Pub Date : 2018-02-28DOI: 10.24246/alethea.vol1.no2.p142-155
Kristiyanti
Perjanjian internasional merupakan instrumen hukum yang memberikan kepastian hukum bagi setiap negara yang menjadi peserta perjanjian. Pada dasarnya, perjanjian internasional memiliki kategori law-making treaty dan treaty contract. Pada perjanjian internasional yang bersifat law-making treaty, perjanjian ini bersifat terbuka dan memiliki karakteristik general principles of law atau prinsip-prinsip umum internasional. Namun permasalahannya, setiap negara memiliki perikatan bebas dalam mengatur negaranya sendiri sehingga setiap negara memiliki kebijakan masing-masing untuk dapat menganut sistem monisme atau dualisme ketika meletakkan hukum internasional di sistem hukum nasional. Di sisi lain, kebiasaan internasional memuat prinsip jus cogens dimana semua negara tanpa terkecuali harus menghormati hukum kebiasaan internasional. Penelitian ini hendak mencermati konvensi status pengungsi internasional yang merupakan lex specialist dari Declaration of Human Rights karena Konvensi tersebut mengatur mengenai hak pengungsi lebih spesifik. Penulis menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan untuk menemukan jawaban terhadap rumusan permasalahan yang ditulis dalam penelitian ini. A treaty is a legal instrument that gives the State Parties legal certainty. Basically, there are two categories of treaties, namely law-making treaties and treaty contracts. Law-making treaties are open treaties and they represent general principles of law. However, each State has free consent to determine its behavior including the determination of whether it follows monism or dualism system when it applies international law in municipal law. On another side, customary international law represents principles of jus cogens where each State is obliged to respect it unexceptionally. This research is aimed to observe the Convention of Refugee Status which regulates the refugees’ rights specifically. The Author used conceptual and statutes approaches to discover an answer to the legal question of this research.
国际协议是为每一个参与协议的国家提供法律保障的工具。从本质上说,国际协议属于合法的treaty和treaty合同类别。在国际法上,这一协议是公开的,具有普遍的法律原则或国际普遍原则的特征。但问题是,每个国家都有自由支配自己的国家,因此每个国家都有各自的政策,即在将国际法纳入国家法律体系时,实行单一的货币或二元论制度。另一方面,国际习俗包含了cogens原则,所有国家都必须毫无例外地尊重国际法。本研究旨在审查《人权宣言》(lex specialist of Human Rights)的国际难民地位公约,因为它规定了更具体的难民权利。作者使用概念性和立法方法来找到研究中提出的问题的公式的答案。treaty是一种法律手段,赋予国家的党派是合法的。基本上,有两种治疗方法,namely律师treaty和treaty合同。律师的提议是开放的,他们代表法律的一般原则。在申请国际市立法时,每个国家都有不同的决定。另一方面,海关国际法律代表着每一种朝鲜果汁的原则,这是不可能实现的。这项研究旨在观察难民权利行为准则的庇护状态。已使用的附加条件和条件验证是否可以找到这个研究的合法问题的答案。
{"title":"THE 1951 REFUGEE CONVENTION – STUDI TENTANG KETERIKATAN NEGARA PADA PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG MEMILIKI KARAKTERISTIK LAW MAKING TREATY","authors":"Kristiyanti","doi":"10.24246/alethea.vol1.no2.p142-155","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no2.p142-155","url":null,"abstract":"Perjanjian internasional merupakan instrumen hukum yang memberikan kepastian hukum bagi setiap negara yang menjadi peserta perjanjian. Pada dasarnya, perjanjian internasional memiliki kategori law-making treaty dan treaty contract. Pada perjanjian internasional yang bersifat law-making treaty, perjanjian ini bersifat terbuka dan memiliki karakteristik general principles of law atau prinsip-prinsip umum internasional. Namun permasalahannya, setiap negara memiliki perikatan bebas dalam mengatur negaranya sendiri sehingga setiap negara memiliki kebijakan masing-masing untuk dapat menganut sistem monisme atau dualisme ketika meletakkan hukum internasional di sistem hukum nasional. Di sisi lain, kebiasaan internasional memuat prinsip jus cogens dimana semua negara tanpa terkecuali harus menghormati hukum kebiasaan internasional. Penelitian ini hendak mencermati konvensi status pengungsi internasional yang merupakan lex specialist dari Declaration of Human Rights karena Konvensi tersebut mengatur mengenai hak pengungsi lebih spesifik. Penulis menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan untuk menemukan jawaban terhadap rumusan permasalahan yang ditulis dalam penelitian ini. \u0000A treaty is a legal instrument that gives the State Parties legal certainty. Basically, there are two categories of treaties, namely law-making treaties and treaty contracts. Law-making treaties are open treaties and they represent general principles of law. However, each State has free consent to determine its behavior including the determination of whether it follows monism or dualism system when it applies international law in municipal law. On another side, customary international law represents principles of jus cogens where each State is obliged to respect it unexceptionally. This research is aimed to observe the Convention of Refugee Status which regulates the refugees’ rights specifically. The Author used conceptual and statutes approaches to discover an answer to the legal question of this research.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"39 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-02-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132271888","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-02-28DOI: 10.24246/alethea.vol1.no2.p171-184
Chikita Edrini Marpaung
Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) merupakan realisasi dari cita-cita berbagai negara yang menginginkan terbentuknya suatu unifikasi hukum kontrak dagang internasional sebagai bentuk perlindungan hukum bagi tiap negara yang melakukan perjanjian. Namun, dalam perkembangannya CISG juga membutuhkan aturan-aturan pelengkap dan tambahan untuk dapat mengikuti sistem informasi dan komunikasi yang semakin maju. Salah satu isu hukumnya ialah terkait dengan penggunaan internet dalam offer and acceptance yang dilakukan guna tercapainya suatu kesepakatan perjanjian. Dalam Pasal yang dimuat oleh CISG, diatur pula mengenai klausula “instantaneous communication” yang Penulis kaitkan terhadap penggunaan internet dan aplikasi komunikasi elektronik lainnya yang memungkinkan dalam melakukan offer and acceptance. Mengingat fakta bahwa sebelumnya, dalam praktik yang digunakan ialah telegram sebagai alat komunikasi dan kesepakatan yang terjadi. Namun penggunaan alat elektronik juga memiliki implikasi yang berbeda terhadap kegiatan offer and acceptance yang dilakukan. Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) is a realization of the ideas of many countries that are willing to make a legal unification of international business contracts as legal protection for the contracts which they have made. However, the practical development of CISG also needs some complementary and additional rules to anticipate the development of communication and information systems. One of the legal issues is related to the use of the internet in the offer and acceptance process which is performed to reach a consensus among the contracting parties. The CISG Provision regulates the “instantaneous communication” Clausule which will be related to the use of the internet and electronic communication application in order to perform offer and acceptance. The research sees a previous fact that telegram is used as a communication tool to reach consensus in a contract. Nevertheless, the use of electronic media has different implications for the offer and acceptance process.
{"title":"IMPLIKASI PENGGUNAAN INTERNET DALAM CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE OF GOODS","authors":"Chikita Edrini Marpaung","doi":"10.24246/alethea.vol1.no2.p171-184","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no2.p171-184","url":null,"abstract":"Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) merupakan realisasi dari cita-cita berbagai negara yang menginginkan terbentuknya suatu unifikasi hukum kontrak dagang internasional sebagai bentuk perlindungan hukum bagi tiap negara yang melakukan perjanjian. Namun, dalam perkembangannya CISG juga membutuhkan aturan-aturan pelengkap dan tambahan untuk dapat mengikuti sistem informasi dan komunikasi yang semakin maju. Salah satu isu hukumnya ialah terkait dengan penggunaan internet dalam offer and acceptance yang dilakukan guna tercapainya suatu kesepakatan perjanjian. Dalam Pasal yang dimuat oleh CISG, diatur pula mengenai klausula “instantaneous communication” yang Penulis kaitkan terhadap penggunaan internet dan aplikasi komunikasi elektronik lainnya yang memungkinkan dalam melakukan offer and acceptance. Mengingat fakta bahwa sebelumnya, dalam praktik yang digunakan ialah telegram sebagai alat komunikasi dan kesepakatan yang terjadi. Namun penggunaan alat elektronik juga memiliki implikasi yang berbeda terhadap kegiatan offer and acceptance yang dilakukan. \u0000Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) is a realization of the ideas of many countries that are willing to make a legal unification of international business contracts as legal protection for the contracts which they have made. However, the practical development of CISG also needs some complementary and additional rules to anticipate the development of communication and information systems. One of the legal issues is related to the use of the internet in the offer and acceptance process which is performed to reach a consensus among the contracting parties. The CISG Provision regulates the “instantaneous communication” Clausule which will be related to the use of the internet and electronic communication application in order to perform offer and acceptance. The research sees a previous fact that telegram is used as a communication tool to reach consensus in a contract. Nevertheless, the use of electronic media has different implications for the offer and acceptance process.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-02-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123900807","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-02-28DOI: 10.24246/alethea.vol1.no2.p156-170
Gheanina Prisilia Kaban
Penelitian ini membahas salah satu prinsip Hukum Pidana Internasional yang mengatur unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam hal pertanggungjawaban seorang komandan (atasan) kepada pasukan (bawahannya) dalam lingkungan militer. Dalam menganalisis unsur-unsur tersebut, Penulis menggunakan studi putusan: The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08 tentang Unsur-Unsur Tanggung jawab Komando dengan tolak ukur yaitu Artikel 28 Statuta Roma 1998 tentang Tanggung jawab Komando terhadap Bemba yang merupakan seorang Komandan dari Pasukan Armée de Libération du Congo (ALC) dan Presiden dari partai politik Mouvement de Libération du Congo (MLC). Penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa Bemba yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut dan ia memiliki tanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pasukannya di Republik Afrika Tengah. This research discusses a principle of international criminal law that regulates the compulsory requirements for a commander to be responsible for crimes committed by his subordinates in the military field. A case approach is used in the analysis, taking the case of The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08 to highlight the elements of Command Responsibility. In that case, Bemba was the Commander-in-Chief of Armée de Libération du Congo (ALC) and also the President of a political party named Mouvement de Libération du Congo (MLC). This research concludes that Bemba has fulfilled the requirement and is responsible for crimes committed by his subordinates in the Central African Republic.
这项研究讨论国际刑法的原则之一的安排方面必须满足的元素(上级)部队指挥官负责军事(下属)的环境中。在元素分析中,作者使用统一的研究结论:《检察官诉jean - pierre Bemba Gombo - ICC-01/05-01/08基准的指挥责任的元素,即1998年罗马法规28篇文章关于责任的Bemba是个军队的指挥官指挥Armee de Liberation du刚果(ALC)和总统的政党Mouvement de Liberation du刚果(MLC)。这项研究采取了满足这些元素的结论,Bemba,他有责任对违法的军队在中非共和国所做的。国际刑事法律的研究discusses a推开那regulates《compulsory requirements for a指挥官to be responsible for《军事犯罪t by his subordinates陆军。A凯斯接近的地方是过去《分析》,《检察官诉jean - pierre Bemba凯斯的应试Gombo - ICC-01/05-01/08文本》到highlights指挥责任。在那个案例,Bemba总司令》是Armee de Liberation du刚果(ALC)和总统》也一个叫Mouvement de Liberation du刚果的政治党(MLC)。这个研究concludes那Bemba已能实现《requirement和is responsible for《中央犯罪t by his subordinates African Republic。
{"title":"UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB KOMANDO DI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL (STUDI PUTUSAN THE PROSECUTOR V. JEAN-PIERRE BEMBA GOMBO/ICC-01/05-01/08)","authors":"Gheanina Prisilia Kaban","doi":"10.24246/alethea.vol1.no2.p156-170","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no2.p156-170","url":null,"abstract":"Penelitian ini membahas salah satu prinsip Hukum Pidana Internasional yang mengatur unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam hal pertanggungjawaban seorang komandan (atasan) kepada pasukan (bawahannya) dalam lingkungan militer. Dalam menganalisis unsur-unsur tersebut, Penulis menggunakan studi putusan: The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08 tentang Unsur-Unsur Tanggung jawab Komando dengan tolak ukur yaitu Artikel 28 Statuta Roma 1998 tentang Tanggung jawab Komando terhadap Bemba yang merupakan seorang Komandan dari Pasukan Armée de Libération du Congo (ALC) dan Presiden dari partai politik Mouvement de Libération du Congo (MLC). Penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa Bemba yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut dan ia memiliki tanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pasukannya di Republik Afrika Tengah. \u0000This research discusses a principle of international criminal law that regulates the compulsory requirements for a commander to be responsible for crimes committed by his subordinates in the military field. A case approach is used in the analysis, taking the case of The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08 to highlight the elements of Command Responsibility. In that case, Bemba was the Commander-in-Chief of Armée de Libération du Congo (ALC) and also the President of a political party named Mouvement de Libération du Congo (MLC). This research concludes that Bemba has fulfilled the requirement and is responsible for crimes committed by his subordinates in the Central African Republic.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"75 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-02-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117330224","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-02-28DOI: 10.24246/alethea.vol1.no2.p128-141
D. Kristiyanto
UUPK memberikan dua pilihan penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK atau melalui Pengadilan. BPSK memiliki kewenangan mengeluarkan suatu putusan yang sifat putusannya adalah final dan mengikat. Dari hal ini kemudian muncul suatu isu hukum apakah putusan BPSK yang final dan mengikat sama artinya dengan final dan mengikat pada putusan pengadilan atau memiliki makna yang berbeda. Penulis beragumen bahwa kedua putusan tersebut di atas bukan merupakan hal yang sama. Hal ini karena atas putusan BPSK masih dapat dilakukan upaya hukum lebih lanjut ke Pengadilan. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan komparatif. Consumer Protection Law provides two alternatives for dispute resolution to consumers and businessmen. The alternatives are outside the court through the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK) and the Court. BPSK has the authority to make a decision that is final and binding. This feature raises a legal question on whether the final and binding decision issued by BPSK has the same meaning as the Court’s decision. The author argues that those decisions are typically different because, on BPSK’s decision, an appeal could be made to the Court. This article is legal research that uses a statute approach and comparative approach.
{"title":"MENGGUGAT SIFAT FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)","authors":"D. Kristiyanto","doi":"10.24246/alethea.vol1.no2.p128-141","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no2.p128-141","url":null,"abstract":"UUPK memberikan dua pilihan penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK atau melalui Pengadilan. BPSK memiliki kewenangan mengeluarkan suatu putusan yang sifat putusannya adalah final dan mengikat. Dari hal ini kemudian muncul suatu isu hukum apakah putusan BPSK yang final dan mengikat sama artinya dengan final dan mengikat pada putusan pengadilan atau memiliki makna yang berbeda. Penulis beragumen bahwa kedua putusan tersebut di atas bukan merupakan hal yang sama. Hal ini karena atas putusan BPSK masih dapat dilakukan upaya hukum lebih lanjut ke Pengadilan. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan komparatif. \u0000Consumer Protection Law provides two alternatives for dispute resolution to consumers and businessmen. The alternatives are outside the court through the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK) and the Court. BPSK has the authority to make a decision that is final and binding. This feature raises a legal question on whether the final and binding decision issued by BPSK has the same meaning as the Court’s decision. The author argues that those decisions are typically different because, on BPSK’s decision, an appeal could be made to the Court. This article is legal research that uses a statute approach and comparative approach. ","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-02-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131491098","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-08-15DOI: 10.24246/alethea.vol1.no1.p19-36
Rifai Rofiannas
Tulisan ini mendiskusikan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai respons atau tanggapan terhadap Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. Sumber dari timbulnya isu hukum dalam tulisan ini adalah materi muatan SEMA yang tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam menjawab isu hukum tersebut, dasar berpijak yang digunakan adalah aspek hukum dan teori yang melandasi hubungan antara MK dengan badan-badan pemerintahan koordinat. Hubungan tersebut, berdasarkan hasil teoresasi, memiliki dua pola diametral yaitu judicial supremacy dan departmentalism. Isu hubungan tersebut tidak dapat diberikan preskripsi secara hitam-putih tetapi bersifat kontekstual secara kasuistis di mana kedua posisi tersebut memiliki potensi sama legitimate-nya. Oleh karena itu kesimpulan dari tulisan ini adalah sikap departmentalist yang diambil oleh MA dengan menerbitkan SEMA sebagai respons terhadap putusan MK yang secara substantif merupakan pengabaian terhadap putusan MK tidak dapat dibenarkan (sembari diimbuhi dengan contoh praktik departmentalist lain dari MA terhadap MK yang dapat dibenarkan).
{"title":"PENGABAIAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: ANALISIS KONSTITUSIONALITAS SEMA NO. 7 TAHUN 2014","authors":"Rifai Rofiannas","doi":"10.24246/alethea.vol1.no1.p19-36","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no1.p19-36","url":null,"abstract":"Tulisan ini mendiskusikan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai respons atau tanggapan terhadap Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. Sumber dari timbulnya isu hukum dalam tulisan ini adalah materi muatan SEMA yang tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam menjawab isu hukum tersebut, dasar berpijak yang digunakan adalah aspek hukum dan teori yang melandasi hubungan antara MK dengan badan-badan pemerintahan koordinat. Hubungan tersebut, berdasarkan hasil teoresasi, memiliki dua pola diametral yaitu judicial supremacy dan departmentalism. Isu hubungan tersebut tidak dapat diberikan preskripsi secara hitam-putih tetapi bersifat kontekstual secara kasuistis di mana kedua posisi tersebut memiliki potensi sama legitimate-nya. Oleh karena itu kesimpulan dari tulisan ini adalah sikap departmentalist yang diambil oleh MA dengan menerbitkan SEMA sebagai respons terhadap putusan MK yang secara substantif merupakan pengabaian terhadap putusan MK tidak dapat dibenarkan (sembari diimbuhi dengan contoh praktik departmentalist lain dari MA terhadap MK yang dapat dibenarkan).","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122379466","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-08-01DOI: 10.24246/alethea.vol1.no1.p55-77
Indra Rengkengbara Maasawet
Artikel ini hendak mengatakan bahwa bunyi, bentuk dan aroma (BBA) adalah merek non-tradisional yang memiliki daya pembeda, sehingga harus dilindungi sebagai merek dagang di Indonesia. Tesis tersebut berangkat dari prinsip utama dalam hukum merek, bahwa daya pembeda lah yang merupakan unsur prior dan atau alpha diantara syarat yang lain. Sehingga dengan dimilikinya daya pembeda, suatu tanda dalam hal ini BBA wajib hukum-nya untuk dilindungi sebagai merek.
{"title":"PERLINDUNGAN MEREK BERBASIS DAYA PEMBEDA DI INDONESIA","authors":"Indra Rengkengbara Maasawet","doi":"10.24246/alethea.vol1.no1.p55-77","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no1.p55-77","url":null,"abstract":"Artikel ini hendak mengatakan bahwa bunyi, bentuk dan aroma (BBA) adalah merek non-tradisional yang memiliki daya pembeda, sehingga harus dilindungi sebagai merek dagang di Indonesia. Tesis tersebut berangkat dari prinsip utama dalam hukum merek, bahwa daya pembeda lah yang merupakan unsur prior dan atau alpha diantara syarat yang lain. Sehingga dengan dimilikinya daya pembeda, suatu tanda dalam hal ini BBA wajib hukum-nya untuk dilindungi sebagai merek.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"122 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115686093","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-08-01DOI: 10.24246/alethea.vol1.no1.p37-54
Guruh Agung Setiawan
Tulisan ini mengkaji kiprah Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Hal penting yang hendak disampaikan di sini adalah norma atau kaidah yang dikembangkan oleh Ombudsman dalam memproses pengaduan masyarakat terkait dengan pelayanan publik yang dituangkan ke dalam rekomendasi yang dihasilkannya. Dengan demikian, norma atau kaidah tersebut adalah norma atau kaidah yang bersifat individual-konkret (serupa dengan putusan pengadilan) karena terikat oleh kasus faktual spesifik yaitu pengaduan masyarakat yang ditangani Ombudsman. Dalam pembahasan dihasilkan temuan berupa norma atau kaidah tentang pelayanan publik yang didistilasikan dari Rekomendasi-rekomendasi Ombudsman sebagai berikut: (1) penyelenggara pelayanan publik harus menetapkan kebijakan tertulis; (2) penyelenggara pelayanan publik harus melakukan tindak lanjut dan penyelesaian atas suatu masalah; (3) penyederhanaan persyaratan teknis administratif; (4) penyelenggara pelayanan publik harus memperhatikan sisi kepatutan dan kepantasan.
{"title":"OMBUDSMAN DAN PELAYANAN PUBLIK YANG BAIK: STUDI TERHADAP REKOMENDASI OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA PERWAKILAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2015","authors":"Guruh Agung Setiawan","doi":"10.24246/alethea.vol1.no1.p37-54","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no1.p37-54","url":null,"abstract":"Tulisan ini mengkaji kiprah Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Hal penting yang hendak disampaikan di sini adalah norma atau kaidah yang dikembangkan oleh Ombudsman dalam memproses pengaduan masyarakat terkait dengan pelayanan publik yang dituangkan ke dalam rekomendasi yang dihasilkannya. Dengan demikian, norma atau kaidah tersebut adalah norma atau kaidah yang bersifat individual-konkret (serupa dengan putusan pengadilan) karena terikat oleh kasus faktual spesifik yaitu pengaduan masyarakat yang ditangani Ombudsman. Dalam pembahasan dihasilkan temuan berupa norma atau kaidah tentang pelayanan publik yang didistilasikan dari Rekomendasi-rekomendasi Ombudsman sebagai berikut: (1) penyelenggara pelayanan publik harus menetapkan kebijakan tertulis; (2) penyelenggara pelayanan publik harus melakukan tindak lanjut dan penyelesaian atas suatu masalah; (3) penyederhanaan persyaratan teknis administratif; (4) penyelenggara pelayanan publik harus memperhatikan sisi kepatutan dan kepantasan.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124459532","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-08-01DOI: 10.24246/alethea.vol1.no1.p78-94
Vincent Suriadinata
Artikel ini berisi uraian tentang pentingnya pembatasan periodisasi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat di Indonesia (DPR, DPD, dan DPRD). Pembatasan periodisasi dimaksud dengan pertimbangan: menjamin hak asasi manusia, menghindari kesewenang-wenangan anggota lembaga perwakilan rakyat, menciptakan lembaga inovasi pemikiran di lembaga perwakilan rakyat.
{"title":"PEMBATASAN PERIODISASI KEANGGOTAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DI INDONESIA","authors":"Vincent Suriadinata","doi":"10.24246/alethea.vol1.no1.p78-94","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no1.p78-94","url":null,"abstract":"Artikel ini berisi uraian tentang pentingnya pembatasan periodisasi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat di Indonesia (DPR, DPD, dan DPRD). Pembatasan periodisasi dimaksud dengan pertimbangan: menjamin hak asasi manusia, menghindari kesewenang-wenangan anggota lembaga perwakilan rakyat, menciptakan lembaga inovasi pemikiran di lembaga perwakilan rakyat.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"648 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131993371","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-08-01DOI: 10.24246/alethea.vol1.no1.p95-109
Siti Dana Retnani
Feminisme merupakan aliran pemikiran yang berkembang hampir secara bersamaan diseantero dunia. Berbarengan dengan munculnya aliran kritis, feminisme menjadi salah satu genre pemikiran yang diasimilasikan dengan aliran pemikiran yang telah ada, misalnya dengan liberalisme melahirkan Feminisme Liberal, Feminisme dengan aliran pemikiran Marx, melahirkan Feminisme Marxis, Feminisme dengan aliran pemikiran pasca kolonialisme (postkolonial) melahirhan aliran pemikiran Feminime Postkolonial. Dengan demikian feminism sejatinya tidak berkembang secara linear. Di Indonesia, Feminisme berkembang bersama dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu, misalnya ilmu sosal, sosiologi, politik, dll. Dalam bidang hukum penganut positivisme hukum melihat kepastian hukum akan tercapai bila hukum secara objektif mengidentifikasi, melegitimasi, dan mengubah hak-hak sosial dalam masyarakat menjadi hak-hak hukum. Hukum akan mewujudkan hal itu jika hukum mampu menerapkan metode terukur yang bebas dari subjektivitas. Itulah mengapa salah satu doktrin utama positivisme hukum adalah soal netralitas dan objektivitas hukum.
{"title":"FEMINISME DALAM PERKEMBANGAN ALIRAN PEMIKIRAN DAN HUKUM DI INDONESIA","authors":"Siti Dana Retnani","doi":"10.24246/alethea.vol1.no1.p95-109","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no1.p95-109","url":null,"abstract":"Feminisme merupakan aliran pemikiran yang berkembang hampir secara bersamaan diseantero dunia. Berbarengan dengan munculnya aliran kritis, feminisme menjadi salah satu genre pemikiran yang diasimilasikan dengan aliran pemikiran yang telah ada, misalnya dengan liberalisme melahirkan Feminisme Liberal, Feminisme dengan aliran pemikiran Marx, melahirkan Feminisme Marxis, Feminisme dengan aliran pemikiran pasca kolonialisme (postkolonial) melahirhan aliran pemikiran Feminime Postkolonial. Dengan demikian feminism sejatinya tidak berkembang secara linear. Di Indonesia, Feminisme berkembang bersama dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu, misalnya ilmu sosal, sosiologi, politik, dll. Dalam bidang hukum penganut positivisme hukum melihat kepastian hukum akan tercapai bila hukum secara objektif mengidentifikasi, melegitimasi, dan mengubah hak-hak sosial dalam masyarakat menjadi hak-hak hukum. Hukum akan mewujudkan hal itu jika hukum mampu menerapkan metode terukur yang bebas dari subjektivitas. Itulah mengapa salah satu doktrin utama positivisme hukum adalah soal netralitas dan objektivitas hukum.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129023310","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-08-01DOI: 10.24246/alethea.vol1.no1.p1-18
Ida Nuryantiningsih
Perlindungan terhadap kesehatan reproduksi perempuan adalah salah satu isu kesehatan sangat serius. Tulisan ini melakukan telaah kritis terhadap pengaturan mengenai kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia dengan menggunakan perspektif HAM, yaitu hak perempuan atas kesehatan reproduksi. Objek dari telaah kritis tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Kerangka pemikiran teoretis yang mendasari tulisan ini adalah pengaturan mengenai kesehatan reproduksi perempuan tersebut harus konsisten dengan kepentingan perlindungan terhadap HAM, dalam hal ini hak perempuan atas kesehatan reproduksi. Berdasarkan hasil analisis yuridis ditemukan bahwa ada pengaturan yang telah konsisten dengan HAM dan ada pula pengaturan yang masih belum konsisten dengan HAM.
{"title":"KRITIK TERHADAP PENGATURAN MENGENAI KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DI INDONESIA: PERSPEKTIF HAM","authors":"Ida Nuryantiningsih","doi":"10.24246/alethea.vol1.no1.p1-18","DOIUrl":"https://doi.org/10.24246/alethea.vol1.no1.p1-18","url":null,"abstract":"Perlindungan terhadap kesehatan reproduksi perempuan adalah salah satu isu kesehatan sangat serius. Tulisan ini melakukan telaah kritis terhadap pengaturan mengenai kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia dengan menggunakan perspektif HAM, yaitu hak perempuan atas kesehatan reproduksi. Objek dari telaah kritis tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Kerangka pemikiran teoretis yang mendasari tulisan ini adalah pengaturan mengenai kesehatan reproduksi perempuan tersebut harus konsisten dengan kepentingan perlindungan terhadap HAM, dalam hal ini hak perempuan atas kesehatan reproduksi. Berdasarkan hasil analisis yuridis ditemukan bahwa ada pengaturan yang telah konsisten dengan HAM dan ada pula pengaturan yang masih belum konsisten dengan HAM.","PeriodicalId":332641,"journal":{"name":"Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA","volume":"111 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124105957","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}