Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mendapatkan perhatian khusus dalam masyarakat Islam. Praktik kesenian dalam perspektif agama yang berhubungan dengan gerakan moral, salah satunya tampak pada media dakwah visual. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan makna poster dakwah, pesan apa yang ingin disampaikan oleh desainer kepada umat Islam secara luas. Selain itu, Tulisan ini juga ingin menemukan kaitan antara seni dan agama. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Adapun semiotika Peirce digunakan sebagai alat analisis. Hasilnya, poster dakwah sebagai media untuk berdakwah merupakan salah satu ekspresi kecintaan kepada Sang Khalik. Poster dakwah merupakan sebentuk media persuasif yang mengingatkan tugas utama makhluk kepada Tuhannya, yaitu beribadah.
{"title":"Dakwah Visual: Ekspresi Keimanan Seorang Muslim dalam Poster Digital","authors":"Ahmad Faiz Muntazori","doi":"10.30998/HN.V1I2.351","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I2.351","url":null,"abstract":"Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mendapatkan perhatian khusus dalam masyarakat Islam. Praktik kesenian dalam perspektif agama yang berhubungan dengan gerakan moral, salah satunya tampak pada media dakwah visual. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan makna poster dakwah, pesan apa yang ingin disampaikan oleh desainer kepada umat Islam secara luas. Selain itu, Tulisan ini juga ingin menemukan kaitan antara seni dan agama. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Adapun semiotika Peirce digunakan sebagai alat analisis. Hasilnya, poster dakwah sebagai media untuk berdakwah merupakan salah satu ekspresi kecintaan kepada Sang Khalik. Poster dakwah merupakan sebentuk media persuasif yang mengingatkan tugas utama makhluk kepada Tuhannya, yaitu beribadah.","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116099018","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sistem filsafat Immanuel Kant, terutama epistemologinya, berusaha untuk menjembatani pertentangan antara rasionalisme dan empirisisme. Strategi yang diambil oleh Kant, adalah membuktikan bahwa pengetahuan manusia sudah senantiasa menyintesiskan unsur a priori dan a posteriori dari pengetahuan. Salah satu implikasi ontologis dari sistem berpikir ini adalah perceraian antara fenomena dan noumena. Yang pertama menjadi objek pengetahuan, sementara yang kedua menjadi objek etika. Noumena, sebagai entitas yang tak terjamah pengetahuan, kerap dipandang sebagai suaka bagi metafisika di dalam filsafat Kant. Tulisan ini berusaha untuk membuktikan tafsiran yang sebaliknya; bahwa noumena sama sekali bukan entitas metafisis, melainkan dunia yang sepenuhnya empiris—pengalaman inderawi murni yang mendahului pengetahuan.
{"title":"Dialami Tanpa Mungkin Diketahui: sebuah Sanggahan atas Penafsiran Noumena Immanuel Kant sebagai Entitas Metafisis","authors":"Muhammad R. Nirasma","doi":"10.30998/HN.V1I2.350","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I2.350","url":null,"abstract":"Sistem filsafat Immanuel Kant, terutama epistemologinya, berusaha untuk menjembatani pertentangan antara rasionalisme dan empirisisme. Strategi yang diambil oleh Kant, adalah membuktikan bahwa pengetahuan manusia sudah senantiasa menyintesiskan unsur a priori dan a posteriori dari pengetahuan. Salah satu implikasi ontologis dari sistem berpikir ini adalah perceraian antara fenomena dan noumena. Yang pertama menjadi objek pengetahuan, sementara yang kedua menjadi objek etika. Noumena, sebagai entitas yang tak terjamah pengetahuan, kerap dipandang sebagai suaka bagi metafisika di dalam filsafat Kant. Tulisan ini berusaha untuk membuktikan tafsiran yang sebaliknya; bahwa noumena sama sekali bukan entitas metafisis, melainkan dunia yang sepenuhnya empiris—pengalaman inderawi murni yang mendahului pengetahuan.","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"9 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114304891","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini menjabarkan perkembangan diskusi dalam disiplin antropologi mengenai fenomena sosial yang dimediasi oleh teknologi digital dan tinjauan kritis dari studi terhadap fenomena tersebut. Lebih lanjut lagi, dalam konteks perkembangan antropologi di Indonesia, tulisan ini bertujuan memberikan pengantar dalam menggunakan pendekatan etnografi untuk berbagai gejala sosial budaya yang berkaitan dengan teknologi digital media atau muncul melalui apparatus teknologi tersebut. Tulisan ini akan diawali dengan paparan mengenai kajian-kajian etnografi terhadap teknologi media dan melihat kesinambungannya dengan kajian-kajian mengenai media secara umum dalam disiplin antropologi. Paparan selanjutnya akan mengelaborasi pembagian tematik yang dikembangkan oleh Gabrielle Coleman mengenai kajian-kajian antropologi mengenai media digital, untuk kemudian di kaitkan dengan perkembangan studi-studi dengan topik ini di komunitas akademik di Indonesia. Bagian akhir akan mengulas secara kritikal kedua tinjauan di atas dan memberikan potensi dan kecenderungan yang krusial untuk dijadikan metodologi jika kita hendak menganalisa perkembangan gejala sosial budaya yang dimediasi teknologi media di Indonesia
{"title":"Mereimajinasi Metodologi dan Mengatasi Sains Fiksi: Pendekatan-Pendekatan dalam Antropologi terhadap Fenomena Mediasi Digital","authors":"Imam Ardhianto","doi":"10.30998/HN.V1I2.324","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I2.324","url":null,"abstract":"Artikel ini menjabarkan perkembangan diskusi dalam disiplin antropologi mengenai fenomena sosial yang dimediasi oleh teknologi digital dan tinjauan kritis dari studi terhadap fenomena tersebut. Lebih lanjut lagi, dalam konteks perkembangan antropologi di Indonesia, tulisan ini bertujuan memberikan pengantar dalam menggunakan pendekatan etnografi untuk berbagai gejala sosial budaya yang berkaitan dengan teknologi digital media atau muncul melalui apparatus teknologi tersebut. Tulisan ini akan diawali dengan paparan mengenai kajian-kajian etnografi terhadap teknologi media dan melihat kesinambungannya dengan kajian-kajian mengenai media secara umum dalam disiplin antropologi. Paparan selanjutnya akan mengelaborasi pembagian tematik yang dikembangkan oleh Gabrielle Coleman mengenai kajian-kajian antropologi mengenai media digital, untuk kemudian di kaitkan dengan perkembangan studi-studi dengan topik ini di komunitas akademik di Indonesia. Bagian akhir akan mengulas secara kritikal kedua tinjauan di atas dan memberikan potensi dan kecenderungan yang krusial untuk dijadikan metodologi jika kita hendak menganalisa perkembangan gejala sosial budaya yang dimediasi teknologi media di Indonesia","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114141053","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Masyarakat madani merupakan produk sejarah kemasyarakatan yang muncul sebagai suatu paradigma dalam membentuk tata kemasyarakatan yang ideal. Pada zaman ini, muncul kecemasan akan banyaknya konflik dan diskriminasi dengan dalih perbedaan agama. Sebagai kampung yang dikenal karena toleransi antarwarga masyarakatnya, Kampung Sawah hadir melawan fenomena tersebut. Masyarakat Kampung Sawah telah terbiasa hidup dalam perbedaan agama dan sikap toleran. Kerukunan di sana sudah lama terbangun melalui budaya yang identik dengan Betawi. Prinsip-prinsip masyarakat madani bukan slogan belaka, tapi sudah menjadi adat bagi masyarakat Kampung Sawah. Menggunakan metode deskriptif-analitis, tulisan ini berusaha memahami fenomena toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Kampung Sawah berdasarkan konsep masyarakat madani sebagai kerangka analisisnya
{"title":"Kerukunan Antarumat Beragama di Kampung Sawah, Bekasi: Potret Masyarakat Madani","authors":"Mia Fitriah Elkarimah","doi":"10.30998/HN.V1I2.180","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I2.180","url":null,"abstract":"Masyarakat madani merupakan produk sejarah kemasyarakatan yang muncul sebagai suatu paradigma dalam membentuk tata kemasyarakatan yang ideal. Pada zaman ini, muncul kecemasan akan banyaknya konflik dan diskriminasi dengan dalih perbedaan agama. Sebagai kampung yang dikenal karena toleransi antarwarga masyarakatnya, Kampung Sawah hadir melawan fenomena tersebut. Masyarakat Kampung Sawah telah terbiasa hidup dalam perbedaan agama dan sikap toleran. Kerukunan di sana sudah lama terbangun melalui budaya yang identik dengan Betawi. Prinsip-prinsip masyarakat madani bukan slogan belaka, tapi sudah menjadi adat bagi masyarakat Kampung Sawah. Menggunakan metode deskriptif-analitis, tulisan ini berusaha memahami fenomena toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Kampung Sawah berdasarkan konsep masyarakat madani sebagai kerangka analisisnya","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"23 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128226121","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Media massa memiliki peran penting dalam pembentukan identitas nasional, khususnya di Indonesia yang memiliki wilayah berupa kepulauan. Namun demikian, kurang meratanya ketersediaan akses ke media massa di seluruh wilayah Indonesia masih menjadi kendala bagi efektivitas peran media massa tersebut. Tulisan ini berupaya menyajikan gambaran empiris mengenai akses media massa di daerah perbatasan dalam kaitannya dengan pembentukan nasionalisme dan identitas kebangsaan di daerah tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, di mana pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Lokus penelitian adalah Kota Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terletak di daerah perbatasan Indonesia–Timor Leste. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nasionalisme dan identitas kebangsaan di daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh peristiwa pemisahan Timor Leste dari Indonesia pada 1999 dan dampak sosiologisnya yang masih dirasakan hingga saat ini. Media massa, khususnya yang lokal, melalui peliputan dan pemberitaan mereka, berperan dalam mengelola isu sosiohistoris ini di dalam kehidupan bermasyarakat.
{"title":"Peran Media Massa dalam Pembentukan Identitas Nasional di Wilayah Perbatasan Indonesia–Timor Leste","authors":"Ernalem Bangun","doi":"10.30998/HN.V1I2.354","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I2.354","url":null,"abstract":"Media massa memiliki peran penting dalam pembentukan identitas nasional, khususnya di Indonesia yang memiliki wilayah berupa kepulauan. Namun demikian, kurang meratanya ketersediaan akses ke media massa di seluruh wilayah Indonesia masih menjadi kendala bagi efektivitas peran media massa tersebut. Tulisan ini berupaya menyajikan gambaran empiris mengenai akses media massa di daerah perbatasan dalam kaitannya dengan pembentukan nasionalisme dan identitas kebangsaan di daerah tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, di mana pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Lokus penelitian adalah Kota Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terletak di daerah perbatasan Indonesia–Timor Leste. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nasionalisme dan identitas kebangsaan di daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh peristiwa pemisahan Timor Leste dari Indonesia pada 1999 dan dampak sosiologisnya yang masih dirasakan hingga saat ini. Media massa, khususnya yang lokal, melalui peliputan dan pemberitaan mereka, berperan dalam mengelola isu sosiohistoris ini di dalam kehidupan bermasyarakat.","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"44 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126692929","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The technology of plastic surgery has been beneficial to mankind around the world. Plastic surgery can help people to retain and regain the function on some part of the body that was damaged. However, plastic surgery came with a handful of ethical issues. With the ability to alter one’s own body, many women sought to use this technology to beautify themselves. This part of technology then later was named as cosmetic surgery. By the reasoning of self-autonomy and free will, a person can easily alter their own physique according to their own will. This paper aimed to analyze this phenomenon based on philosophical thoughts regarding aesthetic purpose where it argued that beauty is a construction of media and society, not a construction that came from within one’s self. This paper argued that cosmetic surgery technology preyed upon women and instead of firming the position of self-autonomy and free will; it degrades women as a human of free will. The over-application of technology will only objectify women and it poses a danger as it can be used as a tool to satisfy certain interests
{"title":"Ethical Issues in Cosmetic Surgery for Women: Self-Actualization or Manipulation?","authors":"Nurulfatmi Amzy","doi":"10.30998/HN.V1I1.98","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I1.98","url":null,"abstract":"The technology of plastic surgery has been beneficial to mankind around the world. Plastic surgery can help people to retain and regain the function on some part of the body that was damaged. However, plastic surgery came with a handful of ethical issues. With the ability to alter one’s own body, many women sought to use this technology to beautify themselves. This part of technology then later was named as cosmetic surgery. By the reasoning of self-autonomy and free will, a person can easily alter their own physique according to their own will. This paper aimed to analyze this phenomenon based on philosophical thoughts regarding aesthetic purpose where it argued that beauty is a construction of media and society, not a construction that came from within one’s self. This paper argued that cosmetic surgery technology preyed upon women and instead of firming the position of self-autonomy and free will; it degrades women as a human of free will. The over-application of technology will only objectify women and it poses a danger as it can be used as a tool to satisfy certain interests","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"23 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122239235","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This study examines the symbolic representations of cultural meanings behind the traditional wedding procession in West Sumatra. This study is a descriptive qualitative study whose data were collected by literature study. The collected data were analyzed using a descriptive approach based on Roland Barthes’s theory of semiotics which includes the discussion on denotative and connotative meaning as well as myth. The results of the analysis were presented in the form of a description of Roland Barthes's semiotic symbols. By examining the marriage procession, there are two interesting topics that can be studied further more. Firstly, the wedding procession itself. Secondly, the variety of materials and objects which are used when performing the traditional wedding procession.
{"title":"The Semiotic Representation Analysis of Wedding Ceremony in West Sumatera Province","authors":"Y. M. Passandaran","doi":"10.30998/HN.V1I1.24","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I1.24","url":null,"abstract":"This study examines the symbolic representations of cultural meanings behind the traditional wedding procession in West Sumatra. This study is a descriptive qualitative study whose data were collected by literature study. The collected data were analyzed using a descriptive approach based on Roland Barthes’s theory of semiotics which includes the discussion on denotative and connotative meaning as well as myth. The results of the analysis were presented in the form of a description of Roland Barthes's semiotic symbols. By examining the marriage procession, there are two interesting topics that can be studied further more. Firstly, the wedding procession itself. Secondly, the variety of materials and objects which are used when performing the traditional wedding procession.","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"1208 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127435578","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap prosedur penerjemahan kata-kata budaya dalam novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Angie Kilbane. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sumber data berasal dari novel terjemahan Rainbow Troops oleh Angie Kilbane. Fokus penelitian ini berupa kata-kata budaya, sedangkan subfokus penelitiannya meliputi kata-kata budaya ekologi, artefak, sosial-budaya, dan organisiasi/ide/tradisi. Data dianalisis dengan menggunakan teori prosedur penerjemahan oleh Peter Newmark. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur yang digunakan penerjemah meliputi transfer, netralisasi, catatan tambahan, dan terjemahan literal.
{"title":"Kata-Kata Budaya dalam Novel Terjemahan Laskar Pelangi oleh Angie Kilbane","authors":"Erna Megawati","doi":"10.30998/HN.V1I1.26","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I1.26","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap prosedur penerjemahan kata-kata budaya dalam novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Angie Kilbane. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sumber data berasal dari novel terjemahan Rainbow Troops oleh Angie Kilbane. Fokus penelitian ini berupa kata-kata budaya, sedangkan subfokus penelitiannya meliputi kata-kata budaya ekologi, artefak, sosial-budaya, dan organisiasi/ide/tradisi. Data dianalisis dengan menggunakan teori prosedur penerjemahan oleh Peter Newmark. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur yang digunakan penerjemah meliputi transfer, netralisasi, catatan tambahan, dan terjemahan literal.","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"59 33 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124851352","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Betawi, kebudayaan masyarakat asli di wilayah Jakarta, lahir melalui proses historis dan sosiokultural yang panjang. Dalam proses perkembangannya, kebudayaan Betawi terus-menerus mengalami perjumpaan dengan budaya-budaya lain yang berdatangan ke wilayah Jakarta. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dapat dibaca sebagai sebuah penanda bahwa budaya Betawi telah menjadi suatu budaya yang mulai ‘dimuseumkan’ demi menjaga kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi sosial di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang memungkinkan peneliti menggali lebih dalam dengan masuk sebagai pengamat sekaligus partisipan dalam kehidupan sosial di wilayah tersebut. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah wujud kehidupan sehari-hari yang dibentuk secara dialektis oleh komunitas Betawi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan masyarakat Srengseng Sawah.
{"title":"Konstruksi Sosial Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Dalam Kehidupan Sehari-Hari","authors":"Herliyana Rosalinda, Pandu Pramudita, Enny Nurcahyawati","doi":"10.30998/HN.V1I1.14","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I1.14","url":null,"abstract":"Betawi, kebudayaan masyarakat asli di wilayah Jakarta, lahir melalui proses historis dan sosiokultural yang panjang. Dalam proses perkembangannya, kebudayaan Betawi terus-menerus mengalami perjumpaan dengan budaya-budaya lain yang berdatangan ke wilayah Jakarta. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dapat dibaca sebagai sebuah penanda bahwa budaya Betawi telah menjadi suatu budaya yang mulai ‘dimuseumkan’ demi menjaga kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi sosial di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang memungkinkan peneliti menggali lebih dalam dengan masuk sebagai pengamat sekaligus partisipan dalam kehidupan sosial di wilayah tersebut. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah wujud kehidupan sehari-hari yang dibentuk secara dialektis oleh komunitas Betawi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan masyarakat Srengseng Sawah.","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"26 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125143718","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
During the course of the New Order in Indonesia, communism and Indonesian Communist Party (PKI) as its manifestation was constructed as the nemesis of the state and even the whole nation. Communism became a taboo that everyone has to avoid or condemn. With the fall of the New Order, a lot of historical discourses about communism in Indonesia were produced to contend the official historiography. Formal discrimination through several laws and regulations against ex-PKI or allegedly communists was also stripped by the new government. However, the taboo and abjection itself is not entirely died out. In post-Reformasi Indonesia, the mechanism of rejection and condemnation to the communism has been working through many social processes. One of them is the censorship towards ‘leftist publications’ and persecutions towards public forums discussing ‘leftist discourses’, usually orchestrated by non-state actors, particularly civil or mass organizations. This article, using ethnography as its method and Foucauldian analysis of governmentality as theoretical framework, aims to discuss how such censorships and persecutions occur as a symptom of the ongoing abjection towards communism in Indonesia.
{"title":"Rezim tanpa Rezim: Kepenataan dan Wacana Komunisme di Ranah Perbukuan Indonesia Kontemporer","authors":"Geger Riyanto","doi":"10.30998/HN.V1I1.97","DOIUrl":"https://doi.org/10.30998/HN.V1I1.97","url":null,"abstract":"During the course of the New Order in Indonesia, communism and Indonesian Communist Party (PKI) as its manifestation was constructed as the nemesis of the state and even the whole nation. Communism became a taboo that everyone has to avoid or condemn. With the fall of the New Order, a lot of historical discourses about communism in Indonesia were produced to contend the official historiography. Formal discrimination through several laws and regulations against ex-PKI or allegedly communists was also stripped by the new government. However, the taboo and abjection itself is not entirely died out. In post-Reformasi Indonesia, the mechanism of rejection and condemnation to the communism has been working through many social processes. One of them is the censorship towards ‘leftist publications’ and persecutions towards public forums discussing ‘leftist discourses’, usually orchestrated by non-state actors, particularly civil or mass organizations. This article, using ethnography as its method and Foucauldian analysis of governmentality as theoretical framework, aims to discuss how such censorships and persecutions occur as a symptom of the ongoing abjection towards communism in Indonesia.","PeriodicalId":325862,"journal":{"name":"Human Narratives","volume":"106 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132893263","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}