikah kepada orang tua biologisnya. Berangkat dari persoalan di atas, maka penulis ingin menelaah kembali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VII/2010 dengan menggunakan pisau analisis teori mashlahah Izzuddin Bin Abdissalam. Penelitian ini adalah penelitian hukum Islam normatif dengan menggunakan metode penelitian literer (library research). Karena itu, penulis hendak menelaah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) putusan Nomor 46/PUU-VII/2010 tentang status anak di luar nikah dengan kacamata teori mashlahah Izzuddin bin Abdissalam. Adapun hasil penelitian ini, yaitu: Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengandung mashlahah, utamanya bagi nasib dan masa depan seorang anak sebagai korban hubungan di luar nikah. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam tinjauan teori mashlahah -Izzuddin bin Abdissalam- merupakan mashlahah majazi (faktor pendorong) terwujudnya mashlahah haqiqiyyah (kebahagiaan bagi anak).
宪法法院的判决(MK)第46号/PUU-VII/2010年提出法律问题,特别是在伊斯兰法律思想方面。各种各样的支持者含糊其辞,但专家们也不例外。甚至印尼学者大会(MUI)也做出了严厉的批评,发布了2012年12号法令,以回应这一判决。这是因为宪法法院(MK)被认为制定了自己的伊斯兰教法,并超过了它的能力,将与其亲生父母的私生子纳布合法化。从上面的问题开始,作者想用一把刀分析宪法法院的裁决(MK)第46号/ puu vii /2010年。本研究是采用扫盲研究方法对伊斯兰法进行规范研究。因此,作者希望研究宪法法院的裁决(MK)第46条/ puu vii /2010年的裁决,关于以眼镜为依据的mashlaha Izzuddin bin Abdissalam理论,了解私生子的状况。这项研究的结果是:首先,宪法法院(MK)的判决包含了mashlaha,主要是为了一段婚外情受害者的命运和未来。第二,宪法法院的裁决(MK)在对mashlaha - izzuddin bin Abdissalam理论的回顾中指出,mashlaha ha haqiqiyyah(儿童的幸福)是mahlaha ha haqiqiyyah(儿童的幸福)的根本原因。
{"title":"STATUS ANAK LUAR NIKAH (Judicial Activism Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-VII/2010 Perspektif Mashlahah Izzuddin bin Abdissalam)","authors":"Mahbub Ainur Rofiq, Tutik Hamidah","doi":"10.32923/ifj.v2i02.2014","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i02.2014","url":null,"abstract":"Terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VII/2010 menimbulkan polemik hukum, khususnya dalam pemikiran hukum Islam. Berbagai macam dukungan menyeruak ke permukaan, namun tidak sedikit pula kecaman dari kalangan ahli. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut memberikan kritik tajam dengan mengeluarkan fatwa Nomor 12 Tahun 2012 sebagai respon atas putusan tersebut. Hal ini karena Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap membuat hukum syariah sendiri dan melampaui kapasitasnya dengan melegalkan nasab anak yang lahir dari hubungan luar nikah kepada orang tua biologisnya. Berangkat dari persoalan di atas, maka penulis ingin menelaah kembali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VII/2010 dengan menggunakan pisau analisis teori mashlahah Izzuddin Bin Abdissalam. Penelitian ini adalah penelitian hukum Islam normatif dengan menggunakan metode penelitian literer (library research). Karena itu, penulis hendak menelaah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) putusan Nomor 46/PUU-VII/2010 tentang status anak di luar nikah dengan kacamata teori mashlahah Izzuddin bin Abdissalam. Adapun hasil penelitian ini, yaitu: Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengandung mashlahah, utamanya bagi nasib dan masa depan seorang anak sebagai korban hubungan di luar nikah. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam tinjauan teori mashlahah -Izzuddin bin Abdissalam- merupakan mashlahah majazi (faktor pendorong) terwujudnya mashlahah haqiqiyyah (kebahagiaan bagi anak).","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"7 Suppl 3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129522959","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Abstract This research is motivated by the misunderstanding of parents in giving punishments of beating their children in order to establish prayers, most parents beat their children without boundaries, so that parents have the potential to commit criminal acts. The purpose of this paper is to find out the limits in hitting children who are reluctant to pray, so that parents have knowledge and understanding in giving punishment to their children. This type of qualitative research uses content analysis in its conclusion. The results of this study are: Islamic law and positive law contain certain legal goals (maqashid al-syariah) in hitting children. In the hadith about the command to hit a 10-year-old child who is reluctant to pray it aims to maintain or maintain religion, while in positive law it aims to protect the soul or life of the child. As for the limitations in hitting a child, namely: Beating is carried out for mistakes that have occurred, not mistakes that are feared to occur, beatings may not injure the child and are adjusted to the circumstances and age of the child, beatings should not be carried out on vulnerable parts such as the stomach and head, beating with the purpose and basis of education and must not be excessive, the beatings must be carried out alternately, not in one part only, the beatings must be given a time lag, and must not be repeated, in hitting the elbows must not be lifted. beatings should not be carried out in a state of anger, refrain from hitting a child when he mentions the name of Allah, should not hit a child unless he is 10 years old. Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman orangtua dalam memberikan hukuman pemukulan kepada anak-anaknya dalam rangka mendirikan shalat, kebanyakan orangtua memukul anaknya tidak mengenal batasan, sehingga orangtua berpotensi melakukan tindak pidana. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui batasan dalam memukul anak yang enggan mengerjakan shalat, sehingga orangtua memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam memberikan hukuman kepada anaknya. jenis penelitian kualitatif ini menggunakan analisis isi dalam penyimpulannya. Hasil penelitian ini yaitu: hukum Islam dan hukum Positif mengandung tujuan hukum (maqashid al-syariah) tertentu dalam memukul anak. Dalam hadits tentang perintah memukul anak 10 tahun yang enggan melaksanakan shalat bertujuan untuk menjaga atau memelihara Agama, sedangkan dalam hukum Positif bertujuan untuk menjaga jiwa atau kehidupan sang anak. Adapun batasan dalam memukul anak yaitu: Pemukulan dilakukan atas kesalahan yang telah terjadi, bukan kesalahan yang ditakutkan akan terjadi, pemukulan tidak boleh mencederai anak dan disesuaikan dengan keadaan serta usia anak, pemukulan tidak boleh dilakukan pada bagian yang rawan seperti perut dan kepala, pemukulan dengan maksud dan dasar pendidikan serta tidak boleh berlebihan, pemukulan harus dilakukan berselang-seling, bukan pada satu bagian saja, pemukulan harus diberikan jeda waktu, dan
摘要本研究的动机是家长在给予孩子体罚以建立祈祷的误解,大多数家长体罚孩子没有界限,从而使家长有可能实施犯罪行为。本文的目的是找出对不愿祈祷的孩子进行体罚的限度,让父母在对孩子的惩罚上有认识和理解。这种类型的定性研究在结论中使用内容分析。这项研究的结果是:伊斯兰法和实在法在打孩子方面包含一定的法律目标(maqashid al-syariah)。在圣训中,命令击打一个不愿祈祷的10岁孩子的目的是维护或维持宗教,而在实在法中,目的是保护孩子的灵魂或生命。至于打孩子的限制,即:跳动进行对于已经发生的错误,不担心发生错误,殴打不得伤害孩子和调整的情况和年龄的孩子,不应该进行殴打脆弱的部位,如腹部和头部,跳动的目的和基础教育,不能过度,殴打必须交替进行的,不只是其中一部分,必须给定一个时间间隔,殴打,不能重复,在击球时肘部不得抬起。不应该在愤怒的状态下进行殴打,不要在孩子提到安拉的名字时打他,不应该打孩子,除非他是10岁。摘要:Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman orangtua dalam memberikan hukuman pemukulan kepada anaknya dalam rangka mendirikan shalat, kebanyakan orangtua memukul anaknya tidak mengenal batasan, sehinga orangtua berpotensi melakukan tindak pidana。图胡安penulisan ini adalah untuk mengetahui batasan dalam memukul anak yang enggan mengerjakan shalat, sehinga猩猩memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam memberikan hukuman kepada anakya。Jenis penelitian quality of mongunakan analysis is dalam penelitian pulpulannya。哈西尔penelitian ini yyitu: hukum Islam dan hukum Positif mengandung tujuan hukum (maqashid al-syariah) tertentu dalam memukul anak。我的意思是,我的意思是,我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思是我的意思。Adapun batasan dalam memukul anak yitu:Pemukulan dilakukan atas kesalahan yang ditakutkan akan terjadi, bukan kesalahan yang ditakutkan akan terjadi, Pemukulan tidak bolek boleh dilakukan paada bagian yang rawan seperti perut dan kejadi, Pemukulan tidak boleh boldakakan boldkan pendidikan serta tikh bollebihan, Pemukulan dengan maksud dan dasar pendidikan serta bollebihan, Pemukulan harus dilakukan berselang-seling, bukan padadu bagian saja, Pemukulan harus diberikan jeda waktu, dan tidak boltuh boltubi -tubi,Dalam memukul tidak boleh mengangkat siku。这句话的意思是:“我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是。”
{"title":"BATASAN MEMUKUL ANAK UNTUK MELAKSANAKAN SHOLAT MENURUT HUKUM ISLAM & HUKUM POSITIF","authors":"Harry Pribadi Garfes","doi":"10.32923/ifj.v2i02.2015","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i02.2015","url":null,"abstract":"Abstract \u0000This research is motivated by the misunderstanding of parents in giving punishments of beating their children in order to establish prayers, most parents beat their children without boundaries, so that parents have the potential to commit criminal acts. The purpose of this paper is to find out the limits in hitting children who are reluctant to pray, so that parents have knowledge and understanding in giving punishment to their children. This type of qualitative research uses content analysis in its conclusion. The results of this study are: Islamic law and positive law contain certain legal goals (maqashid al-syariah) in hitting children. In the hadith about the command to hit a 10-year-old child who is reluctant to pray it aims to maintain or maintain religion, while in positive law it aims to protect the soul or life of the child. As for the limitations in hitting a child, namely: Beating is carried out for mistakes that have occurred, not mistakes that are feared to occur, beatings may not injure the child and are adjusted to the circumstances and age of the child, beatings should not be carried out on vulnerable parts such as the stomach and head, beating with the purpose and basis of education and must not be excessive, the beatings must be carried out alternately, not in one part only, the beatings must be given a time lag, and must not be repeated, in hitting the elbows must not be lifted. beatings should not be carried out in a state of anger, refrain from hitting a child when he mentions the name of Allah, should not hit a child unless he is 10 years old. \u0000Abstrak \u0000Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman orangtua dalam memberikan hukuman pemukulan kepada anak-anaknya dalam rangka mendirikan shalat, kebanyakan orangtua memukul anaknya tidak mengenal batasan, sehingga orangtua berpotensi melakukan tindak pidana. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui batasan dalam memukul anak yang enggan mengerjakan shalat, sehingga orangtua memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam memberikan hukuman kepada anaknya. jenis penelitian kualitatif ini menggunakan analisis isi dalam penyimpulannya. Hasil penelitian ini yaitu: hukum Islam dan hukum Positif mengandung tujuan hukum (maqashid al-syariah) tertentu dalam memukul anak. Dalam hadits tentang perintah memukul anak 10 tahun yang enggan melaksanakan shalat bertujuan untuk menjaga atau memelihara Agama, sedangkan dalam hukum Positif bertujuan untuk menjaga jiwa atau kehidupan sang anak. Adapun batasan dalam memukul anak yaitu: Pemukulan dilakukan atas kesalahan yang telah terjadi, bukan kesalahan yang ditakutkan akan terjadi, pemukulan tidak boleh mencederai anak dan disesuaikan dengan keadaan serta usia anak, pemukulan tidak boleh dilakukan pada bagian yang rawan seperti perut dan kepala, pemukulan dengan maksud dan dasar pendidikan serta tidak boleh berlebihan, pemukulan harus dilakukan berselang-seling, bukan pada satu bagian saja, pemukulan harus diberikan jeda waktu, dan","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134259024","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Social, cultural, and religious values view that adultery in all its forms, whether committed by people who are married or who are not married, is a very disgraceful act, Political developments adultery criminal laws in the Book of the Criminal Justice Act and the Draft Code of Criminal Law, a. According RKUHP term used to refer to the term fornication is permukahan, b. Based on Article 483 paragraph (1) the concept of KUHP perpetrators of permukahan crimes are threatened with a maximum imprisonment of five years, c. the concept of KUHP is that the concept does not distinguish between married and unmarried perpetrators. d. RKUHP does not require any more for man’s subject to Article 27 BW (Civil Code).
{"title":"Politik Hukum Tindak Pidana Perzinahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana","authors":"Ndaru Satrio","doi":"10.32923/ifj.v2i02.2016","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i02.2016","url":null,"abstract":"Social, cultural, and religious values view that adultery in all its forms, whether committed by people who are married or who are not married, is a very disgraceful act, Political developments adultery criminal laws in the Book of the Criminal Justice Act and the Draft Code of Criminal Law, a. According RKUHP term used to refer to the term fornication is permukahan, b. Based on Article 483 paragraph (1) the concept of KUHP perpetrators of permukahan crimes are threatened with a maximum imprisonment of five years, c. the concept of KUHP is that the concept does not distinguish between married and unmarried perpetrators. d. RKUHP does not require any more for man’s subject to Article 27 BW (Civil Code).","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129205652","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Nafkah adalah salahsatu hak finansial yang ditetapkan oleh Syariat Islam yang muncul dari akad nikah yang sah. Dalam menentukan standar nafkah wajib ahli hukum Islam (fuqahā) melihat ada berbagai pertimbangan yang dapat dijadikan acuan yaitu kondisi suami (hāl az-zauj), kebutuahn atau kondisi istri (hāl az-zaujah) atau keadaan keduanya secara bersamaan. Sementara dalam hukum positif keluarga muslim Indoensia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa ketentuan standar kewajiban nafkah menyesuaikan kondisi suami. Standar nafkah dalam fiqh mengakomodir banyak sisi, sementara dalam KHI lebih sederhana karena mengambil satu pandangan fiqh saja. Ketetapan dalam KHI bahwa standar nakfah menyesuaikan kondisi suami mengadopsi pandangan mazhab jumhur fuqaha.
{"title":"STANDAR NAFKAH WAJIB ISTRI PERSFEKTIF FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM","authors":"Reno Ismanto","doi":"10.32923/ifj.v2i01.1937","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i01.1937","url":null,"abstract":"Nafkah adalah salahsatu hak finansial yang ditetapkan oleh Syariat Islam yang muncul dari akad nikah yang sah. Dalam menentukan standar nafkah wajib ahli hukum Islam (fuqahā) melihat ada berbagai pertimbangan yang dapat dijadikan acuan yaitu kondisi suami (hāl az-zauj), kebutuahn atau kondisi istri (hāl az-zaujah) atau keadaan keduanya secara bersamaan. Sementara dalam hukum positif keluarga muslim Indoensia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa ketentuan standar kewajiban nafkah menyesuaikan kondisi suami. Standar nafkah dalam fiqh mengakomodir banyak sisi, sementara dalam KHI lebih sederhana karena mengambil satu pandangan fiqh saja. Ketetapan dalam KHI bahwa standar nakfah menyesuaikan kondisi suami mengadopsi pandangan mazhab jumhur fuqaha.","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"78 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130797666","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini berupaya menjelaskan tentang fenomena perempuan yang dianggap sebagai makhluk kelas dua oleh beberapa penafsiran klasik dari teks-teks Al-Qur’an. Sehingga kaum perempuan menjadi inferior. Hal tersebut diperparah dengan anggapan-anggapan yang diambil dari pemahaman-pemahaman budaya yang tidak konstruktif. Padahal perempuan diciptakan sama oleh Allah Swt sebagai manusia, kemudian mengapa mereka dibatasi ruang geraknya, mulai dari ruang-ruang di dalam rumah tangga (domestik) sampai pada ruang publik atau kehidupan sosial. Penelitian ini bermula dari kajian-kajian yang diambil dari buku-buku klasik (turast), kemudian dibandingkan dengan realitas kekinian sehingga menemukan akar masalah sekaligus solusi tentang interpretasi-interpretasi sebelumnya. Tulisan ini diharapkan dapat mewarnai keilmuan hukum keluarga di Indonesia.
{"title":"FEMINIS SEBAGAI ALAT KESADARAN DALAM PERPEKTIF ISLAM TRADISIONAL","authors":"M. N. Fanindy","doi":"10.32923/ifj.v2i01.1938","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i01.1938","url":null,"abstract":"Tulisan ini berupaya menjelaskan tentang fenomena perempuan yang dianggap sebagai makhluk kelas dua oleh beberapa penafsiran klasik dari teks-teks Al-Qur’an. Sehingga kaum perempuan menjadi inferior. Hal tersebut diperparah dengan anggapan-anggapan yang diambil dari pemahaman-pemahaman budaya yang tidak konstruktif. Padahal perempuan diciptakan sama oleh Allah Swt sebagai manusia, kemudian mengapa mereka dibatasi ruang geraknya, mulai dari ruang-ruang di dalam rumah tangga (domestik) sampai pada ruang publik atau kehidupan sosial. Penelitian ini bermula dari kajian-kajian yang diambil dari buku-buku klasik (turast), kemudian dibandingkan dengan realitas kekinian sehingga menemukan akar masalah sekaligus solusi tentang interpretasi-interpretasi sebelumnya. Tulisan ini diharapkan dapat mewarnai keilmuan hukum keluarga di Indonesia.","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"179 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132924715","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ritualitas ibadah puasa ramadhan bukanlah sekedar ibadah yang berdimensi legal formalistik semata, seperti syarat, rukun, dan sah, batal atau tidaknya ibadah puasa tersebut. Namun demikian penting disadari bahwa pensyariatan ibadah puasa memiliki nilai-nilai falsafah hukum Islam yang termuat di dalamnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengeksplorasi nilai-nilai maqasid shariah yang termuat dalam perintah kewajiban ritualitas ibadah puasa ramadhan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berupa kajian pustaka (library research) dengan pendekatan normatif filosofis. Sumber data yang digunakan, yakni pelbagai literarur ilmiah, baik berupa buku (kitab) dan artikel jurnal ilmiah terkait pembahasan nilai-nilai falsafah ibadah puasa ramdhan. Sementara itu, teori analisis yang digunakan, yakni teori maqasid shariah yang dikembangkan oleh Jasser Auda. Hasil penelitian menyimpulkan terdapat tiga nilai maqasid shariah yang termuat dalam ibadah puasa ramadhan, antara lain (1) Peningkatan keimanan sebagai orientasi hifz din (2) Pendidikan karakter sebagai orientasi hifz nafs (3) Kepeduliaan sosial sebagai orientasi hifz mal.
{"title":"Dimensi Maqasid Shariah Dalam Ritualitas Ibadah Puasa Ramadhan","authors":"Athoillah Islamy","doi":"10.32923/ifj.v2i01.1785","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i01.1785","url":null,"abstract":"Ritualitas ibadah puasa ramadhan bukanlah sekedar ibadah yang berdimensi legal formalistik semata, seperti syarat, rukun, dan sah, batal atau tidaknya ibadah puasa tersebut. Namun demikian penting disadari bahwa pensyariatan ibadah puasa memiliki nilai-nilai falsafah hukum Islam yang termuat di dalamnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengeksplorasi nilai-nilai maqasid shariah yang termuat dalam perintah kewajiban ritualitas ibadah puasa ramadhan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berupa kajian pustaka (library research) dengan pendekatan normatif filosofis. Sumber data yang digunakan, yakni pelbagai literarur ilmiah, baik berupa buku (kitab) dan artikel jurnal ilmiah terkait pembahasan nilai-nilai falsafah ibadah puasa ramdhan. Sementara itu, teori analisis yang digunakan, yakni teori maqasid shariah yang dikembangkan oleh Jasser Auda. Hasil penelitian menyimpulkan terdapat tiga nilai maqasid shariah yang termuat dalam ibadah puasa ramadhan, antara lain (1) Peningkatan keimanan sebagai orientasi hifz din (2) Pendidikan karakter sebagai orientasi hifz nafs (3) Kepeduliaan sosial sebagai orientasi hifz mal.","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"45 1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115547438","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kelem hereditary is one of the customary laws in the matter of the inheritance rights of grandchildren which is the result of the agreement of former community leaders in Kecicang Islam Village, Bungaya Kangin Village, Bebandem District, Karangasem Regency, Bali Province. Kelem comes from the Balinese language which means drowned. In terms of hereditary, kewarisan kelem means a grandson whose father or mother (the heir) died before the grandfather or grandmother (the inheritor) is said to have drowned (blocked) from inheritance rights because it is hindered by the parents’ brothers who are still alive. This is in contrast to the hereditary law system in Indonesia in the form of Islamic Law Compilation article 185 paragraph 1, which explains that, the heir who dies before the inheritors can be replaced by his child. The research method used was field research. This research was a descriptive analytic with juridical normative approach. Data collection methods used include interviews and documentation. After the data was collected, it was analyzed in a descriptive qualitative way with the 'urf and the theory of substitute heirs. The results showed that kelem hereditary is one of the customary laws as the result of the agreement of former community leaders in Kecicang Islam. This contradicts both Sunni and Shi'ah hereditary law systems as well as the hereditary laws in Indonesia.
{"title":"Tinjauan Hukum Islam terhadap Kewarisan Kelem pada Masyarakat Kecicang Islam","authors":"I. Umam","doi":"10.32923/ifj.v2i01.1814","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i01.1814","url":null,"abstract":"Kelem hereditary is one of the customary laws in the matter of the inheritance rights of grandchildren which is the result of the agreement of former community leaders in Kecicang Islam Village, Bungaya Kangin Village, Bebandem District, Karangasem Regency, Bali Province. Kelem comes from the Balinese language which means drowned. In terms of hereditary, kewarisan kelem means a grandson whose father or mother (the heir) died before the grandfather or grandmother (the inheritor) is said to have drowned (blocked) from inheritance rights because it is hindered by the parents’ brothers who are still alive. This is in contrast to the hereditary law system in Indonesia in the form of Islamic Law Compilation article 185 paragraph 1, which explains that, the heir who dies before the inheritors can be replaced by his child. The research method used was field research. This research was a descriptive analytic with juridical normative approach. Data collection methods used include interviews and documentation. After the data was collected, it was analyzed in a descriptive qualitative way with the 'urf and the theory of substitute heirs. The results showed that kelem hereditary is one of the customary laws as the result of the agreement of former community leaders in Kecicang Islam. This contradicts both Sunni and Shi'ah hereditary law systems as well as the hereditary laws in Indonesia.","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"4 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133958383","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This paper discusses about witchcraft which is one of the controversial delict in draft criminal law september 2019 (RKUHP) in Indonesia. This is because most of the general public assumes that witchcraft is believed to be an act that can harm people, suffer and or even kill people. However, in accordance with the principle of legality and the difficulty of proof, witchcraft deeds so far can not be entered into the realm of justice so that it is not uncommon for people accused of witchcraft to lose their lives without going through legal process. Therefore, in this study by analyzing the witchcraft delict in the construction of RKUHP this study uses normative legal research methods whose data are obtained through literature studies. The results obtained revealed that witchcraft is a criminal act that must be constructed into the category of delik formil whose proof does not necessarily lead to the existence or absence of a supernatural force it self owned by the perpetrator or individual. However, what can be used as a delik is a criminal act committed that is a person who deliberately announces himself to have supernatural powers as article 252 paragraph 1 RKUHP.
{"title":"Eksistensi Pemaknaan Santet pada Pembaharuan Hukum Pidana","authors":"R. Anwar","doi":"10.32923/ifj.v2i01.1700","DOIUrl":"https://doi.org/10.32923/ifj.v2i01.1700","url":null,"abstract":"This paper discusses about witchcraft which is one of the controversial delict in draft criminal law september 2019 (RKUHP) in Indonesia. This is because most of the general public assumes that witchcraft is believed to be an act that can harm people, suffer and or even kill people. However, in accordance with the principle of legality and the difficulty of proof, witchcraft deeds so far can not be entered into the realm of justice so that it is not uncommon for people accused of witchcraft to lose their lives without going through legal process. Therefore, in this study by analyzing the witchcraft delict in the construction of RKUHP this study uses normative legal research methods whose data are obtained through literature studies. The results obtained revealed that witchcraft is a criminal act that must be constructed into the category of delik formil whose proof does not necessarily lead to the existence or absence of a supernatural force it self owned by the perpetrator or individual. However, what can be used as a delik is a criminal act committed that is a person who deliberately announces himself to have supernatural powers as article 252 paragraph 1 RKUHP.","PeriodicalId":315035,"journal":{"name":"ISLAMITSCH FAMILIERECHT JOURNAL","volume":"18 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128496809","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}